h. Ada keinginan untuk menjadi muda kembali dengan mencari segala cara untuk memperlambat penuaan.
3. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Akhir
Menurut Hurlock 1999 tugas perkembangan dewasa akhir adalah: a. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income
penghasilan keluarga c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
C. Kesejahteraan Psikologis 1.
Pengertian Kesejahteraan Psikologis
Ryff dalam Haryanto dan Suyasa, 2007 mendefinisikan Kesejahteraan Psikologis sebagai fungsi positif dari individu. Fungsi positif
dari individu merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu yang sehat. Fungsi positif dari individu didasarkan pada
pandangan humanistik mengenai self actualization, maturity, fully functioning
dan individuasi Ryff dalam Haryanto dan Suyasa, 2007. Snyder dan Lopez dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008
mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis bukan sekedar merupakan
ketiadaan penderitaan. Namun kesejahteran psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup, dan hubungan
seseorang pada objek ataupun orang lain. Ryff dan Singer dalam Tenggara, Zamralita, Suyasa, 2008 menyimpulkan bahwa gambaran dari orang
yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah mampu merealisasikan potensi dirinya secara berkesinambungan, mampu menerima
diri apa adanya, mampu menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain, memiliki kemandirian, memiliki arti hidup, serta mampu mengontrol
lingkungan. Ryff dalam Matahari, Iriani, dan Lianawati, 2005 mengembangkan
konsep Kesejahteraan Psikologis berdasarkan tiga perspektif. Pertama adalah perspektif teoretis dari psikologi perkembangan, terutama psikologi
perkembangan rentang kehidupan manusia. Perspektif ini meliputi tahapan perkembangan psikososial dari Erikson, formulasi dari Buhler mengenai
kecenderungan dasar hidup yang mengarah pada pemenuhan hidup, dan deskripsi dari Neugarten mengenai perubahan kepribadian masa dewasa dan
masa lanjut. Perspektif ini memberikan gambaran mengenai kesejahteraan diri yang dipahami sebagai perkembangan diri yang berkelanjutan sepanjang
kehidupan. Kedua adalah perspektif teoretis dari psikologi klinis yang
memberikan dasar pembentukan konsep kesejahteraan psikologis. Perstpektif ini memberikan pemahaman tentang individu yang berfungsi
secara positif, seperti konsep individu yang dapat beraktualisasi diri dari
Maslow, konsep individu yang berfungsi sepenuhnya dari Roger, proses individuasi dari Jung, dan konsep individu yang memiliki kedewasaan diri
dari Allport. Ketiga adalah berbagai literatur mengenai kesehatan mental.
Berbagai literatur mengenai kesehatan mental diambil untuk kemudian dikombinasikan dengan teori-teori dari kedua perspektif teoretis di atas.
Beberapa dari literatur tersebut adalah formulasi dari Jahoda mengenai enam kriteria dari kesehatan mental yang positif, seperti sikap diri yang
positif, pertumbuhan dan aktualisasi diri, integrasi kepribadian, otonomi, persepsi realitas, serta penguasaan lingkungan. Kemudian konsep dari
Birren mengenai keberfungsian positif pada masa akhir hidup. Dari berbagai perspektif di atas yang menjelaskan kualitas positif
dari manusia terdapat beberapa kesamaan. Ryff merumuskan beberapa kesamaan ini menjadi enam dimensi: yaitu penerimaan diri, hubungan
positif, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri.
Dengan demikian kesejahteraan psikologis merupakan suatu keadaan psikologis yang lebih dari sekedar bebas dari penyakit mental; tetapi
mengandung arti memiliki karakteristik positif pada penerimaan diri, hubungan dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan pertumbuhan diri Ryff dalam Matahari, Iriani, dan Lianawati, 2005.
2. Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis
Aspek-aspek kesejahteraan psikologis mengacu pada teori Ryff dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008, meliputi 6 dimensi, yaitu:
penerimaan diri self acceptance, hubungan positif dengan orang lain positive relations with others, otonomi autonomy, penguasaan
lingkungan enviromental mastery, tujuan hidup purpose in life, dan pertumbuhan pribadi personal growth.
a. Penerimaan Diri Self-Acceptance Dimensi penerimaan diri adalah sikap positif terhadap diri sendiri
dan merupakan ciri penting dari kesejahteraan psikologis. Sebuah gambaran inti dari kondisi well-being yang dicirikan dengan aktualisasi
dan dapat berfungsi secara optimal, kedewasaan serta penerimaan diri seseorang dan kehidupan yang sudah dilewatinya. Orang-orang yang
memiliki skor tinggi pada dimensi penerimaan diri menunjukkan bahwa individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan
menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan merasa positif tentang kehidupan yang telah dijalani. Skor rendah
menunjukkan individu merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa terhadap kehidupan yang dijalani, mengalami kesukaran karena sejumlah
kualitas pribadi dan ingin menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini.
b. Hubungan Positif dengan Orang Lain Positive Relations with Others Dimensi
hubungan positif
dengan orang
lain dapat
dioperasionalkan ke dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam membina kehangatan dan hubungan saling percaya dengan orang
lain; yang digambarkan sebagai orang yang mempunyai empati yang kuat, mampu mencintai secara mendalam dan bersahabat. Skor yang
tinggi dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain menunjukkan individu mempunyai hubungan yang hangat, memuaskan dan saling
percaya dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu melakukan empati yang kuat, afeksi dan hubungan yang bersifat
timbal balik. Skor rendah menunjukkan bahwa individu hanya mempunyai sedikit hubungan yang dekat dan saling percaya dengan
orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka dan memperhatikan orang lain, merasa terasing, dan frustrasi dalam
hubungan interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan diri untuk mempertahankan suatu hubungan yang penting dengan orang.
c. Otonomi Autonomy Dimensi otonomi ini menekankan pada kemampuan untuk
mengarahkan diri sendiri, kemandirian dan kemampuan mengatur tingkah laku. Orang yang berfungsi penuh digambarkan mampu menilai
diri sendiri dengan menggunakan standar pribadi. Dalam dimensi otonomi, orang-orang dengan skor tinggi adalah individu yang mampu
mengarahkan diri dan mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial,
mengatur tingkah laku sendiri dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan skor rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa
individu memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian orang lain dalam membuat keputusan,
menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku.
d. Penguasaan Lingkungan Enviromental Mastery Dimensi penguasaan lingkungan adalah orang yang mampu
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kemampuan ini dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang khususnya
kemampuan seseorang untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks melalui aktivitas mental dan fisik. Dalam dimensi
penguasaan lingkungan, skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur lingkungan,
mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada secara efektif, mampu memilih atau
menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai- nilai pribadi. Sedangkan skor yang rendah menyatakan bahwa individu
mengalami kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan konteks di sekitar, tidak
waspada akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang mempunyai kontrol terhadap dunia luar.
e. Tujuan Hidup Purpose in Life Dimensi tujuan hidup dapat dioperasionalkan dalam tinggi
rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu mempunyai tujuan dan arah
hidup, merasakan adanya arti dalam hidup masa kini dan masa lampau. Sedangkan skor rendah menunjukkan bahwa individu kurang mempunyai
arti hidup, tujuan, arah hidup dan cita-cita yang tidak jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan masa lampau.
f. Pertumbuhan Pribadi Personal Growth Dimensi pertumbuhan pribadi dapat dioperasionalkan dalam tinggi
rendahnya kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan dan lebih menekankan pada cara memandang diri
dan merealisasikan potensi dalam diri. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu merasakan adanya pengembangan potensi diri yang
berkelanjutan, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan dapat melihat kemajuan diri dari waktu ke waktu. Sedangkan skor
yang rendah menunjukkan bahwa individu tidak merasakan adanya kemajuan dan pengembangan potensi dir dari waktu ke waktu, merasa
jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku baru.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis: a. Usia
Berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Ryff dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008, penguasaan
lingkungan dan otonomi menunjukkan peningkatan seiring dengan perbandingan usia usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74. Tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi, secara jelas menunjukkan penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan
yang positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.
Usia berpengaruh pada otonomi yang semakin meningkat dari dewasa awal ke dewasa madya, kemudian mulai menurun ketika
memasuki masa dewasa akhir. Tujuan hidup pada masa dewasa madya lebih tinggi dari pada masa dewasa awal dan dewasa akhir. Penguasaan
lingkungan semakin meningkat pada masa dewasa akhir, hal ini berlawanan dengan pertumbuhan pribadi yang mencapai puncak pada
masa dewasa awal yang kemudian menurun pada masa dewasa madya dan dewasa akhir.
b. Jenis Kelamin Menurut Ryff dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008
faktor jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan
pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia usia 25-39; usia 40-59; usia 60-74, wanita menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada pria.
Sementara keempat dimensi Kesejahteraan Psikologis lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Jenis kelamin memberi pengaruh pada aspek relasi positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. Wanita memiliki kecenderungan
lebih tinggi untuk menjalin relasi positif dengan orang lain dibanding pria, potensi pertumbuhan pribadi pun lebih tinggi dibanding kaum pria.
c. Kelas Sosial Hasil penelitian Wisconsin Longitudinal Study WLS dalam
Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008 menunjukkan bahwa, pada orang dengan status pekerjaan yang tinggi ditemukan kecenderungan tingkat
Kesejahteraan Psikologis yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat Kesejahteraan Psikologis meningkat seiring
dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang Ryff Singer, 1996. Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan
seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman misalnya: uang, ilmu, dan keahlian dalam hidupnya untuk menghadapi
masalah, tekanan dan tantangan. d. Latar Belakang Budaya
Sugianto dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008 mengatakan bahwa perbedaan budaya Barat dan Timur juga memberikan
pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada diri
seperti dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi lebih menonjol dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada
orang lain seperti hubungan positif dengan orang lain lebih menonjol dalam budaya Timur.
Budaya memberikan pengaruh pada kemampuan disintegrasi diri seseorang serta relasi positif dengan orang lain. Pada budaya barat
dengan karakteristik masyarakatnya yang cenderung individualistik menunjukkan tingkat otonomi yang tinggi pada masyarakat. Berbeda
dengan budaya timur di mana masyarakatnya bersifat kolektif, hal ini meningkatkan kecenderungan untuk sedapat mungkin mampu menjalin
relasi yang positif dengan orang lain. e. Sense of Control
Berk dalam Cyrillus, 2008 mengungkapkan bahwa individu yang memiliki sense of control yang tinggi pada berbagai macam aspek
kehidupan dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang dihadapinya, memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Adanya sense of control
membuat individu memiliki pandangan yang positif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan memiliki keyakinan
untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut.
4. Kesejahteraan Psikologis pada Pensiunan
Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari
aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang
paling vital adalah menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama Warr dalam Eliana, 2003. Tidak heran masa pensiun ini
menimbulkan masalah psikologis baru bagi yang menjalaninya, karena banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi masa ini.
Ketidaksiapan menghadapi masa pensiun pada umumnya timbul karena adanya kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan
–kebutuhan tertentu. Perubahan yang diakibatkan oleh masa pensiun ini memerlukan
penyesuaian diri. Atchley dalam Eliana, 2003 mengatakan bahwa proses penyesuaian diri yang paling sulit adalah pada masa pensiun. Bahkan
penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Rahe dalam Eliana, 2003, mengungkapkan bahwa pensiun menempati rangking 10 besar untuk posisi
stress. Pensiun sering kali dianggap sebagai kenyataan yang tidak
menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi
kelak. Dalam era modern seperti sekarang ini, pekerjaan merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa mendatangkan kepuasan karena uang,
jabatan, dan memperkuat harga diri. Oleh karena itu, sering kali terjadi
orang yang pensiun bukannya bisa menikmati masa tua dengan hidup santai, sebaliknya ada yang justru mengalami problem serius kejiwan ataupun
fisik. Individu yang melihat masa pensiun hanya dari segi finansial kurang bisa beradaptasi dengan baik, dibandingkan dengan mereka yang dapat
melihat masa pensiun sebagai masa di mana manusia beristirahat menikmati hasil jerih payahnya selama ini di masa tuanya.
Dengan memasuki masa pensiun, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga
diri akan berubah juga karena kehilangan peran Eyde dalam Eliana, 2003. Bahkan akibat yang paling buruk pada pensiunan adalah bisa
mengakibatkan depresi dan bunuh diri Zimbardo dalam Eliana, 2003. Sedangkan akibat pensiun secara fisiologis oleh Liem Liem dalam
Eliana, 2003 dikatakan bisa menyebabkan masalah penyakit terutama gastrointestinal gangguan pencernaan, gangguan saraf, berkurangnya
kepekaan. Ia menyebut penyakit di atas, dengan istilah retirement syndrome. Dampak pensiun bukan hanya bersifat negatif saja, namun juga
terdapat dampak positifnya, yakni seseorang bisa terbebas dari rutinitas kerja. Ada perasaan puas karena sudah berhasil menyelesaikan tugas dan
kewajibannya. Bahkan Perlmutter dalam Eliana, 2003 mengatakan bahwa sebagian besar kaum pensiun menunjukkan perasaan puas, tetap merasa
dirinya berguna dan dapat mempertahankan rasa identitasnya. Rasa depresi dan kecemasan yang timbul biasanya berada pada tingkat ringan dan
sifatnya hanya sementara. Kalaupun depresi bertambah hal itu disebabkan oleh gangguan fisik dan bukan karena masa pensiun itu sendiri.
Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lanjut usia untuk menghadapi masalah adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan
psikologis psychological well-being. Bradburn dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008 mendefinisikan psychological well-being
sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan,
pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri. Ryff juga menyebutkan bahwa psychological well-
being menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan
bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.
Ryff telah merancang skala pengukuran psychological well-being untuk mengukur 6 kriteria Kesejahteraan Psikologis dan terbukti valid. Dari
penelitiannya, Well Being pada remaja cenderung bukan pada penguasaan lingkungan tapi lebih ke pengembangan diri, sementara pada orang dewasa
cenderung pada kebebasan dan penguasaan lingkungan. Ryff juga mengatakan bahwa cara tiap orang menemukan well being berbeda di tiap
situasi dalam hidupnya. Remaja biasanya mendapatkan well being dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan dan orang dewasa mendapatkan
well being dengan menjalin hubungan keluarga dan pertemanan, sementara
orang-orang tua mengalami well being karena pengalaman kerja di masa lalu serta pendidikan yang telah ia jalani.
D. Adversity Intelligence 1. Pengertian Adversity Intelligence