7
BAB II PENELAHAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna
Sistem pencernaan
meliputi penerimaan
makanan dan
mempersiapkannya untuk diasimilasi oleh tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas mulut, faring, esophagus, ventrikulus, tekak, kerongkongan, lambung, usus halus
dan usus besar Pearce, 2002. Saluran cerna berfungsi untuk menyerap zat makanan, zat-zat penting,
garam dan air serta mengeksresi bagian-bagian makanan yang tak diserap dan sebagian hasil akhir metabolisme. Pencernaan makanan adalah suatu
proses biokimia yang bertujuan mengolah makanan yang dimakan menjadi zat-zat yang mudah diserap oleh selaput lendir usus, zat tersebut dapat berlangsung
secara optimal dan efisien bila dipengaruhi oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh
fraktus digestivus
sendiri maka
enzim-enzim tersebut
dapat mempengaruhi proses pencernaan secara optimal dan efisien sehingga dibutuhkan
kontak enzim dengan makanan.
Gambar I. Anatomi sistem pencernaan Virtual Medical Centre,2010
B. Pharmaceutical Care
Pharmaceutical care merupakan penyediaan, pelayanan langsung dan
tanggung jawab terkait obat dengan tujuan pencapaian hasil yang pasti dan meningkatkan mutu kehidupan pasien. Hasil pasti yaitu kesembuhan penyakit,
peniadaan atau pengurangan gejala pasien, penghentian atau memperlambat proses penyakit dan pencegahan penyakit atau gejala Siregar, 2004.
C. Pengobatan Gangguan Saluran Pencernaan
A. Gastroenteritis
Gastroenteritis adalah inflamasi membran mukosa lambung dan usus halus. Gastroenteritis akut ditandai dengan diare dan pada beberapa kasus dapat
terjadi mual muntah yang berakibat kehilangan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Gastroenteritis dapat disebabkan akibat mikroorganisme
seperti Campylobacter jejuni, Salmonella typimurium dan dapat disebabkan akibat virus seperti Virus Norwalk atau Rotovirus yang tercerna dalam makanan, atau
dapat disebabkan makanan yang terkontaminasi Escherichia coli, Staphylococcus aureus
, Clostridium botulinum Booker,2008. Manifestasi klinis gastroenteritis adalah konsistensi feses cair dan
frekuensi defekasi meningkat, muntah umumnya tidak lama, demam mungkin dapat terjadi, kram abdomen, membran mukosa kering, fontanel cekung pada
bayi, berat badan turun dan malaise. Pada pemeriksaan untuk uji laboratorium dan diagnosis dapat dilakukan pengujian feses untuk mengevaluasi ada tidaknya
mukus atau pus dan evaluasi warna dan konsistensi. Maka penatalaksanaan bila dehidrasi ringan dapat dilakukan dengan rawat jalan secara per oral misal dengan
Pedialyte atau Ricelyte. Cairan rehidrasi oral diberikan sedikit tetapi sering 5 hingga 15 ml. bila dalam keadaan dehidrasi berat dapat dirawat dirumah sakit
untuk mendapatkan terapi intravena yaitu dengan melakukan resusitasi cairan dengan 20 mlkgBB larutan Normal Saline atau Ringer Laktat. Selain itu
dilakukan diet dengan menghentikan sementara konsumsi makanan tinggi protein, lemak, jus, minuman berenergi dan softdrink Betz, 2004.
B. Dispepsia Dispepsia adalah nyeri abdomen atau rasa tidak enak yang terpusat pada
abdomen bagian atas sekitar linea mediana. Spektrum dispepsia adalah nyeri epigastrium, rasa tidak enak diperut bagian atas, mual-mual, rasa cepat kenyang
meskipun baru makan sedikit, rasa ketat perut bagian atas bloating dan rasa penuh fullness Mansjoer, 2001.
Ada 2 macam dispepsia yaitu ulcus like dyspepsia nyeri timbul bila terlambat makan dan dismotility like dyspepsia rasa cepat penuh atau kenyang
setelah makan padahal tidak makan banyak. Penyebab dispepsia adalah ketidakseimbangan antara asam lambung dengan penetralnya. Kadar asam
lambung yang dapat diatas normal dipicu oleh makanan yang terlalu asam dan pedas, stress, obat OAINS seperti Ibuprofen, Aspirin. Dispepsia yang tidak
segera diobati dapat berlanjut menjadi gastritis peradangan di lambung Puspitasari, 2006.
Strategi terapi untuk dispepsia dengan prinsip menyeimbangkan kadar asam lambung dengan penetralnya seperti menghindari makanan yang asam dan
pedas, menghindari stress. Dapat juga dengan memberikan pengobatan seperti Antasida, pengeblok
H
2
, proton pump inhibitor, dan antimual-muntah Puspitasari, 2006.
C. Peptic Ulcer Disease 1. Definisi
Peptic Ulcer Disease merupakan ulcer yang membentuk pada otot
mukosa pada dinding saluran pencernaan. Ulcerasi ini biasanya terletak di duodenum atau lambung tetapi dapat ditemukan di tempat lain pada
saluran pencernaan. Peptic ulcer disease umum terjadi dan dapat berbahaya bagi tubuh bila tidak didiagnosis dan diterapi dengan benar
Goodman and Gillman, 2011. 2. Epidemiologi
Kira-kira, 25 juta orang Amerika terinfeksi oleh PUD, dengan prevalensi diperkirakan 12 pada pria dan 10 pada wanita. Tingginya
prevalensi dan angka kekambuhan yang terkait dengan PUD menimbulkan beban ekonomi yang besar Dipiro, 2008.
Prevalensi PUD meningkat 5 hingga 10 seiring dengan pertambahan usia. Duodenum ulcer dapat terjadi pada pria dan wanita dan
dapat terjadi pada pasien yang lebih muda, sedangkan gastric ulcer terjadi biasa pada usia 55 hingga 65 tahun dan dapat terjadi pada pria dan wanita.
Risiko gastric ulcer dan duodenum ulcer berkisar 11 hingga 30 untuk pasien yang mendapatkan NSAID harian lebih tinggi daripada pasien yang
mendapatkan kortikosteroid selain itu dapat meningkatkan resiko pendarahan gastrointestinal terutama pada lansia Brashers, 2003.
3. Etiologi
Tukak lambung yang paling sering disebabkan oleh HP infeksi Helicobacter Pylori
, penggunaan NSAID, atau terkait dengan stres kerusakan mukosa. Helicobacter Pylori terdapat pada saluran pencernaan
akibat kontaminasi pada makanan atau minuman. Penggunaan NSAID dalam dosis besar dan jangka waktu yang lama dapat memicu terjadinya
PUD. Selain itu merokok dapat meningkatkan prevalensi ulcer karena mengurangi produksi mukosa lambung Dipiro, 2008.
Tabel I. Penyebab Peptic Ulcer Disease
H.Pylori NSAID
Stress mucosal Onset
kronis kronis
Akut Lokasi
yang bermasalah
duodenum lambung
Lambung Adanya gejala
sering jarang
Jarang Ulcer
yang ditimbulkan
pada permukaan dalam pada permukaan
Pendarahan gastrointestinal
minor major
Major Dipiro, 2008.
4. Patofisiologi Ulcer
terjadi bila terdapat kerusakan pada mukosa akibat tidak mampunya perbaikan yang normal dengan cara adanya lapisan mukus dan
bikarbonat yang membentuk sistem buffer yang mencegah difusi pepsin ke lapisan mukosa. Adanya pasokan darah untuk lapisan mukosa dapat
menghilangkan kelebihan ion Hidrogen dan mempertahankan aliran nutrisi agar fungsi dan perbaikan berjalan normal Brashers, 2003.
H.Pylori menyebabkan cedera jaringan dengan cara memproduksi
LPS Lipopolisakarida, menstimulasi pelepasan mediator inflamasi,
induksi gastritis aktif dan kronis dan gastritis atropikans serta meningkatkan sekresi gastrin, pepsin dan asam. NSAID menyebabkan
penghambatan COX-1
yang mengakibatkan
penurunan sintesis
Prostaglandin yang berguna untuk perlindungan mukosa. NSAID juga menyebabkan cedera mukosa lokal dengan adanya ion Hidrogen yang
terjerap dalam sel sehingga mendorong penetrasi gastrin dan pepsin sampai bagian mukosa lambung Brashers, 2003.
5. Manifestasi klinik Manifestasi klinis utama tukak peptik adalah kronik dan nyeri
epigastrium. Nyeri biasanya timbul 2 sampai 3 jam setelah makan atau pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri digambarkan sebagai
teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut merasa
selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai akibat instabilitas neromuskuler dari kolon. Secara umum penderita tukak
lambung mengalami dispepsia. Dispepsia adalah suatu gejala beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu hati,
sering sendawa, rasa terbakar, dan cepat merasa kenyang Lindseth, 2005. 6. Diagnosis
Diagnosis tukak peptik biasanya dipastikan dengan pemeriksaan barium radiografi. Bila radiografi barium tidak berhasil membuktikan
adanya tukak lambung atau duodenum tetapi menunjukkan gejala, maka dilakukan pemeriksaan endoskopi. Diagnosis tukak lambung ditegakkan
berdasarkan pengamatan klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan endoskopi, disertai biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi dapat
memperlihatkan ada tidaknya Helicobacter pylori Mayoclinic, 2011. 7. Strategi Terapi
Dalam terapi tukak lambung yang menjadi sasaran terapi adalah menetralkan asam lambung, melindungi pertahanan mukosa, dan
membunuh H.Pylori hal ini dilakukan jika tukak lambung disebabkan oleh
infeksi H.Pylori
. Tujuan
terapi tukak
lambung adalah
menyembuhkan tukak, mencegah tukak kambuh, menghilangkan nyeri tukak, dan menghindari terjadinya komplikasi. Strategi terapi untuk tukak
lambung meliputi terapi non-farmakologis dan farmakologis Dipiro, 2008.
Strategi terapi yang dapat dilakukan yaitu terapi non farmakologi berupa menghindari merokok dan konsumsi alkohol serta mengatur
makanan maupun minuman yang dapat memicu ulcer. Selain dapat dilakukan menhindari stress yang berlebihan dan menjaga sanitasi diri
sendiri dan lingkungan Dipiro, 2008. Terapi farmakologis PUD dapat dilakukan dengan:
1. Antasida 20-150 ml hari Pemakaian antasida mengandung campuran Na bikarbonat,
AlOH
3
, MgOH
2
dan Mg trisilikat. Antasida berguna untuk terapi simptomatis yaitu mengurangi nyeri dengan menetralkan asam lambung.
2. Antagonis Reseptor H
2
Memiliki kemampuan untuk mengurangi sekresi asam lambung dengan cara memblok reseptor histamin dalam sel-sel parietal lambung.
Tabel II. Golongan obat antagonis reseptor H
2
obat indikasi
dosis waktu
pemberian Ranitidin
Dispepsia akut dan
kronis khususnya
tukak duodenum
aktif 2x150
mg dilanjutkan
1x150 mg jangka waktu 4
hingga 6
minggu, diminum pada
malam hari.
Simetidin Gastritis
kronik, tukak peptik akut dan
kronis 3x200 mg
Selama 4
minggu Roksatidin
Gastritis akut dan kronis
75 mghari Selama
1 minggu
diminum pada malam hari
3. Proton Pump Inhibitor PPI Obat golongan PPI untuk mengatur sekresi asam lambung dengan cara
menghambat pompa proton yang mentranspor ion H
+
keluar dari sel parietal lambung.
Tabel III. Golongan obat PPI
obat indikasi
dosis waktu
pemberian Omeprazole
Tukak peptik dan
tukak duodenum
Untuk tukak
peptik: 1x20
mghari, tukak duodenum:
1x20-50 mghari
Selama 1-2
minggu sewaktu pagi
hari
Lanzoprazol Tukak peptik
130 mghari Selama
2-4 minggu
Pantoprazol Tukak peptik
dan inhibitor
pompa proton yang
reversibel 1x40 mghari
Selama 4
minggu
4. Sitoprotektif Analog prostaglandin juga dapat mencegah terjadinya tukak
lambung dengan efek sitoprotektif meliputi stimulasi sekresi musin dan bikarbonat. Selain bersifat sitoprotektif juga dapat menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostaglandin endogen yang berguna untuk memperbaiki mikrosirkulasi
dan meningkatkan produksi mukus Dengan membentuk suatu kompleks berbentuk gel dengan mukus, Sukralfat menciptakan barrier yang
menghalangi mencegah kekambuhan Mansjoer, 2001. 5. Terapi Kombinasi
Bismuth toksik terhadap H. pylori dan sebagai satu pilihan yang digunakan untuk eradikasi organisme dan menurunkan kekambuhan tukak.
Kombinasi Ranitidin dan Bismut sebagai Ranitidin Bismuth Sitrat dalam kombinasi dengan 2 antibiotik yaitu Klaritromisin dan Amoksisilin
berhasil mengeradikasi H. pylori sebesar lebih dari 90 Brashers, 2003. Kombinasi PPI Proton pump inhibitor ditambah Claritromisin
maupun Amoxicillin dan Metronidazole. Kombinasi dari dua antimikroba dan PPI menyebabkan angka kesembuhan lebih besar dari 80 dan
mengurangi resiko resistensi organisme. Goodman and Gillman, 2011. D. Mual dan Muntah
1. Definisi Mual dan muntah adalah interaksi kompleks dari sistem
pencernaan, sistem vestibular, dan signaling dari otak. Mual didefinisikan
sebagai keinginan untuk muntah atau perasaan tidak enak pada bagian tenggorokan atau daerah epigastrium untuk merangsang individu untuk
muntah. Muntah didefinisikan sebagai pengeluaran isi lambung melalui mulut dan biasanya adanya tekanan. Komponen sensorik dan motorik
refleks muntah diatur oleh sistem saraf otonom Dipiro, 2008. 2. Epidemiologi
Mual dan muntah terjadi dalam 50-90 kehamilan. Gejalanya biasanya dimulai pada kehamilan minggu ke 9-10, memuncak pada
minggu ke 11-13, dan berakhir pada minggu ke 12-14. Pada 1-10 kehamilan, gejala dapat berlanjut melewati 20-22 minggu. Hiperemesis
berat yang harus dirawat inap terjadi dalam 0,3-2 kehamilan Mochtar, 2004.
3. Etiologi Penyebab muntah adalah stimulus yang bekerja pada pusat
muntah atau CTZ Chemoreceptor Trigger Zone. Zona tersebut berada pada luar sawar darah otak dalam medula yang berbeda dengan pusat
muntah namun letaknya berdekatan. Mual dan muntah bergantung pada banyak faktor misal pemberian obat yang merangsang mual dan muntah,
kondisi emosional, rasa nyeri, kerusakan jaringan atau perubahan homeostatis Jordan, 2002.
Penanganan muntah harus ditangani secara efektif karena berpotensi menimbulkan konsekuensi yaitu:
a. Dehidrasi dan konsekuensi selanjutnya peningkatan thrombosis
b. Gangguan keseimbangan elektrolit kehilangan Natrium serta Kalium yang dapat mengakibatkan kelemahan tubuh
c. Gangguan keseimbangan pH d. Pembentukan keton
e. Gangguan pada pemberian obat per oral f. Risiko hipotensi
g. Risiko trauma pada traktus gastrointestinal h. Konsekuensi jangka panjang : malnutrisi
a. Jordan, 2002. 4. Patofisiologi
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus
yaitu: a. Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh
kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
b. Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia.
Reseptor seperti 5-HT
3
, dopamin tipe 2 D
2
, opioid dan neurokinin-1 NK-1 dapat dijumpai di CTZ. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke
pusat muntah ketika dirangsang. Reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan
saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah Dipiro, 2008.
5. Manifestasi klinik Manifestasi klinik yang timbul pada mual muntah, pada mual
sering dikeluhkan ketidaknyaman, pucat, dan sekresi air liur. Mual muntah yang berkepanjangan dapat menunjukkan tanda-tanda malnutrisi,
pengurangan berat badan, dan dehidrasi Dipiro, 2008. 6. Strategi terapi
Strategi terapi yang dapat dilakukan adalah terapi non farmakologi yaitu makan frekuensi sering namun dengan porsi kecil, menghindari
makanan pedas serta berlemak, makan makanan ringan tinggi protein. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi muntah adalah sebagai
berikut: 1. Pemberian cairan minum untuk menggantikan cairan yang telah hilang
dan mencegah terjadinya dehidrasi. 2. Mengusahakan agar pasien berdiri tegak agar isi lambung tidak naik ke
atas melawan gravitasi yang mengakibatkan muntah 3. Dengan terapi farmakologis yaitu menggunakan obat-obat antimuntah,
seperti: a. Prometasine. Golongan antihistamin, bermanfaat untuk segala jenis
muntah. Efek sampingnya mengantuk dan gejala ekstra piramidal distonik, diskinetik terutama pada anak dan remaja.
b. DomperidoneButyrophenones. Memiliki efek ringan – sedang jika
digunakan pada
kondisi kemoterapi
atau post
operasi. Domperidone meningkatkan peristaltik esophagus dan tekanan
sfingter esophagus bagian distal, meningkatkan motilitas dan peristaltik gaster serta memperbaiki koordinasi gastroduodenal
sehingga memfasilitasi pengosongan lambung dan menurunkan waktu transit usus halus.
c. Chlorpromazine. Merupakan golongan phenolthiazine yang mempunyai reaksi antikolinergik dan antihistamin. Obat ini
mengurangi transisi dopamin ke CTZ dan mengurangi rangsang aferen dari pusat muntah ke usus halus. Efek samping obat ini
adalah sedasi, reaksi ekstra piramidal, jaundice dan gangguan darah.
d. Metochlopramide. Suatu golongan antagonis dopamin, bekerja pada reseptor dopamin pada CTZ.
e. Cisapride. Obat prokinetik baru yang meningkatkan pelepasan asetilkolin pada pleksus mienterikus. Cisapride juga dapat
meningkatkan motilitas gastrointestinal, meningkatkan peristaltik dan tekanan sfingter esophagus bagian distal, meningkatkan
pengosongan lambung. Cisapride juga dikontraindikasikan untuk pasien dengan interval QT memanjang, riwayat aritmia, gagal
jantung kongestif, gagal ginjal, gangguan elektrolit serta gagal nafas.
f. Ondansetron. Merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru dengan efek antimuntah yang sangat efektif
Sherwood, 2001. E. Konstipasi
1. Definisi Konstipasi adalah gangguan kesulitan mengeluarkan feses diikuti dengan
pengeluaran tinja yang tidak teratur dengan jumlah tinja yang dikeluarkan sedikit, sulit mengeluarkan tinja disertai rasa sakit saat mengeluarkan tinja. Seseorang
dianggap mengalami bila tidak dapat buang air besar selama 2 hari atau lebih Wells, 2005.
2. Epidemiologi Konstipasi terjadi pada 20 populasi dan terdapat 90000 kasus di
Amerika yang dirawat dirumah sakit akibat konstipasi. Resiko konstipasi meningkat pada lansia diatas 60 tahun karena lansia mengalami penurunan pada
kekuatan otot usus Dipiro, 2008. 3. Etiologi
Penyebab konstipasi dapat disebabkan karena: 1. Gaya hidup tidak sehat. Penyebab paling umum, yang biasanya merupakan
kombinasi dari kurangnya asupan cairan, kurangnya serat dalam makanan, kurangnya gerakan yang merangsang BAB
2. Sindrom iritasi usus besar irritable bowel syndrome. Penderita sindrom ini berganti-ganti mengalami sembelit dan diare
3. Obat-obatan. Sembelit dapat merupakan efek samping obat diare. Obat- obatan lain yang dapat menyebabkan sembelit adalah antidepresan,
antikolinergik, antasid, psikotropika, kodein dan obat tekanan darah tinggi 4. Ketidakseimbangan elektrolit: defisiensi kalium hipokalemia dan
kelebihan kalsium hiperkalsemia 5. Penyumbatan oleh penyakit: divertikulitis, polip usus , fisura dan abses
anus, ambeienwasir , penyakit Crohn, kanker kolorektal 6.
Penyumbatan oleh gangguan saraf, misalnya diabetes, Parkinson , multiple sclerosis
7. Gangguan hormonal: misalnya tiroid kurang aktif hipotiroidisme, kehamilan
Majalah kesehatan, 2010. 4. Patofisiologi
Konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit pada kolon atau pada fungsi anorektal sebagai akibat gangguan motilitas primer, penggunaan obat-
obat tertentu atau adanya penyakit sistemik yang memperngaruhi traktus gastrointestinal. Konstipasi dapat mengalami eksaserbasi akibat sakit kronik yang
menimbulkan gangguan fisik atau mental yang mengakibatkan imobilitas fisik. Konstipasi juga dapat disebabkan karena adanya gangguan pada sistem saraf pusat
misalkan akibat penyakit Parkinson. Konstipasi yang dapat dijumpai pada masa kehamilan karena adanya perubahan kadar estrogen serta progesteron yang
menurunkan transit intestinal Asdie, 1999.
5. Manifestasi klinik Manifestasi klinik dari konstipasi adalah adanya mengejan disertai tinja
yang keras, adanya rasa tidak tuntas setelah buang air besar, sakit saat mengejan ketika buang air besar, kembung Dipiro, 2008.
6. Diagnosis Diagnosis konstipasi berdasarkan kriteria Rome yaitu mengejan minimal
seperempat waktu defekasi, feses berbentuk bongkahan atau keras minimal seperempat waktu defekasi, sensasi pengeluaran yang tidak komplet minimal
seperempat waktu defekasi, defekasi sebanyak dua kalo atau kurang per minggu Booker, 2008.
7. Strategi terapi Terapi yang dilakukan dapat dengan terapi non farmakologis dengan
masukan makanan yang mengandung serat tinggi misal berasal dari sayuran dan buah-buahan serta masukan cairan yang cukup misal mengonsumsi air putih
minimal 8 gelas sehari juga perlu latihan otot-otot rectum dengan membiasakan buang air besar setiap hari. Bila dengan terapi non farmakologis tidak berhasil
maka dapat diberikan obat pencahar, jenis obat pencahar antara lain: a. Obat untuk melunakkan feses dalam 1-3 hari
Bulk forming agents: Metilselulosa 4-6 gram per hari, Policarpophil 4-6 gram per hari, dan Psilium bervariasi
tergantung Produk
Emollients: Natrium Dokusat 50-360 mg per hari, Kalsium Dokusat 50-360 mg per hari, Kalium Dokusat 100-300 mg per
hari Laktulosa 15-30 ml per oral
Sorbitol 30-50 gram hari per oral Mineral oil sebanyak 15-30 ml per oral
b. Obat untuk melunakkan feses dalam 6-12 jam Bisakodil secara per oral 5-15 mg
Phenolptalein 30-270 mg secara per oral Senna dengan dosis yang disesuaikan formulasi
Magnesium Sulfat dengan dosis yang rendah 10 gram secara per oral
c. Obat yang membuat feses menjadi cair dalam 6-12 jam Magnesium Sitrat18 g dilarutkan pada 300 ml air
Magnesium Hidrooksida 2.4 –4.8 g secara per oral
Magnesium Sulfat dalam dosis tinggi 10 –30 g secara per oral
Bisacodyl dalam bentuk suppositoria 10 mg dimasukkan ke rektal Dipiro, 2008.
F. Diare 1. Definisi
Diare dapat didefinisikan sebagai defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah dan atau lendir dalam tinja Mansjoer, 2001.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan
Parasit Friedman, 2003. 2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah
sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama hingga keempat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit. Diare
lebih banyak terdapat pada negara yang berkembang daripada negara maju yaitu 12.5 kali lebih banyak dalam kasus mortalitas, di antara banyak bentuk penyakit
diare yang dihadapai anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun yang paling parah adalah kolera, infeksi rotavirus, dan disentri Rachman, 1996.
3. Etiologi Penyebab diare yang paling sering diseluruh dunia adalah infeksi usus
infectious diarrhea. Frekuensi, jenis dan berat diare ditentukan oleh siapa yang diserang, dimana serta bilamana diare tersebut terjadi.
a.
Infeksi Dapat karena virus rotavirus, adenovirus, Norwalk, bakteri
Shigella, Salmonella, E. Coli, Vibrio, parasit protozoa: E. histolytica, G. lamblia, Balantidium coli;
cacing perut: Ascaris, Ttrikuris, Strongiloideus;
dan jamur: Candida
b.
Malabsorpsi berupa intoleransi laktosa, lemak atau protein
c.
Makanan yaitu karena Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
d.
Imunodefisiensi
e.
Adanya rasa takut dan cemas Mansjoer, 2001.
4. Patofisiologi Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis
menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri
dengan diare yang disertai lendir dan darah. Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang
besar tanpa lendir dan darah. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus Wilson, 2003.
5. Manifestasi klinis Gejala klinis pada diare disertai inflamasi yang menyertai keluhan adalah
abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara
makroskopis ditemukan lendir danatau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear. Pada diare tanpa inflamasi mengalami abdomen tidak sakit atau sedikit sakit, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama
pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit Wilson, 2003.
6. Diagnosis Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari
pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non
infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen Salmonella, Shigella dan
Campylobacter yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45 - 95
tergantung dari jenis patogennya Friedman, 2003. Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin.
Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat
terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial,
sensitifitas 83 – 93 dan spesifisitas 61 – 100 terhadap pasien dengan
Salmonella,Campilobakter , atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan
kotoran. Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin,
analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap Rachman, 1996.
7. Strategi terapi A. Penggantian cairan dan elektrolit
Terapi intra vena bila diperlukan dengan cairan normotonik seperti cairan normal saline atau Ringer Laktat harus diberikan dengan suplementasi Kalium
sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian
infus jika diperlukan. B. Antibiotik
Tabel IV. Antibiotik untuk diare akibat bakteri
Organisme Pilihan pertama
Pilihan kedua Campylobacter,
Shigella atau
Salmonella Ciprofloksasin 500mg
oral 2x sehari, 3 – 5
hari Ceftriaxon 1gr IMIV
sehari Trimetoprim-
Sulfometoksazole oral 2x sehari,3 hari
Azithromycin, 500 mg oral 2x sehari
Eritromisin 500 mg oral 2x sehari, 5hr
Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg
oral 4x sehari, 3 hari Doksisiklin
300mg Oral, dosis tunggal
Resisten Tetrasiklin Ciprofloksacin 1gr oral
1x Eritromisin 250 mg oral
4x sehari selama 3 hari
Clostridium difficile Metronidazole
250- 500 mg 4x sehari
selama 7-14
hari dengan oral atau IV
Vancomycin 125 mg oral 4x sehari selama 7-
14 hari
Wilson, 2003.
C. Obat Anti Diare a. Obat antimotilitas dan sekresi usus
Dapat digunakan: Loperamid : 4 mg per oral dosis awal lalu tiap tinja cair diberikan 2 mg dengan dosis maksimal 16 mg hari, Difenoksilat: 4
kali sehari 5 mg, Kodein Fosfat: 15-60 mg tiap 6 jam b. Obat dengan absorpsi zat toksik
Dapat digunakan Norit sebanyak 1-2 tablet diulang sesuai kebutuhan, dapat digunakan pula attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin
dengan efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit
c. Zat hidrofilik Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium,
Karaya Strerculia , Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk
kolloid dengan cairan dalam lumen usus dan akan mengurangi frekuensi dan konsistensi feses tetapi tidak mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc 2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet
d. Probiotik Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria
atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk
nutrisi dan reseptor saluran cerna. Friedman, 2003.
D. Interaksi Obat