Kesimpulan Penelitian Tahun Pertama
7.2.1 Kesimpulan Penelitian Tahun Pertama
PPAN atau Reforma Agraria sebagai sebuah program pengurangan kemiskinan secara legal dan kelembagaan tidak memiliki dasar yang cukup kuat. Secara legal tidak ada aturan hukum yang cukup untuk mendukung program PPAN dan pelaksanaan RA. Meskipun ada aturan pelaksana UUPA seperti PP No. 224 Tahun 1961, namun perbandingan program menunjukkan
Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 191 Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 191
Demikian pula dalam konteks pengurangan kemiskinan secara sustainable yang memberdayakan, bisa dikatakan bahwa temuan penelitian ini tidak melihat bahwa program ini akan membawa dampak pada pengurangan kemiskinan jika masih dilakukan seperti yang dipraktikkan saat ini. Pertama, dari sisi target penerima terjadi bias proyek di mana antara rancangan dengan pelaksanaan ada “penyimpangan” ketika sasaran subyek RA ditujukan bagi orang miskin, buruh (lihat konsep PPAN); namun fakta di lapangan yang terjadi saat ini bias target pensertipikatan mengakibatkan program ini hanya melaksanakan sertifikasi atas tanah TOL yang telah dikuasai sebelumnya. SK‐SK TOL dibuat tahun 1980 ‐an di mana kondisi sosial ekonomi penerima sudah berubah sama sekali dalam kurun waktu 30 (tiga puluh tahun) sejak SK dikeluarkan. Kedua, dari sisi kontinuitas program pemberdayaan, meskipun penelitian ini melihat ada upaya‐upaya untuk mengangkat taraf hidup melalui akses reform, di antaranya terbukti dengan munculnya sumber‐sumber pendapatan/ekonomi baru di daerah penelitian; namun keberlanjutan sumber‐sumber mata pencaharian
192 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan 192 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan
Proses legalisasi aset melalui sertifikasi juga belum menunjukkan adanya perubahan struktur agraria, apalagi dalam kurun waktu pelaksanaan program selama 4 (empat) tahun, khususnya di lokasi penelitian ini, tidak ada proses redistribusi tanah yang dilakukan BPN. Meskipun demikian, dalam laporan BPN disebutkan bahwa BPN telah melakukan redistribusi sebanyak lebih kurang 268 ribu hektar hektar tanah di berbagai daerah di Indonesia.Namun, di lokasi penelitian kami, pada intinya BPN hanya melakukan sertifikasi pada tanah‐tanah yang memang telah memiliki Surat Keputusan sebagai Tanah Obyek Landreform – berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961–yang belum terealisasi. Mengapa tidak ada proses redistribusi? Padahal dasar hukum PP mengenai Tanah terlantar telah dikeluarkan oleh Pemerintah? Hambatan utama adalah belum adanya Surat Keputusan Presiden yang disetujui Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang menyatakan melepaskan tanah‐tanah yang dianggap bisa diredistribusi. Selain itu, tanah‐tanah yang pernah diberikan Hak Guna Usaha tapi tidak digunakan juga bagi BPN menjadi kendala sendiri, karena harus menghadapi “resistensi” pihak yang “terlanjur” diberi Hak Guna Usaha tersebut, dengan kekhawatiran akan diperkarakan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan menarik kembali SK yang sudah terlanjur dikeluarkan. Jika tanah yang terlantar saja –yang sebetulnya kewenangannya berada di bawah BPN–tidak dapat dieksekusi untuk dijadikan tanah
Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 193 Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 193
Keterbatasan dan hambatan ‐hambatan tersebut menyebabkan pelaksana program (BPN) pada akhirnya memilih opsi “paling realistis” yaitu dengan melakukan sertifikasi atau legalisasi dari tanah‐tanah yang memang sudah merupakan obyek Landreform (TOL) melalui SK TOL yang dibuat berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961 dengan kata lain “menyelesaikan utang lama”. Demikian pula dengan pola pemenuhan target juga menjadi pertimbangan pelaksana program RA, sehingga BPN menghindari tanah ‐tanah yang berstatus konflik. Tanah yang menjadi obyek RA adalah tanah yang “clean and clear”.
Dari sisi implikasi, program PPAN dan sertifikasi memang terlihat membawa implikasi positif bagi para para penerima manfaat (beneficiary) di lokasi penelitian. Secara legal formal, mereka memiliki kepastian atas tanah dan rumahnya. Secara ekonomi, mereka kini memiliki peluang‐peluang baru di bidang usaha ekonomi, yang sebelumnya tidak bisa mereka masuki. Dalam hal ini sertipikat hak atas tanah menjadi jalan bagi terbukanya peluang‐ peluang modal dan investasi tersebut. Namun bukan berarti dampak negatif dari program ini tidak ada, di antara dampak negatifnya adalah sebagaimana ditunjukkan di Dusun Gambar Anyar, terjadi semacam “culture shock” dari kondisi yang dulu serba tidak pasti dan diwarnai konflik berkepanjangan menjadi pola konsumtif yang cukup mengkhawatirkan.
Dari sisi kelembagaan, ada persoalan mendasar yang merupakan “warisan” kebijakan agraria yang diterapkan di era pemerintahan Presiden Suharto, dimana kebijakan yang dikeluarkan telah menjadikan pengelolaan sumber daya agraria menjadi sangat tersektor (sektoral). Ada ketidak‐seimbangan kewenangan yang dimiliki antara instansi pelaksana Reforma Agraria (BPN) dengan
194 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan 194 | Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan
Ada permasalahan institusional yang harus diselesaikan dalam konteks administrasi pertanahan yang dilakukan BPN untuk kemudian berubah menjadi pelaksanaan salah satu fungsi sosial tanah sebagaimana diamanatkan oleh UUPA. Tradisi kelembagaan dan birokrasi yang telah terlanjur terbentuk membutuhkan waktu untuk bisa direformasi. Permasalahan internal ini diperumit dengan permasalahan institusional di tingkat pelaksana di daerah (provinsi dan kabupaten) di mana kompleksitas permasalahan semakin bertambah dengan diberlakukannya sistem desentralisasi pemerintahan tahun 1999 yang direvisi tahun 2003, yang
memperlihatkan tarik menarik kewenangan administrasi pertanahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (kabupaten/kota).
Permasalahan legal dan institusional dari pelaksanaan program PPAN atau Reforma Agraria ini menyebabkan kurang optimalnya pelaksanaan program di beberapa daerah, dan inisiatif pelaksanaan program secara komprehensif (mulai dari reforma aset hingga ke reforma akses) hanya dapat dilakukan berdasarkan inistiatif pengambil keputusan tingkat daerah. Salah satu rekomendasi awal penelitian ini di antaranya adalah seharusnya mekanisme kerjasama antar lembaga sudah dapat dirumuskan sehingga pelaksanaan program tidak semata didasarkan pada personal seseorang. Jika mekanisme dan aturan sudah dibuat, siapapun pelaksana tinggal mengimplementasikan program dan kebijakan tersebut di daerah yang menjadi kewenangannya.
Strategi Pembaruan Agraria untuk Mengurangi Kemiskinan | 195
Terakhir, ada permasalahan konseptual, yang berimplikasi pada permasalahan dasar hukum (legal) pelaksanaan Reforma Agraria. Ketika terjadi kekosongan hukum karena dasar pelaksana Undang ‐undang
(berupa Peraturan Pemerintah) untuk melaksanakan Reforma Agraria versi BPN yang baru yaitu konsep Landreform Plus atau Reforma Agraria = Landreform + Access Reform; maka landasan hukum pelaksanaannya kemudian “dikembalikan” pada aturan lama, yaitu PP No. 224 Tahun 1961 dan aturan lain yang berkaitan. Hal ini jelas merupakan penyimpangan logika hukum, karena konsep Landreform yang ditetapkan berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961 merupakan sebuah konsep yang sama sekali berbeda dengan yang dijalankan di bawah pimpinan Joyo Winoto.
Permasalahan legal, dan institusional, serta konseptual yang harus dihadapi BPN dalam melaksanakan Reforma Agraria menjadi sebuah alasan logis ketika yang terjadi dalam praktiknya adalah bentuk ‐bentuk “kompromi” dari rancangan awal Reforma Agraria yang dielu‐elukan Kepala BPN, menjadi bentuk‐bentuk praktik yang memang “reasonable” untuk dilakukan, dan itu adalah semata sertifikasi. Jadi proses redistribusi tanah tidak terjadi karena hambatan legal dan kelembagaan di tingkat pusat, demikian pula hambatan kelembagaan di tingkat lokal juga menghadang pelaksanaan program akses sebagaimana yang diinginkan dalam rancangan program.