KASUS DISTRIBUSI DAN PENGGUNAAN FORMALIN DALAM PENGAWETAN KOMODITI IKAN LAUT SEGAR (STUDI KASUS DI KOTA BANDAR LAMPUNG)

(1)

KASUS DISTRIBUSI DAN PENGGUNAAN FORMALIN DALAM PENGAWETAN KOMODITI IKAN LAUT SEGAR

(STUDI KASUS DI KOTA BANDAR LAMPUNG)

Oleh

DIAS YUSDIANSON GIRSANG

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

Dias Yusdianson Girsang

ABSTRAK

KASUS DISTRIBUSI DAN PENGGUNAAN FORMALIN DALAM PENGAWETAN KOMODITI IKAN LAUT SEGAR

(STUDI KASUS DI KOTA BANDAR LAMPUNG) Oleh

Dias Yusdianson Girsang

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi adanya kandungan pengawet formalin pada beberapa komoditi ikan laut segar dan menelusuri alur distribusi formalin di daerah Kota Bandar Lampung. Adapun yang menjadi objek pengujian dari penelitian ini yaitu sampel air penyimpanan ikan laut segar. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013 ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu: survei untuk mendapatkan data dari beberapa responden dan dilanjutkan dengan melakukan pengambilan sampel untuk diuji di laboratorium. Pengujian dilakukan terhadap 52 titik pengambilan sampel yang diambil dari kapal nelayan di pelabuhan pendaratan ikan (17 kapal), mobil box/pick up yang memasok ikan dari luar Kota Bandar Lampung (6 mobil) serta beberapa penjual ikan di 5 pasar tradisional di Kota Bandar Lampung (29 penjual). Dengan melakukan uji laboratorium menggunakan Test Kit Formalin, terdapat 2 sampel yang berwarna ungu, yaitu sampel yang diambil dari kapal nelayan di PPI Lempasing. Kemudian sampel yang positif mengandung formalin dilakukan uji penegasan menggunakan asam kromatrofik. Hasil menunjukkan bahwa sampel tersebut benar-benar positif mengandung formalin, yang ditandai dengan warna ungu kebiruan. Berdasarkan hasil survei dan penelusuran, terdapat pendugaan


(3)

Dias Yusdianson Girsang penyimpangan distribusi formalin di Kota Bandar Lampung, dimana industri rumah tangga (termasuk nelayan) mendapatkan formalin secara ilegal, baik dari Pengguna Akhir (PA-B2), produsen lokal maupun apotek/rumah sakit/sarana pelayanan kesehatan lain.


(4)

(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 5

1.3. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Kondisi Perikanan di Provinsi Lampung ... 7

2.2. Penanganan Pascapanen Ikan Laut Segar ... 10

2.3. Mutu Ikan Basah ... 12

2.4. Pengawet dan Pengawetan Pangan ... 14

2.5. Formaldehid / Formalin ... 18

2.5.1. Sifat kimia dan fisik ... 18

2.5.2. Penggunaan ... 19

2.5.3. Efek kesehatan ... 21

2.5.4. Penyalahgunaan formalin sebagai pengawet pada makanan ... 23

III. BAHAN DAN METODE ... 30

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30


(8)

3.4. Pelaksanaan Penelitian ... 33

3.4.1. Survei lapangan ... 33

3.4.2. Uji laboratorium ... 33

3.4.2.1. Persiapan sampel ... 33

3.4.2.2. Pengujian sampel ... 34

3.5. Pengamatan ... 36

3.5.1. Analisis data hasil survai ... 36

3.5.2. Analisis hasil pengamatan sampel ... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Data Responden, Distribusi Ikan Laut Segar di Kota Bandar Lampung dan Penetapan Sampel Pengujian ... 37

4.2. Pengujian Sampel dengan Test Kit Formalin dan Uji Penegasan Sampel menggunakan Asam Kromatrofik (SNI - 01 – 2894 - 1992 ) ... 43

4.3. Hasil Penelusuran Distribusi Formalin dan Dugaan Penyimpangannya ... 48

4.4. Bahan Pengawet Alternatif Pengganti Formalin ... 52

4.4.1. Biji pucung dan kluwak ... 53

4.4.2. Khitosan ... 53

4.4.3. Asap cair ... 54

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Simpulan ... 55

5.2. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(9)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Keamanan produk perikanan merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sektor perikanan, mengingat konsumsi ikan diperkirakan akan terus meningkat seiring kesadaran masyarakat akan arti penting nilai gizi produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan otak (Gustiano, 2006). Keamanan pangan merupakan hal yang terus dipelajari, karena manusia semakin sadar akan pentingnya sumber makanan dan kandungan yang ada di dalam makanannya. Hal ini terjadi karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi, sehingga diperlukan suatu cara untuk mengawasi keamanan pangan.

Dalam teknologi pengolahan pangan, dikenal pula usaha untuk menjaga daya tahan suatu bahan sehingga banyaklah muncul bahan-bahan pengawet yang bertujuan untuk memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan. Namun dalam praktiknya di masyarakat, masih banyak yang belum memahami perbedaan penggunaan bahan pengawet untuk bahan-bahan pangan dan yang non pangan. Menurut Huseini (2007), penggunaan bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan ikan, seperti: formalin, boraks, zat pewarna, CO, antiseptik, antibiotik (kloramfenikol, Niiro furans, OTC), semakin marak. Hal ini disebabkan oleh bahan pengganti pengawet tersebut kurang tersedia dan peredaran bahan


(10)

kimia berbahaya tidak terkontrol dengan baik, dapat diperoleh dengan harga murah dan sangat mudah diperoleh.

Berdasarkan hasil penyelidikan Badan POM Republik Indonesia, terdapat sekitar 20 produsen formalin yang menjual formalin ke pasar secara eceran dalam skala besar dan luas, dengan jumlah produksi tak kurang dari 800 ribu ton formalin setiap bulan. Salah satu produsen diidentifikasi sanggup memproduksi formalin 4000 Mton per bulan. Sekitar 2.700 Mton dipergunakan sendiri, 300 Mton diekspor ke Malaysia, dan sisanya, sekitar 1.000 Mton dijual ke pasar setiap bulan, kepada konsumen perorangan, toko kimia, dan industri (Taufan, 2007).

Sejak tahun 2006, di Indonesia bermunculan berbagai kasus penggunaan bahan pengawet non pangan yang digunakan pada bahan makanan, salah satunya adalah penggunaan formalin, khususnya pada produk perikanan. Berdasarkan hasil survai penggunaan bahan tidak untuk pangan pada penanganan dan pengolahan produk perikanan, Irianto et al., (2007) menjelaskan berbagai jenis bahan yang digunakan untuk mengawetkan produk pangan. Dalam survai tersebut disebutkan bahwa formalin yang seharusnya digunakan untuk mengawetkan mayat justru digunakan sebagai pengawet ikan segar. Di samping itu juga terdapat penggunaan bahan-bahan lain yang digunakan sebagai pengawet dan pemutih, seperti: Rhodamin B, Auramin, Pastak, Baygon, Startox, Boraks, Detergen, Bayclin, H2O2 dan lain-lain.

Pada tahun 2012, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung juga melakukan pengujian sampel produk yang diduga berformalin yang diambil dari Pasar SMEP Bandar Lampung pada inspeksi mendadak (sidak) Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD). Sampel yang diambil dalam sidak tersebut, yaitu


(11)

cumi-cumi, teri asin, tenggiri, gondolan, bawal, udang, kakap putih, kurisi dan bakso ikan. Dari pengujian yang dilakukan, hanya cumi-cumi dari Pasar SMEP yang positif berformalin, sedangkan cumi-cumi dari Perumnas Way Halim dan Gudang Lelang negatif. Selain temuan tersebut, tahu, mi basah, ikan segar, ikan asin dan bakso merupakan bahan pangan yang paling sering ditemui mengandung formalin (Anonim, 2012).

Penggunaan formalin tidak hanya ditemukan pada pengawetan ikan laut segar di Kota Bandar Lampung. Tim gabungan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan, dan Dinas Kesehatan menemukan sebanyak 3,35 kilogram ikan asin berformalin di Pasar Temon Kulonprogo, Yogyakarta, pada hari Senin 15 Juli 2013. Berdasarkan pengujian secara kuantitatif yang dilakukan petugas konservasi sumber daya laut Dispenak Kulonprogo, didapati tiga jenis ikan asin yang positif mengandung formalin, yakni jenis sriting, kacangan dan peda. Ikan asin berformalin tersebut ditemukan dari dua pedagang yang membeli dari Pasar Purworejo dan Pasar Beringharjo. Kandungan formalin pada ketiga jenis ikan asin tersebut sekitar 20 ppm (Kistyarini, 2013).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menemukan bahan berbahaya dalam kandungan pangan untuk berbuka puasa pada tanggal 1 Agustus 2013. Dari 235 sampel yang diteliti, 44 sampel tidak memenuhi syarat. Bahan pangan yang teridentifikasi yaitu: mengandung rhodamin sejumlah 22 sampel, mengandung formalin sejumlah 26 sampel dan mengandung boraks sejumlah 6 sampel. Ada beberapa sampel yang mengandung lebih dari satu bahan berbahaya. Contoh lain


(12)

terdapat di pasar hidangan untuk berbuka puasa di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, dimana 21% sampel mengandung bahan berbahaya. Bahkan pada tahun 2012, terdapat 26% sampel yang mengandung bahan berbahaya (Syafitri, 2013).

Di Jawa Tengah, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah, BPOM Semarang dan Unit Food Security Bid Dokkes, menemukan mi berformalin pada pesta rakyat pelantikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, 23 Agustus 2013. Setelah ditelusuri, ternyata mi berasal dari sebuah pabrik di Kelurahan Rejowinangun, Magelang. Dari pabrik itu, petugas menyita 300 kilogram mi basah yang tersimpan dalam tiga karung, juga sejumlah bahan pembuatan mi, seperti jerigen bekas wadah formalin, 625 kilogram tepung terigu, 4 kilogram serbuk pewarna tekstil, 5 kilogram garam grosok, 1 kilogram pewarna kuning, serta sejumlah bahan lain. Tersangka sendiri mengaku terpaksa menggunakan formalin agar mi yang diproduksi bisa lebih awet. Sebab, jika tidak diawetkan, mi hanya bertahan satu hari dan akan banyak dikembalikan sehingga ia merugi. Dengan diberi formalin, mi akan mampu bertahan hingga berhari-hari, bahkan sampai sekitar dua minggu (Kistyarini, 2013).

Penggunaan formalin dalam produk perikanan ditemukan baik pada ikan segar ataupun ikan olahan. Penggunaan formalin pada ikan segar dipicu oleh kenaikan biaya produksi yang ditanggung oleh nelayan akibat makin jauhnya lokasi penangkapan dan makin tingginya harga solar dan harga es. Dengan penggunaan formalin, selain dapat mengurangi beban muatan, karena nelayan tidak perlu repot membawa dalam jumlah banyak, biaya produksi diperkirakan dapat ditekan hingga ±20% (BBRSE, 2005 dalam Hikmayani et al., 2007). Penemuan adanya


(13)

formalin dalam penelusuran selama ini didasarkan pada analisis ada tidaknya kandungan formalin pada daging ikan yang dijual, tetapi tidak pada air penyimpanan ikan laut segar.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka dilakukan studi kasus mengenai penggunaan formalin dalam cairan/air es yang digunakan oleh masyarakat sebagai pengawet komoditi ikan laut segar, yang beredar mulai dari Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), distributor/transportasi pengangkut ikan laut segar sampai kepada penjual ikan (pengecer) di beberapa pasar tradisional/pasar pagi, khususnya di daerah Kota Bandar Lampung dan distribusinya. Selain itu, kegiatan survai dan wawancara juga dilakukan ke beberapa tempat yang diduga menjual formalin untuk mengetahui alur distribusi formalin yang beredar khususnya di Kota Bandar Lampung.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi adanya kandungan pengawet formalin pada cairan/air es yang digunakan untuk mengawetkan beberapa komoditi ikan laut segar dan mengetahui alur distribusi formalin yang digunakan sebagai pengawet produk ikan laut segar yang terdapat di daerah Kota Bandar Lampung.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat di Kota Bandar Lampung dalam upaya terjaminnya keamanan produk ikan laut segar dari bahan berbahaya formalin. Bagi pemerintah pusat dan instansi terkait di daerah,


(14)

khususnya di Kota Bandar Lampung, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat kebijakan yang ketat terhadap masih longgarnya peredaran dan distribusi formalin yang sering digunakan bagi produk pangan.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Perikanan di Provinsi Lampung

Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas dan strategis, dengan sumber daya alam yang kaya akan keanekaragaman hayati, baik di darat maupun di perairan tawar dan laut. Berdasarkan data yang terukur, Indonesia memiliki 95.181 km panjang garis pantai dengan kurang lebih 5,0 juta luas zona ekonomi eksklusif. Indonesia terdiri dari 5 buah pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua, ditambah pula dengan ribuan pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kepulauan Indonesia yang dua pertiganya adalah laut, di dalamnya terkandung kekayaan keanekaragaman hayati yang tersebar mulai dari dasar laut sampai daerah permukaan (Nuitja, 2010).

Perikanan laut di Indonesia merupakan perikanan rakyat yang terutama mengandalkan perahu atau kapal penangkap ikan berukuran kecil. Dari kapal-kapal tersebut hanya kurang dari 50% yang sudah dilengkapi dengan motor. Sebagian kapal-kapal sudah dilengkapi dengan palka atau peti berinsulasi yang dapat menyimpan ikan pada suhu rendah, sedangkan sisanya merupakan perahu-perahu tanpa motor yang tidak dilengkapi dengan peti pendingin. Selain itu nelayan-nelayan yang mempunyai perahu sederhana tersebut seringkali malas membawa es karena daerah penangkapannya cukup jauh sehingga memerlukan


(16)

waktu perjalanan yang cukup lama. Hal ini menyebabkan pada saat tiba di pantai, hasil tangkapan sudah tidak segar dan bermutu rendah (Fardiaz, 1995).

Provinsi Lampung memiliki wilayah pesisir yang luas dengan garis pantai lebih kurang 1.105 km dan 69 pulau-pulau kecil dengan beragam jenis habitat yang berbeda, termasuk lingkungan yang dibuat manusia, seperti tambak udang dan perkotaan. Luas wilayah pesisir sekitar 440.010 ha dan luas perairan laut dalam batas 12 mil adalah 24.820,0 km2 yang merupakan bagian wilayah Samudera Hindia (pantai barat Lampung), Selat Sunda (Teluk Lampung dan Teluk Semangka), dan Laut Jawa (pantai timur Lampung). Dengan wilayah pesisir dan laut yang cukup luas, sektor perikanan merupakan salah satu unggulan di Provinsi Lampung (Yudha, 2009). Dengan jumlah wilayah kelautan yang luas dan lahan perairan yang banyak, potensi perikanan di Provinsi Lampung juga merupakan salah satu potensi unggulan bagi peningkatan ekonomi Provinsi Lampung. Secara umum produksi perikanan di Lampung dihasilkan berdasarkan dua jenis, yaitu: perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Tabel 1. Potensi Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Provinsi Lampung

No. Potensi Perikanan Produksi (Ton)

1. Penangkapan 127.358,41

- Laut 120.766,58

- Perairan umum 6.591,83

2. Budidaya 88.844,30

- Laut 3.953,32

- Tambak 53.371

- Tawar 31.519,82

Total produksi 216.202,71

Sumber: Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah Provinsi Lampung (2011)


(17)

Tabel 2. Potensi Perikanan Tangkap di Provinsi Lampung

No. Komoditi Produksi Tahun

2008 (Ton) Potensi dan Lokasi

1. Tuna 539,20  Pantai Barat Lampung panjang garis pantai 210 km

2. Cikalang 678,20  Potensi perikanan Lampung 388.000 ton/tahun

3. Tongkol 6.973,30  Pemanfaaatan 27.052,6 ton

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung (2010)

Provinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki potensi yang cukup besar bagi kegiatan perikanan serta prospek yang baik bagi perkembangan di masa yang akan datang. Salah satu kegiatan perikanan tangkap di Provinsi Lampung terletak di daerah Lempasing, dimana daerah ini terletak di wilayah selatan Sumatera dari Bengkulu serta berhubungan langsung dengan Samudera Hindia (Ayuni, 2002). Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lempasing merupakan salah satu tempat pendaratan ikan yang berada di Kota Bandar Lampung (Aziza, 2000). Selain PPI Lempasing, terdapat juga Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Gudang Lelang Teluk Betung yang menjadi pusat kegiatan pendaratan ikan di Kota Bandar Lampung.

Dari potensi perairan di kawasan Lampung, dihasilkan sumber daya perikanan yang berlimpah. Terdapat berbagai macam komoditas ikan laut segar yang ditangkap di wilayah perairan Lampung yang kemudian diedarkan ke beberapa pasar tradisional, khususnya di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2012), terdapat 42 jenis ikan laut segar yang ditangkap dan dipasarkan di Kota Bandar Lampung. Untuk mengetahui produksi ikan laut menurut jenisnya di Kota Bandar Lampung Tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3.


(18)

Tabel 3. Produksi Ikan Laut menurut Jenisnya di Kota Bandar Lampung Tahun 2011

Jenis Ikan Produksi (Kg) Jenis Ikan Produksi (Kg)

1. Simba 432,22 22. Remang -

2. Bentong 37,46 23. Manyung -

3. Kembung 1.255,05 24. Layur 626,12

4. Ekor Kuning - 25. Kiter -

5. Selar 731,82 26. Talang 2,61

6. Cucut 638,6 27. Bakre -

7. Tongkol 1.218,49 28. Pisang-pisang -

8. Pari 1.993,18 29. Kurisi 1.557,19

9. Kakap 1.351,90 30. Taji-taji -

10. Kuniran 184,16 31. Jolot -

11. Sebelah 85,26 32. Teri 246,64

12. Kacangan - 33. Petek 561,12

13. Tenggiri - 34. Belebaran -

14. Wailul - 35. Tanjan -

15. Semadar - 36. Lemuru 649,21

16. Lemadang 854,64 37. Bawal 210,70

17. Bandeng - 38. Layang 225,88

18. Waliran - 39. Cumi-cumi -

19. Salem - 40. Kampakan -

20. Layaran - 41. Raja Ganteng -

21. Belida - 42. Kerapu 1.351,90

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2012) Keterangan (-) = tidak dilakukan pendataan

2.2. Penanganan Pascapanen Ikan Laut Segar

Ikan termasuk salah satu komoditas yang cepat rusak dan bahkan lebih cepat rusak jika dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Kecepatan pembusukan ikan setelah penangkapan dan pemanenan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti: teknik penangkapan dan pemanenan, kondisi biologis ikan, serta teknik penanganan dan penyimpanan di atas kapal. Oleh karena itu, setelah ditangkap atau dipanen, sesegera mungkin ikan harus diawetkan dengan pendinginan atau pembekuan (Irianto dan Soesilo, 2007). Untuk meningkatkan nilai tambah hasil


(19)

perikanan, maka dilakukan pengawetan dan atau pengolahan hasil-hasil perikanan. Tujuan pengawetan ikan adalah untuk mempertahankan ikan selama mungkin dengan menghambat atau menghentikan aktivitas mikroorganisme pembusuk. Hampir semua cara pengawetan akan menyebabkan berubahnya sifat-sifat ikan segar, baik itu dalam hal bau, rasa, bentuk ataupun tekstur dagingnya (Rahardi et al., 1996 dalam Nurhayati, 2004).

Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya, pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti oleh medium yang lebih dingin darinya, dapat berbentuk cair, padat atau gas. Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice (es cair) dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah didaratkan, yaitu ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika dipasarkan. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran ikan, biasanya 10-14 hari (Wibowo dan Yunizal, 1998).


(20)

2.3. Mutu Ikan Basah

Menurut Astuti (1995), ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang berkualitas tinggi karena mengandung banyak asam amino essensial, akan tetapi ikan termasuk komoditi yang mudah rusak (highly perishable) karena mudah sekali mengalami kerusakan oleh serangan mikroorganisme, pengaruh fisis dan khemis yang terutama terjadi sebelum pengolahan. Oleh karena itu, persiapan ikan sebelum diolah ikut menentukan kualitas produk, baik ditinjau dari segi gizinya, bentuk, warna, rasa maupun bau produk tersebut, sehingga bisa sampai ke tangan konsumen dalam keadaan segar atau mendekati segar.

Astuti (1995) menjelaskan bahwa pengertian mutu bagi bahan mentah hasil-hasil perikanan yang memiliki sifat mudah busuk adalah identik dengan kesegaran ikan. Ikan yang baru ditangkap dan masih belum terjadi perubahan-perubahan serta masih memiliki sifat-sifat keasliannya dapat dikatakan bermutu tinggi atau sangat segar. Penurunan dari sifat keaslian merupakan proses yang berjalan sesuai dengan berlangsungnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh ikan pada suatu kondisi tertentu. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ikan adalah: faktor biologis, yang meliputi jenis ikan, ukuran ikan dan keadaan biologi serta faktor penanganan, yang meliputi cara penangkapan, penanganan ikan di kapal atau perahu, penanganan di darat, cara pengangkutan dan cara distribusi. Untuk mengetahui ciri-ciri utama ikan segar secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 4.


(21)

Tabel 4. Ciri-ciri Utama Ikan Segar Secara Organoleptik

Panampakan Fisik Ikan segar Ikan yang mulai busuk

1. Kulit - Warna kulit terang dan jernih

- Kulit masih kuat membungkus tubuh, tidak mudah sobek, terutama pada bagian perut

- Warna-warna khusus yang masih ada masih jelas terlihat

- Kulit berwarna suram, pucat dan berlendir banyak

- Kulit mulai terlihat mengendur di beberapa tempat tertentu

- Kulit mudah robek dan warna-warna khusus sudah hilang

2. Sisik - Sisik menempel kuat pada tubuh sehingga sulit dilepas

- Sisik mudah terlepas dari tubuh

3. Mata - Mata tampak terang, jernih, menonjol dan cembung

- Mata tampak suram, tenggelam dan berkerut 4. Insang - Insang berwarna

merah sampai merah tua, terang dan lamella insang terpisah

- Insang tertutup oleh lendir berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan

- Insang berwarna cokelat suram atau abu-abu dan lamella insang

berdempetan

- Lendir insang keruh dan berbau asam, menusuk hidung

5. Daging - Daging kenyal, menandakan rigor mortis masih berlangsung - Daging dan bagian

tubuh lain berbau segar

- Bila daging ditekan dengan jari tidak tampak bekas lekukan - Daging melekat kuat

pada tulang

- Daging perut utuh dan kenyal

- Warna daging putih

- Daging lunak,

menandakan rigor mortis telah selesai

- Daging dan bagian tubuh lain mulai berbau busuk - Bila ditekan dengan jari

tampak bekas lekukan - Daging mudah terlepas

dari tulang

- Daging lembek dan isi perut sering keluar - Daging berwarna kuning

kemerah-merahan

terutama di sekitar tulang punggung

6. Bila ditaruh dalam air

Ikan segar akan tenggelam

Ikan yang sudah sangat membusuk akan

mengapung di permukaan air


(22)

2.4. Pengawet dan Pengawetan Pangan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R. I. No. 329/Menkes/PER/XII/76, yang dimaksud dengan aditif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu. Termasuk ke dalamnya adalah pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat dan pengental. Pada umumnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:

1. Aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya.

2. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1168/Menkes/Per/X/1999 yang merupakan revisi dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, BTP pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Proses pengawetan adalah upaya menghambat kerusakan pangan dari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba pembusuk yang mungkin memproduksi racun atau toksin. Tujuan pengawetan yaitu menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan, mempertahankan mutu, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan dan penyimpanan. Daya


(23)

keawetan pangan berbeda untuk setiap jenisnya. Contohnya: telur yang diawetkan dapat bertahan 1-2 bulan; daging yang dibekukan dapat awet 6-9 bulan; ikan asin sekitar enam bulan; apel segar yang disimpan dengan kontrol atmosfer (dalam ruang pendingin atau refrigerator/chiller pada temperatur 6-10 °C) dapat awet sekitar 3 bulan.

Pengawet merupakan salah satu jenis bahan tambahan pangan yang paling banyak digunakan oleh produsen makanan. Penggunaan bahan tambahan pangan dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran atau agar produk tahan lama, serta untuk memperbaiki rasa, aroma, penampilan fisik, dan warna (Yuliani, 2007). Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam atau garamnya. Aktivitas-aktivitas bahan pengawet tidaklah sama, misalnya ada yang efektif terhadap bakteri, khamir ataupun kapang.

1. Zat pengawet organik

Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat dan epoksida.

2. Zat pengawet anorganik

Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na, atau K-sulfit, bisulfit,

dan metabisulfit. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Garam nitrit dan nitrat umumnya digunakan dalam proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan


(24)

mikroba. Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet dan untuk mempertahankan warna daging atau ikan, ternyata menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan. Nitrit dapat berikatan dengan amino atau amida dan membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik.

Menurut Buckle (1985), bahan-bahan pengawet kimia adalah salah satu kelompok dari sejumlah besar bahan-bahan kimia yang baik ditambahkan dengan sengaja ke dalam bahan pangan atau ada dalam bahan pangan sebagai akibat dari perlakuan prapengolahan, pengolahan atau penyimpanan.

Pengawetan pangan bertujuan untuk menghambat pembusukan dan menjamin mutu awal pangan agar tetap terjaga selama mungkin. Penggunaan pengawet dalam produk pangan dalam prakteknya berperan sebagai anti mikroba atau anti oksidan atau keduanya. Jamur, bakteri dan enzim sebagai penyebab pembusukan pangan perlu dihambat pertumbuhan maupun aktivitasnya (Badan POM, 2003).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988 yang telah direvisi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1168/Menkes/Per/X/1999, terdapat berbagai jenis pengawet yang diizinkan digunakan dalam pangan, diantaranya: asam asetat, kalsium asetat, natrium asetat, asam benzoat dan garamnya (kalium benzoat, kalsium benzoat dan natrium benzoat), asam propionat dan garamnya (kalium propionat, kalsium propionat dan natrium propionat), asam sorbat dan garamnya (kalium sorbat, kalsium sorbat dan natrium sorbat), belerang dioksida dan garam sulfit (kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium sulfit, kalsium bisulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit dan natrium sulfit), hidroksibenzoat (etil hidroksibenzoat, metil hidroksibenzoat dan propil


(25)

p-hidroksibenzoat), lisozim hidroklorida, nitrat (kalium nitrat dan natrium nitrat), dan nitrit (kalium nitrit dan natrium nitrit). Penggunaan pengawet diatas diizinkan ditambahkan dengan jumlah tidak melebihi batas maksimum dan sesuai dengan kategori pangan. Pada Permenkes no. 1168/Menkes/Per/X/1999 juga disebutkan 10 jenis bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan, yaitu: Asam Borat dan senyawanya, Asam Salisilat dan garamnya, Dietilpirokarbonat, Dulsin, Kalium Klorat, Kloramfenikol, Minyak Nabati yang dibrominasi, Nitrofurazon, Formalin dan Kalium Bromat. Adapun bahan pengawet yang banyak digunakan dalam pengawetan ikan segar adalah Formalin (Formaldehyde).

Untuk penyesuaian dengan penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan-bahan pengawet ini:

1. Seharusnya tidak menimbulkan penipuan

2. Seharusnya tidak menurunkan nilai gizi dari bahan pangan

3. Seharusnya tidak memungkinkan pertumbuhan organisme-organisme yang menimbulkan keracunan bahan pangan sedangkan pertumbuhan mikroorganisme-mikroorganisme lainnya tertekan yang menyebabkan pembusukan menjadi nyata.

Menurut Satrawijaya (2009), organisasi kesehatan dunia mensyaratkan zat tambahan itu seharusnya memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Aman digunakan

2. Jumlahnya sekedar memenuhi pengaruh yang diharapkan 3. Sangkil secara teknologi


(26)

Penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan (food additive) saat ini sering ditemui pada makanan dan minuman. Salah satu bahan tambahan pada makanan adalah pengawet bahan kimia yang berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan, baik yang disebabkan mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan (Winarno dan Jeni, 1983 dalam Husni et al., 2007). Salah satu jenis bahan pengawet yang seringkali digunakan yaitu formalin.

2.5. Formaldehid / Formalin

2.5.1. Sifat kimia dan fisik

Berdasarkan sumbernya, formaldehid untuk pengawet berasal dari hasil sintesis secara kimia. Adapun persamaan kimia dari formaldehida yaitu:

CH3OH + 1/2O2 H2CO + H2O

Formaldehid adalah gas yang biasanya tersedia dalam bentuk larutan 40 % (formalin) dan merupakan cairan jernih, tidak berwarna dengan bau menusuk. Uapnya merangsang/bereaksi cepat dengan selaput lendir hidung, tenggorokan dan saluran pencernaan. Selain itu dapat menyebabkan iritasi mata. Konsentrasi 0.5 sampai 1 ppm di udara dapat dideteksi dari baunya, konsentrasi 2 sampai 3 ppm dapat menyebabkan iritasi ringan. Sedangkan pada konsentrasi 4 sampai 5 ppm pada umumnya tidak dapat ditoleransi oleh manusia. Jika disimpan formaldehid akan dimetabolisme menjadi asam formiat dan metanol. Asam formiat kemudian dikonversi menjadi metilformat. Pada suhu yang sangat rendah


(27)

akan terbentuk trioksimetilin. Titik didih formaldehid pada 1 atm adalah 96°C, pH 2,8-4,0 dan dapat bercampur dengan air, aseton, alkohol (Badan POM, 2004).

2.5.2. Penggunaan

Formaldehid yang lebih dikenal dengan nama formalin ini adalah salah satu bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan no. 1168/Menkes/Per/X/1999. Selama ini, masyarakat pada umumnya mengetahui formalin sebagai zat yang dipakai dalam proses pengawetan jenazah. Formalin juga dikenal sebagai bahan untuk membunuh hama dan disinfektan. Meskipun sebagian banyak orang, terutama produsen, sudah mengetahui bahwa zat ini berbahaya jika digunakan sebagai pengawet, namun penggunaannya bukannya menurun namun malah semakin meningkat dengan alasan harganya yang relatif murah dibanding pengawet yang tidak dilarang (Hastuti, 2010).

Pengadaan bahan berbahaya di dalam negeri dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu impor dan produksi lokal.

1. Pengadaan dari impor

Pengadaan formalin melalui impor telah diatur oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan berdasarkan SK Menperindag No. 254/MPP/Kep/7/2000 tentang tata niaga impor dan peredaran bahan berbahaya tertentu yang berhak melakukan importasi formalin adalah:

- IP-B2, yaitu importir yang diakui dan disetujui untuk mengimpor sendiri bahan berbahaya yang diperuntukkan semata-mata hanya untuk kebutuhan produksinya sendiri.


(28)

- IT-B2, yaitu importir yang mendapat tugas khusus untuk mengimpor bahan berbahaya dan bertindak sebagai distributor untuk menyalurkan bahan berbahaya yang diimpornya kepada pengguna akhir.

2. Pengadaan dari produsen lokal

Sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang pengadaan formalin yang berasal dari produsen lokal. Contoh produsen formalin lokal adalah PT Kayu Lapis Indoensia yang mempunyai pabrik di Desa Mororejo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Estimasi produksi formalin per tahun diperkirakan ± 20.000 ton.

Gambar 1.Diagram alir tata niaga formalin Sumber: (Riyadi, 2006)

Sehari-harinya formaldehid digunakan untuk mengawetkan serangga, hewan kecil bahkan mayat manusia, di samping berperan sebagai desinfektan, bahan tambahan pada pembuatan kertas tisu untuk toilet. Formaldehid bekerja sebagai bakterisid dengan cara denaturasi. Di samping itu juga bersifat astringent. Pada kosmetika

Negara Asal di Luar Negeri

I T -B 2

Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi

(Formalin) Repacking bahan berbahaya ke dalam kemasan kecil dengan

label yang benar

END USER

Produsen produk mengandung bahan berbahaya

Apotek/ RS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lain I P -B 2


(29)

digunakan sebagai deodorant dan antihidrolitik (menghambat keringat). Namun formalin juga digunakan sebagai pengawet makanan walaupun hal ini sudah jelas dilarang. Ada makanan tertentu yang banyak digemari dan dikonsumsi oleh banyak orang seperti mi basah dan tahu, yang mengandung formalin atau formaldehid yang mengandung kurang lebih 37% formaldehid dalam air dan biasanya ditambahkan metanol 10 -15 % agar terbentuk polimer rendah yaitu paraformaldehid, yang pada pemanasan akan terpolimerisasi menjadi formaldehid bebas. Pada hewan, formaldehid jelas bersifat karsinogenik karena dari penelitian menggunakan hewan percobaan yang dipaparkan dengan formaldehid konsentrasi 6 sampai 15 ppm selama 2 tahun ternyata formaldehid menginduksi squamous-cell carcinoma pada rongga hidung tikus dan mencit.

2.5.3. Efek kesehatan

Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimiawi, secara umum ambang batas aman di dalam tubuh adalah 1 miligram per liter. Bila formalin masuk ke tubuh melebihi ambang batas tersebut maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau jangka pendek dan dalam jangka panjang, bisa melalui hirupan, kontak langsung atau tertelan (Hastuti, 2010).

Formalin dapat terpapar ke dalam tubuh manusia melalui dua jalan, yaitu melalui mulut dan pernapasan. Efek dominan akibat paparan inhalasi akut dari formaldehida adalah iritasi dan terbakarnya selaput lendir hidung, mulut dan


(30)

saluran pernapasan bagian atas. Inhalasi akut sejumlah besar formaldehida juga dapat menimbulkan kelemahan, sakit kepala, mual, muntah, pneumonia, sesak, bersin, batuk, laring dan edema paru, bronkospasme, spasme laring, depresi pernafasan, obstruktif trakeo-bronkitis, sistem saraf pusat depresi, kejang dan koma. Menghirup sejumlah besar formaldehida dapat berakibat fatal karena terjadinya edema paru atau gagal napas (Wakefield, 2008).

Jika termakan, formalin dapat menyebabkan keracunan pada tubuh. Jika terpapar formaldehida dalam jumlah banyak, misalnya terminum, bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan napas menjadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma, atau sampai kepada kematian. Di dalam tubuh, formaldehida bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal (NIOSH, 2010). Sifat merusak ini terletak pada gugus Karbon Oksida (CO) atau aldehid. Gugus ini bereaksi dengan gugus amina, pada protein menghasilkan metenamin atau heksametilentetramin. Formaldehid akan bereaksi dengan Dioxyribosa Nucleic Acid (DNA) atau Ribonucleic Acid (RNA) sehingga data informasi genetik menjadi kacau. Akibatnya, penyakit-penyakit genetik baru mungkin akan muncul. Bila gen-gen rusak itu diwariskan, maka akan terlahir generasi dengan cacat gen. Selain itu, bila sisi aktif dari protein-protein vital dalam tubuh dimatikan oleh formaldehid, maka molekul-molekul itu akan kehilangan fungsi dalam metabolisme. Akibatnya, kegiatan sel akan terhenti.


(31)

Selain itu, jika terhirup, formalin dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan dan jika terpapar pada kulit dapat menyebabkan reaksi sensitisasi serta pengerasan kulit (Marliana, 2008). Judarwanto (2006) menambahkan bahwa bila terhirup, formalin mengakibatkan iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk. Kerusakan jaringan sistem saluran pernafasan bisa mengganggu paru-paru berupa pneumonia (radang paru) atau edema paru (pembengkakan paru). Ikan berformalin yang digoreng juga menghasilkan aroma residu formalin yang sangat menyengat sehingga dapat menggangu pernafasan.

2.5.4. Penyalahgunaan formalin sebagai pengawet pada makanan

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, formalin merupakan salah satu bahan tambahan yang dilarang penggunaannya dalam makanan. Larangan penggunaan formalin dalam makanan juga diperkuat oleh data International Agency for Research on Cancer (IARC) yang mengelompokkan formaldehid sebagai zat yang bersifat karsinogenik atau penyebab kanker pada manusia golongan 1 (Group 1: carcinogenic to human) (Marliana, 2008). Hasil survai penggunaan bahan tidak untuk pangan pada penanganan dan pengolahan produk perikanan (Irianto et al., 2007) dapat dilihat pada Tabel 5.

Penggunaan jenis bahan pengawet yang tidak direkomendasikan merupakan salah satu permasalahan yang terjadi pada proses pengawetan produk perikanan. Hal ini bukan merupakan kasus baru dalam dunia pangan. Pada tahun 1977, sebuah lembaga konsumen menemukan penggunaan formalin pada produk tahu dan mi.


(32)

Tabel 5. Hasil Survai Penggunaan Bahan Tidak Untuk Pangan pada Penanganan dan Pengolahan Produk Perikanan

No. Jenis Penyimpangan Jenis Produk Bahan yang Digunakan

1. Penggunaan Bahan Pewarna yang Tidak Dianjurkan

1. Terasi Rhodamin B, Kesumba Cap Belalang, pewarna lain tanpa merk yang jelas 2. Daging kerang

hijau

Pewarna Cap Kodok dan Pewarna Cap Ikan Mas Koki

3. Pindang kuning Auramin

2. Penggunaan Insektisida 1. Ikan jambal Pastak, Endodan 350 EC, Baygon, Startox 2. Ikan asin Startox

3. Ikan asin rebus Baygon dicampur minyak tanah

4. Tepung ikan/ Bahan Baku Tepung Ikan

Baygon

5. Sirip hiu Startox 3. Penggunaan Borax 1. Ikan jambal Borax

2. Bakso ikan Borax 4. Penggunaan H2O2 1. Ikan asin/jambal H2O2

2. Ikan teri H2O2

3. Ikan peda H2O2

5. Penggunaan Bahan Pemutih

1. Ikan asin Bayclin 6. Penggunaan Sabun Cuci 1. Sirip ikan hiu Deterjen

2. Cumi-cumi kering Deterjen 7. Penggunaan Tawas 1. Ikan asap Tawas 8. Penggunaan Bahan

Pengawet Mayat

3. Ikan segar Formalin

Sumber: Irianto dan Murdinah (2006) dalam Irianto dan Soesilo (2007)

Sebenarnya penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan telah dilarang sejak tahun 1982. Namun kenyataanya bahan pengawet non pangan ini masih terus digunakan di dalam dunia pangan sampai awal tahun 2005. Pada tahun 2005, BPOM Bandar Lampung melakukan uji laboratorium terhadap 161 contoh ikan, tahu, dan mi basah di enam kota/kabupaten. Pengujian dilakukan di pasar swalayan dan pasar tradisional di enam kota/kabupaten, Bandar Lampung, Metro,


(33)

Kabupaten Tanggamus, Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan. Pengujian ini menunjukkan dari 161 contoh, 64 dinyatakan positif mengandung formalin (Anonim, 2005a).

Di daerah lain, Balai Besar POM DIY mengemukakan bahwa dalam penelitiannya sejak pertengahan sampai akhir tahun 2006 menunjukkan hasil yaitu sebanyak 75 dari 113 sampel yang diteliti mengandung formalin. Sebagian besar formalin ditemukan dalam mi basah dan ikan asin, sedangkan dalam tahu tidak ditemukan. Sedangkan dalam operasi yang digelar Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Semarang di beberapa pasar tradisional dan swalayan ditemukan ikan yang mengandung formalin, seperti di Pasar Karangayu dan Pasar Kobong Semarang. Menurut Pengusaha ikan asal Desa Magersari Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang mengatakan bahwa sebagian pengusaha ikan memang menggunakan bahan formalin, tetapi tidak secara keseluruhan (Riyadi, 2006). Dikhawatirkan formalin juga digunakan dalam pengawetan ikan laut segar, khususnya ikan yang memiliki nolai ekonomis tinggi, seperti: kakap, tenggiri, tongkol, tuna dan lain sebagainya.

Sedangkan di Kota Solo, Dinas Kesehatan Kota Surakarta menemukan ikan jambal positif mengandung formalin. Ikan jambal tersebut adalah salah satu dari sampel makanan yang diambil dalam operasi di sejumlah pasar tradisional dan Sekolah Dasar. Hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Balai POM terhadap sejumlah sampel makanan yang beresiko mengandung formalin terbukti bahwa ikan jambal terbukti positif mengandung bahan pengawet tersebut. Selain itu, penggunaan formalin juga ditemukan pada jenis ikan yang lain. Di Pemalang, ikan


(34)

kering jenis cumi-cumi dalam kemasan, ditemukan Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Pemalang positif mengandung bahan pengawet formalin. Makanan yang diawetkan tersebut ditemukan di dua toserba ternama di Pemalang. Makanan tersebut didatangkan dari sebuah produsen di Jakarta (Riyadi, 2006).

Selain ikan segar, formalin juga digunakan untuk mengawetkan beberapa produk pangan lain, seperti: mi basah, tahu, bakso, ikan asin dan ayam potong. Berikut ini adalah ciri-ciri fisik makanan yang mengandung formalin.

a. Mi basah

- Baunya sedikit menyengat

- Awet, pada suhu 25oC bisa tahan dua hari dalam suhu kamar, sedangkan pada suhu 10oC atau dalam lemari es bisa tahan lebih dari 15 hari

- Mi tampak mengkilat (seperti berminyak), kenyal, liat (tidak mudah putus) dan tidak lengket.

b. Tahu

- Bentuknya sangat bagus dan kenyal

- Teksturnya tidak mudah hancur dan awet sampai tiga hari pada suhu kamar (25oC)

- Pada suhu lemari es (10oC) bisa tahan lebih dari 15 hari

- Bau agak menyengat, namun aroma kedelai sudah tak nyata lagi c. Bakso

- Memiliki tekstur sangat kenyal


(35)

d. Ikan basah

- Berwarna putih bersih - Dagingnya kenyal

- Insangnya berwarna merah tua, bukan merah segar

- Tidak mudah busuk, awet pada suhu kamar sampai beberapa hari

- Tidak terasa bau anyir ikan, melainkan ada bau menyengat khas formalin e. Ikan asin

- Ikan berwarna bersih cerah - Tidak berbau khas ikan

- Awet sampai lebih dari satu bulan pada suhu kamar (25oC) - Liat (tidak mudah hancur)

f. Ayam potong

- Berwarna putih bersih

- Awet atau tidak mudah busuk dalam beberapa hari (Wijaya, 2011)

Yuliani (2007) menyebutkan beberapa ciri produk ikan basah/udang yang mengandung formalin, diantaranya: insang berwarna merah tua dan tidak cemerlang, warna putih bersih dengan tekstur yang kenyal dan awet sampai 3 hari pada suhu kamar, serta tidak mudah busuk dan bau.

Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006), ada beberapa hal yang menyebabkan peningkatan pemakaian formalin sebagai bahan pengawet makanan, antara lain: 1. Harganya sebesar Rp.7.000/liter, jauh lebih murah dibanding pengawet

lainnya, seperti natrium benzoat Rp. 20.000/kg atau potasium sorbat Rp.70.000/kg


(36)

2. Jumlah yang digunakan tidak perlu sebesar pengawet lainnya, misalnya 1 liter formalin komersil (37-40%) untuk 10 ton ikan laut, sedangkan untuk dosis penggunaan natrium benzoat sebesar 0.1% dari bahan yang akan diawetkan 3. Mudah digunakan untuk proses pengawetan karena bentuknya larutan. Pada

umumnya 0.15-0.25 ml formalin komersil per 10 liter air. 4. Waktu pemrosesan pengawetan lebih singkat

5. Mudah didapatkan di toko kimia dalam jumlah besar

6. Rendahnya pengetahuan masyarakat produsen tentang bahaya formalin

Menurut Zazili (2008), tingginya penyalahgunaan formalin oleh produsen makanan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

1. Harga formalin lebih murah jika dibandingkan dengan bahan pengawet lainnya 2. Faktor efektivitas, yaitu jumlah formalin yang dibutuhkan tidak perlu terlalu

banyak untuk proses pengawetan sebab bentuknya cairan

3. Waktu proses pengawetan lebih cepat jika dibandingkan dengan bahan pengawet lainnya

4. Faktor mudahnya untuk mendapatkan formalin sebab dijual di toko-toko obat 5. Faktor rendahnya pengetahuan masyarakat akan bahaya formalin

Purnomo et al. (2002) menambahkan, ada beberapa faktor penyebab berkembang atau terus berlangsungnya penyalahgunaan formalin dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan yakni:

1. Kelonggaran hukum yang berkaitan dengan keamanan pangan

2. Adanya insentif ekonomi karena produk hasil penyalahgunaan formalin lebih menarik/harga tinggi/terhindar dari kerugian dan bahan alternatif lebih murah


(37)

3. Faktor teknis berupa bahan yang aman tidak tersedia, bahan alternatif lebih efektif, bahan alternatif lebih praktis, dan teknologi problem solving tidak tersedia

4. Ketidaktahuan pengolah maupun instansi terkait karena pengolah atau instansi terkait kurang kepedulian (concern) dan kurangnya pembinaan.


(38)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2013. Lokasi penelitian meliputi: tempat pengambilan sampel dan laboratorium uji. Tempat pengambilan sampel yaitu beberapa kapal nelayan di pelabuhan pendaratan ikan, mobil box/pick up pemasok ikan dari luar Bandar Lampung serta beberapa pasar tradisional/pasar pagi di Kota Bandar Lampung. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Terpadu Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Tanjung Karang.

3.2. Bahan dan Alat

Berbagai sampel yang diperiksa dan diuji dalam penelitian ini adalah cairan/air es yang digunakan di dalam box atau tempat penyimpanan ikan yang diperoleh dari beberapa tempat yaitu: PPI Gudang Lelang Teluk Betung dan PPI Lempasing, mobil box/pick up pemasok ikan dari luar Bandar Lampung serta beberapa pasar di daerah Kota Bandar Lampung (Pasar Cimeng, Pasar Koga, Pasar Tamin, Pasar Tugu dan Pasar Way Halim). Bahan yang dibutuhkan untuk identifikasi yaitu: test kit formalin merk Chem Kit® dan pereaksi asam kromatrofik. Sedangkan


(39)

peralatan analisis yang digunakan adalah botol kaca ukuran 150 ml untuk wadah sampel, stopwatch, timbangan, penangas air, pemanas Bunsen, alat penyulingan, tabung reaksi dan kamera.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu dengan survai dan dilanjutkan dengan melakukan pengambilan sampel untuk diuji di laboratorium. Survai berupa pengamatan langsung di lapangan dan pengisian lembar kuesioner ditujukan ke beberapa tempat yang diduga menjual formalin untuk mengetahui alur distribusi formalin di Kota Bandar Lampung; serta ke beberapa nelayan di pelabuhan pendaratan ikan, distributor/pengecer dan penjual ikan di beberapa pasar di Kota Bandar Lampung untuk mendapatkan informasi mengenai penggunaan formalin pada ikan yang ditangkap maupun yang dijual. Lokasi yang menjadi tempat pengambilan sampel yaitu pelabuhan pendaratan ikan yang ada di Kota Bandar Lampung dan beberapa pasar di Kota Bandar Lampung. Pemilihan lokasi PPI Gudang Lelang Teluk Betung dan PPI Lempasing sebagai tempat pengambilan sampel karena tempat ini merupakan sentra masuknya komoditas perikanan di Provinsi Lampung, khususnya Kota Bandar Lampung. Sampel juga diambil dari beberapa mobil box/pick up pengangkut ikan laut segar yang akan didistribusikan ke pasar-pasar, karena dikhawatirkan penggunaan formalin juga dilakukan pada saat proses distribusi ikan yang dipasok dari luar Kota Bandar Lampung dan dari berbagai pasar pagi/pasar tradisional.

Tahap berikutnya adalah pengambilan sampel berupa cairan/air es yang terdapat di kapal-kapal nelayan, yaitu: PPI Gudang Lelang Teluk Betung (10 kapal) dan


(40)

PPI Lempasing (7 kapal); mobil box/pick up pengangkut ikan (6 mobil); serta beberapa pasar di Kota Bandar Lampung (Pasar Cimeng sebanyak 6 penjual, Pasar Koga sebanyak 4 penjual, Pasar Tamin sebanyak 4 penjual, Pasar Tugu sebanyak 10 penjual dan Pasar Way Halim sebanyak 5 penjual). Pengambilan sampel di kapal Cantrang dilakukan pada pagi hari saat para nelayan melakukan aktivitas bongkar muat dan pelelangan. Pengambilan sampel di mobil box/pick up dilakukan pada malam hari, mulai pukul 22.00 WIB sebelum aktivitas pelelangan dimulai. Pengambilan sampel di pasar dilakukan pada pagi hari. Total jumlah titik pengambilan sampel adalah 52 tempat.

Untuk menentukan jumlah sampel yang akan digunakan, dapat ditentukan dengan menggunakan Purposive Sampling Method (Mustafa, 2000) dengan 2 ulangan. Adapun rumus yang digunakan yaitu:

Keterangan: n = jumlah sampel N = jumlah populasi

Selanjutnya masing-masing sampel cairan/air es akan diuji secara kualitatif dengan menggunakan Test Kit Formalin. Selanjutnya uji penegasan dilakukan hanya pada sampel yang positif mengandung formalin menggunakan metode Cara Uji Bahan Pengawet Makanan dan Bahan Tambahan yang Dilarang untuk Makanan yang mengacu pada SNI 01 – 2894 – 1992. Masing-masing pengujian dilakukan dengan 2 ulangan dan pengambilan sampel untuk ulangan kedua dilakukan pada hari yang berbeda. Data yang diperoleh dari serangkaian pengujian kemudian disajikan, dianalisis dan dipaparkan secara deskriptif. Data ditampilkan dalam bentuk Tabel dan Gambar.


(41)

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Survai lapangan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan berupa survai dan wawancara ke PPI Gudang Lelang Teluk Betung dan PPI Lempasing serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung mengenai kondisi perikanan, jenis-jenis ikan laut segar yang didaratkan di pelabuhan perikanan, daftar nama pasar tradisional yang ada di Kota Bandar Lampung serta data-data penunjang lainnya. Survai dan wawancara juga dilakukan ke beberapa nelayan dan penjual ikan laut segar untuk mendapatkan profil dari masing-masing responden. Selain itu, survai dan wawancara juga dilakukan ke Balai POM Kota Bandar Lampung, Dinas Koperasi, UKM, Perindag Kota Bandar Lampung serta beberapa tempat yang diduga menjual formalin di Kota Bandar Lampung untuk mengetahui alur distribusi formalin di Kota Bandar Lampung.

3.4.2. Uji laboratorium

3.4.2.1. Persiapan sampel

Sampel cairan/air es diperoleh dari beberapa tempat yang berbeda meliputi wilayah Kota Bandar Lampung. Sampel diambil dari beberapa kapal nelayan di PPI Gudang Lelang Teluk Betung dan PPI Lempasing, mobil box/pick up pengangkut ikan serta beberapa pasar di Kota Bandar Lampung (Pasar Cimeng, Pasar Koga, Pasar Tamin, Pasar Tugu dan Pasar Way Halim). Masing-masing sampel cairan/air es kemudian dimasukkan ke dalam botol kaca, ditutup rapat dan kemudian dipersiapkan untuk dilakukan pengujian.


(42)

3.4.2.2. Pengujian sampel

Uji Kualitatif Formaldehide sampel cairan/air es yang digunakan sebagai media pengawet ikan laut segar ini dilakukan menggunakan dua tahap. Tahap pertama, sampel diuji menggunakan Test Kit Formalin untuk mendeteksi apakah terdapat kandungan formalin pada cairan/air es yang digunakan sebagai media pengawet ikan laut segar tersebut. Sebanyak 1 ml sampel cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian teteskan Pereaksi I Formalin sebanyak 3-5 tetes dan dilanjutkan dengan penambahan ± 1 mg Pereaksi II Formalin. Sampel dikocok, tunggu sekitar 5-10 menit dan amati perubahan yang terjadi.

Gambar 2. Diagram alir uji kualitatif formalin menggunakan Test Kit Formalin

1 ml sampel cair Penambahan 3-5 tetes

pereaksi I Formalin

Penambahan ± 1 mg pereaksi II Formalin

Homogenisasi

Homogenisasi

Didiamkan selama ± 5-10 menit

Pengamatan

Positif Negatif


(43)

Apabila setelah pengamatan, sampel berubah warna menjadi ungu kebiruan, sampel kemudian akan dilanjutkan dengan uji penegasan yang mengacu pada Cara Uji Bahan Pengawet Makanan dan Bahan Tambahan yang Dilarang untuk Makanan (SNI 01 – 2894 – 1992) yaitu uji dengan asam kromatrofik. Sebelum dilakukan pengujian, sampel sebanyak 200 ml terlebih dahulu diasamkan dengan H3PO4 dan disulingkan. Kemudian hasil sulingan ditampung dalam erlenmeyer.

Setelah itu masukkan 5 ml pereaksi larutan jenuh asam 1.8 dihidroksinaftalen 3.6 disulfonat dalam H2S04 72% ke dalam tabung reaksi dan tambahkan 1 ml larutan

hasil sulingan sambil diaduk. Letakkan tabung reaksi yang berisi sampel tersebut dalam penangas air yang mendidih selama 15 menit dan amati perubahan yang terjadi.

Gambar 3. Diagram alir uji penegasan sampel menggunakan asam kromatrofik (SNI 01-2894-1992)

200 ml sampel cair diasamkan dengan H3PO4

Disulingkan

Hasil sulingan ditampung dalam erlenmeyer

1 ml hasil sulingan

5 ml pereaksi asam 1,8 dihidroksinaftalen 3,6 disulfonat dalam H2SO4 72%

Homogenisasi

Tabung reaksi yang berisi sampel diletakkan dalam penangas air yang mendidih selama 15 menit


(44)

3.5. Pengamatan

3.5.1. Analisis data hasil survai

Pengamatan terhadap hasil survai dilakukan berdasarkan lembar kuesioner yang telah diisi. Hasil survai pada lembar kuesioner yang ditujukan kepada toko penjual formalin, nelayan, pengecer dan penjual dimasukkan ke dalam tabel. Kemudian data tersebut dianalisis secara deskriptif. Melalui survai berupa wawancara tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alur distribusi formalin di Kota Bandar Lampung dan apakah masih terdapat penggunaan formalin dalam pengawetan ikan laut segar. Dugaan alur distribusi formalin secara ilegal hingga sampai kepada nelayan/penjual ikan didasarkan atas pengamatan, penelusuran kepada agen/distributor formalin dengan wawancara dengan pihak terkait. Data ini juga diharapkan dapat memperkuat hasil pengujian sampel yang akan diuji.

3.5.2. Analisis hasil pengamatan sampel

Pengamatan dilakukan pada masing-masing sampel dengan mengamati perubahan warna yang terjadi pada masing-masing sampel. Jika sampel yang diuji berubah warna menjadi ungu, berarti sampel tersebut positif mengandung formalin. Data hasil kedua pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel untuk kemudian dianalisis secara deskriptif. Data ditampilkan dalam bentuk Tabel dan Gambar.


(45)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium terhadap 52 titik pengambilan sampel cairan/air es sebagai media penyimpanan/pengawetan ikan laut segar, yaitu: PPI Gudang Lelang Teluk Betung (10 kapal), PPI Lempasing (7 kapal), mobil box/pick up pengangkut ikan (6 mobil) serta beberapa pasar di Kota Bandar Lampung (Pasar Cimeng sebanyak 6 penjual, Pasar Koga sebanyak 4 penjual, Pasar Tamin sebanyak 4 penjual, Pasar Tugu sebanyak 10 penjual dan Pasar Way Halim sebanyak 5 penjual), terdapat 2 sampel yang berasal dari Kapal Cantrang di PPI Lempasing yang positif mengandung formalin, sedangkan semua sampel lainnya adalah negatif.

2. Terjadi penyimpangan distribusi dan penggunaan formalin di Kota Bandar Lampung, yang mana nelayan baik di kapal/perahu, distributor maupun penjual eceran (retailer) diduga kuat mendapatkan formalin secara ilegal, baik dari Pengguna Akhir (PA-B2), produsen lokal ilegal maupun apotek/rumah sakit/sarana pelayanan kesehatan lainnya.


(46)

5.2. Saran

Adapun saran dari penelitian ini yaitu:

1. Diperlukan pengawasan dan pembinaan yang rutin terhadap para nelayan, distributor dan penjual mengenai bahaya penggunaan formalin dalam bahan pangan. Kegiatan ini hendaknya disertai dengan sosialisasi tentang bahan pengawet alternatif pengganti (misalnya: biji pucung dan kluwak, khitosan dan asap cair) atau cara pengawetan yang lebih aman untuk produk ikan laut segar selama penyimpanan mulai dari kegiatan penangkapan, distribusi sampai ke penjual eceran di pasar.

2. Pengawasan distribusi formalin oleh pihak yang berwenang harus lebih intensif dan diperketat serta pemberian sanksi yang tegas jika masih terdapat masyarakat yang menggunakan formalin untuk pengawetan produk pangan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Cumi-Cumi Berformalin. Harian Lampung Post tanggal 14 Agustus 2012 Halaman 1.

Ardiansyah. 2006. Pemerintah Akan Membatasi Tingkat Penjualan Formalin. Artikel. Liputan6.com 4 Januari 2006. Sumber: http://news.liputan6.com/ read/115273/ pemerintah-akan-membatasi-tingkat-penjualan-formalin. Diakses pada tanggal18 Oktober 2013.

Astuti, S. 1995. Pengetahuan Bahan Ikan, Susu dan Telur. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ayuni, R. 2002. Seleksi Penangkapan Ikan Tongkol yang Ramah Lingkungan di Lempasing, Lampung. Skripsi. Sumber: http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/handle/123456789/15 917/C02ray.pdf?sequence=1. Diakses pada tanggal 14 Mei 2012.

Aziza, 2000. Studi Perbandingan Fasiltas Pangkalan Pendaratan Ikan Labuhan Maringgai dan Lempasing Berkaitan dengan Kualitas Produksi Ikan yang Didaratkan. Skripsi. Sumber: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/ 123456789/24664/C00LAZ. pdf?...2. Diakses pada tanggal 14 Mei 2012. Badan POM. 2003. Mengenal Bahan Pengawet dalam Produk Pangan. InfoPOM.

Volume : IV Edisi 12: Desember 2003. Sumber: http://www. scribd.com/ doc/44304589/In-Fop-Om-1203. Diakses pada tanggal 31 Mei 2012. Badan POM, 2004. Penyalahgunaan Formalin Sebagai Pengawet Ikan,

Mungkinkah Mencari Penggantinya? InfoPOM Vol. 5, No. 4, Juli 2004. Sumber: http://perpustakaan.pom. go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20 Info %20POM/0404.pdf. Diakses pada tanggal 13 November 2012.

BPMPPT Provinsi Lampung. 2011. Peluang Investasi Provinsi Lampung. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah Provinsi Lampung.


(48)

Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Bahan Pengawet Makanan dan Bahan Tambahan yang Dilarang untuk makanan. SNI 01-2894-1992. Jakarta.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2010. Profil Investasi Lampung Tahun 2011. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Daerah Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung. 2012. Kota Bandar Lampung dalam Angka (Bandar Lampung City In Figures) 2012. Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaaan Pembangunan Daerah Kota Bandar

Lampung. Bandar Lampung.

Fardiaz, S. 1995. Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Perikanan di Indonesia: Tantangan dan Penerapan Sistem Jaminan Mutu. Buletin Teknologi & Industri Pangan Institut Pertanian Bogor Volume VI Nomor 1 April 1995. Hal 65-73.

Fenie. 1988. Uji sanitasi dalam Industri Pangan. Buku. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Fitri, R. N. 2007. Persepsi Orang Tua dan Guru Terhadap Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor. Skripsi. Sumber: http:// repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/12345 6789/ 11986/F07rnf.pdf?...4. Diakses pada tanggal 21 Maret 2012.

Gustiano, R. 2006. Kajian Teknis dan Sosio-Ekonomis Pengelolaan Berkelanjutan Sumber Daya Genetik Ikan. Prosiding Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia 2006. Puslitbang Peternakan. Hal 48-53.

Hardianto, V. 2002. Pembuatan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Menggunakan Pengering Drum dengan Penambahan Bahan Pemutih. Skripsi. Sumber: http:// repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/ 17517/D02vha.pdf?sequence=4. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012. Hastuti, S. 2010. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Formaldehid Pada Ikan Asin

di Madura. Jurnal AGROINTEK Volume 4 No. 2 Agustus 2010. Hal 132-137.

Hikmayani, Y., Suryawati, S.H., Purnomo, A.H., Nasution, Z. 2007. Dampak Pemberitaan Penyalahgunaan Formalin di Sektor Kelautan dan

Perikanan. J. Bijak dan Riset Sosek KP Vol. 2 No. 1. Sumber: http://isjd. pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21078396.pdf. Diakses pada tanggal 23 April 2012.


(49)

Huseini, M. 2007. Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Perikanan untuk Pemenuhan Gizi Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII: Dukungan Teknologi untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat.Hal 5-8. Husni, E., A. Samah, R. Ariati. 2007. Analisa Zat Pengawet dan Protein dalam

Makanan Siap Saji Sosis. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Volume 12 No. 2 2007. Hal 108-111.

Irianto, H.E., Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk

Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan Dan Perikanan. Makalah Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia 2007. Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/special /HPS/dukungan_tek_ perikanan.pdf. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2012.

Judarwanto, W. Dr. Sp.A. 2006. Pengaruh Formalin Bagi Sistem Tubuh. Sumber: http:// puterakembara.org/archives8/00000066.shtml. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2013.

Kamajaya, T. 2011. Ikan Asin Mengandung Pemutih Beredar di Pasar. Artikel Seputar Indonesia, 7 Februari 2011. Sumber: http://wartasukabumi. blogspot.com/2011/02/ ikan-asin-mengandung-pemutih-beredar-di.html. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2012.

Kistyarini. 2013. Polisi Ungkap Temuan Mi Formalin dalam Pesta Rakyat Ganjar. Artikel Kompas.com, 4 September 2013. Sumber: http://regional.

kompas.com/read/2013/09/04/1346336/Polisi.Ungkap.Temuan.Mi. Formalin.di.Pesta.Rakyat.Ganjar. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2013. Kistyarini. 2013. 3,35 Kg Ikan Asin Berformalin Ditemukan di Pasar Yogya

Artikel Kompas.com, 15 Juli 2013. Sumber: http://regional.kompas.com/ read/2013/07/15/2219548/3.35.Kg.Ikan.Asin.Berformalin.Ditemukan.di. Pasar.Yogya. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2013.

Koswara, S. 2009. Pengawet Alami untuk Produk dan Bahan Pangan. Jurnal eBookPangan.com. Sumber: http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/ uploads/2013/07/PENGAWET-ALAMI-UNTUK-PRODUK-DAN-BAHAN-PANGAN.pdf. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014. Maarif, M.S., Rahardjo, M. 1998. Strategi Peningkatan Mutu Produk Hasil

Agroindustri Perikanan Tradisional (Studi Kasus PHPT Muara Angke). Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 10 (3). Hal 99-108. Sumber: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/123456789/26653/M.%20 Syamsul%20Maarif%20(Herni).pdf?sequence=1. Diakses pada tanggal 23 April 2012.


(50)

Marliana, H. 2008. Optimasi Pereaksi Schryver Menjadi Kertas Indikator untuk Identifikasi Formalin dalam Sampel Makanan. Skripsi. Sumber: http:// www.google.co.id/url?sa=t ...Aw. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2012.

Mustafa, Hasan. 2000. Teknik Sampling. Sumber: http://home.unpar.ac.id/~hasan/ SAMPLING. Diakses pada tanggal 1 Mei 2013.

NIOSH. 2010. NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards. Sumber: http://www. cdc.gov/ niosh/npg/pgintrod.html#mustread. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2013.

Nuitja, I. N. S. 2010. Manajemen Sumber Daya Perikanan. IPB Press. Bogor. Nurhayati, P. 2004. Nilai Tambah Produk Olahan Perikanan pada Industri

Perikanan Tradisonal di DKI Jakarta. Buletin Ekonomi Perikanan Vol. V. No. 2 Tahun 2004. Sumber: http://journal.ipb.ac.id/index.php/bulekokan/ article/view/2508/1497. Diakses pada tanggal 1 Mei 2013.

Purnomo AH, Heruwati ES, Poernomo A, Murniyati, Astuti IR. 2002. Analisis Kebijakan Jaminan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan

Reed, R. A. 2004. Guidelines for Drinking Water Quality. WHO/SEARO.

Technical Notes for Emergencies. Water, Engineering and Development Centre, Loughborough University, Leicestershire, UK.

Riyadi, P. H. 2006. Analisis Kebijakan Keamanan Pangan Produk Hasil Perikanan di Pantura Jawa Tengah dan DIY. Tesis. Sumber: http://eprints.undip.ac.id/ 15287/1/Putut_har_ riyadik4a001022.pdf. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2013.

Sastrawijaya, A. T. 2009. Pencemaran Lingkungan. PT. Asdi Mahasatya Rineka Cipta. Jakarta.

Sormin, A. 2013. Awas, Ikan Laut Segar dan Olahan Mengandung Formalin. Harian Lampung Post tanggal 14 November 2013 Halaman 1.

Syafitri, A. S. 2013. BPOM Temukan Takjilan Berbahan Berbahaya di Benhil. Artikel Kompas.com, 2 Agustus 2013. Sumber: http://megapolitan. kompas.com/read/2013/08/02/0650204/BPOM.Temukan.Takjilan. Berbahan.Berbahaya.di.Benhil. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2013. Taufan, J. J. 2007. Sertifikasi Formalin agar Keresahan Tidak Berlarut. Sumber: http://jovist.blogspot.com/2007/02/sertifikasi-formalin-agar-keresahan. html. Diakses pada tanggal 27 Mei 2013.


(51)

Wakefield, J. C. 2008. Formaldehyde – Toxicological Overview. Version 1. CHAPD HQ, Health Protection Agency. Sumber: http://www.hpa.org. uk/webc/hpawebfile/hpaweb_c/1219908739327. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014.

Wibowo, S. dan Yunizal, 1998. Penanganan ikan segar. Instalasi Perikanan Laut Slipi. Jakarta.

Widyaningsih, T. D. dan E. S. Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.

Wijaya, D. 2011. Waspada Zat Aditif dalam Makananmu. Penerbit Buku Biru. Jogjakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

Yudha, I. G. 2009. Kondisi Pesisir dan Laut Provinsi Lampung. Artikel. Sumber: http://www. scribd.com/doc/13344953/Kondisi-Wilayah-Pesisir-Dan-Laut-Provinsi-Lampung-Oleh-Indra -Gumay-Yudha. Diakses pada tanggal 31 Mei 2012.

Yuliani, S. 2007. Formalin dan Masalahnya. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29 No. 5, 2007. Sumber: http://pustaka.litbang.deptan.go. id/publikasi/wr295074. pdf. Diakses pada tanggal 7 Mei 2012.

Zazili, A. 2008. Fungsi Hukum dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Formalin oleh Produsen Makanan sebagai Bahan Pengawet di Bandar Lampung. MMH, Jilid 37 No. 1, Maret 2008. Sumber: http://www.google.com/ url?sa=t&rct=j&q=fungsi%20hukum %20dalam%20....bmk. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2012.


(52)

(53)

63

Lampiran 1. Profil Responden

Tabel 9. Profil Responden Nelayan di PPI Lempasing

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang ditangkap Daerah penangkapan ikan Lama melaut Cara penyimpanan Media pengawet Keterangan (Informasi tentang formalin)

L1 Pak

Yusup

38 SD kelas 4 15 Kurisi, kuniran, simba, kembung, gentong, kiter, kakap, cumi,

sotong, gurita kecil, jolot, kerang, pari, sebelah

Lab. Maringgai, Krakatau, Ujung Kulon, Deli,

Sukabumi

12 hari Palka, drum

Es balok Tidak memakai bahan pengawet

lain

L2 Pak

Akmal

40 SD 20 Kurisi, simba, kuniran, sotong, cumi

Pulau Tembesi, Krakatau, Ujung

Kulon

12 hari Palka, drum

Es balok Tidak memakai bahan pengawet

lain

L3 Pak

Usman

35 SMP 10 Kurisi, kuniran, cembluk, simba dll

Legundi, Sembesi, Sembuku, Serud

7 hari Palka, drum

Es balok Tidak memakai bahan pengawet

lain L4 Bapak

Zainudi n

40 SD 20 Kurisi, kakap, cumi, kuniran, sebelah dll

Ujung Kulon, Krakatau,

Sembesi

12 Palka, drum

Es balok Tidak memakai bahan pengawet

lain

L5 Pak

Jasmana

37 SD 11 Kurisi, jolot, cumi, sotong Ujung Kulon, Rakata, Tembesi

12 hari Palka, drum

Es Balok Tidak memakai bahan pengawet

lain

L6 Pak

Calik

33 SD 18 Kuniran, simba, kurisi, jolot, barakuda, kier, pari, petet,

kampakan

Rakata, Ujung Kulon, Labuhan

Maringgai

12 hari Palka, drum

Es balok Tidak memakai bahan pengawet

lain

L7 Pak

Wahidin

32 SD 20 Kuniran, kurisi, jolot, petek, kiter Lampung Selatan, Ujung Kulon

12-13 hari

Palka, drum

Es balok Tidak memakai bahan pengawet

lain


(54)

64

Tabel 10. Profil Responden Nelayan di PPI Gudang Lelang

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang ditangkap Daerah penangkapan ikan Lama melaut Cara penyimpanan Media pengaw et Keterangan (Informasi tentang formalin)

G1 Pak

Darsin

57 SD 46 Kurisi, sebelah dll Teluk

Lampung

6 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain G2 Pak Ibnu

Hasan

40 SD 25 Kembung, Kurisi dll Teluk

Lampung

6 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain G3 Pak Tarno 58 SD kelas

1

40 Kurisi, kuniran, teri Teluk Lampung

6 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain G4 Pak Ato 37 SD 20 Kurisi, gondolan,

kuniran, cumi, udang

Teluk Lampung

5 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain G5 Pak Edi 43 SMP 1 Teri nasi, seriding,

kurisi, kuniran, sebelah, layur

Teluk Lampung

7 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain

G6 Pak

Nuryamin

40 SMP

kelas 2

25 Kurisi, kuniran, simba, cumi

Teluk Lampung

7 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain

G7 Pak

Warnen

63 SD kelas 3

40 Kurisi, kuniran, layur, cumi

Lampung Selatan, Teluk

Lampung, Selat Sunda

5-6 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain

G8 Pak

Dastim

50 SD 25 Kurisi, kuniran, cumi Sembuku, Rakata

6 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain

G9 Pak

Mujur

45 SD 30 Kurisi, tenggiri, bawal, kuniran

Pulau Malang 6-7 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain

G10 Pak

Nasuha

29 SD 15 Kurisi, tenggiri, bawal, kuniran

Teluk Lampung

6 hari Palka, box Es balok Tidak menggunakan bahan pengawet lain


(55)

65

Tabel 11. Profil Responden Distrbutor Pemasok Ikan dari Luar Kota Bandar Lampung

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Asal ikan Lama transportasi Cara

pengangkutan/ pengemasan Pengawet yang digunakan Keterangan (Informasi tentang formalin)

M1 Pak Beni 35 SMP Rembang 1 Hari Mobil box

freezer

Es batu, garam

Tidak menggunakan obat/pengawet lain M2 Pak Edi 41 SMP Muara Baru (Jakarta),

Pekalongan (Tegal)

Muara Baru (9 jam) Pekalongan (2 hari 1

malam) Menggunakan box fiber Es batu, garam Tidak menggunakan obat/pengawet lain M3 Pak Epu 36 SD Pelabuhan Pulu Baai

(Bengkulu)

15 jam Menggunakan

box fiber

Es batu, garam

Tidak menggunakan obat/pengawet lain

M4 Pak Jen 40 SMP Labuhan Maringgai

(Lampung Timur)

3 jam Menggunakan

box fiber

Es batu, garam

Tidak menggunakan obat/pengawet lain

M5 Pak

Samendin

38 SMP Kotaagung 3-4 jam Menggunakan

box fiber

Es batu, garam

Tidak menggunakan obat/pengawet lain M6 Pak Rizal 42 SD Ketapang (Kalianda),

Labuhan Saringin (Banten)

Ketapang (2 jam) Labuhan Saringin (7-8 jam)

Menggunakan box fiber Es batu, garam Tidak menggunakan obat/pengawet lain


(56)

66

Tabel 12. Profil Responden Penjual Ikan di Pasar Cimeng

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang biasa dijual Waktu berjualan Apakah ikan habis terjual setiap hari? Tempat penyimpanan ikan Pengawet yang digunakan Keterangan (Informasi tentang formalin)

E1 Bu

Hunaisa h

55 SD 25 Cumi, kembung sate,

simba, kampakan, tongkol, teri

08.00 – 13.30

Kadang habis, kadang

tidak

Ember Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

E2 Bu

Muliati

40 SMA 15 Teri, kembung sate, cumi, tongkol, udang

07.00 – 13.30

Kadang habis, kadang

tidak

Ember Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

E3 Bu

Marni

40 SD 20 Cumi, pari, bandeng, kembung sate, udang,

tongkol, selar

07.30 – 13.00

Kadang habis, kadang

tidak

Termos Garam, es batu

Tidak menggunakan pengawet lain

E4 Bu

Hadarah

36 3 SD 23 Cumi, kembung, teri, salem, baronang

08.00 – 13.30

Kadang habis, kadang

tidak

Ember Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

E5 Bu

Linja

45 SMP 20 Kembung sate, baronang, simba, baung, cumi, kurisi

08.30 – 12.00

Habis Ember Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

E6 Bu

Hadiyah

45 SD 20 Teri, cumi, bandeng, layang

08.00 – 13.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Ember Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain


(57)

67

Tabel 13. Profil Responden Penjual Ikan di Pasar Koga

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang biasa dijual Waktu berjualan Apakah ikan habis terjual setiap hari? Tempat penyimpanan ikan Pengawet yang digunakan Keterangan (Informasi tentang formalin) B1 Bu Septi 31 SMP 5 Cumi, kembung, tongkol,

kurisi, rajungan

06.00 Habis Termos Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain B2 Bu Malau 59 SMP 5 Kembung, layang, tanjan 06.00 Tidak habis,

disimpan untuk dijual

esok hari

Termos, box Es batu Tidak menggunakan pengawet lain B3 Bu Puji 38 SMA 12 Kembung, tongkol, layang,

udang, teri, bandeng

06.00 – 14.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Box Es batu, air laut

Tidak menggunakan pengawet lain B4 Pak Iwan 40 SMA 20 Kembung, bawal, cumi,

kurisi, udang

10.00 Kadang habis, kadang tidak

Box, fiber Es batu Tidak menggunakan pengawet lain


(58)

68

Tabel 14. Profil Responden Penjual Ikan di Pasar Tamin

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang biasa dijual

Waktu berjualan

Apakah ikan habis terjual setiap hari?

Tempat penyimpanan ikan Pengawet yang digunakan Keterangan (Informasi tentang formalin)

C1 Bu

Badriah

60 SD kelas 2 10 Layang, kembung, kampak

05.30 – 12.00

Kadang habis, kadang tidak

Box, ember Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

C2 Bu

Sutiah

50 SMA 10 Kembung sate, udang, kurisi, bandeng,

lemuru, selar

05.30 – 13.30

Tidak habis, disimpan untuk dijual esok hari

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

C3 Pak

Yanto

48 SD kelas 5 30 Belanak, simba, tongkol, bandeng,

kakap

06.00 – 12.00

Kadang habis, kadang tidak

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

C4 Bu

Darisah

38 SD 2 Teri, layang, tongkol 05.00 – 12.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual esok hari

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain


(59)

69

Tabel 15. Profil Responden Penjual Ikan di Pasar Tugu

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang biasa dijual Waktu berjualan Apakah ikan habis terjual setiap hari? Tempat penyimpanan ikan Pengawet yang digunakan Keterangan (Informasi tentang formalin) D1 Pak Mukhid 53 SD 30 Cumi, kembung, tongkol,

udang, bandeng

03.30 – 13.00

Habis Box Es batu Tidak memakai pengawet lain

D2 Mas Opa 23 SMA 10 Sebelah, teri, bawal,

kembung, kampakan, selar, tongkol, udang, bandeng

04.30 – 12.00

Kadang habis, kadang tidak

Box Es batu Tidak memakai pengawet lain D3 Pak Mamad 34 SMP 21 Udang, teri, cumi, bandeng,

kembung

04.30 – 12.00

Kadang habis, kadang tidak

Box Es batu Tidak memakai pengawet lain D4 Pak Nanang 54 SD 2-3 Teri nasi, salem, kembung

sate, selar, simba, sebelah, tongkol, Kurisi, tenggiri,

bawal, ekor kuning

04.00 – 14.00

Habis Box, termos Es batu Tidak memakai pengawet lain

D5 Pak Rasyid 35 SD 3,5 Udang, selar, kampakan 04.30 – 11.00

Habis Termos Es batu Tidak memakai pengawet lain D6 Mas Jaka 22 SD 9 Kembung sate, udang, selar,

tanjan

04.30 – 12.00

Habis Termos Es batu Tidak memakai pengawet lain D7 Pak Zul 53 SD 30 Tongkol, kampakan, selar, teri 05.30 –

13.00

Tidak habis, disimpan, dijual

esok hari

Termos Es batu Tidak memakai pengawet lain D8 Pak Yadi 28 SD kelas 5 12 Kurisi, udang, simba 05.00 –

12.00/13. 00

Kadang habis, kadang tidak

Fiber Es batu Tidak memakai pengawet lain D9 Pak Abu

Bakar

45 SD 25 Selar, kembung 06.00 –

12.00

Kadang habis, kadang tidak

Box Es batu Tidak memakai pengawet lain D10 Pak Mujid 39 SD 25 Udang, kembung, sebelah,

Kurisi

05.00 – 13.00

Tidak habis, disimpan, dijual

esok hari

Drum Es batu Tidak memakai pengawet lain


(60)

70

Tabel 16. Profil Responden Penjual Ikan di Pasar Way Halim

Kode Responden

Profil Nama Usia

(Tahun)

Pendidikan Lama usaha (Tahun)

Jenis ikan yang biasa dijual Waktu berjualan Apakah ikan habis terjual setiap hari? Tempat penyimpana n ikan Pengawet yang digunakan Keterangan (Informasi tentang formalin)

A1 Pak Erik 37 SMA 5 Kembung, layang,

bawal, tongkol, bandeng

06.30 – 14.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

A2 Bu Ani 45 SMA 15 Udang, cumi, bawal,

kembung, teri

06.00 – 15.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Box Es batu, air laut

Tidak menggunakan pengawet lain A3 Bu Desti 32 SMA 7 Cumi, udang, layang,

tongkol, simba

06.00 – 15.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

A4 Bu Reni 37 SMA 17 Sebelah, bandeng,

tongkol, kembung, kacangan, kembung kuning, kurisi, simba,

selar, udang, teri

06.00 – 15.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain

A5 Pak

Tarigan

56 S1 20 Cumi, udang, simba, kembung, tongkol, baung, bawal, bandeng,

kerang

05.30 – 16.00

Tidak habis, disimpan untuk dijual

esok hari

Box Es batu Tidak

menggunakan pengawet lain


(61)

71

Lampiran 2. Distribusi Formalin di Provinsi Lampung Tabel 17. Data Pasokan Bahan Berbahaya

No. Nama Pemasok (DT – B2)

Alamat Pemasok (DT – B2)

Tanggal Pemasokan

Jenis Bahan Berbahaya yang

Dipasok

Berat/Volume Keterangan

1 PT. Indovetraco Makmur Abadi

Jl. Ancol Barat Blok A 5E No. 10 Jakarta

7 Februari 2013 27 Februari 2013

Formalin Formalin 5 Drum 5 Drum Kemasan 225 Kg 2 PT. Indovetraco

Makmur Abadi

Jl. Ancol Barat Blok A 5E No. 10 Jakarta

13 Februari 2013 Formalin 30 Jrg Kemasan 30 Liter Sumber: Dinas Koperasi, UMKM Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, 2013

Tabel 18. Realisasi Distrbusi Formalin kepada Pengguna Akhir

No. Nama PA – B2 Alamat Berat/Volume Tanggal Pendistrbusian Keterangan 1 PT. Centralavian Pertiwi Jl. Raya Panjang Km. 50 Bakauheni,

Kalianda

4 Drum 6 dan 20 Februari 2013 Kemasan 225 kg 2 Simpur Jl. Jendral Soeprapto No. 152-154

Bandar Lampung

2 Drum 7 Februari 2013 Kemasan 225 kg 3 PT. Charoen Pokphand Jaya

Farm

Desa Sukajaya Kec. Bumi Ratu Nuban, Lampung Tengah

2 Drum 27 Februari 2013 Kemasan 225 kg 4 PT. Sinar Ternak Sejahtera Jl. Sultan Agung No. 5 Office Park,

Bandar Lampung

31 Jirigen 11, 13, 14, 18, 21 Februari 2013

Kemasan 30 liter Sumber: Dinas Koperasi, UMKM Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, 2013


(62)

72

Lampiran 3. Nama Pasar Tradisional Di Kota Bandar Lampung

Tabel 19. Daftar Nama Pasar Tradisional menurut Lokasi di Kota Bandar Lampung Tahun 2011

No. Nama Pasar Lokasi

1 Pasar Bawah Jl. Pemuda Tanjung Karang Pusat

2 Pasar Tugu Jl. Hayam Wuruk, Tanjung Karang Timur 3 Pasar Way Halim Jl. Rajabasa Raya, Kedaton

4 Pasar Baru/ SMEP Jl. Batu Sangkar, Tanjung Karang Pusat 5 Pasar Pasir Gintung Jl. Pisang, Tanjung Karang Pusat 6 Pasar Tamin Jl. Tamin, Tanjung Karang Pusat 7 Pasar Gudang Lelang Jl. Ikan Bawal, Teluk Betung Selatan 8 Pasar Cimeng Jl. Hasyim Ashari, Teluk Betung Selatan 9 Pasar Ambon Jl. RE. Martadinata, Teluk Betung Selatan 10 Pasar Kangkung Jl. Hasanuddin,Teluk Betung Selatan 11 Pasar Panjang Jl. Yos Sudarso, Panjang

12 Pasar Langkapura Jl. Pasar Tani, Kemiling 13 Pasar Terminal Kemiling Jl.Imam Bonjol, Kemiling

14 Pasar Bambu Kuning Jl. Imam Bonjol, Tanjung Karang Pusat 15 Pasar Way Kandis Jl. P. Damar, Tanjung Seneng

16 Pasar Perum BKP Perum.Bukit Kemiling Permai, Kemiling 17 Pasar Korpri Perum. Korpri, Sukarame

18 Pasar Permata Biru Jl. Pulau Sebesi, Sukarame 19 Pasar Rajabasa Jl. Kapten Abdul Haq, Rajabasa 20 Pasar Untung Labuan Ratu, Tanjung Seneng 21 Pasar Koga Jl. Teuku Umar, Kedaton 22 Pasar Perum Batara Unila Jl. Kapten Abdul Haq

23 Pasar Way Dadi Jl. Sentot Alibasa, Sukarame

24 Pasar Tempel Gotong Royong Gotong Royong, Tanjung Karang Pusat 25 Pasar Tempel Stasiun Jl. Untung Surapati, Tanjung Senang 26 Pasar Tempel Way Halim Jl. Al-Ikhlas, Way Halim, Kedaton 27 Pasar tempel Cahaya Jl. Urip Sumoharjo, Kedaton

28 Pasar Tempel Sukarame II Kel. Sukarame II, Teluk Betung Barat 29 Pasar Tempel Way Kandis Jl. Ratu Dibalau, Tanjung Senang Sumber: Dinas Koperasi, UKM, Perindag Kota Bandar Lampung, 2011


(63)

73

Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 9. Survei dan pengambilan sampel ke PPI Lempasing


(1)

72 Lampiran 3. Nama Pasar Tradisional Di Kota Bandar Lampung

Tabel 19. Daftar Nama Pasar Tradisional menurut Lokasi di Kota Bandar Lampung Tahun 2011

No. Nama Pasar Lokasi

1 Pasar Bawah Jl. Pemuda Tanjung Karang Pusat

2 Pasar Tugu Jl. Hayam Wuruk, Tanjung Karang Timur 3 Pasar Way Halim Jl. Rajabasa Raya, Kedaton

4 Pasar Baru/ SMEP Jl. Batu Sangkar, Tanjung Karang Pusat 5 Pasar Pasir Gintung Jl. Pisang, Tanjung Karang Pusat 6 Pasar Tamin Jl. Tamin, Tanjung Karang Pusat 7 Pasar Gudang Lelang Jl. Ikan Bawal, Teluk Betung Selatan 8 Pasar Cimeng Jl. Hasyim Ashari, Teluk Betung Selatan 9 Pasar Ambon Jl. RE. Martadinata, Teluk Betung Selatan 10 Pasar Kangkung Jl. Hasanuddin,Teluk Betung Selatan 11 Pasar Panjang Jl. Yos Sudarso, Panjang

12 Pasar Langkapura Jl. Pasar Tani, Kemiling 13 Pasar Terminal Kemiling Jl.Imam Bonjol, Kemiling

14 Pasar Bambu Kuning Jl. Imam Bonjol, Tanjung Karang Pusat 15 Pasar Way Kandis Jl. P. Damar, Tanjung Seneng

16 Pasar Perum BKP Perum.Bukit Kemiling Permai, Kemiling 17 Pasar Korpri Perum. Korpri, Sukarame

18 Pasar Permata Biru Jl. Pulau Sebesi, Sukarame 19 Pasar Rajabasa Jl. Kapten Abdul Haq, Rajabasa 20 Pasar Untung Labuan Ratu, Tanjung Seneng 21 Pasar Koga Jl. Teuku Umar, Kedaton 22 Pasar Perum Batara Unila Jl. Kapten Abdul Haq

23 Pasar Way Dadi Jl. Sentot Alibasa, Sukarame

24 Pasar Tempel Gotong Royong Gotong Royong, Tanjung Karang Pusat 25 Pasar Tempel Stasiun Jl. Untung Surapati, Tanjung Senang 26 Pasar Tempel Way Halim Jl. Al-Ikhlas, Way Halim, Kedaton 27 Pasar tempel Cahaya Jl. Urip Sumoharjo, Kedaton

28 Pasar Tempel Sukarame II Kel. Sukarame II, Teluk Betung Barat 29 Pasar Tempel Way Kandis Jl. Ratu Dibalau, Tanjung Senang Sumber: Dinas Koperasi, UKM, Perindag Kota Bandar Lampung, 2011


(2)

73

73 Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 9. Survei dan pengambilan sampel ke PPI Lempasing


(3)

74 Gambar 11. Survei dan pengambilan sampel ke mobil box pemasok ikan


(4)

75

75 Gambar 13. Kegiatan pelelangan ikan di PPI Gudang Lelang


(5)

76 Gambar 15. Kegiatan para nelayan di PPI Gudang Lelang


(6)

77

77 Gambar 17. Preparasi sampel cairan/air es penyimpanan ikan laut segar