BAB II revisi

(1)

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Kinerja Pegawai 1. Pengertian

Kinerja mengacu pada prestasi karyawan yang diukur berdasarkan standar atau kriteria yang ditetapkan perusahan. Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler and Poter menyatakan bahwa kinerja adalah succesfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya (As’ad, 2003).

Menurut Mangkunegara (2000), Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Simamora (2008), kinerja karyawan adalah tingkat terhadap mana para karyawan mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. Menurut Byars dan Rue dalam Prasetyo Utomo (2006), kinerja merupakan derajat penyusunan tugas yang mengatur pekerjaan seseorang. Jadi, Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan kegiatan atau menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.


(2)

2. Penilaian Kinerja

Yang dimaksud dengan sistem penilaian kinerja ialah proses yang mengukur kinerja karyawan. Secara teoretikal berbagai metode dan teknik mempunyai sasaran yang sama, yaitu menilai prestasi kerja para karyawan secara obyektif untuk suatu kurun waktu tertentu dimasa lalu yang hasilnya bermanfaat bagi organisasi atau perusahaan, seperti untuk kepentingan mutasi pegawai maupun bagi pegawai yang bersangkutan sendiri dalam rangka pengembangan karirnya. Untuk mencapai kedua sasaran tersebut maka digunakanlah berbagai metode pengukuran kinerja karyawan yang dewasa ini dikenal dan digunakan adalah: (Husnan, 2007) a. Rangking, adalah dengan cara membandingkan karyawan yang

satu dengan karyawan yang lain untuk menentukan siapa yang lebih baik.

b. Perbandingan karyawan dengan karyawan, adalah suatu cara untuk memisahkan penilaian seseorang ke dalam berbagai faktor. c. Grading, adalah suatu cara pengukuran kinerja karyawan dari tiap

karyawan yang kemudian diperbandingkan dengan definisi masing-masing kategori untuk dimasukkan kedalam salah satu kategori yang telah ditentukan.

d. Skala grafis, adalah metode yang menilai baik tidaknya pekerjaan seorang karyawan berdasarkan faktor-faktor yang dianggap penting bagi pelaksanaan pekerjaan tersebut. Masing-masing


(3)

faktor tersebut, seperti misalnya kualitas dan kuantitas kerja, keterampilan kerja, tanggung jawab kerja, kerja sama dan sebagainya.

e. Checklists, adalah metode penilaian yang bukan sebagai penilai karyawan tetapi hanya sekedar melaporkan tingkah laku karyawan.

Menurut Gomez (2008) dalam melakukan penelitian terhadap kinerja yang berdasarkan perilaku yang spesifik (Judgement Performance Evaluation) ini maka ada delapan dimensi yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain:

a. Quantity of work; jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu tang ditentukan.

b. Quality of work; kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya.

c. Job knowledge; luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.

d. Creativeness; keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

e. Cooperation; kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain f. Dependability ; kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal

kehadiran dan penyelesaian pekerjaan.


(4)

memperbesar tanggung jawab.

h. Personal qualities; menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

3. Tujuan Penilaian Kinerja

Tujuan diadakannya penilaian kinerja bagi para karyawan dapat kita ketahui dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Tujuan evaluasi

Seorang manajer menilai kinerja dari masa lalu seorang karyawan dengan menggunakan rating deskriptif untuk menilai kinerja dan dengan data tersebut berguna dalam keputusan-keputusan promosi. demosi, terminasi dan kompensasi.

b. Tujuan pengembangan

Seorang manajer mencoba untuk meningkatkan kinerja seorang karyawan dimasa yang akan datang. Sedangkan tujuan pokok dari sistem penilaian kinerja karyawan adalah: sesuatu yang menghasilkan informasi yang akurat dan valid berkenaan dengan prilaku dan kinerja anggota organisasi atau perusahaan. 4. Manfaat Penilaian Kinerja Karyawan

Pada umumnya orang-orang yang berkecimpung dalam manajemen sumber daya manusia sependapat bahwa penilaian ini merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan karyawan yang bersangkutan. Hal ini penting juga bagi perusahaan dimana karyawan tersebut bekerja.


(5)

a. Bagi karyawan, penilaian tersebut berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan, kekurangan, dan potensi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karir.

b. Bagi organisasi atau perusahaan sendiri, hasil penilaian tersebut sangat penting artinya dan peranannya dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekruitmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari proses dari manajemen sumber daya manusia secara efektif.

2.1.2. Pemberdayaan 1. Pengertian

Munculnya konsep pemberdayaan ini pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajar apabila konsep ini menampakkan dua kecenderungan. Pertama, pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kemampuan atau kekuatan (power) kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua, kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasikan individu agar


(6)

mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.

Menurut Webster dalam Oxford English Dictionary kata “Empower” mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain. Sedangkan dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.

Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa pemberdayaan SDM adalah salah satu upaya yang wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan memanfaatkan, mengembangkan dan menguasaia iptek, serta kemampuan manajemen, meningkatkan mutu SDM untuk dapat memenuhi tantangan peningkatan perkembangan yang semakin cepat, efisien dan produktif, harus dilakukan secara terus menerus sehingga tetap menjadikan SDM yang produktif

Uraian tersebut menunjukan bahwa dengan adanya pemberdayaan pegawai tiada lain agar manusia dalam suatu organisasi dapat lebih meningkatkan kualitas, kesetiaan serta tanggung jawab terhadap tugas yang diembannya, maka perlu dilakukan suatu pemberdayaan bagi para pegawai dalam suatu


(7)

organisasi. Dalam hal ini pimpinan memegang peranan untuk memberdayakan para pegawainya agar tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi dapat tercapai.

2. Tujuan Pemberdayaan

Pemberdayaan harus dimulai dari suatu proses yang dilandasi kebenaran dan kejujuran dalam memanfaatkan budaya, kekuasaan, dan sumber daya lainnya dari setiap anggota masyarakat maupun setiap anggota aparatur pemerintah. Tujuan pemberdayaan menurut Makmur (2007).

a. Menciptakan kemandirian dan kepercayaan diri anggota organisasi, pemerintah, maupun anggota masyarakat. Kepercayaan diri dan kemandirian dalam menghadapi berbagai hambatan atau tantangan hidup dapat melahirkan kekuatan dan ketahanan diri untuk tidak menggantungkan harapannya kepada pihak lain.

b. Memiliki kegesitan dan proaktif, pemberdayaan manusia dapat menciptakan kegesitan memiliki daya dorong untuk proaktif mencari kegiatan yang dapat lebih menguntungkan.

c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan, pengetahuan merupakan sumber keterampilan dalam melaksanakan suatu kegiatan yang hasilnya lebih menguntungkan.

d. Kepatuhan dan kesadaran, kehidupan manusia senantiasa diatur oleh suatu ketentuan hidup yang perlu ditaati dan sadar untuk


(8)

menciptakan keteraturan dan keharmonisan, baik dalam melakukan kegiatan maupun dalam pergaulan. Kepatuhan dan kesadaran terhadap norma-norma sebagai fundamental kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, berumah tangga, dan sebagainya menjadi terapi yang tepat serta mosaik dalam upaya meningkatkan pemberdayaan, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

3. Manfaat Pemberdayaan

Jika proses pemberdayaan sudah dilaksanakan, perlu suatu pemantauan proses tersebut dan menilai keberhasilan. Untuk meyakinkan bahwa segala usaha sungguh-sungguh telah mendatangkan hasil yang sesuai dengan usaha.

Berikut ini peneliti kemukakan beberapa manfaat dari proses pemberdayaan baik bagi individu maupun organisasi, menurut Stewart dalam bukunya empowering people yaitu sebagai berikut : a. Meliputi kesempatan untuk meningkatkan kecakapan-kecakapan

baru dan pengalaman-pengalaman yang beraneka ragam

b. Pemberdayaan juga memberi kepada staf rasa berprestasi yang lebih besar

c. Bertambahnya efektivitas organisasi 4. Proses-dan Konsep Pemberdayaan

Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa terdapat 3 proses dalam memberdayakan pegawai, yaitu sebagai berikut :


(9)

a. Menciptakan suasana/iklim yang memungkinkan potensi manusia berkembang, titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan, pemberdayaan adalah membangun daya itu dengan mendorong, membangun dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki manusia, upaya ini meliputi langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan serta pembukaan pada berbagai peluang yang membuat manusia menjadi berdaya dan upaya utamanya adalah peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan, dan akses pada sumber-sumber kemajuan ekonomi.

c. Proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat, dan perlu adanya peraturan perundangan yang secara jelas melindungi yang lemah.

Thomas dan Veltahouse (1990) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan suatu yang multifaceted yang esensinya tidak bisa dicakup dalam satu konsep tunggal. Dengan kata lain pemberdayaan mengandung pengertian perlunya keleluasaan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya sesuai dengan tugas yang diembannya. Konsep pemberdayaan ini juga berarti bahwa seseorang akan mampu untuk


(10)

berperilaku secara mandiri dan penuh tanggung jawab. Konsep pemberdayaan ini dimanifestasikan dalam empat kognisi yang merefleksikan orientasi individu atas peran kerjanya yaitu arti (meaning), kompetensi (competence), pendeterminasian diri (self determination), dan pengaruh (impact).

Menurut Sedarmayanti (2007) konsep pemberdayaan menampakkan dua kecenderungan:

a. Pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat, organisasi, atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

b. Menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan sekunder dari makna pemberdayaan

Sedangkan menurut Spreitzer dalam Mahardiani (2008) ditemukan empat karakteristik umum yang dimiliki empowered people yang juga sama dengan konsep Thomas dan Velthouse, yaitu:


(11)

a. Sense of meaning Meaning merupakan nilai tujuan pekerjaan yang dilihat dari hubungannya pada idealisme atau standar individu.

b. Sense of competence. Kompetensi lebih merupakan kepercayaan individu akan kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas mereka dengan menggunakan keahlian yang mereka miliki. Dimensi ini menggunakan istilah kompetensi daripada self esteem karena difokuskan pada kompetensi secara spesifik pada peran pekerjaan.

c. Sense of determination. Bila kompetensi merupakan keahlian dalam berperilaku, maka self determination merupakan suatu perasaan memiliki suatu pilihan dalam membuat pilihan atau melakukan suatu pekerjaan.

d. Sense of impact. Impact atau dampak merupakan derajat dimana seseorang dapat memengaruhi hasil pekerjaan baik stratejik, administratif

Khan (2007) menawarkan sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan dalam suatu organisasi. Model pemberdayaan tersebut yaitu:


(12)

a. Desire

Tahap pertama dalam model pemberdayaan adalah adanya keinginan dari manajemen untuk mendelegasikan dan melibatkan pekerja.Yang termasuk hal ini antara lain:

1) Pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasikan permasalahan yang sedang berkembang.

2) Memperkecil directive personality dan memperluas kesempatan kerja.

3) Mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi kerja.

4) Mengembangkan keahlian team dan melatih karyawan untuk mengawasi sendiri (self control)

b. Trust

Tahap dua adalah membangun kepercayaan antara manajemen dan karyawan Adanya saling percaya di antara anggota organisasi akan tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa adanya rasa takut. Hal-hal yang termasuk dalam trust antara lain:

1) Memberi kesempatan kepada para karyawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

2) Menyediakan waktu dan sumber daya yang mencukupi bagi karyawan dalam menyelesaikan kerja.

3) Menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi karyawan bagi kebutuhan kerja.

4) Menghargai perbedaan pandangan dan menghargai kesuksesan yang diraih oleh karyawan.

5) Menyediakan akses informasi yang cukup. c. Confident

Tahap ke tiga dalam proses pemberdayaan adalah menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai terhadap


(13)

kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. Hal yang termasuk tindakan yang menimbulkan confident antara lain:

1) Mendelegasikan tugas yang penting kepada karyawan 2) Menggali ide dan saran dari karyawan.

3) Memperluas tugas dan membangun jarungan antar departemen.

4) Menyediakan jadwal job instruction dan mendorong penyelesaian yang baik.

d. Credibility

Tahap ke empat berupa menjaga kredibilitas dengan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang sehat sehingga tercipta organisasi yang memiliki performance yang tinggi. Hal yang termasuk credibility adalah:

1) Memandang karyawan sebagai partner strategis 2) Peningkatan target di semua pekerjaan.

3) Memperkenalkan inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi.

4) Membantu menyelesaikan perbedaan dalam penentuan tujuan dan prioritas.

e. Accountabiliy

Tahap dalam proses pemberdayaan berikutnya adalah pertanggungjawaban karyawan pada wewenang yang diberikan. Dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standar dan tujuan penilaian terhadap kinerja karyawan, tahap ini merupakan sarana evaluasi terhadap kinerja dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan. Hal yang termasuk dalam accountability antara lain:

1) Menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan.

2) Memberikan tugas dan ukuran yang jelas.


(14)

4) Memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikan beban kerjanya.

5) Menyediakan periode dan waktu pemberian feedback. f. Communication

Tahap ini merupakan tahap terakhir, diharapkan adanya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan saling memahami antara karyawan dengan manajemen. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik dan saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja. Hal yang termasuk dalam commnication antara lain:

1) Menetapkan kebijakan open door communication.

2) Menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka.

3) Menyediakan kesempatan untuk cross training maupun operasional

2.1.3. Self Eficacy 1. Pengetian

Self-efficacy adalah belief atau keyakinan seseorang bahwa ia dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang positif (Santrock, 2001). Menurut Dale Schunk dalam Paulus Joko Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy mempengaruhi siswa dalam memilih kegiatannya. Siswa dengan Self-efficacy yang rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang, sedangkan siswa dengan Self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.


(15)

2. Proses Terjadinya Self-efficacy

Menurut Bandura (2006), Self-efficacy berakibat pada suatu tindakan manusia melalui beberapa jenis proses, antara lain yaitu:


(16)

a. Proses Motivasional

Individu yang memiliki Self-efficacy tinggi akan meningkatkan usahanya untuk mengatasi tantangan dengan menunjukkan usaha dan keberadaan diri yang positif. Hal tersebut memerlukan perasaan keunggulan pribadi (sense of personal-efficacy).

b. Proses Kognitif

Self-efficacy yang dimiliki individu akan berpengaruh terhadap pola pikir yang bersifat membantu atau menghambat. Bentuk-bentuk pengaruhnya, yaitu:

1) Jika Self-efficacy semakin tinggi maka semakin tinggi pula penetapan suatu tujuan dan akan semakin kuat pula komitmen terhadap tujuan yang ingin dicapai.

2) Ketika menghadapi situasi-situasi yang kompleks, individu mempunyai keyakinan diri yang kuat dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu mempertahankan efisiensi berpikiranalitis. Sebaliknya, jika individu bersifat ragu-ragu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya maka biasanya tidak efisien dalam berpikir analitis.

3) Self-efficacy berpengaruh terhadap antisipasi tipe-tipe gambaran konstruktif dan gambaran yang diulang kembali. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan memiliki gambaran keberhasilan yang diwujudkan dalam penampilan


(17)

dan perilaku yang positif dan efektif. Sebaliknya individu yang merasa tidak mampu cenderung merasa mempunyai gambaran kegagalan.

4) Self-efficacy berpengaruh terhadap fungsi kognitif melalui pengaruh yang sama dengan proses motivasional dan pengolahan informasi. Semakin kuat keyakinan individu akan kapasitas memori, maka semakin kuat pula usaha yang dikerahkan untuk memproses memori secara kognitif dan meningkatkan kemampuan memori individu tersebut.

c. Proses Afektif

Self-efficacy berpengaruh terhadap seberapa banyak tekanan yang dialami oleh individu dalam situasi-situasi yang mengancam. Individu yang percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi-situasi yang mengancam yang dirasakannya, tidak akan merasa cemas dan terganggu dengan ancaman tersebut. 3. Aspek-Aspek Pembentuk Self-efficacy

Terdapat empat aspek yang dapat mengembangkan self-efficacy, yaitu enactive mastery experience, vicarious experience, verbal persuasion dan emotional arousal.

a. Enactive Mastery Experience merupakan suatu pengalaman belajar yang diperoleh melalui learning by doing atau experiental learning. Menurut Bandura (2006), enactive mastery experience merupakan salah satu sumber yang memberikan kontribusi paling


(18)

besar dalam pembentukan self-efficacy, karena aspek ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman keberhasilan pribadi. Pada saat individu memperoleh suatu harapan untuk menguasai suatu hal akan meningkat. Sebaliknya, kegagalan yang berulang akan menurunkan harapan untuk menguasai suatu hal, apalagi jika kegagalan tersebut dialami pada saat mengawali sesuatu yang baru. Besarnya self-efficacy yang terbentuk dalam diri individu bergantung pada:

1) Banyaknya kesuksesan dan kegagalan yang dialami; 2) Persepsi mengenai tingkat kesulitan;

3) Usaha yang dilakukan dalam mencapai tujuan;

4) Pengalaman yang diingat dan direkonstruksi oleh daya ingat; 5) Banyaknya bantuan eksternal, lingkungan dimana individu

berada.

b. Vicarious Experience merupakan penilaian mengenai keyakinan diri sebagian diperoleh melalui hasil yang dicapai oleh orang lain yang dijadikan sebagai model. Pengalaman belajar yang diperoleh melalui pengamatan terhadap tampilan orang lain (modeling) dan melalui kejelasan instruksi yang diberikan oleh model.

c. Verbal Persuasion merupakan keyakinan akan kemampuan diri yang diperoleh dari orang lain yang disampaikan secara lisan. Keyakinan yang diperoleh melalui proses ini sifatnya lemah dan untuk jangka waktu singkat. Selain itu, keyakinan yang diperoleh


(19)

melalui pernyataan orang lain yang disampaikan secara terus menerus, sehingga terbentuk keyakinan yang relatif menetap. d. Emotional Arousal merupakan ambang ketergugahan emosi

seseorang dalam menghadapi suatu keadaan atau situasi tertentu. Ambang ketergugahan emosi pada tingkat rendah membuat individu mudah cemas ketika sedang menyelesaikan suatu masalah. Semakin kompleks masalah yang harus diselesaikan, ia akan semakin cemas karena merasa tidak sanggup untuk menyelesaikannya, sebaliknya apabila ambang ketergugahan emosi seseorang tinggi maka ia tidak mudah terganggu ketika sedang menghadapi suatu masalah. Ia akan tetap tenang dan berusaha menyelesaikannya dengan baik.

4. Dimensi-Dimensi Self-efficacy

Self-efficacy bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapi, artinya individu dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada satu tugas atau situasi tertentu, namun pada tugas dan situasi lain tidak. Self-efficacy bersifat kontekstual, artinya bergantung pada konteks yang dihadapi. Pada umumnya, Self-efficacy akan memprediksi dengan baik suatu tampilan yang berkaitan erat dengan keyakinan tersebut.

Berdasarkan sifat-sifat di atas, Bandura (2006) membagi Self-efficacy menjadi tiga dimensi yang perlu diperhatikan apabila hendak mengukur keyakinan diri seseorang, yaitu dimensi tingkat


(20)

(level), dimensi generalisasi (generality), dan dimensi kekuatan (strength). Dimensi tingkat menunjukkan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah dengan derajat kesulitan yang berbeda-beda. Dimensi generalisasi adalah persepsi kompetensi individu atas tingkat pencapaian keberhasilannya dalam mengatasi tugas-tugas dalam kondisi tertentu, sedangkan dimensi kekuatan adalah tingkat kuat atau lemahnya keyakinan (beliefs) individu mengenai kompetensi diri yang dipersepsinya.

a. Dimensi tingkat (level)

Dimensi tingkat adalah dimensi yang berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dapat diatasi oleh seseorang sebagai hasil persepsi tentang kompetensi dirinya. Dimensi ini mengacu pada persepsi individu terhadap kompetensi dirinya untuk menghasilkan suatu tingkah laku yang diukur melalui tingkatan dari tuntutan tugas yang merepresentasikan variasi dari kesukaran atau tantangan tugas.

Tingkat tuntutan tugas dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kepandaian/kecerdikan, usaha, ketepatan, produktivitas, dan pengaturan diri (self regulation). Individu dengan tingkat yang tinggi memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengerjakan tugas-tugas yang sukar, sedangkan individu dengan tingkat yang rendah memiliki keyakinan bahwa dirinya hanya mampu mengerjakan tugas-tugas yang mudah, akibatnya akan rentan


(21)

terhadap tekanan.

b. Dimensi generalisasi (generality)

Dimensi generalisasi yaitu dimensi yang berhubungan dengan luas bidang perilaku atau tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah/tugas-tugasnya dalam kondisi tertentu. Keyakinan terhadap kemampuan diri juga berbeda dalam generalisasinya, artinya seseorang mungkin menilai keyakinan dirinya untuk aktivitas-aktivitas yang luas atau hanya untuk bidang-bidang tertentu saja.

Dimensi ini dapat bervariasi dalam beberapa hal, seperti: 1) Derajat kesamaan aktivitas

2) Modal dimana kemampuan terlihat (tingkah laku, kognitif, afektif)

3) Kualitatif tampilan terhadap suatu situasi.

Tingkat generalisasi yang tinggi akan membuat individu yakin akan kompetensinya untuk melaksanakan tugas dalam berbagai situasi, sedangkan individu dengan tingkat generalisasi rendah akan menganggap dirinya hanya mampu melaksanakan tugas dalam situasi tertentu.

c. Dimensi kekuatan (strength)

Dimensi kekuatan yaitu dimensi yang berhubungan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan tentang kompetensi yang dipersepsinya. Pengalaman yang berulang dapat dengan


(22)

mudah meniadakan keyakinan terhadap kemampuan diri yang lemah. Individu yang memiliki keyakinan (belief) yang kuat mengenai kemampuannya akan mempertahankan usahanya meskipun menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan. Individu dengan tingkat kekuatan tinggi akan memiliki keyakinan yang kuat akan kompetensi diri sehingga tidak mudah menyerah atau frustrasi dalam menghadapi rintangan dan memiliki kecenderungan untuk berhasil lebih besar daripada individu dengan kekuatan rendah. Individu dengan tingkat kekuatan rendah cenderung mudah terguncang oleh hambatan kecil dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

Bandura (2006) dalam artikel yang berjudul Guide For Constructing Self-efficacy Scales menegaskan bahwa pengukuran ketiga dimensi tersebut di atas diduga paling akurat untuk menjelaskan self-efficacy seseorang karena bersifat spesifik dalam tugas dan situasi yang dihadapinya. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang tinggi pada situasi tugas atau situasi tertentu, namun pada tugas atau situasi yang lain mungkin berbeda.

Self-efficacy bersifat konstektual, artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Umumnya self-efficacy akan menghasilkan suatu tampilan yang baik berkenaan dengan keyakinan tersebut.


(23)

5. Pengaruh Self-efficacy pada Tingkah Laku

Menurut Bandura dalam Susiati (2008) self-efficacy akan mempengaruhi bagaimana individu merasakan, berpikir, memotivasi diri sendiri, dan bertingkah laku. Self-efficacy atau kapabilitas yang dimiliki individu akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam beberapa hal, seperti:

a. Tindakan Individu, self-efficacy menentukan kesiapan individu dalam merencanakan apa yang harus dilakukannya. Individu dengan keyakinan diri tinggi tidak mengalami keragu-raguan dan mengetahui apa yang harus dilakukannya.

b. Usaha, self-efficacy mencerminkan seberapa besar upaya yang dikeluarkan individu untuk mencapai tujuannya. Individu dengan keyakinan terhadap kemampuan diri tinggi akan berusaha maksimal

c. Daya tahan individu dalam menghadapi hambatan atau rintangan dan kegagalan, individu dengan self-efficacy tinggi mempunyai daya tahan yang kuat dalam menghadapi rintangan atau kegagalan, serta dengan mudah mengembalikan rasa percaya diri setelah mengalami kegagalan. Individu juga beranggapan bahwa kegagalan dalam mencapai tujuan adalah akibat dari kurangnya pengetahuan, bukan karena kurangnya keahlian yang dimilikinya. Hal ini membuat individu berkomitmen terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Apabila individu telah memiliki pilihan karir


(24)

yang sesuai dengan minatnya, maka ia tidak akan mudah menyerah jika menemukan hambatan dalam proses pencapaian tujuannya. Individu akan menganggap kegagalan sebagai bagian dari proses, dan tidak menghentikan usahanya.

d. Ketahanan individu terhadap keadaan tidak nyaman, dalam situasi tidak nyaman, individu dengan self-efficacy diri tinggi menganggap sebagai suatu tantangan, bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari. Ketika individu mengalami keadaan tidak nyaman dalam usaha untuk mencapai tujuan yang diminati, ia akan tetap berusaha bertahan dengan mengabaikan ketidaknyamanan tersebut dan berkonsentrasi penuh.

e. Pola pikir, situasi tertentu akan mempengaruhi pola pikir individu. Individu dengan self-efficacy tinggi, pola pikirnya tidak mudah terpengaruh oleh situasi lingkungan dan tetap memiliki cara pandang yang luas dari beberapa sisi. Cara pandang individu yang luas memungkinkan individu memiliki alternatif pilihan karir yang banyak dari bidang yang diminati.

f. Stres dan depresi, bagi individu yang memiliki self-efficacy rendah, kecemasan yang terbangkitkan oleh stimulus tertentu akan membuatnya mudah merasa tertekan. Jika perasaan tertekan tersebut berkelanjutan, maka dapat mengakibatkan depresi. Dalam upaya memilih karir yang sesuai dengan minatnya, jika individu menganggap realitas sulitnya jalur yang harus ditempuh,


(25)

prospek dunia kerja di masa depan dan sebagainya sebagai sumber kecemasan, dan individu meragukan kemampuannya, maka individu akan menjadi lebih mudah tertekan.

g. Tingkat pencapaian yang akan terealisasikan, Individu dengan self-efficacy tinggi dapat membuat tujuan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta mampu menentukan bidang karir atau pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuannya tersebut.

6. Manfaat dan Fungsi Self-efficacy

Self-efficacy yang merupakan salah satu faktor determinan yang mempengaruhi perilaku individu memiliki manfaat yang cukup besar dalam kehidupan individu di antaranya, yaitu sebagai:

a. Pembentukan Perilaku. Individu yang memiliki Self-efficacy akan selalu menerapkan apa yang akan dilakukannya dalam menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

b. Motivasi Diri. Individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi akan memiliki kualitas dan kuantitas yang baik dalam melakukan segala usahanya dan tidak akan mudah menyerah dalam mencapai keinginannya.

c. Pola Pikir. Individu yang memiliki Self-efficacy memiliki pola pikir yang positif, jika ia menemui suatu masalah maka secara otomatis otaknya akan membuat rencana untuk menghadapi


(26)

masalah tersebut. Selain itu Self-efficacy juga berpengaruh terhadap bagaimana individu menanggapi suatu kegagalan. Kegagalan yang terjadi dianggap sebagai keberhasilan yang tertunda, bukan merupakan hal yang harus terus-menerus dipikirkan atau disesali.

Wulansari (2001) menguraikan beberapa fungsi Self-efficacy: a. Pilihan Perilaku. Dengan adanya Self-efficacy yang dimiliki,

individu akan menetapkan tindakan apa yang akan ia lakukan dalam menghadapi suatu tugas untuk mencapai tujuan yang diiinginkannya.

b. Pilihan Karir. Self-efficacy merupakan mediator yang cukup berpengaruh terhadap pemilihan karir seseorang. Bila seseorang merasa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam karir tertentu maka biasanya ia akan memilih karir tesebut.

c. Kuantitas usaha dan keinginan untuk bertahan pada suatu tugas. Individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi biasanya akan berusaha keras untuk menghadapi kesulitan dan bertahan dalam mengerjakan suatu tugas bila mereka telah mempunyai keterampilan prasyarat. Sedangkan individu yang mempunyai Self-efficacy yang rendah akan terganggu oleh keraguan terhadap kemampuan diri dan mudah menyerah bila menghadapi kesulitan dalam mengerjakan tugas.


(27)

tugas secara lebih mendalam dan keterlibatan kognitif dalam belajar memiliki hubungan yang erat dengan Self-efficacy yang tinggi.

7. Cara Meningkatkan Self-efficacy

Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan dan mengoptimalkan Self-efficacy seseorang. Kear dalam Sudrajat (2008) menjelaskan cara-cara sebagai berikut.

a. Menempatkan pengetahuan sebagai kunci. Manusia perlu memahami diri sendiri, latar belakang berperilaku, serta mengidentifikasi kelebihan dan kelemahannya. Jika respons yang selama ini belum dapat merealisasikan harapan-harapan hidupnya, maka ia perlu belajar lagi untuk menambah pengetahuan, sikap, dan pengalaman-pengalamannya.

b. Seseorang tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana cara melakukannya karena ia tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang tepat atau memadai. Ia harus belajar bagaimana cara menggunakan akalnya secara efektif, memfokuskan pada suatu kegiatan, dan mengontrol pikirannya sebagai suatu keterampilan yang diperlukan untuk menunjang usaha dan pencapaian tujuannya.

c. Mau menantang asumsi sendiri. Seseorang harus menyiapkan diri menghadapi tantangan yang ada berdasarkan kemampuan, bakat, dan kompetensinya. Ia perlu memperkuat mentalnya dalam


(28)

mengurangi rasa takut dan agar terlihat potensi aktualnya. Keefektifan akan meningkat bila terdapat perbedaan persepsi terhadap realitas yang ada.

d. Ubahlah cara berpikir tentang diri sendiri dan berbagai hal di dalamnya melalui pemahaman dan pengaplikasian beberapa prinsip dasar keberhasilan. Tidak diperlukan beratus cara untuk mengubah cara berpikir, mungkin hanya perlu menciptakan sedikit perbedaan. Keterbatasan cara berpikir akan berpengaruh terhadap keyakinan seseorang tentang kemampuannya dalam menyelesaikan tugas atau tuntutan pekerjaannya.

e. Kerjakan sesuatu oleh sendiri. Cara lain untuk meningkatkan self-efficacy seseorang dan mengetahui bahwa sesuatu dapat diselesaikan oleh dirinya sendiri. Jika hal ini gagal, coba sekali lagi dan berikan reaksi yang positif terhadap kegagalan tersebut. Tanya pada diri sendiri, apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dirinya, mencoba mulai lagi dari yang terkecil serta lanjutkan dengan cara berikutnya.

f. Jika hal ini berhasil, artinya ia mungkin mendapat cukup informasi. Keberhasilan menyelesaikan tugas atau tuntutan pekerjaan ini akan turut meningkatkan Self-efficacy, motivasi, dan memperdalam keyakinan diri untuk mencapai keberhasilan. g. Lihat bagaimana orang lain berperilaku atau bekerja. Pelajari cara


(29)

sehingga ia berhasil. Seseorang dapat menentukan keefektifannya dengan cara melihat hasil yang diperolehnya. Melalui observasi terhadapnya, hal ini akan meningkatkan kesadaran seseorang, menawarkan berbagai pilihan, dan memperjelas gambaran-gambaran yang mungkin dihasilkan dari perilaku yang ditampilkan.

h. Tidak ada yang mustahil jika seseorang mau berusaha. Kemudian ia meniru apa yang dikerjakan oleh pakar melalui perilaku atau model-model pekerjaan yang relatif sama. Orang yang berhasil dapat membantu seseorang mengembangkan pola pikir yang sama tentang harapannya atas penyelesaian suatu tugas atau pekerjaannya.

i. Merencanakan dan mempersiapkan. Merencanakan dan mempersiapkan sesuatu dapat membantu seseorang mencapai hasil yang lebih baik dan berhasil mencapai tujuannya tersebut. Mau bertukar pikiran atau ide, menetapkan tujuan, mencatat langkah-langkah persiapan yang diperlukan untuk meningkatkan kualifikasi diri sendiri dalam meningkatkan hasil, dan mengontrolnya. Melalui kegiatan ini tidak akan terjadi pemborosan waktu dan energi.

j. Segalanya dihitung. Direncanakan dan dipersiapkan setiap hari, minggu, bulan, dan setiap tahun sebab hidup seseorang harus direncanakan dan dipersiapkan. Langkah merencanakan dan


(30)

mempersiapkan ini mengarahkan pada suatu keadaan model berpikir bahwa tidak ada yang mustahil jika seseorang mau berusaha.

k. Gunakan pikiran dan akal sehat secara efektif. “Jika seseorang berpikiran kalah maka kalahlah ia”. Seseorang harus mempunyai trik dalam meningkatkan keyakinannya yang tidak efektif, tidak kompeten, dan banyak hal yang semuanya memuat ungkapan tidak mungkin. Keyakinan, identitas, dan bahasa yang dipergunakan oleh seseorang dapat membawanya ke arah atau keadaan yang sulit.

l. Seseorang dapat mengembalikan kendali dirinya untuk mengubah garis kehidupannya melalui penggunaan pikiran dan akal sehatnya untuk membentuk kembali dan membuat trik yang baru. Hanya gambaran diri yang mempunyai kekuatanlah yang mau dilihat, atau hanya kata-kata yang menggambarkan tentang kekuatanlah yang mau didengarkan serta cuma perasaan-perasaan yang berisikan pengalaman keberhasilanlah yang mau dihayati secara internal. Apapun yang terjadi di dalam maka

2.1.4. Budaya Organisasi 1. Pengertian

Menurut Robbins (2007) budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lain. Sistem makna


(31)

bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi.

Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya atau tidak. Budaya organisasi adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai, dan ekspektasi. Schein (1981) dalam Ivancevich et.al., (2005) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya.

Definisi Schein menunjukkan bahwa budaya melibatkan asumsi, adaptasi, persepsi dan pembelajaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa budaya organisasi memiliki iga lapisan, lapisan pertama mencakup artifak dan ciptaan yang tampak nyata tetapi seringkali tidak dapat diinterpretasikan. Di lapisan kedua terdapat nilai atau berbagai hal yang penting bagi orang. Nilai merupakan kesadaran, hasrat afektif, atau keinginan. Pada lapisan ketiga merupakan asumsi dasar yang diciptakan orang untuk memandu perilaku mereka.


(32)

Termasuk dalam lapisan ini adalah asumsi yang mengatakan kepada individu bagaimana berpersepsi, berpikir, dan berperasaan mengenai pekerjaan, tujuan kinerja, hubungan manusia, dan kinerja rekan kerja 2. Fungsi Budaya Organisasi

Robbins (2007) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu:

a. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.

c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang.

d. Budaya memantapkan sistem sosial, yang artinya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.

e. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.

Secara alami budaya sukar dipahami, tidak berwujud, implisit dan dianggap biasa saja. Tetapi semua organisasi mengembangkan seperangkat inti pengandaian, pemahaman, dan aturan implisit yang


(33)

mengatur perilaku sehari-hari dalam tempat kerja. Peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan semakin penting bagi organisasi.

Dengan dilebarkannya rentang kendali, didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim, dikuranginya formalisasi, dan diberdayakannya karyawan oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang kuat. memastikan bahwa semua karyawan diarahkan kearah yang sama. Pada akhirnya budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.

3. Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins dalam Umar (2008) menyatakan untuk menilai kualitas budaya organisasi suatu organisasi dapat dilihat dari sepuluh faktor utama, yaitu sebagai berikut:

a. Inisiatif individu, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dipunyai individu.

b. Toleransi terhadap tindakan beresiko, yaitu sejauhmana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko.

c. Arah, yaitu sejauhmana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.

d. Integrasi, yaitu tingkat sejauhmana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi.


(34)

e. Dukungan Manajemen, yaitu tingkat sejauhmana para manajer memberi komunikasi yang jelas, bantuan serta dukungan terhadap bawahan mereka.

f. Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.

g. Identitas, yaitu tingkat sejauhmana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya daripada dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional. h. Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauhmana alokasi imbalan

(kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, pilih kasih, dan sebagainya. i. Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauhmana para

pegawai didorong untuk mengemukakan konflik kritik secara terbuka.

j. Pola-pola komunikasi, yaitu tingkat sejauhmana komunikasi organisasi dibatasi oleh hirarki kewenangan yang formal.

4. Tipe Budaya Organisasi

Kreitner dan Kinicki dalam Wibowo (2010) mengemukakan adanya 3 (tiga) tipe umum budaya organisasi antara lain:

a. Budaya konstruktif (constructive culture) merupakan budaya di mana pekerja didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan bekerja pada tugas dan proyek dengan cara yang akan


(35)

membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang.

b. Budaya pasif-defensif (passive-defensive culture) mempunyai karakteristik menolak keyakinan bahwa pekerja harus berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tidak menantang keamanan mereka sendiri.

c. Budaya agresif-defensif (aggressive-defensive culture) mendorong pekerja mendekati tugas dengan cara memaksa dengan maksud melindungi status dan keamanan kerja mereka. 5. Dampak Penerapan Budaya Organisasi

Budaya organisasi melibatkan ekspektasi, nilai, dan sikap bersama, hal tersebut memberikan pengaruh pada individu, kelompok, dan proses organisasi (Ivancevich et.al., 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak dari budaya terhadap karyawan menunjukkan bahwa budaya menyediakan dan mendorong suatu bentuk stabilitas. Terdapat perasaan stabilitas, selain perasaan identitas organisasi yang disediakan oleh budaya organisasi. Organisasi yang memiliki budaya yang kuat dicirikan oleh adanya karyawan yang memiliki nilai inti bersama. Semakin banyak karyawan yang berbagi dan menerima nilai inti, semakin kuat budaya, dan semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku.

Dalam suatu budaya kuat, nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Semakin banyak anggota


(36)

organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap komitmen-komitmen tersebut, maka makin kuat budaya tersebut. Suatu budaya kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku-perilaku anggota organisasi karena tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas menciptakan suatu iklim internal dari kendali perilaku yang tinggi.

6. Menciptakan Budaya Organisasi

Robbins (2003) menjelaskan bahwa terciptanya budaya organisasi dimulai dari ide pendiri organisasi. Para pendiri suatu organisasi secara tradisional mempunyai dampak yang besar pada pembentukan budaya organisasi. Para pendiri mempunyai suatu visi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu. Para pendiri tidak dikendalikan oleh kebiasaan ataupun ideologi sebelumnya. Proses pembetukan budaya terjadi dalam tiga cara yaitu:

a. Para pendiri hanya mempekerjakan dan menjaga karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang mereka tempuh.

b. Para pendiri mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan dengan cara berpikir dan merasa mereka.

c. Akhirnya perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai satu model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka.


(37)

satu penentu utama keberhasilan organisasi. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi tertanam dalam budaya organisasi.

7. Mempertahankan Budaya Organisasi

Sekali suatu budaya terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak mempertahankan budaya dengan memberikan kepada para karyawan seperangkat pengalaman yang serupa. Robbins (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga kekuatan yang merupakan bagian yang sangat penting dalam mempertahankan suatu budaya, yaitu:

a. Praktik Seleksi

Tujuan utama dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam suatu organisasi. Proses seleksi memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai organisasi yang akan dimasuki, dan jika mereka merasakan suatu konflik antara nilai mereka dengan nilai organisasi, maka mereka dapat menyeleksi diri keluar dari kumpulan pelamar. Oleh karena itu, seleksi menjadi jalan dua-arah, dengan memungkinkan pemberi kerja atau pelamar untuk memutuskan kehendak hati mereka jika tampaknya terdapat kecocokan. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung


(38)

suatu budaya organisasi dengan menyeleksi keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai intinya.

b. Manajemen Puncak

Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi, misalnya apakah pengambilan risiko diinginkan, berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para manajer kepada bawahan mereka, pakaian apakah yang pantas dan tindakan apakah akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi, dan ganjaran lain.

c. Sosialisasi

Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan suatu organisasi dalam perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya diindoktrinasi dalam budaya organisasi itu. Yang paling penting, karena para karyawan baru tersebut tidak mengenal baik budaya organisasi yang ada. Oleh karena itu, organisasi


(39)

2.1.5. Hubungan Pemberdayaan dengan Kinerja Pegawai

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa tujuan organisasi/instansi akan dapat tercapai dengan baik apabila pegawai dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan efektif dan efisien. Oleh sebab itu diperlukan adanya pemberdayaan aparatur pemerintah agar prestasi kerja meningkat. Pemberdayaan yang dilakukan dapat meningkatkan produktivitas kerja sehingga dapat mempercepat tercapainya tujuan organisasi disamping dari tujuan dari pegawai itu sendiri terwujud.(Notoadmodjo, 2007)

Menurut Sedarmayanti (2007) bahwa pemberdayaan SDM adalah salah satu upaya yang wajib dilakukan bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai iptek, serta kemampuan manajemen, meningkatkan mutu SDM untuk dapat memenuhi tantangan peningkatan perkembangan yang semakin cepat, efisien dan produktif, harus dilakukan secara terus menerus sehingga tetap menjadikan SDM yang produktif.

Pemberdayaan menekankan dua aspek, yaitu pendelegasian wewenang dan pemberian stimulan. Pendelegasian wewenang menyebabkan sebagian wewenang yang ada pada pimpinan beralih kebawahan. Hal ini akan memangkas jalur birokrasi menjadi lebih pendek dan efektif sehingga akan menaikan kinerja. Selanjutnya pemberian stimulan promosi jabatan, gaji dan tunjangan akan


(40)

memberikan motivasi lebih kepada pegawai dalam bekerja, sehingga kinerja pegawai menjadi naik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberdayaa dapat meningkatkan kinerja pegawai.

2.1.6. Hubungan Self Eficacy dengan Kinerja Pegawai

Kepercayaan terhadap kemampuan diri, keyakinan terhadap keberhasilan yang selalu dicapai membuat seseorang bekerja lebih giat dan selalu menghasilkan yang terbaik. Kepercayaan akan kemampuan yang dimiliki akan membuat pegawai merasa bangga. Kebanggan ini akan ditunjukkan seorang pegawai kepada atasannya, bahwasanya ia mampu melaksanakan tugas secara lebih baik dan sungguh-sungguh dari pada orang lain. Hal lain yang coba ditunjukan adalah mencoba pekerjaan yang menantang, dimana orang lain belum tentu bisa melakukannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa self efficacy dapat meningkatkan kinerja pegawai.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dale Schunk dalam Paulus Joko Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy mempengaruhi siswa dalam memilih kegiatannya. Siswa dengan Self-efficacy yang rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang, sedangkan siswa dengan Self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Meta analisis yang dilakukan oleh Judge dan Bono (2001) menemukan ada hubungan positif antara self efficacy dan kinerja


(41)

individual. Penelitian yang dilakukan oleh Amir Erez dan Timothy Judge (2001) juga menyatakan ada hubungan yang positif dan signifikan antara self efficacy dan kinerja individual.

2.1.7. Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Pegawai

Budaya organisasi merupakan persepsi individu atau kelompok dalam organisasi (Gibson, 2000). Budaya organisasi menentukan identitas dari suatu kelompok, dalam kelompok ini diartikan sebagai suatu organisasi (Hofstede, 1996). Hasil studi Kotter dan Hesket (1990; dalam Suharto dan Cahyono, 2005) budaya perusahaan dapat memberikan dampak yang berarti terhadap kinerja ekonomi jangka panjang dan perusahaan akan menjadi faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan organisasi.

Budaya organisasi yang kuat akan memicu karyawan untuk berpikir, berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai organisasi. Kesesuaian antara budaya organisasi dengan anggota organisasi yang mendukungnya akan menimbulkan kepuasan kerja dan kinerja karyawan meningkat, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan (Sutanto, 2002).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan kinerja pegawai telah banyak dilakukan dengan objek dan pendekatan yang berbeda-beda.


(42)

N O Nama Peneliti Judul Penelitian dan Lokasi Tahun Peneli tian Hasil Penelitian 1 Nurchasanah Analisis

Pengaruh Empowerment, Self-efficacy Dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja

Karyawan

2008 Hasil penelitian disimpulkan bahwa self-efficacy, dan budaya organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan.

Kepuasan kerja

berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Sedangkan empowerment tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja maupun kinerja karyawan

2 Riza Nasrullah

Pelaksanaan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Dalam

Meningkatkan Kinerja

Pegawai Pada Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

2008 Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia pada Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung belum sepenuhnya diterapkan dan dilaksanakan dengan baik. Belum terciptanya suatu usaha nyata bagi terciptanya SDM yang berkualitas, memiliki kemampuan

memanfaatkan,

mengembangkan dan menguasai iptek, serta belum optimal dalam kemampuan manajemen untuk dapat memenuhi tantangan peningkatan perkembangan yang semakin cepat, efisien dan produktif

3 Siti Asih

Nadhiroh PengaruhKompleksitas Tugas,

Orientasi

2010 Hasil dari penelitian ini ternyata hanya mendukung satu dari lima proses hipotesis yang diajukan


(43)

Tujuan, dan Self-Efficacy Terhadap Kinerja Auditor Dalam Pembuatan Audit Judgment yaitu orientasi penghindaran; kinerja berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit

judment. Sedangkan

variabel lain yaitu kompleksitas tugas, orientasi tujuan pembelajaran dan self eficacy serta orientasi tujuan pendekatan: kinerja yang bernteraksi dengan kompleksitas tugas tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judment. hal ini mungkin disebabkan pengaruh variabel lain sebesar 65,4%

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurchasanah (2008), Riza Nasrullaoh (2008) dan Siti Asih Nadhiroh (2010) adalah:

1. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurchasanah (2008) adalah obyek penelitian, sampel dan analisis. Obyek penelitian ini adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kebumen dengan 45 responden, analisis data menggunakan regresi linear berganda, sedangkan obyek penelitian yang dilakukan Nurcahasanah adalah dengan 161 responden, dengan menggunakan analisis Stuructural Equation Modeling.

2. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Riza Nasrulloh (2008) adalah pada jumlah variabel independen, sampel,


(44)

obyek penelitian dan analisis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Riza Nasrulloh hanya terdapat satu variabel independen yaitu pemberdayaan. Jumlah sampel sebanyak 21 responden, analisis yang digunakan adalah deskriptif.

3. Perberdaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Asih Nadhiroh (2010) adalah pada variabel indenpenden, obyek/lokasi penelitian dan jumlah sampel. Variabel independen penelitian yang dilakukan oleh Siti Asih Nadhiroh adalah Kompleksitas Tugas, Orientasi Tujuan, dan Self-Efficacy, jumlah sampel sebanyak 52 responden dan lokasi penelitian Kabupaten semarang.

2.3 KERANGKA PEMIKIRAN

Berdasarkan kajian teori tentang kinerja pegawai, pemberdayaan, self eficacy dan budaya organisasi, maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti yang disajikan dalam gambar berikut :

Gambar II-1 Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan (X1)

Self Eficacy (X2)

Budaya Organisasi (X3)


(45)

2.4 HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2007). Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan teoritis, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1 : Terdapat pengaruh signifikan variabel pemberdayaan terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H2 : Terdapat pengaruh signifikan variabel self eficacy terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H3 : Terdapat pengaruh signifikan variabel budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H4 : Terdapat pengaruh secara bersama-sama variabel pemberdayaan, self eficacy dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.


(1)

memberikan motivasi lebih kepada pegawai dalam bekerja, sehingga kinerja pegawai menjadi naik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberdayaa dapat meningkatkan kinerja pegawai.

2.1.6. Hubungan Self Eficacy dengan Kinerja Pegawai

Kepercayaan terhadap kemampuan diri, keyakinan terhadap keberhasilan yang selalu dicapai membuat seseorang bekerja lebih giat dan selalu menghasilkan yang terbaik. Kepercayaan akan kemampuan yang dimiliki akan membuat pegawai merasa bangga. Kebanggan ini akan ditunjukkan seorang pegawai kepada atasannya, bahwasanya ia mampu melaksanakan tugas secara lebih baik dan sungguh-sungguh dari pada orang lain. Hal lain yang coba ditunjukan adalah mencoba pekerjaan yang menantang, dimana orang lain belum tentu bisa melakukannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa self efficacy dapat meningkatkan kinerja pegawai.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dale Schunk dalam Paulus Joko Sigiro dan Cahyono (2005) Self-efficacy mempengaruhi siswa dalam memilih kegiatannya. Siswa dengan Self-efficacy yang rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang, sedangkan siswa dengan Self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya.

Meta analisis yang dilakukan oleh Judge dan Bono (2001) menemukan ada hubungan positif antara self efficacy dan kinerja


(2)

individual. Penelitian yang dilakukan oleh Amir Erez dan Timothy Judge (2001) juga menyatakan ada hubungan yang positif dan signifikan antara self efficacy dan kinerja individual.

2.1.7. Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Pegawai

Budaya organisasi merupakan persepsi individu atau kelompok dalam organisasi (Gibson, 2000). Budaya organisasi menentukan identitas dari suatu kelompok, dalam kelompok ini diartikan sebagai suatu organisasi (Hofstede, 1996). Hasil studi Kotter dan Hesket (1990; dalam Suharto dan Cahyono, 2005) budaya perusahaan dapat memberikan dampak yang berarti terhadap kinerja ekonomi jangka panjang dan perusahaan akan menjadi faktor yang bahkan lebih penting lagi dalam menentukan keberhasilan organisasi.

Budaya organisasi yang kuat akan memicu karyawan untuk berpikir, berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai organisasi. Kesesuaian antara budaya organisasi dengan anggota organisasi yang mendukungnya akan menimbulkan kepuasan kerja dan kinerja karyawan meningkat, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan (Sutanto, 2002).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan kinerja pegawai telah banyak dilakukan dengan objek dan pendekatan yang berbeda-beda.


(3)

N O Nama Peneliti Judul Penelitian dan Lokasi Tahun Peneli tian Hasil Penelitian 1 Nurchasanah Analisis

Pengaruh Empowerment, Self-efficacy Dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Dalam Meningkatkan Kinerja

Karyawan

2008 Hasil penelitian disimpulkan bahwa self-efficacy, dan budaya organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja karyawan.

Kepuasan kerja

berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Sedangkan empowerment tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja maupun kinerja karyawan

2 Riza Nasrullah

Pelaksanaan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Dalam

Meningkatkan Kinerja

Pegawai Pada Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

2008 Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia pada Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung belum sepenuhnya diterapkan dan dilaksanakan dengan baik. Belum terciptanya suatu usaha nyata bagi terciptanya SDM yang berkualitas, memiliki kemampuan

memanfaatkan,

mengembangkan dan menguasai iptek, serta belum optimal dalam kemampuan manajemen untuk dapat memenuhi tantangan peningkatan perkembangan yang semakin cepat, efisien dan produktif

3 Siti Asih

Nadhiroh PengaruhKompleksitas Tugas,

Orientasi

2010 Hasil dari penelitian ini ternyata hanya mendukung satu dari lima proses hipotesis yang diajukan


(4)

Tujuan, dan Self-Efficacy Terhadap Kinerja

Auditor Dalam Pembuatan Audit Judgment

yaitu orientasi penghindaran; kinerja berpengaruh negatif terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judment. Sedangkan variabel lain yaitu kompleksitas tugas, orientasi tujuan pembelajaran dan self eficacy serta orientasi tujuan pendekatan: kinerja yang bernteraksi dengan kompleksitas tugas tidak berpengaruh terhadap kinerja auditor dalam pembuatan audit judment. hal ini mungkin disebabkan pengaruh variabel lain sebesar 65,4%

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurchasanah (2008), Riza Nasrullaoh (2008) dan Siti Asih Nadhiroh (2010) adalah:

1. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurchasanah (2008) adalah obyek penelitian, sampel dan analisis. Obyek penelitian ini adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kebumen dengan 45 responden, analisis data menggunakan regresi linear berganda, sedangkan obyek penelitian yang dilakukan Nurcahasanah adalah dengan 161 responden, dengan menggunakan analisis Stuructural Equation Modeling.

2. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Riza Nasrulloh (2008) adalah pada jumlah variabel independen, sampel,


(5)

obyek penelitian dan analisis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Riza Nasrulloh hanya terdapat satu variabel independen yaitu pemberdayaan. Jumlah sampel sebanyak 21 responden, analisis yang digunakan adalah deskriptif.

3. Perberdaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Asih Nadhiroh (2010) adalah pada variabel indenpenden, obyek/lokasi penelitian dan jumlah sampel. Variabel independen penelitian yang dilakukan oleh Siti Asih Nadhiroh adalah Kompleksitas Tugas, Orientasi Tujuan, dan Self-Efficacy, jumlah sampel sebanyak 52 responden dan lokasi penelitian Kabupaten semarang.

2.3 KERANGKA PEMIKIRAN

Berdasarkan kajian teori tentang kinerja pegawai, pemberdayaan, self eficacy dan budaya organisasi, maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti yang disajikan dalam gambar berikut :

Gambar II-1 Kerangka Pemikiran

Pemberdayaan (X1)

Self Eficacy (X2)

Budaya Organisasi (X3)


(6)

2.4 HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2007). Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan teoritis, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1 : Terdapat pengaruh signifikan variabel pemberdayaan terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H2 : Terdapat pengaruh signifikan variabel self eficacy terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H3 : Terdapat pengaruh signifikan variabel budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.

H4 : Terdapat pengaruh secara bersama-sama variabel pemberdayaan, self eficacy dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai di Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan Kabupaten Kebumen.