Asas Retroaktif

2. Asas Retroaktif

Ketentuan yang sangat erat hubungannya Tahun 2000 ini unsur-unsurnya adalah dengan adanya pengadilan HAM ad hoc

adanya unsur sistematik atau meluas dan adalah ketentutan mengenai berlakunya

adanya kebijakan. Delik kejahatan terhadap asas retroaktif atau asas berlaku surut. kemanusiaan dengan rumusan yang seperti

Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam inilah yang dianggap sebagai delik baru Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang

dalam hukum pidana sehingga kalau delik berlaku untuk locus dan tempus delicti

ini akan diberlakukan kepada para pelaku tertentu mengacu pada bentuk pengadilan

kejahatan terhadap kemanusiaan sebelum internasional ad hoc, yang antara lain

diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 memungkinkan berlakunya prinsip

maka akan berlaku prinsip retroaktif. retroaktivitas. Prinsip retroaktif ini menjadi ketentuan yang paling banyak

Kontroversi mengenai adanya prinsip diperdebatkan karena dianggap retroaktif ini karena dalam hukum pidana bertentangan dengan asas legalitas dalam

asas kardinal yang dipegang teguh adalah hukum pidana.

asas legalitas dimana tidak ada penghukuman tanpa adanya pemidanaan

terlebih dahulu. 57 Diluar ketentuan KUHP, larangan untuk pemberlakuan pengaturan Asas berlaku surut ini menjadi sebuah asas

a. Dasar pengaturan

yang berlaku surat juga terdapat dalam yang paling kontroversial dalam aturan Pasal 28 I undang-undang 1945. Dalam

mengenai pengadilan HAM ad hoc ini. Pasal konvensi internasional untuk hak sipil dan

43 ayat 1 yang menyatakan bahwa politik juga dilarang digunakannya pelanggaran HAM yang berat yang yang

peraturan yang bersifat surut. terjadi sebelum diundangkannya undang-

undang ini diperiksa dan diputus oleh Dalam UU No. 26 Tahun 2000 disinggung pengadilan HAM ad hoc. Dalam pengaturan

mengenai dasar yuridis digunakannya mengenai kasus-kasus masa lalu sebelum

prinsip retroaktif ini. Landasan yang diundangkannya undang-undang ini tidak

digunakan adalah Pasal 28 huruf j ayat (2) memberikan batasan secara limitatif sampai

yang berbunyi bahwa dalam menjalankan tahun berapa kasus-kasus masa lalu dapat

hak dan kebebasannya setiap orang wajib diperiksa.

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

Seperti diketahui bahwa kejahatan terhadap maksud semata-mata untuk menjamin kemanusiaan dan kejahatan genosida

pengakuan serta penghormatan atas hak sebelumnya memang belum dijadikan delik

dan kebebasan orang lain dan untuk tersendiri dalam hukum pidana kita. Dalam

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan kitab undang-undang hukum pidana

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, (KUHP) yang ada adalah kejahatan yang

keamanan, ketertiban umum dalam suatu berupa pembunuhan (murder), perampasan

masyarakat demokratis. Dengan ungkapan kemerdekaan

lain bahwa asas retroaktif dapat penyiksaan/penganiayaan (torture), dan

(imprisonment ),

diberlakukan dalam rangka melindungi hak perkosaan (rape) yang sifatnya biasa.

asasi manusia itu sendiri. 58 Bentuk-bentuk kejahatan diatas menjadi

elemen spesifik untuk adanya kejahatan 57 Lihat Pasal 1 ayat 1 KUHP.

terhadap kemanusiaan yang membutuhkan 58 Landasan dapat diterapkannya asas elemen umum yang dalam UU No. 26

retroaktif karena sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2) retroaktif karena sesuai dengan Pasal 28 J ayat (2)

Landasan legitimasi untuk dapat digunakannya asas retroaktif adalah bahwa asas legalitas (nullum crimen sine lege) mempunyai landasan fundamen moral yaitu hendak melindungi rakyat dari kezaliman penguasa. Salah satu bentuk kezaliman itu adalah penguasa secara sadar tidak pernah mau membuat perundang- undangan yang bisa mengadili dirinya sendiri. Dalam konteks Indonesia, telah begitu banyak korban kejahatan yang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan kekuasaan selama puluhan tahun. Tidak ada ketentuan yang melindungi martabat kemanusiaan rakyat dan tidak ada kasus yang bisa dibawa keperadilan. Itulah sebabnya penerapan prinsip legalitas perlu dipertanyakan landasan moralitasnya, siapa yang perlu dilindungi, rakyat yang terus menerus menjadi korban atau penguasa yang diduga melakukan kejahatan.

Asas nullum delictum ini tidak harus berlaku secara mutlak seperti dikemukakan oleh penganut utilitarianisme. Dengan adanya asas ini pada hakekatnya banyak kejahatan yang perbuatannya patut dipidana tapi tidak dapat dipidana. Pendapat Utrech yang menyatakan bahwa asas nullum delictum lebih berperspektif melindungi individu ketimbang melindungi kepantingan kolektif dan juga asas legalitas dianggap terlalu

dipandang tidak sepenuhnya tepat karena perkecualian yang nampaknya didasarkan pada Pasal 29 Piagam HAM PBB hanya berlaku untuk “derogable rights” dimana hak untuk tidak diadili dengan peraturan yang berlaku surut adalan “non derogable rights”. Lihat Muladi, Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun 2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 Bulan Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, Jakarta, 20 Januari 2004.

berpihak pada kepentingan positivistik saja. 59

Dalam ketentuan Undang-undang No. 14 tahun 1970 Pasal 27 membuka peluang adanya rechtsvinding dengan menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam masyarakat internasional sejak 52 tahun yang lalu terdapat peradilan Nurenberg dan Tokyo yang menggunakan prinsip retroaktif untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan rechtsvinding ini indonesia bisa merujuk nilai-nilai hukum masyarakat internasional, dalam hal ini terdapat landasan untuk menerapkan

prinsip retroaktif. 60

Dalam praktek peradilan internasional, pada awalnya peradilan terhadap para pelaku kajahatan internasional (pelanggaran HAM yang berat) ditempuh oleh masyarakat internasional dengan membentuk ad hoc extra judicial tribunal. Telah menjadi kesepakatan universal bahwa sejak berakhirnya perang dunia ke II kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan harus diperangi dan diadili. Para pelakunya sedapat mungkin diadili, dan jika terbukti bersalah harus dihukum, untuk menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini sama sekali tidak bisa ditolerir dan harus dicegah dari kemungkinan berulang dimasa yang akan datang. Pikiran inilah yang mendasari dan menjadi alasan dari pembentukan ad hoc extra judicial tribunal. Peradilan ini bersifat extra legal atau extra judicial , karena dibentuk dengan sangat terpaksa untuk mensiasati kekosongan norma-norma internasional dan adanya pertentangan antara norma internasional

59 Bambang Wijoyanto, Problem RUU Pengadilan HAM , Kompas, 2 Maret 2000.

60 Ibid.

dan norma nasional. Peradilan yang dibentuk adalah peradilan untuk kasus Nurenberg dan Tokyo.

Dalam kasus Nurenberg Tribunal menerapkan dan mempraktekkan sifat extra legal dengan menerapkan definisi yang sangat longgar terhadap prinsip legalitas dan melanggarnya. Para penjahat perang yang dihadapkan ke peradilan tersebut telah diadili dengan norma-norma yang dibuat untuk kepentingan pengadilan itu sendiri. Dalam hal ini berarti, norma-norma itu dibuat untuk melarang, dan kemudian mengadili dan menghukum, terhadap perbuatan-perbuatan yang sudah terjadi, yang sebelumnya tidak dilarang (ex post facto law ). Dari sini pertama kalinya dilakukan penyimpangan terhadap asas legalitas dengan menerapkan prinsip

retroaktif. 61

Penyimpangan terhadap asas legalitas ini bukannnya tanpa disadari oleh para pembentuknya tetapi adanya kesadaran bahwa pelanggaran terhadap asas legalitas ini dipilih secara sadar karena suatu keadaan yang tidak terelakkan, dan adanya komitmen yang sungguh untuk membatasi akibatnya, komitmen untuk membatasi dampak dari pelanggaran asas legalitas ini memberikan sifat ad hoc bagi peradilan tersebut. Sifat ad hoc ini mempunyai pengertian bahwa harus berakhir ketika kasus yang ditanganinya selesai dan tidak dapat digunakan untuk mengadili kasus- kasus lainnya. Jadi sifat ad hoc ini berfungsi untuk limiting the damage yang bisa diakibatkan oleh sifat extra judicial dari peradilan tersebut.

61 PBHI, Pengadilan Permanen dan Prinsip Non Retroactivity , Catatan Ke Arah Amandemen KUHP Nasional.

Setelah peradilan Nurenbeg, tidak ada ad hoc tribunals yang bisa dikatakan melanggar asas legalitas. Peradilan untuk eks Yugoslavia melalui ICTY dan untuk Rwanda melalui ICTR dianggap tidak melanggar asas legalitas karena semata- mata belum adanya suatu pengadilan kejahatan internasional yang bersifat permanen sedangkan norma-norma kejahatan tersebut sudah tersedia sejak adanya peradilan Nurenberg dan Tokyo. Sifat ad hoc untuk kedua peradilan baik Yugoslavia maupun rwanda tidak mengatur ketentuan yang belum diatur dan diterapkan hukumnya (ex post facto law) bagi pelaku kejahatan tetapi karena badan peradilan yang permanen yang berpegang

pada asas legalitas belum terbentuk. 62

Pandangan yang berbeda terdapat dalam penerapan terhadap kejahatan kemanusiaan sebagai salah satu bentuk kejahatan HAM yang berat. Apabila diterapkan secara retroaktif dianggap tidak melanggar standar asas legalitas dalam hukum pidana internasional, sebab kejahatan tersebut semata-mata merupakan perluasan yurisdiksi (jursidiction extention) dari kejahatan perang (an outgrowth of war crimes) dan diterima sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law) serta telah diputuskan oleh pengadilan internasional yang bersifat ad hoc.

Praktek peradilan-peradilan di atas memberikan paradigma dalam perkembangan hukum yang bergeser yakni adanya pandangan yang semula berpegang teguh pada nullum crimen sine lege menjadi nullum crimen sine iure (tiada kejahatan tanpa penghukuman), dan yang terakhirlah yang menjadi dasar legalitas dari hukum pidana internasional. Prinsip ini menjadikan

62 PBHI, Ad Hoc Extra Judicial National Tribunal adalah Alternatif Paling baik , Executive

Pointers, Februari 2000.

setiap perbuatan yang merupakan bentuk Argumen majelis hakim dalam menentukan kejahatan internasional akan dihukum

berlakunya asas retroaktif adalah apabila walaupun belum ada hukum yang

ditinjau lebih jauh lagi UU No. 26 Tahun mengaturnya. Argumen lainnya yaitu

2000 dalam bentuk atau formatnya sejalan bahwa nullum crimen sine lege sebenarnya

dengan penyimpangan atas asas non bukan batasan kedaulatan tetapi merupakan

retroaktif berdasarkan pada preseden proses prinsip keadilan (principle of justice)

peradilan Nuremberg tahun 1946 yang sehingga menjadi tidak adil ketika yang

mengawali pengecualian atas asas legalitas. bersalah tidak dalap dihukum dan

Sementara substansi atau norma hukum dibiarkan bebas (unpunished). 63 yang diterapkan terutama yang berkaitan dengan kejahatan genosida dan kejahatan

c. Argumen penerapannya dalam kasus

terhadap kemanusiaan.

Timor-Timur

Bahwa proses peradilan Nuremberg Dalam peradilan HAM ad hoc kasus Timor-

tersebut yang menerapkan asas retroaktif timor, keberatan terhadap diberlakukannya

telah dianggap sebagai norma kebiasaan asas retroaktif adalah karena bertentangan

Internasional dan telah memiliki ciri-ciri ius dengan UUD 1945 amandemen ke 2 (Pasal

cogen yaitu norma tertinggi yang harus

28 I), bertentangan dengan Universal dipatuhi dan tidak boleh dikurangi Declaration of Human Rights , bertentangan

sehingga semua negara anggota PBB dengan asas Legalitas dalam KUHP, dan

termasuk Indonesia secara hukum terkait bertentangan denga rasa keadilan dan

untuk melaksankannya tanpa harus kepastian hukum. 64 meratifikasinya. Bahwa kemudian putusan peradilan Nuremberg tersebut dikuatkan melalui Resolusi PBB tanggal 11 Desember

63 Atas dasar International Customary 1946 sebagai suatu aplikasi prinsip-prinsip Law , alasan dapat digunakan asas retroaktif

hukum internasional, seterusnya diikuti adalah 1) atas dasar principle of justice yang

pula oleh Peradilan Tokyo 1948, Peradilan artinya bahwa impunity terhadap pelaku

Bekas Yugoslavia/International Criminal pelanggaran HAM yang berat akan dirasakan

Tribunal for former Yugoslavia (ICTY) 1993, lebih tidak adil dibandingkan dengan tidak

Peradilan Rwanda/International Criminal menerapkan asas legalitas, yang juga ditujukan

untuk menciptakan kepastian hukum dan Tribunal for Rwanda (ICTR) 1995, RUU

keadilan, dan b) dalam hal ini tidak ada Peradilan ad hoc Khmer Merah 1999 persoalan asas legalitas, sebab tidak ada

khususnya terhadap pelanggaran HAM perundang-undangan yang baru. Yang terjadi

yang berat (gross violation of human rights), adalah penerapan hukum kebiasaan

sekalipun untuk kurun waktu tertentu saja. internasional dalam peradilan ad hoc dengan

Bahwa Pemberlakuan asas retroaktif pada locus dan tempos delicti tertentu yang sudah

peradilan Nuremberg memberikan dikenal dalam praktek hukum internasional

justifikasi terhadap pengecualian asas (Nurenberg, Tokyo, Rwanda dan Yugoslavia)

legalitas. Kemudian tentunya setelah diikuti dalam hal ini berlaku asas nullum delictum nulla

poena sine iure . Lihat Muladi, Mekanisme Domestik dan diterapkan pada negara-negara

untuk Mengadili Pelanggaran HAM Berat melalui sesudahnya asas retroaktif ini menjadi asas sistem Pengadilan atas Dasar UU No. 26 Tahun

legalitas untuk pengadilan-pengadilan 2000, Makalah dalam Diskusi Panel 4 Bulan

sesudahnya, karena menjadi dasar hukum Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, Jakarta, 20 Januari 2004 penasehat hukum terdakwa dalam Pengadilan 64 Argumen-argumen ini merupakan

HAM ad hoc Timor-timur.

argumen yang dikemukakan dalam eksepsi tim argumen yang dikemukakan dalam eksepsi tim

berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. 66 kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. 65 Terlepas dari pemberlakuan asas retroaktif yang berdasarkan praktek internasional

Majelis hakim menyatakan bahwa dapat tersebut, majelis hakim juga menyatakan diberlakukannya asas retroaktif adalah

bahwa nilai keadilan lebih tinggi daripada berdasarkan pengkajian terhadap praktek

kepastian hukum terlebih-lebih perwujudan pengadilan pidana internasional dari

keadilan universal seperti dalam kasus- praktek negara-negara sejak pengadilan

kasus pelanggaran HAM yang berat tidak penjahat perang di Nurenberg dan Tokyo

mengenal ruang dan waktu. Oleh karena itu dan pengadilan pidana internasional ad hoc

dalam hal ini non retroaktif dapat untuk Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda

dikesampingkan dan masalah ini sebagai (ICTR), dan Kasus Adolf Eichman di

aturan khusus. Argumen tentang masalah pengadilan distrik Yerusalem ternyata asas

apakah ada pertentangan antara kepastian non retroaktif disimpangi demi tegaknya

hukum dengan keadilan majelis hakim keadilan.

menyatakan bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua prinsip maka yang

Kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, didahulukan adalah prinsip yang dapat dan genosida merupakan hostis human

mewujudkan keadilan yang lebih nyata. 67 generis (musuh bersama seluruh umat manusia) yang termasuk dalam kejahatan internasional sehingga di bawah yurisdiksi universal. Berdasarkan prinsip yurisdiksi universal ini setiap negara berhak untuk mengadili pelaku kejahatan ini atau untuk mengekstradisikannya ke negara atau pihak lain yang memiliki yurisdiksi tanpa melihat kejadian, kewarganegaraan pelaku maupun kewarganegaraan korban.

Kejahatan terhadap kemanusiaan telah diakui sebagai kejahatan yang

mengguncang nurani umat manusia 66 Lihat putusan sela dengan terdakwa sehingga penghukuman terhadap pelaku

Abilio Jose Osorio Soares (Mantan Gubernur mutlak diperlukan tanpa dibatasi waktu

Timor-timur) tanggal 4 April 2002. dan tempat maka praktek internasional

telah menghapuskan batas daluwarsa 67 Argumen ini didasarkan pada pemeriksaan sebagaimana disebutkan

komparasi mengenai ukuran untuk menetukan dalam penjelasan UU No. 26 Tahun 2000 ada tidaknya kepastian hokum dan keadilan khusus dalam penegakan HAM yaitu nilai

menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang keadilan tidak diperoleh melalui tingginya nilai berat merupakan extra ordinary crime dan

kepastian hukum melainkan dari keseimbangan berdampak secara luas. Dengan ungkapan

perlindungan hukum atas korban, dan pelaku lain asas retroaktif dapat diperlakukan

kejahatan dan semakin serius suatu kejahatan maka semakin besar nilai keadilan yang harus di pertahankan lebih dari nilai kepastian hukum.

65 Lihat Putusan sela dengan terdakwa Lihat Putusan sela dengan terdakwa M. Noer M. Noer Muis (Mantan Komandan Korem) 164,

Muis (Mantan Komandan Korem) 164, Timor- Timor-timur. Tanggal 20 AUSTUS 2002.

timur. Tanggal 20 Agustus 2002.