Hukum Acara Pengadilan HAM
Hakim ad hoc
Hakim ad hoc
Diangkat oleh
Jumlah mininal yang
Lama jabatan
diangkat
Pengadilan HAM
Presiden atas usul ketua
12 orang
5 tahun dan diangkat 1
periode lagi Tingkat
Mahkamah Agung
5 tahun dan dapat banding/Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung
Presiden atas usul
12 orang
diangkat 1 periode lagi Tingkat kasasi/MA
5 tahun Peninjauan Kembali
Presiden atas usul DPR
3 orang
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
Perkara pelanggaran HAM berat diperiksa Ketentuan yang perlu diperhatikan adalah dan diputuskan oleh pengadilan dalam
mengenai proses pelimpahan berkas jangka waktu paling lama 180 hari terhitung
perkara dalam tingkat pertama ke tingkat sejak perkara dilimpahkan ke pengadilan
banding dan dari tingkat pertama ke kasasi HAM. Pada tingkat banding maka perkara
ketika jaksa mengajukan kasasi saat diperiksa dan diputus paling lama 90 hari.
terdakwa dinyatakan bebas. Ketentuan Jika perkara dimintakan kasasi maka
mengenai mekanisme pelimpahan berkas perkara pelanggaran HAM berat ini
dalam ke tingkat banding dan kasasi diperiksa dan diputus paling lama 90 hari
menggunakan mekanisme KUHAP. atau selama 3 bulan.
Tabel : Jangka waktu proses penyelidikan – kasasi
No Proses
Jangka waktu
Perpanjangan I
Perpanjangan II
1 Penyelidikan
Tidak ada ketentuan lama
Jika penyelidikan -
penyelidikan
kurang lengkap wajib dilengkapi dalam jangka waktu 30 hari
70 Tidak ada
Tidak ada
4 Pemeriksaan
Tidak ada pengadilan
Tidak ada
5 Banding
90 Tidak ada
Tidak ada
6 Kasasi
90 Tidak ada
Tidak ada
7 Peninjauan Kembali
Tidak ada (Sesuai KUHAP)
2. Prosedur Pembuktian
mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses
Prosedur pembuktian dalam pengadilan kesaksian di pengadilan. Dalam rangka HAM tidak diatur tersendiri yang
melindungi saksi dan korban berarti bahwa mekanisme pembuktian
pelanggaran HAM yang berat proses di sidang pengadilan HAM
pemeriksaan saksi dapat dilakukan menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap pemeriksaan saksi dapat dilakukan menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap
HAM ini sama dengan pengadilan Tahun 2002 tentang perlindungan
HAM ad hoc. Pengalaman pengadilan terhadap korban dan saksi pelanggaran
Ham ad hoc Timor-timur menunjukkan HAM yang berat.
bahwa prosedur dengan menggunakan mekanisme KUHAP ini banyak menjadi
Berkenaan dengan alat bukti yang dapat kendala dalam proses pembuktian diterima juga mengacu pada alat bukti
kejahatan kemanusiaan yang yang sesuai dengan KUHAP yaitu Pasal
seharusnya mempunyai prosedur 184. 40 Hal-hal yang dapat dijadikan alat
pembuktian yang khusus pula. (lihat bukti dalam KUHAP ini dianggap tidak
bagian dalam tulisan ini dalam memadai jika dikomparasikan dengan
prosedur pembuktian pengadilan HAM praktek peradilan internasional.
ad hoc ).
Pengalaman-pengalaman internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran
Ketentuan Pemidanaan
HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti di luar
Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari yang diatur oleh KUHAP. Misalnya
Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 UU No. 26 rekaman, baik itu yang berbentuk film
Tahun 2000. Ketentuan pidana dalam UU atau kaset yang berisi pidato, siaran
No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan pers, wawancara korban, wawancara
ketentuan pidana minimal yang dianggap pelaku, kondisi keadaan tempat
sebagai ketentuan yang sangat progresif kejadian dan sebagainya. Kemudian alat
untuk menjamin bahwa pelaku pelanggaran bukti yang dipakai juga diperbolehkan
HAM yang berat ini tidak akan berbentuk dokumen-dokumen salinan,
mendapatkan hukuman yang ringan. 42 kliping koran, artikel lepas, sampai suatu opini yang terkait dengan kasus
Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana yang disidangkan. 41 untuk kejahatan genosida yakni dengan ancaman hukuman mati atau pidana
39 Proses kesaksian tanpa hadirya penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling terdakwa ini sebenarnya sudah diatur dalam
Pasal 173 KUHAP yang menyatakan bahwa singkat 10 tahun. Ketentuan pidana ini sama
hakim ketua sidang dapat mendengar dengan kejahatan yang diatur dalam Pasal 9 keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa
(tentang kejahatan terhadap kemanusiaan) hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa
huruf a (pembunuhan), b (pemusnahan), d ke luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu tidak hadir. Hal ini berbeda
42 Mengenai hukuman minimal ini dengan PP No. 2 Tahun 2002 yang tidak
ternyata dalam prakteknya di pengadilan HAM mengatur tentang tata cara tanpa hadirnya
ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat terdakwa untuk pemeriksaan kesaksian.
di Tim-tim tidak dapat diaplikasikan. Hal ini terbukti dengan lama hukuman yang dijatuhkan
40 Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP untuk terdakwa yang dibawah hukuman 10 adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
tahun (terdakwa Soejarwo 5 tahun, M. Noer Muis petunjuk dan keterangan terdakwa.
5 tahun, Hulman Gultom 3 Tahun dan Abilio Soares selama 3 tahun) kecuali terhadap 41 Lihat Progress Report pemantauan
terdakwa Eurico Guterres yang dijatuhi pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28
hukuman 10 tahun. Hakim dalam hal ini Januari 2003.
melakukan terobosan hukum.
(pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa), atau j (kejahatan apartheid).
Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yaitu perbudakan diancam dengan pidana selama-lamanya 15 tahun dan paling singkat 5 tahun (Pasal 38). Demikian pula dengan kejahatan kemanusiaan yang berupa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa penyiksaan diancan hukuman paling lama 15 tahun dan peling rendah 5 tahun (Pasal 39). Kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan keHAMilan, kemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara diancam pidana selama-lamanya 20 tahun dan serendah-rendahnya selama 10 tahun (Pasal 40).
Pasal 41 mengatur khusus mengenai pihak- pihak yang melakukan pelanggaran HAM
berat berupa percobaan dan ikut serta berupa permufakatan jahat atau pembantuan terhadap terlaksanya pelanggaran HAM berat, ancaman hukumannya dipersamakan dengan ketentuan Pasal 36, 37, 38, 39 dan 40. ketentuan ini mengindikasikan bahwa apapun peranan pelaku baik karena percobaan pelanggaran HAM berat, ikut serta dalam permufakatan jahat untuk melakukan pelanggaran HAM berat maupun pembantuan terhadap terlaksananya pelanggaran HAM berat tidak ada pengaturan pengecualian terhadap mereka karena ancamannya dipersamakan. Ketentuan pemidaan yang dipersamakan dengan ketentuan Pasal 36,
37, 38, 39 dan 40 adalah untuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang komandan dari militer, polisi maupun sipil seperti yang diatur dalam Pasal 42 ayat 3 UU No.
26 Tahun 2000.
Ketentuan Pemidanaan
Kejahatan Hukuman minimal Hukuman maksimal
Genosida
10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun
Kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa :
a. Pembunuhan
10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun
b. Pemusnahan
10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun
c. Perbudakan
5 tahun
15 tahun
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
10 tahun Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun
f. Penyiksaan
5 tahun
15 tahun
20 tahun paksa, pemaksaan keHAMilan, pemandulan atau sterilisasi, secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara
10 tahun
20 tahun atau perkumpulan yang didasari persamaan paHAM politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
10 tahun
20 tahun j. Kejahatan apartheid
i. Penghilangan orang secara paksa
10 tahun
10 tahun
Mati atau seumur hidup atau penjara paling lama 25 tahun
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan Dipersamakan Dipersamakan dengan untuk melakukan pelanggaran HAM berupa dengan ketentuan di ketentuan di atas kejahatan genosida dan kejahatan terhadap atas sesuai dengan sesuai dengan bentuk kemanusiaan
kejahatannya Komandan militer, polisi dan atasan sipil yang Dipersamakan
bentuk kejahatannya
Dipersamakan dengan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dengan ketentuan di ketentuan di atas kejahatan genosida (dengan delik by omission)
atas sesuai dengan sesuai dengan bentuk bentuk kejahatannya
kejahatannya
Delik tanggung jawab komandan dan
dipertanggungjawabkan terhadap
atasan polisi dan sipil
tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang
Delik tanggung jawab komandan dan dilakukan oleh pasukan yang berada di atasan polisi atau sipil (responsibility of
bawah komando dan pengendaliannya commanders and others superiors ) ini diatur
yang efektif, atau di bawah kekuasaan dalam Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 yang
dan pengendaliannya yang efektif dan membagi dalam 2 kategori pihak yitu unsur
tindak pidana tersebut merupakan militer dalam ayat (1) dan unsur atasan
akibat dari tidak dilakukan polisi atau sipil dalam ayat (2). Ketentuan
pengendalian pasukan secara patut, ini mengadopsi perumusan Pasal 28 Statuta
yaitu :
a. Komandan militer atau seseorang adalah dalam kerangka individual criminal
Roma 1998 dimana tanggung jawab ini
tersebut mengetahui atau atas dasar responsibility .
keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan
Ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU No. tersebut sedang melakukan atau
26 Tahun 2000 mengatur sebagai berikut : baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
1. Unsur komandan militer.
b. Komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan
Komandan militer atau seseorang yang yang layak dan diperlukan dalam secara efektif bertindak sebagai
ruang lingkup kekuasaannya untuk komandan militer dapat
mencegah atau menghentikan mencegah atau menghentikan
dilakukan oleh pasukan yang berada di pejabat yang berwenang untuk
bawah komando dan pengendaliannya yang dilakukan penyelidikan, efektif…” penyidikan, dan penuntutan.
Pengertian yang menggunakan kata “dapat”
2. Unsur atasan polisi atau sipil.
(should) dan bukannya “akan” atau “harus” (shall), secara implisit menegaskan bahwa
Seorang atasan, baik polisi maupun sipil tanggung jawab komando dalam kasus lainnya, bertanggung jawab secara
pelanggaran berat HAM yang diatur pidana terhadap pelanggaran hak asasi
melalui UU No. 26 Tahun 2000 ini bukanlah manusia yang berat yang dilakukan
sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. oleh bawahannya yang berada di bawah
Pasal ini secara tegas menguatkan kekuasaan dan pengendaliannya yang
pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan efektif, karena atasan tersebut tidak
dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang melakukan pengendalian terhadap
cenderung ditujukan kepada pelaku bawahannya secara patut dan benar,
langsung di lapangan. 43
yakni :
a. Atasan tersebut mengetahui atau Pasal 42 ayat 1 (a) juga mensyaratkan secara sadar mengabaikan informasi
penanggung jawab komando untuk yang secara jelas menunjukkan
“seharusnya mengetahui bahwa pasukan bahwa bawahan sedang melakukan
tersebut sedang melakukan atau baru saja atau baru saja melakukan
melakukan pelanggaran hak asasi manusia pelanggaran hak asasi manusia
yang berat.” Padahal sumber dari pasal yang berat; dan
spesifik tersebut, yaitu Pasal 28 ayat 1 (a)
b. Atasan tersebut tidak mengambil Statuta Roma secara tegas menyatakan tindakan yang layak dan diperlukan
bahwa komandan militer seharusnya dalam ruang lingkup “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan kewenangannya untuk mencegah
atau hendak melakukan kajahatan…” atau menghentikan perbuatan
tersebut atau menyerahkan Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban pelakunya kepada pejabat yang
dari pemegang tanggung jawab komando berwenang untuk dilakukan
untuk mencegah terjadinya kejahatan. penyelidikan, penyidikan, dan
Meskipun dalam Pasal 42 ayat 1 (b) penuntutan.
pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan
Konsep tentang tanggung jawab komando tindakan yang layak dan diperlukan dalam ini, seperti halnya konsep tentang kejahatan
ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah terhadap kemanusiaan juga mengalami
dan menghentikan perbuatan tersebut, …” distorsi dalam perumusan di UU No. 26
namun tidak ada definisi dan batasan yang Tahun 2000 ini. Pengertian tanggung jawab
tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” komando dalam Pasal 42 ayat 1 dilakukan oleh penanggung jawab
menyatakan :
komando. 44
“Komandan militer atau seseorang yang 43 Lihat Progress Report pemantauan secara efektif bertindak sebagai komandan
pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 militer
dapat dipertanggungjawabkan
Januari 2003.
terhadap tindak pidana yang berada di 44 Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada terhadap tindak pidana yang berada di 44 Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada
yang setara dengan tertuduh.
pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah
Pasal 7 (3) Statuta ICTY juga secara tindakan yang dilakukan sudah layak atau
interpretatif mencerminkan standar tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of
kebiasaan internasional tersebut. Pasal conduct ), dan secara otomatis mengabaikan
tersebut mengakui adanya pada kenyataan apakah tindakan yang
pertanggungjawaban pidana jika seseorang diambil oleh penanggung jawab komando
“mengetahui atau mempunyai alasan untuk berhasil mencegah dan menghentikan
tahu” (knew or had reason to know) kelakuan kejahatan atau tidak (obligation of result).
bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan Padahal, selain harus bertanggung jawab
adanya kegagalan untuk mencegah suatu jika menjadi pelaku langsung, penganjur,
kejahatan atau menghalangi tindakan yang atau penyerta, seorang atasan seharusnya
melanggar hukum yang dilakukan oleh juga bertanggung jawab secara pidana atas
bawahannya atau menghukum mereka kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of
yang telah melakukan tindak pidana. duty ) dan kealpaan (negligence). Standar
Meskipun pasal ini memfokuskan pada hukum kebiasaan internasional untuk
keadaan dimana seorang bawahan akan “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang
melakukan suatu tindak pidana atau telah luas menyatakan bahwa seorang atasan
melakukannya, tidak ada indikasi bahwa bertanggung jawab secara pidana jika : (1) ia
tanggung jawab pidana tersebut akan seharusnya mengetahui (should have had
dihilangkan jika ada tindakan yang telah knowledge ) bahwa pelanggaran hukum telah
dilakukan oleh si atasan namun dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi
pelanggaran/kejahatan oleh bawahan tetap dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia
terjadi. 46
mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil
Perlindungan korban dan saksi
tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau
Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 adalah pasal terjadi saat itu. 45 Tentang apakah seseorang
yang secara tegas menyatakan adanya tersebut “seharusnya mengetahui” harus
perlindungan korban dan saksi. Setiap diuji sesuai keadaan yang terjadi dan
korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat berhak atas perlindungan fisik
Pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung dan mental dari ancaman, gangguan, teror, jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).
dan kekerasan dari pihak manapun. 45 Lihat artikel Jordan J. Paust “Superior
Perlindungan ini wajib dilaksanakan oleh Orders and Command Responsibility ” dalam M
aparat penegak hukum dan aparat Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law,
keamanan secara cuma-cuma. Pasal ini Volume I, Kluwer International, 1999, hal 236-
mengamanatkan adanya peraturan 237; Lihat juga artikel Anthony D’Amato,
pemeritah tentang perlindungan saksi dan Superior Orders vs Command Responsibility ,
korban.
American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, 607-608; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William
46 Seperti yang ditegaskan kembali Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea
dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi for a Workable Standard , Military Law Review,
Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993) edisi 97 (1982). Lihat progress report pemantauan
paragraf 56. Lihat progress report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28
pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.
Januari 2003.
Peraturan pemerintah No. 2 tahun 2002 (PP) identitas bagi saksi ataupun korban yang tentang tata cara perlindungan saksi dan
akan ikut program perlindungan saksi. korban Pelanggaran HAM yang berat mengatur tentang mekanisme pemberian
Jika dibandingkan dengan perlindungan perlindungan. PP ini menegaskan kembali
saksi dan korban seperti yang tertuang bahwa setiap korban dan saksi dalam kasus
dalam Statuta Roma 1998, maka pengaturan pelanggaran HAM berat berhak
tentang perlindungan saksi dan korban mendapatkan perlindungan dari aparat
dalam UU No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2 penegak hukum dan aparat keamanan dan
Tahun 2000 belum memadai. Dalam Statuta perlindungan ini diberikan sejak tahap
Roma pengaturan tentang perlindungan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
saksi dan korban meliputi :
atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang meliputi sidang Pengadilan Negeri,
1. Adanya tindakan dari mahkamah untuk Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
mengambil tindakan secukupnya untuk melindungi keselamatan, kesejahteraan
Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat fisik dan psikologis martabat dan diberikan adalah perlindungan keamanan
privasi para korban. 47
pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik
2. Adanya metode persidangan in camera dan mental, perahasiaan identitas korban
atau memperbolehkan pengajuan bukti atau saksi dan pemberian keterangan pada
dengan sarana elektronika atau sarana saat pemeriksaan di sidang pengadilan
khusus lainnya. Tindakan-tindakan ini tanpa bertatap muka dengan tersangka. Tata
secara khusus harus dilaksanakan cara pemberian perlindungan dapat
dalam hal seorang korban kekerasan dilakukan atas permohonan dari korban
seksual atau seorang anak yang menjadi atau saksi maupun oleh inisiatif aparat
korban atau saksi. 48
penegak hukum. Permohonan untuk
3. Adanya unit korban dan saksi khusus mendapatkan perlindungan sesuai dengan
dalam kepaniteraan dimana adanya staf tahapan perkara, artinya saksi atau korban
yang mempunyai keahlian mengatasi dapat mengajukan permohonan kepada
trauma termasuk staf dengan keahlian pihak-pihak pada saat pihak tersebt
mengatasi trauma yang terkait dengan mempunyai kewenangan terhadap saksi
kejahatan seksual. Unit khusus ini dan korban. pada tahap penyelidikan
mempunyai tugas untuk : permohonan dapat diajukan ke Komnas HAM, pada tahap penyidikan dan
a. Menyediakan langkah-langkah penuntutan permohonan kepada jaksa
perlindungan dan pengaturan penuntut umum demikian juga pada saat
keamanan.
pemeriksaan pengadilan permohonan dapat
b. Menyedikan jasa nasehat dan diajukan ke pengadilan. Para instansi yang
bantuan yang perlu bagi saksi, diminta permohonannya tersebut kemudian
korban yang menghadap di depan menindaklanjuti dengan menyampaikan ke
mahkamah dan orang-orang lain aparat keamanan.
yang mungkin terkena resiko karena kesaksian yang diberikan
Kelemahan yang mendasar dari
oleh saksi tersebut.
perlindungan korban dan saksi ini adalah tidak ada standar atau prosedur yang baku mengenai pelaksanaan perlindungannya. Sampai saat ini tidak ada petunjuk
47 Pasal 68 huruf 1 Statuta Roma 1998. pelaksanaan untuk proses perahasiaan
48 Pasal 68 huruf 2 Statuta Roma 1998.
c. Memberi nesehat kepada jaksa penuntut umum dan mahkamah mengenai hal-hal pada point a dan
b. 49
4. Adanya tindakan untuk menahan bukti dan informasi tertentu dan digantikan dengan suatu ikhtisar yang dilakukan oleh jaksa penuntut sebelum dimulainya persidangan karena adanya kekhawatiran bahwa informasi tersebut akan menimbulkan bahaya yang gawat
bagi korban dan saksi. 50
5. Adanya mekanisme kesaksian viva voce (lisan) atau kesaksian terekam dari seorang saksi dengan sarana teknologi video atau audio, maupun diajukannya
dokmen atau transkrip tertulis. 51
Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat juga diatur oleh UU No. 26 Tahun 2000 dalam Pasal 35. Dalam ketentuan ini yang juga berhak memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi adalah korban dan ahli waris dari korban pelanggaran HAM yang berat tersebut. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam Pasal 35 mensyaratkan harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM, hal ini berarti bahwa putusan tentang adanya kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bersamaan dengan putusan tentang pelanggaran HAM berat yang menjadi pokok perkaranya.
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
49 Pasal 43 huruf 6 Statuta Roma 1998
50 Pasal 68 huruf 5 Statuta Roma 1998.
51 Pasal 69 huruf 2 Statuta Roma 1998.
jawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dimana restitusi dapat berupa penggantian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian biaya untuk tidakan-tindakan tertentu. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.
Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat dengan PP No. 3 Tahun 2002. PP ini lebih banyak mengatur tentang mekanisme pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak dimana pemberian kompensasi dan rehabilitasi dilakukan oleh instansi terkait berdasarkan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberian restitusi dilakukan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan.
Ketentuan mengenai dicantumkannya masalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam amar putusan ini sesuai dengan kewenangan memeriksa dan memutus pengadilan HAM. Persoalannya adalah jika keputusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM maka dalam tuntutan juga seharusnya dicantumkan tentang permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban. Mekanisme ini tidak diatur secara khusus dan jika landasan yuridis yang digunakan adalah KUHAP maka tidak dapat digunakan karena pengaturan yang berbeda kecuali terhadap Ketentuan mengenai dicantumkannya masalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam amar putusan ini sesuai dengan kewenangan memeriksa dan memutus pengadilan HAM. Persoalannya adalah jika keputusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini harus dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM maka dalam tuntutan juga seharusnya dicantumkan tentang permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban. Mekanisme ini tidak diatur secara khusus dan jika landasan yuridis yang digunakan adalah KUHAP maka tidak dapat digunakan karena pengaturan yang berbeda kecuali terhadap
permintaan restitusi. 52 Ketentuan mengenai
mengenai daluarsa. Ketentuan ini UU No. 26 Tahun 2000 dan dijabarkan
menyatakan bahwa asas daluwarsa tidak dalam PP No. 3 Tahun 2002 ini seolah-olah
berlaku bagi tindak pidana dalam yurisdiksi memberikan pemulihan bagi korban tetapi
pengadilan HAM (non aplicability of statute of secara yuridis sangat susah untuk
limitations ). Ketentuan ini berbeda dengan diaplikasikan.
ketentuan tindak pidana biasa seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Hambatan yuridis yang berkenaan dengan Pidana (KUHP). Pasal 78 KUHP mengatur hak atas kompensasi, restitusi dan
tentang kadaluarsa yang bisa rehabilitasi bagi para korban ini terletak
menggugurkan tindak pidana. pada prosedur pengajuan atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pengalaman
Tidak berlakunya asas daluarsa dalam UU pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok
No. 26 Tahun 2000 ini berarti bahwa segala menunjukkan bahwa kompensasi, restitusi
tindak pidana yang masuk dalam yurisdiksi dan rehabilitasi bisa diberikan kepada
pengadilan HAM akan selalu bisa dilakukan korban tetapi karena tidak ada pengajuan
penuntutan. Negara, dalam hal ini pihak tentang berapa kompensasi, restitusi dan
penyelidik dan penyidik tidak dapat rehabilitasi yang diminta oleh korban,
menyatakan bahwa suatu tindak pidana dalam amar putusan hanya dijelaskan
yang masuk yurisdiksi pengadilan ham bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
gugur dan tidak dapat dituntut karena untuk korban dan dilaksanakan sesuai
melampaui jangka waktu yang ditentukan. ketentuan perundang-undang yang
Sampai kapanpun, sepanjang dapat berlaku. 53 Keputusan ini adalah keputusan
diperoleh bukti-bukti kuat, penuntutan pertama kali tentang kompensasi, restitusi
terhadap terjadinya pelanggaran HAM yang dan rehabilitasi kepada korban pelanggaran
berat dapat dilakukan.
HAM.
Ketentuan mengenai tidak berlakunya asas daluwarsa
Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam
52 KUHAP tidak mengatur tentang adanya kompensasi dan rehabilitasi bagi korban. Rehabilitasi dalam KUHAP ditujukan kepada
seorang tersangka atau terdakwa yang dibebaskan. Sedangkan ketentuan KUHAP yang bisa digunakan adalah ketentuan mengenai restitusi karena korban juga berhak mendapatkan restitusi.
53 Lihat putusan pengadilan HAM ad hoc
atas nama Mayjend (Purn) R.A. Butar-butar yang divonis 10 tahun penjara dan ada putusan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban. Putusan dibacakan pada tanggal
26 Maret 2004.