192
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
5.7 Peran di Bidang Kesehatan di Daerah Terpencil
Pada novel Namaku Teweraut Sekarningsih, 2006, di samping digambarkan perempuan dari Jawa yang berperan
mendampingi pendidikan perempuan di Papua Mama Rin, juga digambarkan tokoh perempuan yang mengabdikan dirinya
sebagai dokter di Puskesmas Sita, bidan, dan suster di poliklinik kesehatan biara Elisabeth dan Ruth di daerah terpencil
Sekarningsih, 2006:17, 233, 264. Gambaran perempuan sebagai dokter dan bidan yang mengabdikan dirinya di pedalaman Asmat
tampak dari pengalaman Teweraut berikut.
Aku memeriksakan diri ke Puskesmas. Ternyata dokternya sudah baru lagi. Seorang
wanita. Namanya dokter Sita. Untuk pertama kalinya, Puskesmas dipimpin dokter wanita,
membuatku merasa tentram dan lebih berani menjelaskan
keluhan sakitku.
Dokter Sita
kemudian mengirimku ke bagian kebidanan. Aku beruntung menikmati pelayanan ibu hamil oleh
seorang bidan; suatu kemewahan yang tak pernah dialami ibuku. Bidan membenarkan perkiraan
Pumu tempo hari. Ia menegaskan aku memang sudah hamil dua bulan. Lalu menyerahkan
bungkusan-bungkusan
vitamin, serta
menasihatiku aga r banyak makan ikan. ―Agar
anakmu lahir cerdas,‖ kata bidan itu, tersenyum manis sambil menyerahkan bungkusan vitamin.
Aku mengangguk kepala membalasnya tersenyum.
Sekarningsih, 2006:166 Pada kutipan tersebut tampak adanya ungkapan untuk
pertama kalinya, Puskesmas dipimpin dokter wanita, yang menunjukkan bahwa selama ini di Asmat Papua kepala
Puskesmas dipimpin oleh dokter laki-laki. Perempuan sebagai pimpinan Puskesmas di Asmat merupakan fenomena baru. Di
samping itu, pada kutipan tersebut juga terungkap bahwa kesadaran perempuan Asmat untuk memanfaatkan pelayanan
kesehatan di lembaga kesehatan seperti Puskesmas, masih langka. Ibu hamil pada umumnya ditangani oleh para dukun,
seperti Pumu.
193
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
Di samping itu, peran para perempuan yang bekerja di bi- dang kesehatan tersebut juga tampak dari aktivitas Teweraut,
yang setelah suaminya meninggal, bekerja sebagai pembantu di poliklinik biara di dekat landasan pacu lapangan terbang.
Teweraut memiliki tugas menyapu, menggodog peralatan kesehatan, menyiapkan wadah obat-obatan di poliklinik dan
melayani keperluan Suster Elishabeth selama menerima pasien Sekarningsih, 2006:264.
Aktivitas para perempuan di bidang kesehatan juga tampak dari kegiatan Suster Elisabeth dan Suster Ruth yang
didampingi oleh Ibu Camat istri camat, seorang pengemudi dan asisten berkeliling kampung misalnya ke kampung Bariten
untuk memberi pelayanan kesehatan dan penyuluhan membuat ikan asin pada ibu-ibu rumah tangga Sekarningsih, 2006:264.
Pelayanan kesehatan terhadap masyarakat daerah terpencil di Asmat dengan sistem safari seperti yang dilakukan oleh para
suster tersebut merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi jumlah angka kematian penduduk Papua yang masih
tinggi, termasuk kematian ibu yang melahirkan.
Tingginya angka kematian ibu melahirkan di Asmat berkaitan dengan tradisi yang ada di masyarakat yang
mengharuskan perempuan yang hendak melahirkan dijauhkan dari pemukiman. Menjelang melahirkan bayinya seorang
perempuan Asmat harus tinggal di pondok darurat di hutan. Hal ini karena suku tersebut memiliki keyakinan agar najis
persalinan tidak mengundang bencana di dalam dusun. Di samping itu, selama sang istri menjalani masa nifas seorang
suami harus menjauhi istrinya agar terhindar dari bencana. Sementara itu, sang suami pergi ke hutan keramat untuk
memohon pada para leluhur bagi keselamatan istri dan bayinya Sekarningsih, 2006:4. Menjelang melahirkan anaknya Teweraut
juga harus menjalani tradisi tersebut. Namun, karena posisi bayi dalam kandungan Teweraut melintang, dia gagal melahirkan di
hutan dengan dibantu oleh ibunya. Akhirnya, Teweraut meminta kepada ibunya agar dia dibawa ke Puskesmas Sekarningsih,
2006:280. Dokter Sita di Puskesmas tidak mampu menolongnya dengan proses melahirkan normal sehingga pada akhirnya
Teweraut meninggal dunia Sekarningsih, 2006:284. Gambaran tersebut di samping menunjukkan peran kaum perempuan di
bidang kesehatan di daerah terpencil juga menunjukkan betapa
194
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
beratnya tantangan yang harus dihadapi oleh para dokter Puskesmas di daerah terpencil seperti di Asmat ketika meng-
hadapi kasus-kasus persalinan sulit yang hanya dapat diatasi dengan tindakan operasi dan membutuhkan peralatan medis
yang memadai.
Dengan menggambarkan peran para perempuan di bidang kesehatan novel Namaku Teweraut menunjukkan bahwa para
perempuan terdidik telah mengabdikan dirinya sebagai tenaga medis, baik sebagai dokter, perawat maupun bidan di daerah
terpencil. Tanggung jawab dan idealisme kemanusiaan telah mendorong
mereka untuk
menjalani profesinya
tersebut meskipun di tempat yang terpencil dengan berbagai masalah yang
berat. Dari pembahasan mengenai keterdidikan perempuan
sebagai pendukung peran perempuan di masyarakat tampak bahwa bekal pendidikan yang dimiliki kaum perempuan telah
mengantarkan para perempuan pada berbagai peran di sektor publik. Beberapa dari mereka bahkan berhasil menjalankan
peran gandanya di sektor publik dan dimestik, yang menegaskan bahwa untuk dapat berperan di sektor publik, perempuan tidak
harus meninggalkan peran domestiknya.
Pada novel-novel Indonesia yang berlatar cerita setelah kemerdekaan,
tampak bahwa
kaum perempuan
yang mendapatkan
pendidikan dan
berperan di
masyarakat merupakan produk dari pendidikan formal pada zamannya.
Selain tokoh Teweraut yang berasal dari Asmat, Papua yang menempuh pendidikan sampai sekolah menengah, dan terpaksa
harus berhenti di tengah jalan karena kendala transportasi pengiriman logistik di daerah terpencil, hampir semua tokoh
perempuan dalam novel yang dikaji mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Hal ini
karena tokoh-tokoh tersebut pada umumnya tinggal di daerah perkotaan, yang menjadi latar tempat novel dan berasal dari
keluarga menengah ke atas. Kalaupun terdapat tokoh yang berasal dari desa, seperti tokoh Putri dalam novel Putri,
digambarkan bahwa dirinya telah mendapatkan dukungan dari keluarganya untuk menempuh pendidikan di kota sehingga
menjadi perempuan pertama dari desanya yang meraih gelar sarjana.
195
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
Pendidikan menengah dan tinggi yang berhasil dinikmati oleh tokoh-tokoh perempuan tersebut menjadi modal bagi mereka
untuk memilih berbagai lapangan pekerjaan di masyarakat. Di antara berbagai peran di masyarakat tersebut, bidang pendidikan
adalah yang paling dominan, disusul dengan bidang sosial, khususnya organisasi perempuan dan sosial. Kedua bidang
tersebut ditemukan pada sebagian besar novel Indonesia yang terbit antara tahun 1920 sampai dengan 1980-an. Dominannya
bidang pendidikan dan sosial yang menjadi arena para perempuan terdidik berkiprah di masyarakat pada novel-novel
tersebut berlangsung seiring dengan konteks sosial historis yang melatarbelakangi penulisan novel-novel tersebut.
Dalam konteks sosial historis Indonesia prakemerdekaan, kaum perempuan yang telah mendapatkan kesempatan men-
dapatkan pendidikan formal ataupun nonformal mulai menyadari akan pentingnya pendidikan bagi perempuan, yang pada era
tersebut hampir sebagian perempuan belum mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan. Tradisi pingitan dan
sedikitnya jumlah sekolah yang ada pada era sebelum kemerdekaan menjadi penyebab sedikitnya kaum perempuan
yang mendapatkan pendidikan. Keinginan tokoh Hamidah Kehilangan Mestika mendirikan sekolah khusus untuk anak-
anak perempuan di Mentok, Bangka mirip dengan yang dilakukan oleh Dewi Sartika di Bandung, Roehana Koeddoes di
Kotogadang, ataupun Rahmah El Yunusiah di Padang. Demikian juga aktivitas tokoh Tuti Layar Terkembang dan Marti Manusia
Bebas dalam organisasi perempuan Putri Sedar dan Perempuan Insaf secara sosial historis mengacu kepada para perempuan
yang aktif dalam organisasi perempuan tahun 1920 sampai dengan 1930-an dan Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928.
Di samping itu, bidang pendidikan yang menjadi arena para perempuan berperan di masyarakat juga sejalan dengan
perkembangan gerakan feminis liberal di Indonesia pada era kolonial
Belanda yang
memperjuangkan hak
pendidikan perempuan, selain memilih pejabat publik Arivia, 2006:15.
Dalam perkembangannya kemudian, terutama pada novel- novel yang berlatar cerita setelah kemerdekaan mulai terbuka
kesempatan bagi para perempuan terdidik untuk berperan dalam berbagai bidang, yaitu ekonomi, kesenian, hukum, media
komunikasi, dan kesehatan. Berbagai macam profesi yang dipilih
196
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
oleh kaum perempuan tersebut secara sosiohistoris berhubungan dengan jenjang dan jenis pendidikan yang telah ditempuh oleh
para perempuan setelah era kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, seiring dengan berdirinya perguruan tinggi di berbagai kota besar
di Indonesia, kaum perempuan juga telah ikut berpartisipasi dalam pendidikan tinggi. Namun, tidak dapat dipungkiri masih
terdapat ketimpangan gender pada jenjang pendidikan, terutama di perguruan tinggi. Data yang dilaporkan oleh Depdiknas
2004:29
—30 menunjukkan bahwa perbandingan jumlah pe- minat yang diterima serta mahasiswa terdaftar di perguruan
tinggi adalah laki-laki 54, perempuan 46. Kesenjangan tampak pada bidang ilmu yang dipilih. Jumlah mahasiswa
perempuan lebih sedikit dibandingkan jumlah laki-laki untuk bidang ilmu sosial, kesehatan, pertanian, teknik, dan MIPA.
Jumlah perempuan lebih banyak pada bidang ilmu pendidikan daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pendidikan
lebih
diminati oleh
perempuan. Artinya,
masih ada
ketidaksetaraan gender berkaitan dengan bidang studi yang dipilih. Perguruan tinggi dengan fokus ilmu teknik lebih banyak
diminati oleh laki-laki sebagai contoh Institut Teknologi Bandung, jumlah mahasiswa laki-laki 89,08, perempuan
10,92; Institut Teknologi Surabya, jumlah mahasiswa laki-laki 68,53, perempuan 31,47.
Meskupun dalam realitas masih terdapat ketidaksetaraan gender pada jenjang pendidikan tinggi, yang akan berpengaruh
terhadap jenis lapangan kerja dan jumlah perempuan yang berperan di berbagai bidang di masyarakat, tetapi gambaran
mengenai masuknya kaum perempuan di berbagai lapangan pekerjaan dalam novel-novel yang dikaji telah menunjukkan
bahwa secara pelan-pelan kaum perempuan terdidik mulai berhasil menerobos sekat-sekat pembagian kerja secara seksual.
Beberapa pekerjaan yang semula dianggap lebih sesuai dilakukan oleh kaum laki-laki, ternyata juga dapat dilakukan oleh kaum
perempuan,
misalnya pengacara,
pengusaha pimpinan
perusahaan, dan dokter kepala puskesmas di daerah terpencil. Peran kaum perempuan terdidik dalam berbagai bidang
tersebut juga menunjukkan bahwa pendidikan bagi perempuan telah berperan menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas diri
kaum perempuan sehingga mereka memiliki kesadaran mengenai identitas dirinya dan mampu mengembangkan potensi yang
197
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
dimilikinya yang berguna bagi dirinya dan masyarakat, seperti yang diharapkan oleh para pejuang feminis di bidang pendidikan
Muchtar, 2010:62. Di samping itu, peran kaum perempuan di berbagai
lapangan yang
ada dalam
masyarakat juga
menunjukkan adanya kecenderungan kesetaraan gender yang te- lah dicapai oleh kaum perempuan dalam sektor publik.
198
Menjadi Perempuan Terdidik :
Novel Indonesia, dan Feminisme
BAB
VI
PERLAWANAN TERHADAP KETIDAKADILAN GENDER
DI SEKTOR DOMESTIK DAN PUBLIK
Setelah mendapatkan pendidikan para perempuan makin menyadari adanya ketidakadilan gender dalam relasinya dengan
laki-laki ataupun peran-peran gender di sektor domestik dan publik. Kesadaran tersebut selanjutnya menimbulkan sikap kritis
dan tindakan yang menunjukan adanya perjuangan menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan gender, baik yang mereka alami
maupun yang terjadi di sekitarnya. Berikut ini diuraikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi kaum perempuan
dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam sejumlah novel Indonesia yang diteliti.
6.1 Ketidakadilan Gender di Sektor Domestik