INTERPRETASI SEISMIK 3D PADA LINGKUNGAN PENGENDAPAN LAUT DALAM PADA LAPANGAN “SOE” DI PAPUA

(1)

3D SEISMIC SEQUENCES INTERPRETATION IN DEEP WATER DEPOSITIONAL ENVIRONMENT ON “SOE” FIELD, PAPUA

By

BERIYAN ADEAM

Eastern Indonesia has a much different geological structure than the other Indonesia’s Region. Eastern Indonesia’s geological structure, especially West Papua, is affected by Indo-Australian Plate which is much older than Eurasian Plate that forms the Western Indonesia. It makes a unique and complicated geological structure in West Papua. Seismic interpretation has been done at intervals Last Cretaceous through to Middle Eocene. Overall, the orientation of its depositional environment is about N135oE. The basin physiography is interpreted on seismic section by flattening the BASE-Z horizon. The clinoform dip angle of Paleocene is about 1.6o (BASE-Z - MID-Z) to 2.5o (MID-Z - TOP-Z). The slope of the Paleocene is quietly flat and long, so that the Paleocene slope-break which is outside the observation area cannot be determined. The MID-Z shelf-edge is in the northern EM-8 wells, while the TOP-Z is in the northern EM-5 wells. In the Late Paleocene to Middle Eocene occurred progradation where the slope is formed has a dip angle of about 4o (BER-A and BER-B) to 6o (BER-C). It slope-break is stopped right at the TOP-Z. Based on seismic data, clinoform that formed in the Middle Eocene cut off by fairly extensive erosion along the Middle Eocene. The erosion also eliminates the shelf-edge of the clinoform in the Middle Eocene. That erosion is identified as the upper boundary of this sequence depositional environment. Depositional environment of Late Cretaceous to Late Paleocene has two segments of the system tract that begins with Lowstand System Tract (LST) between BASE-Z and MID-Z, and followed by Highstand System Tract (HST) between MID-Z and TOP-Z. In between these two segments system tracts is expected there are Transgressive System Tract (TST) which is separates the LST and HST in the Paleocene, but this remains to be proved by clearer seismic data. While progradation in the Middle Eocene is part of the Shelf Margin System Tract (SMST) which is truncated by erosion (TOP-ABC).


(2)

INTERPRETASI SEISMIK 3D PADA LINGKUNGAN PENGENDAPAN LAUT DALAM PADA LAPANGAN “SOE” DI PAPUA

Oleh

BERIYAN ADEAM

Indonesia Bagian Timur memiliki struktur geologi yang jauh berbeda dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Struktur geologi Indonesia Timur, terutama Papua Barat, dipengaruhi oleh Lempeng Indo-Australia yang umurnya jauh lebih tua dibandingkan dengan Lempeng Eurasia yang membentuk Indonesia Bagian Barat. Hal ini membuat struktur geologi yang unik dan kompleks di Papua Barat. Interpretasi seismik telah dilakukan pada interval Krestaseus Akhir hingga Eosen Tengah. Secara keseluruhan orientasi lingkungan pengendapan ini berada pada N1350E. Fisiografi basin diinterpretasikan pada

seismic section dengan melakukan flattening pada horison BASE-Z. Sudut jatuh

clinoform pada umur Paleosen berkisar antara 1.6o (BASE-Z – MID-Z) hingga

2.5o (MID-Z – TOP-Z). Slope pada umur Paleosen juga cukup landai dan panjang, sehingga slope-break Paleosen yang berada di luar daerah pengamatan tersebut tidak dapat ditentukan. Untuk shelf-edge MID-Z berada di utara sumur EM-8, sedangkan pada TOP-Z berada di utara sumur EM-5. Pada Paleosen Akhir hingga Eosen Tengah terjadi progradation dimana slope yang terbentuk memiliki sudut jatuh sekitar 4o (BER-A dan BER-B) hingga 6o (BER-C). Slope break ini berhenti tepat di TOP-Z. Berdasarkan data seismik, clinoform yang terbentuk pada Eosen Tengah terpotong sebagian oleh erosi yang cukup luas di sepanjang Eosen Tengah. Erosi ini juga menghilangkan shelf-edge dari clinoform pada Eosen Tengah. Erosi tersebut diidentifikasikan sebagai batas atas sekuen lingkungan pengendapan ini. Lingkungan pengendapan pada umur Kretasius Akhir hingga Paleosen Akhir memiliki dua segmen system tract yang diawali dengan Lowstand

System Tract (LST) antara BASE-Z dan MID-Z, dan diikuti dengan Highstand

System Tract (HST) antara MID-Z dan TOP-Z. Di antara kedua segmen system

tract tersebut diperkirakan terdapat Transgressive System Tract (TST) yang

memisahkan LST dan HST di umur Paleosen, namun hal ini masih harus dibuktikan dengan data seismik yang lebih jelas lagi. Sedangkan progradation

pada umur Eosen Tengah merupakan bagian dari Shelf Margin System Tract

(SMST) yang terpotong oleh erosi (TOP-ABC). Kata kunci : Seismik 3D, system tract, slope


(3)

DI PAPUA

Oleh

BERIYAN ADEAM

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

-:

. .:.'. ];.. ..'t't: J 1 ;..:;.1.,.,'.

,,,;,,, :::

g7,;,4,;t ;r,r.t, \-i',.1;ii::i'] l4i''3 :- J l"l t1i !:i t.il);l1,rr.n,r-

i


(5)

i:.3a.:r'. i,..il,\':i.i.,/i::.:;;;;yr..,....

.,, 1rt ii.::.a.:|::::.i."t!:.::.:, i it ".... , , ..-:. t2.,i!\ I

: -. . r , ' : :n'.::, a\..'.i

.. ;,,;:.:.:. ':: t,..,,..,.,..,j'., ..: ..; ,.,1:,"i".it.li): ',1 .ttii|ii: i.t:.t i,;41;; i. jt,

'ii:t:irni1..!zt;.ii1i]'..i1'ii:t!.!l'it,,,,;1,;;,:.,1".::;i.ir.:,;,i1i;::i,

-.,i.,, .' : i'i 'i : i'.;' ' l'ir,':.. ,.j;,,.,.,-. :.iii i:!..,:.

$* ,, ,.. ,.. , , t.

., ,',': a

ji\iit;i,,:i.gil-f

l:;,i7 i-itt;,!..i":J,t :..: rr ','. :tr'"r :i -'t )"') :.l14ttrrrr:i;l;;i1-1:t,y1 tr-!2.!;.!ttr:i\.


(6)

Dengan ini saya rwryatakan batrus dalam

slsisi

ini tidak t€rdsst kerya yxrg pqsah dilah*Bn oleh ora*g laia dsn spaqiailg pngetahuan saya juga tidak

t€r&pat karya aiau pe'ndapat yaag dihdis atau ditc$id(aa oleh orang lain kecuali

]taug

wm

ielgltis diacu dalas rraskgh ini sebagairna@ disehAkaa dalam daftsr

srslg.

selain

itu

saya rrmyatakan pula

hhwa

s*dpsi

ini dihnt

oleh saya

di{i.

JSXbila penRyaraan uya iai tidak benar ffi:ra saya hmdi;a dik€aai sanksi ssuai

&-agen huhlm yang

balakr

l'

M3rlprsr&

2? Jrynnri 2015

,. uftry']


(7)

RIWAYAT HIDUP

Beriyan Adeam, dilahirkan di Jatimulyo pada tanggal 08 April 1992 dari pasangan Bapak Soeparyono dan Ibu Endang Mardarita (alm.), yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis mengenyam pendidikan formalnya dimulai sejak Taman Kanak-kanak (TK) Al-Azhar 3 Jatimulto yang diselesaikan pada tahun 1998, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Jatimulyo pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 29 Bandar Lampung pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diselesaikan di SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2010.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Geofisika, Fakultas Teknik, Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis terdaftar dan aktif di beberapa Organisasi Kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika Bhuwana (HIMA TG Bhuwana) sebagai Ketua bidang Sains dan Teknologi pada tahun 2012-2013, American

Association of Petroleum Geologist Student Chapter Unila (AAPG SC Unila)

sebagai Wakil Ketua divisi Publication pada tahun 2013-2014, Himpunan

Mahasiswa Geofisika Indonesia Regional Sumatra (HMGI Reg. Sumatra) sebagai Koordinator Wilayah pada tahun 2013-2014, serta Society of Exploration


(8)

viii

Geophysicist Student Chapter Unila (SEG SC Unila) sebagai Vice President pada

tahun 2013-2014. Selain itu, penulis juga pernah mendapatkan beasiswa dari Perusahaan Gas Negara (PGN) sejak tahun 2011 hingga 2013 serta pernah menjadi Student Volunteer untuk Forum Anggota Muda Persatuan Insinyur

Indonesia (FAM PII) dalam acara Conference ASEAN Federation of Engineering

Organization (CAFEO) 31st di Jakarta.

Pada bulan Oktober 2013, penulis melaksanakan Kerja Praktek (KP) di PT Pertamina EP Asset 2, Prabumulih dengan mengambil judul “Interpretasi Data Seismik 2D dengan Metode Seismik Inversi untuk Menentukan Perlapisan Bawah Permukaan pada Lapangan X Menggunakan Hampson Russel

Software”. Kemudian pada bulan Agustus 2014, penulis melakukan penelitian

sebagai bahan penyusunan Tugas Akhir di British Petroleum Indonesia. Hingga akhirnya penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya pada bulan Januari tahun 2015 dengan skripsi yang berjudul “Interpretasi Sekuen Seismik 3D pada Lingkungan Pengendapan Laut Dalam pada Lapangan “SOE” di Papua”.


(9)

Kepada

Almarhumah Ibunda ku tercinta, Endang Mardarita

Ayahanda ku terkasih, Soeparyono

Yang tersayang, kakak perempuan ku Adela Margaret dan suaminya Susanto,

serta keponakan ku Khodi Zaidan


(10)

“Karena sesungguhnya sesudah ada kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah ada kesulitan ada kemudahan.”

(QS Al-Insyirah: 5-6)

“Barang siapa yang menginginkan dunia, hendaklah ia berilmu, Barang siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu, Barang siapa yang menginginkan

kedua-duanya sekaligus, ia pun harus berilmu.” (Nabi Muhammad SAW)

“Tidak bertindak karena menunggu hilangnya rasa malas adalah bentuk kemalasan yang lebih parah lagi.”

(Anonim)

“Success is not final, failure is not fatal, it is the courage to continue that counts.”

(Winston Churchill)

“Each person has their own destiny, but they have 99% part to choose their own”

(Beriyan Adeam)

“A journey of a thousand miles begins with a single step”

(Lao Tzu)

“Man jadda wa jada, man shabara zhafira”


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

HALAMAN MOTTO ... x

KATA PENGANTAR ... xi

SANWACANA ... xii

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geomorfologi Daerah Penelitian ... 4


(12)

xviii

2.2 Struktur Regional Papua ... 7

2.3 Stratigrafi Papua ... 8

III. TEORI DASAR 3.1 Gelombang Seismik ... 15

3.2 Impedansi Akustik ... 17

3.3 Koefisien Refleksi ... 18

3.4 Wavelet ... 20

3.5 Seismogram Sintetik ... 23

3.6 Sifat Fisis Batuan ... 24

3.7 Sekuen dan Fasies Seismik ... 25

3.8 System Track ... 27

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

4.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 31

4.3 Diagram Alir ... 34

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengamatan ... 35

5.2 Interpretasi Horison ... 54

5.3 Peta Isochrones ... 80

5.4 Interpretasi Stratigrafi Seismik ... 88

VI. KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ... 113

6.2 Saran ... 114 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Jadwal Penelitian ... 30


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1Peta Lokasi Penelitian ... 4

Gambar 2.2 Elemen Tektonik Kepala Burung ... 6

Gambar 2.3 Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik ... 7

Gambar 2.4 Stratigrafi Papua ... 14

Gambar 3.1 Pemantulan dan pembiasan pada bidang batas dua medium untuk gelombang P ... 15

Gambar 3.2 Impedansi Akustik dan Koefisien Refleksi ... 20

Gambar 3.3 Hubungan Koefisien Refleksi dan amplitudo dan hubungan nilai Impedansi Akustik terhadap amplitudo ... 20

Gambar 3.4 Jenis-jenis wavelet berdasarkan konsentrasi energinya ... 21

Gambar 3.5 Seismogram sintetik ... 24

Gambar 3.6 Diagram Sekuen Stratigrafi ... 26

Gambar 4.1 Data Seismik 3D pada arbitrary seismic line 1 ... 32

Gambar 4.2 Base Map dari Survey Area Lapangan “SOE” ... 33

Gambar 4.3 Diagram Alir ... 34

Gambar 5.1 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-1 ... 36

Gambar 5.2 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-1 terhadap Seismic Volume B land ... 37


(15)

xxi

Gambar 5.5 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-3 ... 40 Gambar 5.6 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-3 terhadap Seismic

Volume A off-shore ... 41

Gambar 5.7 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-4 ... 42 Gambar 5.8 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-4 terhadap Seismic

Volume A off-shore ... 43

Gambar 5.9 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-5 ... 44 Gambar 5.10 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-5 terhadap Seismic

Volume A off-shore ... 45

Gambar 5.11 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-6 ... 46 Gambar 5.12 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-6 terhadap Seismic

Volume B land ... 47

Gambar 5.13 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-7 ... 48 Gambar 5.14 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-7 terhadap Seismic

Volume B land ... 49

Gambar 5.15 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-8 ... 50 Gambar 5.16 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-8 terhadap Seismic

Volume B land ... 51

Gambar 5.17 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-9 ... 52 Gambar 5.18 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-9 terhadap Seismic

Volume A off-shore ... 53

Gambar 5.19 Picking horizon BASE-Z pada Seismic Volume A off-shore ... 55 Gambar 5.20 Hasil interpolasi horison BASE-Z pada area off-shore ... 56 Gambar 5.21 Hasil gabungan interpolasi horison BASE-Z area off-shore

dan land ... 57


(16)

xxii

dan land ... 60

Gambar 5.25 Picking horizon awalMID-Z pada Seismic Volume A off-shore ... 62

Gambar 5.26 Hasil interpolasi awal MID-Z pada area off-shore ... 63

Gambar 5.27 Perluasan picking horizon MID-Z pada area off-shore bagian Timur dan pada area land ... 64

Gambar 5.28 Hasil revisi dan interpolasi horison MID-Z area off-shore dan land ... 65

Gambar 5.29 Picking horizon pada clinoform BER-A pada Seismic Volume A off-shore ... 67

Gambar 5.30 Picking horizon pada clinoform BER-B pada Seismic Volume A off-shore ... 68

Gambar 5.31 Picking horizon pada clinoform BER-C pada Seismic Volume A off-shore ... 69

Gambar 5.32 Hasil interpolasi dan revisi pada clinoform BER-A area off-shore ... 70

Gambar 5.33 Hasil interpolasi dan revisi pada clinoform BER-B area off-shore ... 71

Gambar 5.34 Hasil interpolasi dan revisi pada clinoform BER-C area off-shore ... 72

Gambar 5.35 Picking horizon pada erosi horison TOP-ABC pada Seismic Volume A off-shore dan Seismic Volume B land ... 73

Gambar 5.36 Hasil interpolasi dan revisi pada erosi horison TOP-ABC area off-shore dan land ... 74

Gambar 5.37 Horison TOP-ABC yang telah direvisi ... 75

Gambar 5.38 Horison BASE-Z secara 3D ... 76

Gambar 5.39 Horison MID-Z secara 3D ... 77


(17)

xxiii

Gambar 5.43 Horison BER-C secara 3D ... 79

Gambar 5.44 Horison TOP-ABC secara 3D ... 79

Gambar 5.45 Seluruh horison secara 3D dengan volum seismik ... 80

Gambar 5.46 Peta isochrones MID-Z terhadap BASE-Z ... 82

Gambar 5.47 Peta isochrones TOP-Z terhadap BASE-Z ... 83

Gambar 5.48 Peta isochrones BER-A terhadap TOP-Z ... 84

Gambar 5.49 Peta isochrones BER-B terhadap TOP-Z ... 85

Gambar 5.50 Peta isochrones BER-C terhadap TOP-Z ... 86

Gambar 5.51 Peta isochrones TOP-ABC terhadap TOP-Z ... 87

Gambar 5.52 Peta cross-section dari keempat arbitrary seismic line ... 89

Gambar 5.53 Arbitrary seismic line 1 ... 90

Gambar 5.54 Arbitrary seismic line 1 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 91

Gambar 5.55 Arbitrary seismic line 1 dengan flatten pada BASE-Z ... 92

Gambar 5.56 Arbitrary seismic line 2 ... 94

Gambar 5.57 Arbitrary seismic line 2 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 95

Gambar 5.58 Arbitrary seismic line 2 dengan flatten pada BASE-Z ... 96

Gambar 5.59 Arbitrary seismic line 3 ... 97

Gambar 5.60 Arbitrary seismic line 3 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 97

Gambar 5.61 Arbitrary seismic line 3 dengan flatten pada BASE-Z ... 98

Gambar 5.62 Arbitrary seismic line 4 ... 98

Gambar 5.63 Arbitrary seismic line 4 dengan atribut seismik Ins. Phase ... 99


(18)

xxiv

Gambar 5.67 Interpretasi slope serta lokasi shelf-edge dan slope-break

dari horison BER-A ... 104 Gambar 5.68 Interpretasi slope serta lokasi shelf-edge dan slope-break

dari horison BER- B ... 105 Gambar 5.69 Interpretasi slope serta lokasi shelf-edge dan slope-break

dari horison BER- C ... 106 Gambar 5.70 Lokasi shelf-edge dan slope-break serta sudut slope dari

masing-masing horison pada arbitrary seismic line 1 ... 108

Gambar 5.71 Bentuk system track lingkungan pengendapan pada arbitrary

seismic line 1 dengan flattening pada BASE-Z ... 111

Gambar 5.72 Bentuk system track lingkungan pengendapan pada arbitrary


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bermacam-macam metode penyelidikan digunakan untuk mengungkapkan keadaan geologi bawah permukaan, khususnya dalam menganalisis cekungan, patahan, dan lain-lain yang kemungkinan mengandung minyak dan gas bumi (migas). Metode seismik adalah salah satu metode geofisika yang cukup baik dalam mencitrakan kondisi bawah permukaan dengan menggunakan prinsip perambatan gelombang seismik dan relatif rinci tentang struktur interior bumi.

Secara garis besar, metode seismik dibagi menjadi 3 tahap, yaitu akuisisi data seismik, pengolahan data dan interpretasi data. Ketiga tahapan ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dan tiap-tiap tahapan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya karena satu tahapan akan mempengaruhi tahapan yang lainnya. Artinya, kualitas akuisisi data yang baik akan memberikan hasil yang baik pada pemrosesan data, yang kemudian menghasilkan interpretasi yang baik yang mendekati kondisi bawah permukaan bumi. Jadi, setiap tahapannya saling menunjang (Widiyantoro, 2004).

Stratigrafi cekungan sedimen merupakan respon jangka panjang dari bidang pengendapan terhadap penurunan yang terjadi. Karakteristik geometri


(20)

satuan-satuan stratigrafi itu sendiri akan dipengaruhi oleh pola detil penurunan dan erosi. Satuan primer stratigrafi adalah sekuen pengendapan yang merupakan paket lapisan yang koheren, secara genetis saling berhubungan dan mempunyai pelamparan signifikan dalam suatu cekungan. Sekuen pengendapan ini dibentuk oleh interaksi antara tektonik, sejarah termal, perubahan muka laut, dan suplai sedimen. Batas sekuen mempunyai peranan kritis dan merupakan bidang ketidakselarasan atau bidang sebandingnya. Sekuen pengendapan mempunyai arti kronostratigrafis penting karena mereka terendapkan selama suatu interval waktu yang dibatasi oleh umur batas sekuen (Sukmono, 1999b).

Dewasa ini, konsep eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia telah berpindah dari eksplorasi konservatif yang didominasi Indonesia Bagian Barat ke arah yang baru “pergi ke Timur, dan lebih dalam”. Eksplorasi hidrokarbon telah sukses untuk Indonesia Bagian Barat, kini Cekungan Salawati dan Bintuni menawarkan harapan baru untuk industri minyak dan gas bumi. Beberapa cekungan baru pun telah ditemukan dan ekplorasi hidrokarbon yang intensif sedang dilaksanakan (Siburian, 2010).

Lowstand System Tract (LST) terbentuk saat muka air laut relatif turun

dengan cepat dan stabil pada penurunan muka air laut maksimum dan saat aair laut mulai kembali naik dengan lambat. Sistem ini akan menghasilkan endapan regresi di pantai dan prodelta serta endapan sungai yang mengisi incissed valley.

Transgressive System Tract (TST) terbentuk saat muka air laut relatif naik

dengan cepat sedangkan suplai sedimen berkurang. TST umumnya kaya akan

shale dan merupakan sumber dari batuan induk yang baik. Highstand System


(21)

mulai stabil dan menghasilkan shale tipis yang kemudian muka air laut relatif

mulai turun dengan lambat.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Tugas Akhir ini adalah:

1. Mendapatkan penampang seismik 3D pada Lapangan “SOE”.

2. Mengetahui orientasi serta dip line dari slope dan lokasi shelf-edge serta

slope-break dari masing-masing interval waktu pengendapan berdasarkan

hasil interpretasi lingkungan pengendapan dari data seismik.

3. Mengetahui system track lingkungan pengendapan pada Lapangan “SOE”.

1.3 Batasan Masalah

Dalam tugas akhir ini, penulis mengambil cakupan ruang lingkup Tugas Akhir yaitu:

1. Penelitian hanya dilakukan pada Lapangan “SOE” dengan batas umur batuan Krestaseus Akhir hingga Eosen Tengah.

2. Data seismik yang digunakan berupa data seismik 3D post-stack dengan

asumsi bahwa data tersebut telah melalui tahap processing sesuai

prosedur.

3. Penelitian hanya dilakukan hingga penentuan system track dan tidak


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geomorfologi Daerah Penelitian

Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian (Bakosurtanal, 2003)

Secara astronomis, Papua atau Irian Jaya terletak antara 000 19’– 10043’ LS dan 1300 45’ 1500 48’ BT, mempunyai panjang 2400 km dan lebar 660 km. Secara administratif pulau ini terdiri dari Papua sebagai wilayah RI dan Papua


(23)

Nugini yang terlatak di bagian timur. Fisiografi Papua dibedakan menjadi tiga bagian:

1. Semenanjung Barat atau Kepala Burung yang dihubungkan oleh leher yang sempit terhadap pulau utama (1300– 1350 BT)

2. Pulau Utama atau Tubuh (1350– 143,50 BT) 3. Bagian Timur termasuk Ekor (143,50– 1510 BT)

Di sebelah Utara Papua terdapat bagian Samudra Pasifik yang dalamnya 4000 m, dibatasi oleh Kepulauan Carolina di sebelah Utara. Pulau-pulau karang yang muncul terjal dari dasar samudra itu (Mapia di sebelah utara Manokwari) menunjukkan bahwa bagian samudra ini merupakan blok kontinen yang tenggelam. Blok kontinen yang tenggelam di sebelah Utara Papua ini dianggap sebagai tanah batas “Melanesia”. Ke arah Selatan, Dangkalan Sahul (laut Arafura) dan selat Torres menghubungkan Papua dengan Australia.

Sejajar dengan Pantai Utara, Kepala Burung terjadi rangkaian pegunungan yang membujur Timur-Barat antara Salawati dan Manokwari. Ini terbagi oleh Utara dan Selatan oleh sebuah depresi memanjang. Rangkaian Utara tersusun dari batuan volkanis neogen dan kuarter yang diduga masih aktif atau volkan Umsini pada tingkat solfatar. Rangkaian Selatan terdiri dari sedimen tertier bawah dan pre-tertier yang terlipat kuat. Arahnya Timur-Barat, kemudian melengkung ke Selatan sampai Pegunungan Lima. Bagian Utara Kepala Burung dipisahkan terhadap Bagian Selatan (Bombarai) oleh teluk Macculer yang luas tetapi dangkal, karena sedimentasi yang besar dan di tandai dangkalan yang berisi pulau-pulau, parit-parit, dan bukit-bukit yang terpisah-pisah.


(24)

Gambar 2.2 Elemen Tektonik Kepala Burung (Anonymous, 2012)

Struktur elemen penting yang berada di daerah Kepala Burung, antara lain: 1. Sesar Sorong, terletak di sebelah Utara

Sesar Sorong adalah salah satu sesar mayor yang terletak di sebelah Utara Kepala Burung, dengan arah sesar berarah timur-barat. Jenis Sesar Sorong ini yaitu sesar mendatar kiri (left-lateral strike-slip fault).

2. Sesar Tarera Aiduna, terletak di sebelah Selatan

Sesar Tarera Aiduna merupakan sesar mayor yang berada di daerah Kepala Burung dimana sesar ini terletak di sebelah Selatan dengan arah sesar Barat-Timur.

3. Lengguna Fold-Belt, terletak di sebelah Timur

Lengguna Fold-Belt (LFB) merupakan serangkaian antiklin yang mempunyai arah umum Barat Laut-Tenggara, yang kemudian terangkat


(25)

ketika terjadi proses oblique convergent antara Lempeng Pasifik-Indo

Australia. Di sebelah Selatan, LFB ini dipotong oleh sesar Tarera Aiduna. Pada saat LFB ini terbentuk, mengakibatkan adanya penurunan

(subsidence), sehingga mengalami sedimentasi pada cekungan LFB

sebagian besar tersusun atas kelompok New Guinea Limestone (NGL)

yang mengisi Cekungan Bintuni.

4. Seram Through, berada di sebelah Barat

Palung Seram berada di sebelah Barat Daya Kepala Burung. Sesar ini terbentuk akibat adanya konvergen Lempeng Australia.

2.2 Struktur Regional Papua

Gambar 2.3 Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik (Hamilton, 1979)


(26)

Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif (Gambar 2.3). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik-Caroline bergerak ke Barat-Barat Daya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan Lempeng Benua Indo-Australia bergerak ke Utara dengan kecepatan 10,5 cm/th. Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur kompleks terhadap Papua Barat (Papua), yang sebagian besar dilandasi kerak Benua Indo-Australia.

Periode tektonik utama daerah Papua dan bagian Utara Benua Indo-Australia dijelaskan dalam empat episode, yaitu (1) periode rifting awal Jura di

sepanjang batas Utara Lempeng Benua Indo-Australia, (2) periode rifting awal Jura di Paparan Baratlaut Indo-Australia (sekitar Palung Aru), (3) periode tumbukan Tersier antara Lempeng Samudera Pasifik-Caroline dan Indo-Australia, zona subduksi berada di Palung New Guinea, dan (4) periode tumbukan Tersier antara Busur Banda dan Lempeng Benua Indo-Australia. Periode tektonik Tersier ini menghasilkan kompleks-kompleks struktur seperti Jalur Lipatan Anjakan Papua dan Lengguru, serta Antiklin Misool-Onin-Kumawa

2.3 Stratigrafi Papua

Geologi Irian Jaya secara garis besar dibedakan ke dalam tiga kelompok batuan penyusan utama yaitu: (a) batuan kraton Australia; (b) batuan lempeng pasifik; dan (c) batuan campuran dari kedua lempeng. Litologi yang terakhir ini batuan bentukan dari orogenesa Melanesia. Batuan yang berasal dari kraton Australia terutama tersusun oleh batuan alas, batuan malihan berderajat rendah


(27)

dan tinggi sebagian telah diintrusi oleh batuan granit di sebelah barat, batuan ini berumur palaezoikum akhir, secara selaras ditindih oleh sedimen paparan mesozoikum dan batuan sedimen yang lebih muda, batuan vulkanik dan batuan malihan hingga tersier akhir. Singkapan yang baik dan menerus dapat diamati sepanjang daerah batas tepi utara dan pegunungan tengah.

Stratigrafi wilayah Papua terdiri atas:

2.3.1 Paleozoic Basement (Pre-Kambium Paleozoicum)

Di daerah Kepala Burung atau Salawati-Bintuni, batuan dasar yang berumur Paleozoikum terutama tersingkap di sebelah timur kepala Burung yang dikenal sebagai Tinggian Kemum, serta disekitar Gunung Bijih Mining Access (GBMA) yaitu di sebelah barat daya Pegunungan Tengah. Batuan dasar tersebut disebut Formasi Kemum yang tersusun oleh batusabak, filit dan kuarsit. Formasi ini di sekitar Kepala Burung dintrusi oleh bitit Granit yang berumur Karbon yang disebut sebagai Anggi Granit pada Trias. Oleh sebab itu Formasi Kemum ditafsirkan terbentuk pada sekitar Devon sampai Awal Karbon.

Selanjutnya Formasi Kemum ditindih secara tidak selaras oleh Group Aifam. Di sekitar Kepala Burung group ini dibagi menjadi 3 Formasi yaitu Formasi Aimau, Aifat dan Ainim. Group ini terdiri dari suatu seri batuan sedimen yang tak termalihkan dan terbentuk di lingkungan laut dangkal sampai fluvio-delataik. Satuan ini di daerah Bintuni ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Tipuma yang berumur Trias.


(28)

2.3.2 Sedimentasi Mesozoikum hingga Senosoik a. Formasi Tipuma

Formasi Tipuma tersebar luas di Papua, mulai dari Papua Barat hingga dekat perbatasan di sebelah Timur. Formasi ini dicirikan oleh batuan berwarna merah terang dengan sedikit bercak hijau muda. Formasi ini terdiri dari batu lempung dan batu pasir kasar sampai halus yang berwarna abu-abu kehijauan dengan ketebalan sekitar 550 meter. Umur formasi ini diperkirakan sekitar Trias Tengah sampai Atas dan diendapkan di lingkungan supratidal.

b. Formasi Kelompok Kembelangan

Kelompok ini diketahui terbentang mulai dari Papua Barat hingga Arafura

Platform. Bagian atas dari kelompok ini disebut formasi Jass. Kelompok

Kembelangan terdiri atas lapis batu debu dan batu lumpur karboniferus pada lapisan bawah batu pasir kuarsa glaukonitik butiran-halus serta sedikit shale pada lapisan atas. Kelompok ini berhubungan dengan formasi

Waripi dari kelompok Batuan Gamping New Guinea atau New Guinea

Limestone Group (NGLG).

c. Formasi Batu Gamping New Guinea

Selama masa Cenozoik, kurang lebih pada batas Cretaceous dan

Cenozoik, Pulau New Guinea dicirikan oleh pengendapan (deposisi) karbonat yang dikenal sebagai Kelompok Batu Gamping New Guinea (NGLG). Kelompok ini berada di atas Kelompok Kembelangan dan terdiri atas empat formasi, yaitu; (1) Formasi Waripi Paleosen hingga Eosen; (2)


(29)

Formasi Fumai Eosen; (3) Formasi Sirga Eosin Awal; dan (4). Formasi Kais Miosen Pertengahan hingga Oligosen.

2.3.3 Sedimentasi Senosoik Akhir

Sedimentasi Senosoik Akhir dalam basement kontinental Australia

dicirikan oleh sekuensi silisiklastik yang tebalnya berkilometer, berada di atas strata karbonat Miosen Pertengahan. Di Papua dikenal 3(tiga) formasi utama, dua di antaranya dijumpai di Papua Barat, yaitu formasi Klasaman dan Steenkool. Formasi Klasaman dan Steenkool berturut-turut dijumpai di Cekungan Salawati dan Bintuni.

2.3.4 Kenozoikum

Grup Batu gamping New Guinea, Grup ini dibagi menjadi 4 formasi dari tua ke muda adalah sebagai berikut: Formasi Waripi, Formasi Faumai, Formasi Sirga dan Formasi Kais. Formasi Waripi terutama tersusun oleh karbonat dolomitik, dan batupsir kuarsa diendapkan di lingkungan laut dangkal yang berumur Paleosen sampai Eosen. Di atas formasi ini diendapkan Formasi Faumai secara selaras dan terdiri dari batu gamping berlapis tebal (sampai 15 meter) yang kaya fosil foraminifera, batu gamping lanauan dan perlapisan batu pasir kuarsa

dengan ketebalan sampai 5 meter, tebal seluruh formasi ini sekitar 500 meter. Formasi Faumai terletak secara selaras di atas Formasi Waripi yang juga merupakan sedimen yang diendapkan di lingkungan laut dangkal. Formasi ini terdiri dari batuan karbonat berbutir halus atau kalsilutit dan kaya akan fosil


(30)

Formasi sirga dijumpai terletak secara selaras di atas Formasi Faumai, terdiri dari batupasir kuarsa berbutir kasar sampai sedang mengandung fosil

foraminifera, dan batu serpih yang setempat kerikilan. Formasi Sirga ditafsirkan

sebagai endapan fluvial sampai laut dangkal dan berumur Oligosen Awal.

Formasi Kais terletak secara selaras di atas Formasi Sirga. Formasi Kais terutama tersusun oleh batu gamping yang kaya foraminifera yang berselingan

dengan lanau, batu serpih karbonatan dan batu bara. Umur formasi ini berkisar antara Awal Miosen sampai Pertengahan Miosen dengan ketebalan sekitar 400 sampai 500 meter.

2.3.5 Miosen sampai Recent.

Pada Miosen sampai recent, di Papua dijumpai adanya 3 formasi yang

dikenal sebagai Formasi Klasaman, Steenkool dan Buru yang hampir seumur dan mempunyai kesamaan litologi, yaitu batuan silisiklastik dengan ketebalan sekitar 1000 meter. Ketiga formasi tersebut di atas mempunyai hubungan menjari, Namun Formasi Buru yang dijumpai di daerah Badan Burung pada bagian bawahnya menjemari dengan Formasi Klasafat. Formasi Klasafat yang berumur Mio-Pliosen dan terdiri dari batu pasir lempungan dan batu lanau secara selaras ditindih oleh Formasi Klasaman dan Steenkool. Endapan aluvial dijumpai terutama di sekitar sungai besar sebagai endapan bajir, terutama terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir dan lempung dari rombakan batuan yang lebih tua.


(31)

2.3.6 Stratigrafi Lempeng Pasifik

Pada umumnya batuan Lempeng Pasifik terdiri atas batuan asal penutup

(mantle derived rock), island-arc volcanis dan sedimen laut dangkal. Di Papua,

batuan asal penutup banyak dijumpai luas sepanjang sabuk Ophiolite Papua, Pegunungan Cycloop, Pulau Waigeo, Utara Pegunungan Gauttier dan sepanjang zona sesar Sorong dan Yapen pada umumnya terbentuk oleh batuan ultramafik, plutonil basik, dan mutu-tinggi metamorfik. Sedimen dalam Lempeng Pasifik dicirikan pula oleh karbonat laut-dangkal yang berasal dari pulau-arc. Satuan ini disebut Formasi Hollandia dan tersebar luas di Waigeo, Biak, Pulau Yapen dan Pegunungan Cycloop. Umur kelompok ini berkisar dari Miosen Awal hingga Pliosen.

2.3.7 Stratigrafi Zona Transisi

Konvergensi antara lempeng Australia dan Pasifik menghasilkan batuan dalam zona deformasi. Kelompok batuan ini diklasifikasikan sebagai zona transisi atau peralihan, yang terutama terdiri atas batuan metamorfik. Batuan metamorfik ini membentuk sabuk kontinyu (>1000 km) dari Papua hingga Papua New Guinea.


(32)

(33)

BAB III

TEORI DASAR

3.1 Gelombang Seismik

Suatu gelombang yang datang pada bidang batas dua media yang sifat fisiknya berbeda akan dibiaskan, jika sudut datang lebih kecil atau sama dengan sudut kritisnya dan akan dipantulkan, jika sudut datang lebih besar dari sudut kritis. Sudut kritis adalah sudut datang yang menyebabkan gelombang dibiaskan 900.

Gambar 3.1Pemantulan dan pembiasan pada bidang batas dua medium untuk gelombang P (Priyono, 2000)


(34)

Pada saat sebuah gelombang datang P mengenai suatu batas permukaan antara dua media elastic homogeny isotropis akan terjadi konservasi serta

pembagian energi dari amplitudo gelombang datang P tersebut menjadi komponen gelombang P dan S. Besar sudut sinar datang, sinar pantul, dan transmisi mengikuti persamaan Hukum Snellius sebagai berikut:

=

sin�1

��1

=

sin�′1 ��1

=

sin�2 ��2

=

sin �1 ��1

=

sin �2 ��2

... (3.1)

Dimana:

P = Parameter gelombang

Vp1 = Kecepatan gelombang P di medium 1, θ1 = sudut datang P Vp2 = Kecepatan gelombang P di medium 2, θ2 = sudut bias P Vs1 = Kecepatan gelombang S di medium 1, δ1 = sudut pantul S Vs2 = Kecepatan gelombang S di medium 2, δ1 = sudut bias S θ’1 = Sudut pantul P

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan gelombang seismik adalah sebagai berikut:

 Litologi

Perbedaan harga kecepatan pada litologi yang berbeda mempunyai harga yang tumpang tindih, sehingga sulit untuk menganalisis balik dari data kecepatan untuk membedakan litologi.

 Densitas

Variasi densitas memegang peranan penting pada variasi kecepatan dimana densitas tinggi biasanya berhubungan dengan kecepatan tinggi.


(35)

 Porositas

Faktor porositas dan kecepatan secara umum dianggap linier jika, porositas besar, maka volume pori besar, sehingga kekompakan batuan berkurang dan mengakibatkan kecepatan rendah.

 Faktor tekanan dan kedalaman

Tekanan akan semakin bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Pertambahan kedalaman menyebabkan massa batuan semakin besar dan semakin potensial menekan dan memperkecil ruang pori batuan. Karena itu kecepatan akan relatif bertambah terhadap kedalaman.

 Kandungan fluida

Harga kecepatan akan relatif rendah apabila di dalam pori berisi gas.

3.2 Impedansi Akustik

Impedansi Akustik (IA) atau Acoustic Impedance merupakan sifat yang khas pada batuan yang merupakan hasil perkalian antara densitas (ρ) dengan kecepatan gelombang seismik (V). Secara matematis persamaan IA adalah sebagai berikut:

�� = �� ... (3.2)

Dengan:

IA = impedansi akustik ρ = densitas (g/cc)


(36)

Impedansi akustik dianalogikan sebagai acoustic hardness (Sukmono,

1999a). Batuan yang keras (hard rock) dan sukar dimampatkan seperti batu

gamping (limestone) dan granit mempunyai impedansi akustik yang tinggi,

sedangkan batuan yang lunak seperti lempung (clay) yang lebih mudah

dimampatkan mempunyai nilai impedansi akustik yang rendah (Gambar 3.2). Nilai kontras IA dapat diperkirakan dari amplitudo refleksinya, semakin besar amplitudonya semakin besar refleksi dan kontras IA-nya. Sebagian besar hasil penampang IA akan memberikan deskripsi geologi bawah permukaan yang lebih rinci dan jelas dibandingkan dengan penampang seismik konvensional. IA dapat mencitrakan batas lapisan dan sebagai indikator litologi, porositas hidrokarbon, pemetaan litologi, pemetaan dan dapat digunakan untuk deskripsi karakteristik reservoar.

3.3 Koefisien Refleksi

Koefisien Refleksi (KR) adalah kontras Impedansi Akustik pada batas lapisan batuan yang satu dengan batuan yang lain. Pada dasarnya setiap koefisien refleksi dapat dianggap sebuah respon dari wavelet seismik terhadap sebuah

perubahan impedansi akustik (IA) di dalam bumi yang didefinisikan sebagai hasil perkalian antara kecepatan kompresional dan densitas. Secara matematis, Koefisien Refleksi meliputi pembagian selisih Impedansi Akustik dengan jumlah Impedansi Akustik dari dua medium berbeda.

Hal ini akan memberikan persamaan koefisien refleksi pada batas antara kedua lapisan yaitu;


(37)

��

=

��+1��+1−���� ��+1��+1+ ����

=

���+1−��� ���+1+���

... (3.3)

��

�+1

=

��

1+��

1−�� ... (3.4)

Jika harga impedansi akustik suatu lapisan diketahui, maka harga impedansi akustik lapisan berikutnya adalah;

��

=

��

1 1+���

1−��

�+1

�=1 ... (3.5)

Besar kecilnya nilai Koefisien Refleksi selain tergantung pada Impedansi Akustik, juga tergantung pada sudut datang gelombang atau jarak sumber-penerima. Koefisien Refleksi, merupakan cerminan dari bidang batas media yang memiliki harga Impedansi Akustik yang berbeda. Di dalam seismik refleksi, Koefisien Refleksi biasanya ditampilkan pada jarak sumber-penerima sama dengan nol (zero offset). Koefisisen Refleksi, jika dikonvolusikan dengan wavelet

akan menghasilkan tras seismik (Sukmono, 1999a).

Harga Koefisien Refleksi dapat diperkirakan dari amlitudo refleksinya. Koefisien refleksi berbanding lurus dengan amplitudo gelombang seismik refleksi, semakin besar amplitudo refleksinya semakin besar koefisien refleksinya artinya semakin besar kontras Impedansi-nya.


(38)

Gambar 3.2Impedansi Akustik dan Koefisien Refleksi (Sukmono, 1999a)

Gambar 3.3Hubungan Koefisien Refleksi dan amplitudo dan hubungan nilai Impedansi Akustik terhadap amplitudo (Sukmono, 1999a)

3.4 Wavelet

Wavelet adalah gelombang harmonik yang mempunyai interval amplitudo,

frekuensi, dan fasa tertentu. Berdasarkan konsentrasi energinya wavelet dapat dibagi menjadi 4 jenis (Gambar 3.4) yaitu:

a. Zero Phase Wavelet

Wavelet berfasa nol (zero phase wavelet) mempunyai konsentrasi energi

maksimum di tengah dan waktu tunda nol, sehingga wavelet ini mempunyai resolusi dan standout yang maksimum. Wavelet berfasa nol


(39)

dari semua jenis wavelet yang mempunyai spectrum amplitudo yang

sama.

b. Minimum Phase Wavelet

Wavelet berfasa minimum (minimum phase wavelet) memiliki energi yang

terpusat pada bagian depan. Dibandingkan jenis wavelet yang lain dengan

spektrum amplitudo yang sama, wavelet berfasa minimum mempunyai

perubahan atau pergeseran fasa terkecil pada tiap-tiap frekuensi. Dalam terminasi waktu, wavelet berfasa minimum memiliki waktu tunda terkecil

dari energinya.

c. Maximum Phase Wavelet

Wavelet berfasa maksimum (maximum phase wavelet) memiliki energi

yang terpusat secara maksimal dibagian akhir dari wavelet tersebut, jadi

merupakan kebalikan dari wavelet berfasa minimum.

Gambar 3.4Jenis-jenis wavelet berdasarkan konsentrasi energinya; (1) mixed

phase wavelet, (2) minimum phase wavelet, (3) maximum phase wavelet, dan (4)


(40)

d. Mixed Phase Wavelet

Wavelet berfasa campuran (mixed phase wavelet) merupakan wavelet

yang energinya tidak terkonsentrasi di bagian depan maupun di bagian belakang.

Jenis-jenis ekstraksi wavelet yang digunakan antara lain adalah sebagai

berikut;

a. Ekstraksi Wavelet Secara Statistik dari Data Seismik

Jenis ekstraksi wavelet selanjutnya adalah ekstraksi wavelet dari data

seismik secara statistik. Ekstraksi dengan cara ini hanya menggunakan data seismik dengan masukan posisi serta window waktu target yang akan

diekstrak. Untuk memperoleh korelasi yang lebih baik, maka dilakukan

shifting pada event-event utama., jika perlu dilakukan stretch dan squeeze

pada data sintetik. Namun karena stretch dan squeeze sekaligus akan

merubah data log, maka yang direkomendasikan hanyalah shifting saja.

b. Ekstraksi Wavelet Secara Deterministik

Ekstraksi wavelet dengan cara ini akan memberikan wavelet yang akan

lebih mendekati wavelet sebenarnya dari data seismik. Ekstraksi ini

dilakukan terhadap data seismik sekaligus dengan kontrol data sumur, sehingga akan memberikan wavelet dengan fasa yang tepat. Namun

ekstraksi ini hanya akan memberikan hasil yang maksimal, jika data sumur sudah terikat dengan baik. Ekstraksi wavelet secara statistik dan

pengikatan yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil ekstraksi


(41)

menghasilkan sintetik dengan korelasi optimal, maka dilakukan shifting

dan bila diperlukan, maka dapat dilakukan stretch dan squeeze, akan tetapi

hal tersebut tidak dianjurkan.

3.5 Seismogram Sintetik

Seismogram sintetik (St) merupakan hasil konvolusi antara deret koefisien

refleksi KR dengan suatu wavelet Wt (Gambar 3.5). Proses mendapatkan

rekaman seismik ini merupakan sebuah proses pemodelan kedepan (forward

modeling), yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut;

St = Wt * KR + n(t) ... (3.6)

Koefisien refleksi diperoleh dari perkalian antara kecepatan gelombang seismik dengan densitas batuannya. Sedangkan wavelet diperoleh dengan

melakukan pengekstrakan pada data seismik dengan atau tanpa menggunakan data sumur dan juga dengan wavelet buatan. Seismogram sintetik sangat penting

karena merupakan sarana untuk mengidentifikasi horison seismik yang sesuai dengan geologi bawah permukaan yang diketahui dalam suatu sumur hidrokarbon. Identifikasi permukaan atau dasar lapisan formasi pada penampang seismik memungkinkan untuk ditelusuri kemenerusannya pada arah lateral dengan memanfaatkan data seismik. Konvolusi antara koefisien refleksi dengan wavelet

seismik menghasilkan model trace seismik yang akan dibandingkan dengan data


(42)

antara informasi sumur (litologi, kedalaman, dan sifat-sifat fisis lainnya) terhadap penampang seismik guna memperoleh informasi yang lebih lengkap dan komprehensif.

Gambar 3.5Seismogram sintetik dihasilkan dari hasil konvolusi wavelet dengan deret Koefisien Refleksi yang diperoleh dari hasil kali densitas batuan dengan

kecepatan Gelombang P nya (Sukmono, 1999a).

3.6 Sifat Fisis Batuan

3.6.1 Densitas

Batuan reservoar merupakan tempat dibawah permukaan bumi yang menampung minyak dan gas bumi, dengan ruang penyimpanan berupa rongga-rongga atau pori-pori yang terdapat dalam batuan. Densitas atau nilai kerapatan matriks merupakan rasio massa persatuan volume. Secara umum besarnya densitas suatu material dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, banyaknya mineral atau presentasenya, komposisi kimia dan mineral, suhu dan tekanan, porositas atau rongga rekahan batuan, serta bentuk cairan atau material yang mengisi ruang pori.


(43)

3.6.2 Porositas

Porositas suatu medium adalah perbandingan volume pori terhadap volume total seluruh batuan yang dinyatakan dalam persen (%). Suatu batuan dikatakan mempunyai porositas efektif apabila bagian pori dalam batuan saling berhubungan satu sama lain dan biasanya lebih kecil dari rongga porositas total. Pada formasi renggang (unconsolidated formation), besarnya porositas tergantung

pada distribusi ukuran butiran, tidak pada ukuran butiran mutlak. Porositas batuan berkisar antara 10 – 20 %.

3.6.3 Permeabilitas

Permeabilitas dapat didefinisikan sebagai suatu sifat batuan reservoar untuk dapat meneruskan cairan melalui pori-pori yang berhubungan tanpa merusak partikel pembentuk atau kerangka batuan tersebut. Batuan dikatakan permeabel bila mempunyai porositas yang saling berhubungan, misalnya pori-pori, kapiler, retakan, dan rekahan. Porositas besar sering memberikan permeabilitas besar, akan tetapi hal ini tidaklah selalu benar. Parameter yang berpengaruh terhadap permeabilitas disamping porositas adalah ukuran pori, bentuk butiran, dan kontinuitas (Harsono, 1997).

3.7 Sekuen dan Fasies Seismik

Sekuen pengendapan adalah sebuah satuan stratigrafi yang terdiri atas urutan yang relatif selaras dari lapisan batuan yang secara genetik berhubungan dan dibatasi di bagian atas dan bawah oleh bidang ketidakselarasan atau korelasi bidang selarasnya. Untuk sekuen seismik sendiri merupakan sekuen pengendapan


(44)

yang diidentifikasi dari penampang seismik. Sekuen seismik mempunyai semua sifat dari sekuen pengendapan dengan batasan kondisi bahwa sifat tesebut dapat dikenal dari data seismik. Ekspresi seismik dari batas sekuen sangat tergantung pada kontras IA antara lapisan di atas dan di bawah ketidakselarasan (Mitchum dkk, 1977).

Analisa fasies seismik adalah deskripsi dan interpretasi dari data seismik dan geologi dari parameter refleksi yang meliputi konfigurasi, kontinuitas, amplitudo, frekuensi, dan kecepatan interval. Satu unit fasies seismik adalah suatu unit seismik 3 dimensi yang tersusun atas kumpulan pola refleksi yang parameternya berbeda dengan unit fasies di sekitarnya. Setiap parameter dapat memberikan informasi yang berguna mengenai kondisi geologi terkait (Sukmono, 1999b).

Gambar 3.6 Diagram Sekuen Stratigrafi (tanpa terganggu oleh adanya Struktur Sekunder) (Vail dkk, 1987).


(45)

3.8 System Tract

System Tract adalah sebuah urutan sistem pengendapan yang terjadi pada

interval waktu yang sama dan masing-masing berhubungan dengan segmen spesifik dari kurva perubahan muka laut relatif. Untuk mengenali system tract

diperlukan pemahaman mengenai empat faktor utama: eustasi, penurunan cekungan, suplai sedimen, dan iklim. Eustasi adalah siklus perubahan muka air laut global yang diukur dari pusat bumi dan telah teramati membentuk siklus sinusoidal. Penurunan cekungan adalah proses turunnya dasar cekungan akibat proses tektonik dan merupakan faktor yang paling memengaruhi terbentuknya ruang akomodasi bagi pengendapan sedimen. Suplai sedimen meliputi faktor kecepatan dan jumlah sedimen yang mengisi cekungan, kecepatan dan jumlah karbonat biogenik serta endapan evaporit yang diproduksi in situ. Iklim akan

memengaruhi jenis endapan yang terjadi; silisiklastik, karbonat, evaporit, atau campurannya (Sukmono. 1999b).

Macam-macam system tract adalah:

a. Highstand System Tract (HST)

HST terendapkan saat kenaikan muka air laut (m.a.l.) relatif mendekati posisi maksimumnya secara lambat sehingga memungkingkan tersedianya suplai sedimen yang cukup untuk progradasi dan downlap ke permukaan

marine-condensed section (MCS) di bawahnya. Pada fase awal HST, set

parasekuen (vertikal) yang agradasional dan sigmoidal umumnya terbentuk karena pergeseran bayline ke arah daratan akan mengakibatkan


(46)

terjadinya kecepatan moderat dari kenaikan m.a.l. relatif dan akibatnya juga kecepatan moderat dari penambahan ruang akomodasi di pinggir paparan. Pada fasa selanjutnya saat kenaikan eustasi menghilang dan eustasi mulai turun secara perlahan, bayline akan bergeser secara menerus

dan perlahan ke arah daratan. Akibatnya kenaikan m.a.l. relatif dan kecepatan penambahan ruang akan semakin menghilang, dan menghasilkan pengendapan set parasekuen yang progradasional atau oblik.

b. Lowstand System Tract (LST)

LST terendapkan di atas ketidakselarasan tipe-1 saat m.a.l relatif (bayline)

turun secara cepat dari level highstand karena pergeseran ke arah

cekungan dari titik kesetimbangan melampaui garis pantai atau offlap

break. Tergantung pada besar dan kecepatan penurunan m.a.l. dan

batimetri dari cekungan.

c. Transgressive System Tract (TST)

System tract ini dicirikan oleh onlap pantai dari permukaan transgresif

atau first marine flooding surfaces di atas dari LST atau shelf-margin

system tract (SMST). Pengendapan TST ini terjadi sebagai respon dari

suplai sedimen yang berkurang akibat pengaruh parasiklus yang periodik antara kenaikan dan stillstands m.a.l. relatif. Saat titik kesetimbangan

bergerak secara cepat ke arah daratan, kecepatan kenaikan m.a.l. relatif meningkat, sehingga menambah ruang akomodasi baru. TST pada dasarnya terdiri atas parasekuen progradasional yang terdiri atas pola penipisan dan penghalusan ke atas dari susunan parasekuen retrogradasi yang bergeser ke arah daratan. Susunan parasekuen ini diendapkan pada


(47)

saat pendalaman air, mundurnya garis pantai dan berkurangnya suplai sedimen yang terjadi secara periodik.

d. Shelf-Margin System Tract (SMST)

SMST terendapkan di atas ketidakselarasan tipe-2 atau permukaan konkordan ekivalennya setelah titik kesetimbangan (yang kebetulan sama dengan bayline) mulai bergeser ke arah daratan tanpa mengalami

pergeseran shoreline break. Saat titik kesetimbangan dan bayline mulai

bergerak ke arah daratan, pengendapan highstand berhenti dan onlap

pantai (aluvial) secara cepat bergeser ke arah bayline. Karena titik

kesetimbangan tidak pernah bergeser ke arah cekungan melewati garis pantai, erosi lokal dan sejumlah kecil sedimentasi air dalam terjadi. Pelapukan dan diagenesa meteorik dapat berkembang di bagian daratan dari paparan atau platform yang terekspos secara subaerial. Pada saat ini

SMST mulai menghasilkan onlap pantai pada ketidakselarasan tipe-2.

Percepatan naiknya m.a.l. relatif mengakibatkan di fasa awal terjadi pengendapan parasekuen progradasional yang berevolusi ke arah atas menjadi pengendapan fasa akhir dari parasekuen agradasional dan mengakibatkan terbentuknya geometri sigmoidal. SMST yang tebal dapat mengalami longsoran dan bergerak ke arah cekungan oleh pensesaran tumbuh atau rayapan gravitasi.


(48)

BAB V

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Pra-Interpretasi

Pada BAB ini akan dijelaskan tahapan dan hasil interpretasi data seismik

3D land dan off-shore yang telah dilakukan pada data lapangan “SOE”. Adapun

tahapan yang dilakukan sesuai dengan diagram alir pada BAB sebelumnya yang dimulai dari pengumpulan data utama awal yaitu Data Seismik 3D dan Data Log Sumur, seismogram sintetik, well-seismic tie, picking horizon, interpretasi peta

struktur waktu, analisis peta isochrones, interpretasi stratigrafi seismik hingga

diperoleh system tract atau sejarah pengendapannya.

Melalui Gambar 4.2 dapat terlihat peta Survey Area yang meliputi lokasi sumur yang digunakan (EM-1, EM-2, EM-3, EM-4, EM-5, EM-6, EM-7, EM-8, dan EM-9) serta Seismic Area dimana di bagian Selatan merupakan Data Seismik

off-shore dan di bagian Utara merupakan Data Seismik land.

Dari Data Log Sumur tersebut dibuat seismogram sintetik yang kemudian dilanjutkan dengan well-seismic tie secara langsung menggunakan perangkat

lunak Syntool. Proses pengikatan data sumur terhadap data seismik dilakukan agar


(49)

ini dilakukan dengan membuat suatu seismogram sintetik yang dihasilkan dari konvolusi wavelet dengan deret koefisien refleksi. Proses pengikatan data sumur

merupakan tahap awal dari interpretasi seismik, yang meliputi ekstraksi dan pemilihan wavelet yang tepat untuk digunakan dalam pembuatan seismogram

sintetik serta mengikatkannya dengan data seismik.

Pada Sumur EM-1 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 950 ms dan panjang window data 600 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

dapat dilihat hasilnya pada Gambar 5.1 dimana panjang gelombang 130 ms, lag

time 00, dan phase -1800.


(50)

(51)

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-1 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.2. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-1 memang terlihat kurang baik sehingga hasil well seismic tie

sedikit kurang baik.

Pada Sumur EM-2 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1150 ms dan panjang window data 600 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

dapat dilihat hasilnya pada Gambar 5.3 dimana panjang gelombang 260 ms, lag

time 560, dan phase -300.

Gambar 5.3 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-2

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-2 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.4. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-2 terlihat cukup baik sehingga hasil well seismic tie sudah baik.


(52)

(53)

Pada Sumur EM-3 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1320 ms dan panjang window data 400 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

dapat dilihat hasilnya pada Gambar 5.5 dimana panjang gelombang 250 ms, lag

time 240, dan phase -1500.

Gambar 5.5 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-3

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-3 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.6. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-3 terlihat sangat baik sehingga hasil well seismic tie sangat


(54)

(55)

Pada Sumur EM-4 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1480 ms dan panjang window data 400 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.7 dimana panjang gelombang 260 ms,

lag time 680, dan phase 00.

Gambar 5.7 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-4

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian diakukan well-seismic tie

Sumur EM-4 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.8. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-4 terlihat cukup baik sehingga hasil well seismic tie sudah baik.


(56)

Gambar 5.8 Well-seismic tie pada Log Sumur EM-4 terhadap Seismic Volume A off-shore

4


(57)

Pada Sumur EM-5 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1460 ms dan panjang window data 400 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.9 dimana panjang gelombang 260 ms,

lag time 1200, dan phase -1600.

Gambar 5.9 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-5

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-5 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.10. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-5 terlihat cukup baik sehingga hasil well seismic tie sudah baik.


(58)

(59)

Pada Sumur EM-6 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1300 ms dan panjang window data 500 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.11 dimana panjang gelombang 250

ms, lag time 00, dan phase -600.

Gambar 5.11 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-6

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-6 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.12. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-6 terlihat cukup baik sehingga hasil well seismic tie sudah baik.


(60)

(61)

Pada Sumur EM-7 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1300 ms dan panjang window data 450 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.13 dimana panjang gelombang 250

ms, lag time 00, dan phase -1800.

Gambar 5.13 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-7

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-7 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.14. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-7 terlihat kurang baik sehingga hasil well seismic tie sedikit


(62)

(63)

Pada Sumur EM-8 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1240 ms dan panjang window data 450 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.15 dimana panjang gelombang 260

ms, lag time 600, dan phase -900.

Gambar 5.15 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-8

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-8 dengan Seismic Volume B land dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.16. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-8 terlihat kurang baik sehingga hasil well seismic tie sedikit


(64)

(65)

Pada Sumur EM-9 dilakukan ekstraksi wavelet dengan masukan posisi

awal 1720 ms dan panjang window data 500 ms. Dari ekstraksi wavelet tersebut

kita dapat melihat hasilnya pada Gambar 5.17 dimana panjang gelombang 250

ms, lag time 960, dan phase 00.

Gambar 5.17 Hasil ekstraksi wavelet untuk Log Sumur EM-9

Dari sintetik seismogram tersebut kemudian dilakukan well-seismic tie

Sumur EM-9 dengan Seismic Volume A off-shore dan diperoleh hasil seperti pada

Gambar 5.18. Pada zona interest (dalam kotak biru) terlihat data seismik pada daerah Sumur EM-9 terlihat cukup baik sehingga hasil well seismic tie sudah baik.


(66)

(67)

5.2 Interpretasi Horison

Dari data ekstraksi wavelet kita dapat melihat bahwa pada area off-shore

memiliki hasil well-seismic tie yang lebih baik daripada di area land. Hal ini

dikarenakan data seismik di off-shore lebih baik dibandingkan data seismik di

land sehingga mempengaruhi hasil well-seismic tie. Setelah seismogram sintetik

dan data sumur diikat dengan data seismik, langkah selanjutnya adalah melakukan

picking horizon yang dipandu oleh data sumur well marker pada perangkat lunak

Seiswork.

Zona interest berada pada umur batuan Paleosen hingga Eosen Tengah,

sehingga untuk batas bawah dilakukan picking pada batas Paleosen Awal

(BASE-Z) dan sebagai guide dilakukan picking pada batas Paleosen Akhir (TOP-Z).

Picking dilakukan dengan interval 32 bin inline dan xline pada area off-shore,

sementara pada area land menggunakan data yang sudah ada dikarenakan data

seismik yang kurang baik dan cukup sulit diinterpretasi untuk area land. Setelah

melakukan picking pada masing-masing BASE-Z dan TOP-Z kemudian dilakukan


(68)

(69)

(70)

(71)

(72)

(73)

(74)

Setelah memiliki horison BASE-Z sebagai batas bawah zona interest dan

TOP-Z sebagai guide, kemudian dilakukan picking horizon pada clinoform di

zona Paleosen Tengah (MID-Z) sebagai salah satu zona interest. Picking awal

horison MID-Z dilakukan pada area off-shore di bagian Barat dengan interval 32

bin inline dan xline (Gambar 5.25) kemudian dilakukan interpolasi dari hasil

picking tersebut (Gambar 5.26).

Dengan melihat horison awal MID-Z yang telah diinterpolasi maka diperlukan perluasan horison karena dari hasil picking horizon awal MID-Z masih

belum menggambarkan zona interest yang diperlukan. Sehingga picking pada area

off-shore dilanjutkan ke bagian Timur dengan interval 64 bin searah hipotesa

orientasi pengendapan serta dilanjutkan ke area land dengan interval 32 bin searah

hipotesa orientasi pengendapan (Gambar 5.27). Dalam melakukan perluasan

picking horizon ini digunakan Atribut Seismik Instantaneous Phase untuk dapat

meningkatkan event refleksi lemah dan meningkatkan kontinuitas event, terutama

pada area land dengan volum seismik yang cukup rumit. Setelah horison MID-Z

diperluas kemudian dilakukan beberapa revisi pada beberapa daerah yang diperlukan dan dilakukan interpolasi dari hasil keseluruhan picking tersebut


(75)

(76)

(77)

(78)

Gambar 5.28 Hasil revisi perluasan horison dengan bantuan atribut seismik instantaneous phase dan interpolasi horison MID-Z area


(79)

Setelah melakukan piking horizon pada zona interest umur batuan

Paleosen kemudian dilanjutkan hingga ke umur batuan Eosen Tengah. Picking

horizon dilakukan pada clinoform yang berada pada umur batuan Eosen Tengah.

Pada umur batuan Paleosen Akhir hingga Eosen Tengah terlihat 3 (tiga) buah

clinoform pada volume seismik di area off-shore. Sehingga picking horizon

dilakukan pada clinoform horison BER-A, BER-B, dan BER-C. Picking horizon

dilakukan pada masing-masing clinoform dengan interval 16 bin searah hipotesa

orientasi pengendapan. Dari hasil picking horizon tersebut kemudian dilakukan

interpolasi dan dilakukan revisi pada beberapa daerah yang perlu dikoreksi. Untuk ketiga clinoform ini hanya terdapat pada area off-shore daerah pengamatan saja

dan tidak ditemukan kontinuitasnya di area land.

Dalam melakukan picking horizon pada clinoform BER-A, BER-B, dan

BER-C terdapat suatu horison yang memotong ketiga clinoform tersebut hingga

tidak ditemukan kontinuitasnya di area land. Diperkirakan bahwa telah terjadi

erosi pada umur batuan Eosen Tengah yang telah memotong ketiga clinoform

pada umur batuan dari Paleosen Akhir hingga Eosen Tengah tersebut. Kemudian untuk menandai batas erosi tersebut dilakukan picking horizon pada TOP-ABC.

Picking horizon dilakukan dengan interval 64 bin serarah hipotesa orientasi

pengendapan (Gambar 5.35). Dari hasil picking horizon tersebut kemudian

dilakukan interpolasi dan direvisi pada beberapa daerah yang perlu dikoreksi (Gambar 5.36) sehingga diperoleh horison TOP-ABC (Gambar 5.37) yang memotong clinoform BER-A, BER-B, dan BER-C.


(80)

(81)

(82)

(83)

Gambar 5.32 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada clinoform BER-A area


(84)

Gambar 5.33 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada clinoform BER-B area


(85)

Gambar 5.34 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada clinoform BER-C area


(86)

(87)

Gambar 5.36 Hasil interpolasi dan revisi horison dengan menggunakan atribut seismik instantaneous phase pada erosi horison TOP-ABC


(88)

(89)

Setelah memiliki 7 (tujuh) horison tersebut (BASE-Z, MID-Z, TOP-Z, BER-A, BER-B, BER-C, dan TOP-ABC) kemudian dimbuat visualisasinya secara 3D untuk membantu dalam melakukan interpretasi selanjutnya. Dari hasil visualisasi secara 3D dapat terlihat dengan jelas bentuk dari ketujuh horison tersebut dan memperkirakan orientasi pengendapan yang sebenarnya.


(90)

Gambar 5.39 Horison MID-Z secara 3D


(91)

Gambar 5.41 Horison BER-A secara 3D


(92)

Gambar 5.43 Horison BER-C secara 3D


(93)

Gambar 5.45 Seluruh horison secara 3D dengan volum seismik

5.3 Peta Isochrones

Dari ketujuh horison tersebut kemudian dibuat peta isochrones untuk

dapat melihat orientasi pengendapan dari masing-masing perlapisan horison. Peta

isochrones yang dibuat sebanyak 6 (enam) buah, yaitu; MID-Z terhadap BASE-Z,

TOP-Z terhadap BASE-Z, BER-A terhadap TOP-Z, BER-B terhadap TOP-Z, BER-C terhadap TOP-Z, dan TOP-ABC terhadap TOP-Z.

Pada peta isochrones MID-Z terhadap BASE-Z (Gambar 5.46) terlihat

ketebalan lapisan isochrones semakin menipis dari arah Barat-Laut (NW) menuju

arah Tenggara (SE). Hal ini menunjukkan bahwa orientasi pengendapan MID-Z terhadap BASE-Z berasal dari arah NW ke arah SE.


(94)

Untuk peta isochrones TOP-Z terhadap BASE-Z (Gambar 5.47) terlihat

ketebalan lapisan isochrones semakin menipis dari arah Barat-Laut (NW) menuju

arah Tenggara (SE). Hal ini menunjukkan bahwa orientasi pengendapan TOP-Z terhadap BASE-Z berasal dari arah NW ke arah SE.

Begitu pula pada peta isochrones BER-A terhadap TOP-Z (Gambar

5.48), BER-B terhadap TOP-Z (Gambar 5.49), dan BER-C terhadap TOP-Z (Gambar 5.50) terlihat ketebalan lapisan isochrones semakin menipis dari arah

Barat-Laut (NW) menuju arah Tenggara (SE). Hal ini menunjukkan bahwa orientasi pengendapan BER-A, BER-B, dan BER-C terhadap TOP-Z, berasal dari arah NW ke arah SE.

Sementara pada peta isochrones TOP-ABC, yang merupakan batas erosi,

terhadap TOP-Z (Gambar 5.51) terlihat ketebalan lapisan isochrones semakin

menebal dari arah Barat-Laut (NW) menuju arah Tenggara (SE) namun kemudian kembali menipis dengan arah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa TOP-ABC telah memotong clinoform BER-A, BER-B, dan BER-C yang awalnya seperti

mengikuti arah clinoform namun akhirnya memotong clinoform tersebut hingga


(95)

(96)

(97)

(98)

(99)

(100)

(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1. Interpretasi horison pada survey area ini lebih mudah dilakukan pada area

off-shore dibandingkan dengan area land berdasarkan kontinuitas event

dan image quality dari data seismik yang ada yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh struktur area land yang lebih kompleks dan faktor akuisisi data yang berbeda.

2. Secara umum orientasi pengendapan berdasarkan peta isochrones berarah NW-SE, dimana ketebalan masing-masing horison secara umum semakin menipis dari arah NW ke arah SE.

3. Peta isochrones dan arbitrary section sepanjang dip line sangat membantu dalam mengidentifikasi shelf-edge dan slope-break dari dari masing-masing horison.

4. MID-Z memiliki dip slope kurang lebih 1.60 yang relatif landai (kurang dari 30) dengan shelf-edge yang berlokasi di sebelah Utara sumur EM-8.


(2)

114

5. TOP-Z memiliki dip slope kurang lebih 2.50 yang tidak terlalu landai (kurang dari 30) dengan shelf-edge yang berlokasi di sebelah Utara sumur EM-5.

6. Slope-break dari MID-Z dan TOP-Z diidentifikasikan berada di luar

survey area sehingga tidak dapat ditentukan lokasinya.

7. BER-A, BER-B, dan BER-C merupakan progradasi dari satu interval waktu pengendapan yang memiliki dip slope sekitar 40 – 60 yang cukup curam (lebih dari 30).

8. Berdasarkan interpretasi seismik dan nilai Log GR diidentifikasikan sekuen stratigrafi sebagai berikut:

a. LST terjadi pada interval waktu antara BASE-Z hingga MID-Z. b. HST terjadi pada interval waktu antara MID-Z hingga TOP-Z. c. Ada dugaan terjadi TST pada interval waktu MID-Z hingga TOP-Z

yang cukup tipis namun tidak dapat diidentifikasikan dari volum seismik yang ada.

d. SMST terjadi pada interval waktu antara Z hingga TOP-ABC.

6.2 Saran

Adapun saran untuk penelitian ini antara lain:

1. Membuktikan keberadaan TST diantara horison MID-Z dengan TOP-Z dengan data volum seismik yang lebih baik.


(3)

115

2. Menambahkan data Log Sumur di daerah SE survey area untuk memvalidasi system tract, terutama SMST yang berlokasi di area off-shore


(4)

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2012. Tatanan Tektonik Geologi di Kepala Burung Papua, dalam https://syawal88.wordpress.com/2012/11/27/tatanan-tektonik-geologi-di-kepala-burung-papua/#more-672, diunduh 5 Agustus 2014.

Anoymous, 2013. Geologi dan Geomorfologi Pulau Papua, dalam http://tulisandw.blogspot.com/2013/07/geologi-dan-geomorfologi-pulau-papua.html, diunduh 20 November 2014.

Harsono, Adi., 1997. Evaluasi Formasi dan Aplikasi log. USA: Schlumberger Oilfield Services.

Hamilton, W.R., 1979. Tectonics of the Indonesian Region. USA: US Geological Survey Professional Paper.

Mitchum, dkk., 1977. The Depositional Sequence as a Basic Unit for Stratigraphic Analysis, dalam Sukmono, S. 1999b. Seismik Stratigrafi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Priyono, A., 2000. Interpretasi Seismik Geologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Russel, B.H., 2004. Hampson-Russell Software Book Guide. USA: Hampson-Russel Services Ltd.

Siburian, P., Yuliandus, A., Manurung, J.A., Kristian, J., dan Siahaan, S., 2010.

Relationship Between Landsat TM Imagery and Geophysical Data of Bintuni Basin as a Guide for Economic and Efficient Hydrocarbon Exploration. Jakarta: Proceedings Indonesian Petroleum Association 34th Annual Convention and Exhibition, 849-858.


(6)

Sukmono, S., 1999a. Interpretasi Seismik Refleksi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Sukmono, S., 1999b. Seismik Stratigrafi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Vail, dkk., 1987. Seismic Stratigraphy and Global Change of Sea Level. USA: AAPG Memoir 26.

Widiyantoro, Sri, 2004. Fisika Interior Bumi. Diktat Kuliah Studi Geofisika. Bandung: Institut Teknologi Bandung.