Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Penga

Tahun 2007 Materi : Pengadilan HAM PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Zainal Abidin, S.H.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519 Website : www.elsam.or.id

Email : [email protected] : [email protected]

I. PENDAHULUAN

Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undang- undang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang- undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.

Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima

orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc.

Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka.

UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.

II. PENGADILAN HAM

1. Latar Belakang Pembentukan Pengadilan HAM

Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan

Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru

pelanggaran HAM berat di Timor-timur yang memerintah secara otoriter selama

selama pra dan pasca jajak pendapat belum lebih dari 30 tahun telah melakukan

ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini berbagai tindakan pelanggaran HAM

sorotan dunia internasional terhadap karena perilaku negara dan aparatnya. 1 Indonesia sehubungan dengan maraknya

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pelanggaran HAM yang terjadi kian (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya

menguat terlebih sorotan atas menyatakan bahwa pemerintah perlu

pertanggungjawaban pelanggaran HAM menuntaskan segala bentuk pelanggaran

yang terjadi di Timor-timur selama proses HAM yang pernah terjadi di tanah air

jajak pendapat.

sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter.

Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar

Selanjutnya, pasca orde baru pelanggaran dibentuk peradilan internasional HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa,

(internasional tribunal) bagi para pelakunya. konflik antar etnis yang banyak menelan

Desakan untuk adanya peradilan korban jiwa dan pembumihangusan di

internasional khususnya bagi pelanggaran Timor-timur pasca jejak pendapat HAM yang berat yang terjadi di Timor-

menambah panjang sejarah pelanggaran timur semakin menguat bahkan komisi HAM. Lembaga Studi dan Advokasi

Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data

telah mengeluarkan resolusi untuk pada triwulan pertama 1998 telah terjadi

mengungkapkan kemungkinan terjadinya 1.629 pelanggaran HAM yang fundamental

pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak

Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut dapat dikurangi di 12 propinsi yang

Indonesia secara tegas menolak dan akan menjadi sumber data. Hak-hak tersebut

menyelesaikan kasus pelanggaran HAM adalah hak atas hidup, hak bebas dari

dengan menggunakan ketentuan nasional penyiksaan, hak bebas dari penangkapan

karena konstitusi Indonesia memungkinkan sewenang-wenang, hak bebas dari

untuk menyelenggarakan peradilan hak pemusnahan seketika, dan hak bebas dari

asasi manusia. Atas penolakan tersebut, penghilangan paksa. 2 mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus melakukan proses peradilan atas

Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi terjadinya pelanggaran HAM di Timor- belum pernah terselesaikan secara tuntas

Timur .

sedangkan gejala pelanggaran kian Dorongan untuk adanya pembentukan peradilan internasional ini juga didasarkan

1 Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, atas ketidakpercayaan dunia internasional Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999,

pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat hlm.31.

antara keterkaitan antara pelaku kejahatan

2 Kompas, 15 April 1998. yang merupakan alat negara. Pelanggaran

HAM di Timor-timur mempunyai nuansa para pelaku pelanggaran HAM yang berat. khusus karena adanya penyalahgunaan

Disamping itu sesuai dengan prinsip kekuasaan dalam arti pelaku berbuat dalam

International Criminal Court, khususnya konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh

prinsip universal yang tidak mungkin kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit

memperlakukan pelanggaran HAM berat untuk diadakan pengadilan bagi pelaku

sebagai ordinary crimes dan adanya kejahatan secara fair dan tidak memihak.

kualifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan

Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya didayagunakannya pengadilan HAM yang sistem peradilan pidana di negara hukum

bersifat khusus, yang mengandung pula Indonesia ini, belum mampu memberikan

acara pidana yang bersifat khusus. 4 keadilan yang subtansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal/legalistik

Pengertian tentang perlunya peradilan yang seringkali dijadikan alasan. Peradilan

secara khusus dengan aturan yang bersifat seringkali memberikan toleransi terhadap

khusus pula inilah yang menjadi landasan kejahatan-kejahatan tertentu, dengan

pemikiran untuk adanya pengadilan khusus konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya

yang dikenal dengan pengadilan HAM. harus dibebaskan. Termasuk terhadap

Alasan yuridis lainnya yang bisa menjadi kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini. 3 landasan berdirinya pengadilan nasional adalah bahwa pengadilan nasional

Ketentuan dalam Kitab Undang-undang merupakan “the primary forum” untuk Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan

mengadili para pelanggar HAM berat. 5 dengan pelanggaran HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes ) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statuta Roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extra-ordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum.

Dengan perumusan yang berbeda ini tidak 4 Muladi, Pengadilan Pidana bagi

mungkin menyamakan perlakukan dalam Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi , 2000, menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP

Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm. 54. tidak dapat untuk menjerat secara efektif

5 Muladi, Mekanisme Domestik untuk

Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem

3 Krist L. Kleden, Peradilan Pidana Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000, Sebagai Pendidikan Hukum , Komnas, 11 September

Makalah dalam Diskusi Panel 4 bulan 2000.

Pengadilan Tanjung Priok, Elsam, 20 Januari 2004.

2. Landasan Yuridis Terbentuknya Undang-undang Pengadilan HAM

Kepentingan untuk mengadakan proses • Kurang mencerminkan rasa peradilan untuk kejahatan yang termasuk

keadilan karena ketentuan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan melalui

perpu tersebut tidak berlaku surut mekanisme nasional mengharuskan

(retroaktif), sehingga pelanggaran dipenuhinya instrumen hukum nasional

HAM yang berat yang dilakukan yang memadai sesuai dengan prinsip-

sebelum Perpu ini disahkan menjadi prinsip dalam hukum internasional.

undang-undang tidak tercakup Meskipun mekanisme/sistem hukum

pengaturannya.

nasional yang akan dipilih untuk • Masih terdapat ketentuan yang menegakkan pertanggungjawaban

dinilai menyimpang dari ketentuan pelanggaran HAM yang terjadi tetapi

yang diatur dalam konvensi tentang penting untuk memenuhi syarat adanya

pencegahan dan penghukuman pengadilan nasional yang efektif.

kejahatan genosida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas

Berdasarkan kondisi tentang perlunya hukum yang berlaku. instrumen hukum untuk berdirinya sebuah

• Masih menggunakan standar pengadilan HAM secara cepat maka

konvensional, yakni dengan pemerintah menerbitkan Perpu No. 1 Tahun

mendasarkan pada KUHP yang 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini

hanya membatasi tuntutan pada telah menjadi landasan yuridis untuk

personal sehingga tidak mampu adanya penyelidikan kasus pelanggaran

menjangkau tuntutan secara HAM berat di Timor-timur oleh Komnas

lembaga.

HAM. • Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk

Karena berbagai alasan Perpu No. 1 Tahun berbenturan atau overlapping 1999 ini yang kemudian ditolak oleh DPR

dengan hukum positif. untuk menjadi undang-undang. Alasan

mengenai ditolaknya Perpu tersebut adalah Setelah adanya penolakan Perpu tersebut sebagai berikut :

diatas oleh DPR maka pemerintah mengajukan rancangan undang-undang

1. Secara konstitusional pembentukan tentang Pengadilan HAM. Dalam perpu tentang pengadilan HAM dengan

penjelasannya, pengajuan RUU tentang mendasarkan pada Pasal 22 ayat 1

Pengadilan HAM adalah : Pertama, Undang-undang Dasar 1945 yang

merupakan perwujudan tanggung jawab berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan

bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota yang memaksa ”, yang dijadikan dasar

PBB. Dengan demikian merupakan salah untuk mengkualifikasikan adanya

satu misi yang mengembangkan tanggung kegentingan yang memaksa dianggap

jawab moral dan hukum dalam menjunjung tidak tepat.

tinggi dan melaksanakan deklarasi HAM

2. Subtansi yang diatur dalam Perpu yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa- tentang Pengadilan HAM masih

bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai terdapat kekurangan atau kelemahan

instrumen hukum lainnya yang mengatur antara lain, sebagai berikut :

mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua, mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara Indonesia. Kedua,

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang- undang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undang-

undang Nomor 26 Tahun 2000. 6

6 UU No. 26 Tahun 2000 ini disyahkan pada tanggal 6 November 2000.

3. Pengaturan tentang Pengadilan HAM : UU No. 26 Tahun 2000

Konsideran dari UU No. 26 Tahun 2000 ini rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran menyatakan bahwa untuk ikut serta

HAM yang berat. 7

memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia

Pembentukan pengadilan HAM yang serta memberi perlindungan, kepastian,

mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan keadilan, dan perasaan aman kepada

dan kejahatan genosida ini dianggap tidak perorangan ataupun masyarakat, perlu

tepat dan banyak dikritik sebagai segera dibentuk suatu Pengadilan Hak

pengaturan yang kurang tepat. Kesalahan Asasi Manusia untuk menyelesaikan

ini yang terutama adalah memasukkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat

kejahatan terhadap kemanusiaan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1)

kejahatan genosida dalam istilah pengadilan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

HAM. Pelanggaran HAM yang berat tentang Hak Asasi Manusia.

dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari

Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi hukum pidana karena merupakan bagian Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran

dari international crimes sehingga yang hak asasi manusia yang berat telah

digunakan adalah seharusnya terminologi diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan

“peradilan pidana.” Secara yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

seharusnya pengklasifikasian kejahatan undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang

terhadap kemanusiaan dan kejahatan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai

genosida diintegrasikan ke dalam kitab tidak memadai, sehingga tidak disetujui

undang-undang hukum pidana melalui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik

amandemen. Dengan memasukkan jenis Indonesia menjadi undang-undang, dan

kejahatan ini kedalam kitab undang-undang oleh karena itu Peraturan Pemerintah

hukum pidana maka tidak akan melampaui Pengganti Undang-undang tersebut perlu

asas legalitas. Sedangkan pelanggaran HAM dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas

yang dilakukan sebelum adanya maka Pengadilan HAM perlu dibentuk.

amandemen tersebut seharusnya dibentuk mahkamah peradilan pidana ad hoc untuk

Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang kasus tertentu. Pandangan ini sejalan pengadilan ini memberikan 3 mekanisme

dengan pemahaman bahwa pelanggaran untuk penyelesaian kasus-kasus HAM yang berat termasuk kejahatan pelanggaran HAM yang berat. Pertama

terhadap kemanusiaan dan kejahatan adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc

genosida secara yuridis seharusnya untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum

mengalami transformasi menjadi tindak adanya undang-undang ini, artinya untuk

pidana dan peradilan yang berwenang kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun

adalah peradilan pidana.

2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM

ad hoc . Kedua adalah pengadilan HAM yang Dari argumen tentang “ketidaktepatan” ini sifatnya permanen terhadap kasus setelah

menjadikan ada 2 lembaga yang terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan

mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa yang ketika adalah dibukanya jalan

dan mengadili perkara pidana yaitu mekanisme komisi kebenaran dan

peradilan pidana perkara pidana biasa dan pengadilan HAM untuk mengadili

7 Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000.

kejahatan yang tergolong pelanggaran pengadopsian dari norma-norma hukum HAM yang berat menurut UU No. 26 Tahun

internasional terutama norma-norma dalam 2000. Atas “ketidaktepatan” ini maka UU

Rome Statute of International Criminal Court . No. 26 Tahun 2000 dianggap sebagai

Kelemahan-kelemahan ini karena proses undang-undang yang sifatnya transisional

pengadopsian dari instrumen internasional sehingga untuk masa yang akan datang

yang tidak lengkap dan mengalami banyak harus dirubah dan diintegrasikan ke dalam

kesalahan. Pengadopsian atas konsep ketentuan pidana atau masuk peradilan

kejahatan terhadap kemanusiaan dan pidana. Kritik atas keadaan ini adalah

tentang delik tanggung jawab komando bahwa UU No. 26 Tahun 2000 dianggap

tidak memadai sehingga banyak sebagai upaya praktis dari pemerintah

menimbulkan interpretasi dalam untuk secara cepat mengakomodir dan

aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah menghentikan upaya-upaya ke arah

tidak ada hukum acara dan pembuktian peradilan internasional dan melupakan

secara khusus dan masih banyak aspek-aspek yuridis.

menggunakan ketentuan yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan

Pidana (KUHAP).

HAM ini juga dianggap mempunyai banyak kelemahan yang mendasar dalam

Pengaturan tentang Pengadilan HAM sesuai pengaturannya. UU No. 26 Tahun 2000

dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah secara substansi banyak melakukan

sebagai berikut :

a. Kedudukan dan Tempat Kedudukan

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus Kedudukan dalam pengadilan HAM yang berada di lingkungan peradilan

mengikuti Pengadilan Umum atau umum. Kedudukannya di daerah

Pengadilan Negeri termasuk dukungan kabupaten atau daerah kota yang daerah

administrasinya. Hal ini membawa hukumnya meliputi daerah hukum

konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini Pengadilan Negeri yang bersangkutan,

akan sangat tergantung dengan dukungan sedangkan daerah khusus ibukota

dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan pengadilan HAM berkedudukan di setiap

administratif itu adalah :

wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini

1. Ruangan pengadilan yang juga berlaku pertama kali maka pengadilan

merupakan ruangan pengadilan untuk HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya,

kasus lainnya dan tidak ada ruangan Medan, dan Makassar. 8 yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa

8 Ketentuan mengenai pembagian jadwal persidangan akan sangat wilayah untuk adanya pengadilan HAM pertama

bergantung dengan jadwal persidangan kali ini ada Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000

dalam aturan peralihan Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000. Pada ayat 2 bahwa wilayah Jakarta

Kalimantan timur, Nusa Tenggara Barat, dan Pusat meliputi daerah khusus ibukota Jakarta,

Nusa Tenggara Timur. Makassar meliputi provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan,

provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Kalimantan Tengah. Surabaya meliputi Provinsi

Maluku Utara dan Irian Jaya. Medan meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa

provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,

Riau, Jambi dan Sumatera Barat.

kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh Pengadilan Negeri tempat Pengadilan HAM ini digelar.

2. Dukungan staf administrasi : staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.

3. Dukungan panitera yang juga diambilkan dari Pengadilan Negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.

4. Ruangan hakim : ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri, namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan

tersendiri. 9

9 Tentang dukungan adminsitratif ini didasarkan pada pengalaman pengadilan HAM

ad hoc kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur.

b. Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM

Kewenangan memeriksa dan mengadili

UU No. 26 Tahun 2000 memberikan Perkara pelanggaran HAM yang berat yang

larangan atau membatasi kewenangan berwenang memutus dan memeriksa adalah

untuk memeriksa dan memutus perkara pengadilan HAM. Kewenangan untuk

pelanggaran hak asasi manusia yang berat memutus dan memeriksa juga termasuk

yang dilakukan oleh seseorang yang menyelesaikan perkara yang menyengkut

berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun perkara tentang kompensasi, restitusi dan

pada saat kejahatan dilakukan. Disini rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM

diartikan bahwa seseorang yang berumur berat sesuai dengan peraturan perundang-

dibawah 18 tahun yang melakukan undangan yang berlaku. Kewenangan

pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan untuk memutus tentang kompensasi,

diputus dalam Pengadilan Negeri. restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan

Ketentuan tentang pembatasan perkecualian Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang

yurisdiksi terhadap mereka yang berumur menyatakan bahwa kompensasi, restitusi

dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar

dilakukan (exclusion of jurisdiction over person putusan pengadilan HAM.

under eighteen ) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.

Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara

Jenis kejahatan yang dapat diadili

pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah

Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai negara Republik Indonesia oleh warga

pelanggaran HAM berat yang dapat negara Indonesia. Dalam penjelasannya

diperiksa atau diputus dan merupakan ketentuan ini dimaksudkan untuk

yurisdiksi pengadilan HAM adalah : melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM yang berat

1. Kejahatan genosida yaitu setiap yang dilakukan di luar batas teritorial,

perbuatan yang dilakukan dengan dalam arti tetap dihukum sesuai dengan

maksud untuk menghancurkan atau undang-undang tentang pengadilan hak

memusnahkan seluruh atau sebagian asasi manusia. 10 kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

10 Ketentuan tentang asas ini sebetulnya a. Membunuh anggota kelompok; sudah diatur dalam Kitab undang-undang

b. Mengakibatkan penderitaan fisik hukum pidana (KUHP) yaitu Pasal 5 yang

atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok; perlu ditegaskan lagi mengingat bahwa

berasaskan nasional pasif. 10 Namun ketentuan ini

c. Menciptakan kondisi kehidupan pelanggaran HAM yang berat merupakan

kelompok yang akan kejahatan internasional yang merupakan musuh

mengakibatkan kemusnahan secara umat manusia yang mengenal yurisdiksi

fisik baik seluruh atau sebagian; internasional dan menjadi kewajiban setiap

negara untuk melakukan penghukuman terhadap kejahatan seperti ini. Penegasan tentang asas nasional aktif ini juga bertujuan untuk

indonesia dimanapun akan diadili menurut menyatakan bahwa setiap pelanggaran HAM

hukum Indonesia.

yang berat yang dilakukan oleh warga negara yang berat yang dilakukan oleh warga negara

tindakan pemaksaan yang lain dari di dalam kelompok atau;

daerah dimana mereka bertempat

e. memindahkan secara paksa anak- tinggal secara sah, tanpa disadari anak dari kelompok tertentu ke

alasan yang diijinkan oleh hukum kelompok lain.

internasional.

e. Perampasan kemerdekaan atau

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perampasan kebebasan fisik lain salah satu perbuatan yang dilakukan

secara sewenang-wenang yang sebagai bagian dari serangan yang

melanggar (asas-asas) ketentuan meluas atau sistematik yang

pokok hukum internasional. diketahuinya bahwa serangan itu

f. Penyiksaan, yaitu sengaja melawan ditujukan secara langsung kepada

hukum menimbulkan kesakitan penduduk sipil yang berupa :

atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, terhadap

a. Pembunuhan, dengan rumusan seorang tahanan atau seorang yang delik sebagaimana Pasal 340

berada di bawah pengawasan. KUHP. 11 g. Perkosaan, perbudakan seksual,

b. Pemusnahan, yaitu meliputi pelacuran secara paksa, pemaksaan perbuatan yang menimbulkan

kehamilan, pemandulan atau penderitaan yang dilakukan dengan

sterilisasi secara paksa atau bentuk- sengaja, antara lain berupa

bentuk kekerasan seksual lain yang perbuatan menghambat pemasokan

setara.

h. Penganiayaan terhadap suatu yang dapat menimbulkan

barang makanan dan obat-obatan

kelompok tertentu atau pemusnahan pada sebagian

perkumpulan yang didasari penduduk.

persamaan paHAM politik, ras,

c. Perbudakan, dalam ketentuan ini kebangsaan, etnis, budaya, agama, termasuk perdagangan manusia,

jenis kelamin atau alasan lain yang khususnya perdagangan wanita dan

telah diakui secara universal anak-anak.

sebagai hal yang dilarang menurut

d. Pengusiran dan pemindahan hukum internasional. penduduk secara paksa, yaitu i. Penghilangan orang secara paksa, pemindahan orang-orang secara

yaitu penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau

11 Pasal 340 KUHP menyatakan bahwa : persetujuan dari negara atau Barang siapa dengan sengaja dan dengan

kebijakan organisasi, diikuti oleh direncanakan terlebih dahulu menghilangkan

penolakan untuk mengakui nyawa orang lain, karena salah telah melakukan

pembunuhan dengan direncanakan terlebih perampasan kemerdekaan tersebut,

dahulu, dihukum dengan hukuman mati atau dengan maksud untuk melepaskan dengan hukuman penjara seumur hidup atau

dari perlindungan hukum dalam dengan hukuman penjara sementara selama-

jangka waktu yang panjang. lamanya 20 tahun. Ketentuan yang digunakan

j. Kejahatan apartheid, yaitu sebagai acuan adalah ketentuan deliknya dan

perbuatan tidak manusiawi dengan bukan termasuk ancaman hukumannya karena

sifat yang sama dengan sifat-sifat ancaman hukuman dalam kejahatan terhadap

yang disebutkan dalam Pasal 8 yang kemanusiaan dalan UU No. 26 Tahun 2000 dilakukan dalam konteks suatu

diatur tersendiri.

rezim kelembagaan berupa tentang kejahatan terhadap kemanusiaan penindasan dan dominasi oleh

yaitu :

suatu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok

1. Tidak ada kejelasan mengenai unsur ras lain dan dilakukan dengan

meluas (widespread), sistematik maksud untuk mempertahankan

(systematic) dan diketahui (intension), hal rezim itu.

ini akan berakibat adanya berbagai macam interpretasi atas pengertian di

Pengaturan tentang kejahatan genosida dan atas. Hal ini berbeda dengan ketentuan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU

dalam Statuta Roma yang menjelaskan No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya

secara tegas mengenai intension. 12 dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute of International Criminal

2. Penerjemahan directed against any Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai

civillian population menjadi ditujukan konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan

secara langsung kepada penduduk sipil, kejahatan terhadap kemanusiaan seperti

yang seharusnya ditujukan kepada yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26

populasi sipil. Kata “langsung” ini bisa Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal

berimplikasi pada seolah-olah hanya

6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk pelaku di lapangan saja yang dapat terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak

dikenakan pasal ini sedangkan pelaku pidananya (element of crimes).

diatasnya yang membuat kebijakan tidak tercakup dalam pasal ini. istilah

Definisi tentang kejahatan genosida dalam “penduduk” untuk menterjemahkan Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 secara umum

kata “population” telah menyempitkan tidak ada persoalan dalam artian sudah

subyek hukum dengan menggunakan sesuai dengan beberapa norma yang

batasan-batasan wilayah yang akan berkaitan dengan pengaturan genosida

menyempitkan target-target potensial dalam ketentuan hukum internasional.

korban kejahatan terhadap Ketentuan tersebut adalah Pasal 6 dari

kemanusiaan hanya kepada warga Statuta Roma tentang ICC dan Article II

negara dimana kejahatan tersebut Genocide Convention 1948 yang

berlangsung. 13

mendefinisikan genosida sebagai 5 (lima) perbuatan tertentu atau khusus yang

dilakukan dengan maksud untuk 12 Lihat Progress Report pemantauan memusnahkan (intent to destroy) suatu

pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 kelompok etnis, rasial atau agama.

Januari 2003.

Berbeda dengan pengertian tentang 13 Majelis hakim pada ICTY dan ICTR kejahatan genosida, definisi tentang

mengadopsi pengertian yang luas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap populasi sipil. Untuk melindungi mereka yang potensial menjadi korban kejahatan terhadap

banyak mengalami distorsi terutama dalam kemanusiaan, pengertian populasi sipil juga beberapa pengertian kunci tentang delik

diartikan sebagai siapa saja yang dalam batasan kejahatan ini. Dari proses adopsi tentang

waktu tertentu secara aktif terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dan

kejadian dimana ia berada dalam posisi kejahatan genosida dari Statuta Roma ke

mempertahankan diri dalam kondisi tertentu dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini terdapat

dapat dianggap sebagai korban kejahatan distorsi yang secara teoritis melemahkan

terhadap kemanusiaan. Lihat Progress Report konsep kejahatan tersebut terutama konsep

pemantauan Pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28 Januari 2003.

3. Penerjemahan istilah “prosecution” yang termasuk kejahatan terhadap menjadi

kemanusiaan ini akan melemahkan konsep mempunyai arti yang lebih luas

penganiayaan.

Prosecution

kejahatan terhadap kemanusiaan karena merujuk pada perlakuan diskriminatif

dapat ditafsirkan sendiri-sendiri. 16 yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik atau ekonomis. Dengan digunakan istilah penganiayaan ini maka tindakan teror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasarkan kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori

tersebut. 14

4. UU No. 26 Tahun 2000 tidak memasukkan tentang kejahatan yang termasuk rumusan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti dalam huruf k Pasal 7 Statuta Roma yaitu perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Alasan tidak dimasukkan rumusan ketentuan ini dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah adanya pengertian bahwa ketentuan ini tidak memberikan kepastian hukum

dan memiliki penafsiran yang luas. 15

Adanya distorsi karena proses pengadopsian dan penerjemahan yang tidak memadai ini menjadikan pengertian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan tidak sama atau berbeda rumusannya dengan dengan pengertian yang ada dalam hukum internasional dalam hal ini dengan ketentuan Statuta Roma sebagai dasar rujukannya. Disamping itu tidak adanya element of crimes secara jelas untuk

16 mendefinisikan bentuk-bentuk kejahatan Beberapa putusan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat

di Timor-timur menunjukkan bahwa

14 Lihat Progress Report pemantauan pembahasan tentang elemen-elemen dalam Pengadilan HAM ad hoc Elsam ke X. Tanggal 28

kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat Januari 2003.

perbedaan antara majelis hakim. Perbedaan tersebut terutama berkaitan dalam menguraikan

15 Lihat pandangan akhir fraksi-fraksi di elemen meluas atau sistematik yang antara DPR tentang pembentukan pengadilan HAM,

majelis hakim berbeda karena perbedaan Jakarta, 2000.

referensi atau acuan dalam mendefinisikan unsur-unsur tersebut.

c. Hukum Acara Pengadilan HAM

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 Penangkapan

menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang

Kewenangan untuk melakukan berdasarkan hukum acara pidana kecuali

penangkapan di tingkat penyidikan dalam ditentukan lain dalam undang-undang ini.

pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung Hal ini berarti hukum acara yang akan

terhadap seseorang yang diduga keras digunakan untuk proses pemeriksaan di

melakukan pelanggaran HAM berat pengadilan menggunakan hukum acara

berdasarkan bukti permulaan yang cukup 17 . dengan mekanisme sesuai dengan Kitab

Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan Undang-undang Hukum Acara Pidana

dilakukan oleh penyidik dengan (KUHAP).

memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur yang mencantumkan identitas tersangka Kekhususan pengadilan HAM di luar

dengan menyebutkan alasan penangkapan, ketentuan KUHAP untuk pelanggaran

tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian HAM yang berat. Kekhususan dalam

singkat perkara pelanggaran HAM yang penanganan pelanggaran HAM yang berat

berat yang dipersangkakan. Keluarga harus dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :

mendapatkan tembusan untuk adanya penangkapan tersebut segera setelah

1. Diperlukan penyelidik dengan penangkapan dilakukan. membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.

Pelaku pelanggaran HAM berat yang

2. Diperlukan penegasan bahwa tertangkap tangan, penangkapannya

penyelidik hanya dilakukan oleh komisi dilakukan tanpa surat perintah tetapi nasional hak asasi manusia sedangkan

dengan segera bahwa orang yang penyidik tidak berwenang menerima

menangkap harus segera menyerahkannya laporan atau pengaduan sebagaimana

kepada penyidik. Lama penangkapan diatur dalam KUHAP.

paling lama 1 hari dan masa penangkapan

3. Diperlukan ketentuan mengenai ini dapat dikurangkan dari pidana yang tenggang waktu tertentu untuk

dijatuhkan.

melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

Ketentuan khusus mengenai penangkapan

4. Diperlukan ketentuan mengenai ini jika dikomparasikan dengan KUHAP perlindungan korban dan saksi.

tidak jauh berbeda. Yang membedakan

5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak adalah yang melakukan/pelaksanaan tugas ada kadaluarsa pelanggaran HAM yang

penangkapan adalah Jaksa Agung berat.

sedangkan dalam KUHAP yang melakukan

Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasa demi pasal dalam UU No. 26/2000

17 Penjelasan tentang bukti permulaan yang merupakan pengecualian dari

yang cukup adalah bukti permulaan untuk pengaturan dalam KUHAP yaitu :

menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut

diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat.

penangkapan adalah petugas kepolisian pengadilan HAM yang bersangkutan. Republik Indonesia. 18 Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang

Penahanan

20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua Selama proses penyidikan dan penuntutan,

pengadilan sesuai dengan daerah penahanan atau penahan lanjutan dapat

hukumnya.

dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang

Ketentuan mengenai lamanya penahanan pengadilan yang berwenang melakukan

ini tidak disertai dengan konsekuensi penahanan adalah hakim dengan

mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan mengeluarkan penetapan. Perintah

dari tahanan jika selama waktu penahanan penahanan ini harus didasarkan pada

itu proses penyidikan dan penuntutan alasan-alasan yang disyaratkan yaitu

belum dapat diselesaikan. KUHAP adanya dugaan keras melakukan

disamping mengatur tentang lamanya pelanggaran HAM berat dengan bukti yang

panahanan juga mengatur tentang hak cukup, adanya kekhawatiran tersangka atau

tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan terdakwa akan melarikan diri, merusak atau

jika tidak telah selesai masa penahanannya menghilangkan barang bukti, atau

tetapi proses penyidikan dan penuntutan mengulangi pelanggaran HAM berat.

belum selesai. 20

Alasan penahanan ini adalah alasan yang berdasarkan atas alasan subyektif dari

Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan penyidik atau majelis hakim atas kondisi

disidang pengadilan dapat dilakukan yang disyaratkan tersebut, artinya

selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh pertimbangan atas adanya bukti yang

ketua pengadilan HAM selama 30 hari. cukup, kekhawatiran akan menghilangkan

Dalam pemeriksaan tingkat banding di barang bukti atau akan melakukan

pengadilan tinggi dapat dilakukan paling pelanggaran HAM yang berat adalah alasan

lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling atas penilaian dari pihak yang berwenang

lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi. untuk melakukan penyidikan atau hakim

Sedangkan untuk tingkat kasasi di yang memeriksa terdakwa. Hal ini berbeda

Mahkamah Agung penahanan dapat dengan ketentuan dalam KUHAP yang juga

dilakukan selama 60 hari dan dapat mensyaratkan adanya unsur obyektif untuk

diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA. dapat dilakukan penahanan kepada

tersangka maupun terdakwa. 19 20 Lihat Pasal 24 dan 25 KUHAP. Pasal

24 menyatakan bahwa lama penahanan untuk Jangka waktu penahanan untuk penyidikan

proses penyidikan adalah paling lama 20 hari dapat dilakukan paling lama 90 hari dan

dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari, jika dapat diperpanjang selama 90 hari oleh

dalam waktu 60 hari sudah terpenuhi penyidik ketua pengadilan HAM dan jika waktu

harus sudah mengeluarkan tersangka dari penahanan telah selesai tapi penyidikan tahanan demi hukum.

belum dapat diselesaikan makan dapat Pasal 25 menyatakan bahwa lama penahanan 20 diperpanjang selama 60 hari oleh ketua

hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari, jika dalam wakti 50 hari telah terpenuhi maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi

18 Lihat Pasal 18 KUHAP. hukum. Kedua pasal diatas juga menyatakan bahwa tersangka dapat dilepaskan dari tahanan

19 Lihat Pasal 21 KUHAP tentang alasan jika pemeriksaan sudah selesai meskipun waktu dapat ditahannya tersangka maupun terdakwa.

penahanan belum berakhir.

Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya. Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun

belum diputus. 21

21 Lihat Pasal 29 KUHAP.

Penahanan berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000

No Proses

Perpanjangan Total

Jaksa Agung

2 Penuntutan

Jaksa Agung

Pengadilan (Negeri)

Pengadilan HAM

4 Tingkat Banding

Pengadilan tinggi

5 Tingkat Kasasi

Hakim HAM

Tingkat Kasasi

Penyelidikan

yang berbeda dengan pengaturan dalam KUHAP inilah yang dianggap sebagai

Huruf 5 ketentuan umum UU No. 26 Tahun kekhususan mengenai penyelidikan dalam 2000 menyatakan bahwa penyelidikan

kasus pelanggaran HAM yang berat. 23 diartikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

Penyelidikan untuk pelanggaran HAM yang ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga

berat merupakan kewenangan dari Komnas merupakan pelanggaran hak asasi manusia

HAM dan penyelidikan yang dilakukan yang berat guna ditindaklanjuti dengan

oleh Komnas HAM ini merupakan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang

penyelidikan yang sifatnya pro justitia. 24 diatur dalam Undang-undang ini. 22 Kewenangan penyelidikan ini dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur secara penyelidikan karena lembaga Komnas berbeda dengan KUHAP tentang siapa yang

HAM adalah lembaga yang bersifat berhak melakukan penyelidikan. Dalam

independen baik dari segi institusi maupun penjelasan umumnya undang-undang ini

anggotanya. Secara kelembagaan Komnas menegaskan bahwa diperlukan langkah-

HAM dianggap tidak memiliki kepantingan langkah yang bersifat khusus, diantaranya

kecuali terhadap perlindungan dan penyelidikan yang bersifat khusus, dimana

penegakan HAM di Indonesia sedangkan diperlukan penyelidik dengan membentuk

anggota Komnas HAM dianggap juga tim ad hoc. Penyelidikan hanya dilakukan

memiliki integrasi yang tinggi dan oleh Komnas HAM sedangkan penyidik

kemampuan teknis untuk melakukan tidak berwenang menerima laporan atau

penyelidikan. Dalam melakukan pengaduan. Kewenangan penyelidikan

penyelidikan Komnas HAM membentuk

22 Bandingkan dengan definisi penyelidikan seperti ketentuan dalam KUHAP.

23 Dalam KUHAP penyelidik adalah Penyelidikan adalah serangkaian tindakan

pejabat polisi negara Republik Indonesia yang penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu

diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

melakukan penyelidikan.

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

24 Penjelasan Pasal 19 UU No. 26 Tahun undang-undang ini.

tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan unsur masyarakat. 25 dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu, dan 4)

Komnas HAM mempunyai kewenangan mendatangkan ahli dalam hubungan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam

dengan penyelidikan.

rangka melaksanakan penyelidikan yaitu memeriksa peristiwa yang berdasarkan sifat

Komnas HAM dalam melakukan atau lingkupnya patut diduga terdapat

penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM berat, menerima

pelanggaran HAM yang berat maka harus laporan 26 atau pengaduan dari seseorang

memberitahukan aktivitas ini kepada atau kelompok orang tentang terjadinya

penyidik. Setelah penyelidik menyimpulkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,

bahwa telah ada bukti permulaan yang serta mencari keterangan dan barang bukti,

cukup maka atas adanya pelanggaran HAM memanggil pihak pengadu, korban atau

yang berat maka hasil kesimpulan pihak yang diadukan untuk diminta dan

diserahkan ke penyidik. Paling lambat 7 didengar keterangannya, memanggil saksi

hari kerja diserahkan selanjutnya Komnas untuk didengar kesaksiannya, meninjau dan

HAM menyerahkan seluruh hasil mengumpulkan keterangan ditempat

penyelidikan. Jika penyidik menganggap kejadian dan tempat lainnya yang dianggap

bahwa penyelidikan kurang lengkap 29 perlu, memanggil pihak terkait untuk

maka penyidik mengembalikan hasil memberikan keterangan secara tertulis atau

penyelidikan disertai petunjuk untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan

dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sesuai dengan aslinya. Disamping tindakan-

penyelidik wajib melengkapi.

tindakan di atas, atas perintah penyidik 27

dapat melakukan tindakan berupa : 1) Disamping mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyelidikan dalam kasus penyitaan, 3) pemeriksaan setempat

pemeriksaan surat, 2) penggeledahan 28 dan

pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan untuk

25 Unsur masyarakat disini adalah tokoh meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan dan anggota masyarakat yang profesional,

berdedikasi, berintegrasi tinggi, dan menghayati penyidikan dan penuntutan perkara

bidang hak asasi manusia. pelanggaran HAM yang berat. 30

26 Arti “menerima” adalah menerima,

Penyidikan

mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tentang terjadinya pelanggaran HAM

Definisi tentang penyidikan tidak diatur yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang

dalam UU No. 26 Tahun 2000. 31 Pihak yang bukti.

27 Penjelasan mengenai perintah

penyidik adalah perintah tertulis yang 29 Arti dari “kurang lengkap” adalah dikeluarkan penyidik atas permintaan penyelidik

belum cukup memenuhi unsur pelanggaran dan penyidik segera mengeluarkan surat

HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap perintah setelah menerima permintaan dari

penyidikan.

penyidik. 30 Lihat Pasal 25 UU No. 26 Tahun 2000. 28 Penggeledehan dalam ketentuan ini meliputi penggeledahan badan atau rumah. Hal

31 Definisi penyidikan dapat dilihat ini sama dengan ketentuan Pasal 32 KUHAP.

dalam huruf 2 ketentuan umum KUHAP yang menjelaskan bahwa penyidikan adalah dalam huruf 2 ketentuan umum KUHAP yang menjelaskan bahwa penyidikan adalah

mengajukan pra peradilan bagi korban dan Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk

keluarganya atas penghentian penyidikan untuk menerima pengaduan dan laporan

oleh Jaksa Agung kepada ketua pengadilan karena pengaduan dan laporan tersebut

HAM sesuai dengan peraturan perundang- merupakan kewenangan Komnas HAM.

undangan yang berlaku dalam hal ini sesuai Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung

dengan KUHAP.

dapat 32 mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat 33 dan pemerintah.

Penuntutan

Penyidikan yang dilakukan wajib UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung

ketentuan penuntutan dalam Pasal 23 dan sejak tanggal hasil penyelidikan diterima

24. Pasal 23 menyatakan penuntutan dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.

mengenai pelanggaran HAM yang berat Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90

dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam hari berikutnya jika selama 90 hari pertama

melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat penyidikan belum dapat diselesaikan.

mengangkat jaksa penuntut umum ad hoc. 34 Perpanjangan yang kedua selama 60 hari,

Untuk dapat diangkat menjadi penuntut baik perpanjangan yang pertama maupun

umum ad hoc harus memenuhi syarat kedua dilakukan oleh ketua pengadilan

tertentu. 35

HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.

Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung

Jaksa Agung wajib mengeluarkan Surat sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika

Ketentuan mengenai jangka waktu ini dalam waktu yang telah ditentukan tidak

berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP diperoleh bukti yang cukup. Adanya SP3

dimana tidak diatur mengenai adanya ini, penyidikan atas kasus dapat dibuka

jangka waktu penuntutan. kembali dan dilanjutkan jika terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil

Pengalaman berberapa pengadilan HAM penyidikan. Atas penghentian penyidikan

diantaranya pengadilan Ham ad hoc Timor- ini, jika tidak dapat diterima oleh korban

timur maupun pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok menunjukkan bahwa proses

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

34 Dalam penjelasannya penuntut umum dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

ad hoc dari unsur masyarakat diutamakan pidana yang terjadi dan guna menemukan

diambil dari mantan penuntut umum di tersangkanya.

peradilan umum atau oditur di peradilan militer.

32 Penjelasan mengenai kata “dapat” 35 Pasal 23 ayat 4 mengatur tentang adalah bahwa dimaksudkan agar Jaksa Agung

syarat untuk menjadi penuntut umum ad hoc dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan

yaitu warga negara Republik Indonesia, berumur sesuai dengan kebutuhan.

sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun, berpendidikan sarjana hukum dan 33 Penjelasan tentang unsur masyarakat

berpengalaman sebagai penuntut umum, sehat adalah dari organisasi politik, organisasi

jasmani dan rohani, berwibawa, jujur, adil, dan kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,

berkelakuan tidak tercela, setia kepada Pancasila atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti

dan UUD 1945 dan memiliki pengetahuan dan perguruan tinggi.

kepedulian di bidang hak asasi manusia.

penyidikan dan penuntutan dalam beberapa mengingat bahwa dalam hukum acara kasus tersebut mengalami keterlambatan

pidana menyatakan bahwa peninjuan dan tidak sesuai dengan ketentuan limitasi

kembali atas suatu perkara pidana juga waktu sesuai dengan UU No. 26 Tahun

dimungkinkan dan itu merupakan hak 2000. Jaksa ad hoc dalam menyikapi

terdakwa atau ahli warisnya tetapi keterlambatan ini mengajukan surat kepada

dalam ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 pengadilan untuk persetujuan atas

ini tidak diatur tentang hakim ad hoc perpanjangan proses penyelidikan dan

untuk pemeriksaan upaya hukum luar penuntutan. Pembatasan atau limitasi

biasa dengan cara peninjauan kembali. waktu dalam proses penyelidikan dan

Ketentuan mengenai hakim yang akan penuntutan ini berdasarkan pengalaman

mengadili di tingkat peninjauan pengadilan HAM ad hoc yang telah terjadi

kembali ini tidak diatur dalam UU No. menjadi alasan penasehat hukum terdakwa

26 Tahun 2000 ini. 37

dalam eksepsinya untuk menyatakan bahwa proses penyidikan dan penuntutan

Pengertian hakim ad hoc adalah hakim melampaui ketentuan UU No. 26 Tahun

yang diangkat di luar hakim karir yang 2000. 36 memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi,

Pemeriksaan di sidang pengadilan

menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan

1. Komposisi hakim dan hakim ad hoc

keadilan, memahami dan menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 manusia.

menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis

Jumlah hakim ad hoc di pengadilan hakim yang jumlahnya 5 orang yang

HAM yang harus diangkat adalah terdiri dari 2 orang hakim pengadilan

sekurang-kurangnya 12 orang dan masa HAM yang bersangkutan dan 3 orang

jabatannya adalah 5 tahun yang dapat hakim HAM ad hoc. Majelis hakim

diangkat untuk 1 kali masa jabatan lagi. tersebut diketuai oleh hakim dari

Hakim ad hoc ini diangkat dan pengadilan HAM yang bersangkutan.

diberhentikan oleh presiden selaku Pada tingkat banding majelis hakimnya

Kepala Negara atas usul Ketua berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2

Mahkamah Agung. Ketentuan ini sama orang hakim dari pengadilan setempat

untuk hakim ad hoc pada pengadilan dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian

tinggi, sedangkan untuk hakim ad hoc juga komposisi mengenai majelis hakim

tingkat kasasi di Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.

diangkat oleh Presiden selaku kepala negara atas usulan Dewan Perwakilan

Dari ketentuan diatas, pengaturan Rakyat RI dan lama jabatan hanya satu tentang hakim ad hoc hanya sampai