Penatalaksanaan gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juli 2012 kajian dosis dan kemungkinan interaksi obat.

(1)

PENATALAKSANAANGANGGUANSALURANPERNAPASAN DIRUMAHSAKITPANTIRINIYOGYAKARTA

PERIODEJANUARI-JULI2012

KAJIANDOSISDANKEMUNGKINANINTERAKSIOBAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Serevino Leonardo Ambuk

NIM : 078114001

Oleh:

Maria Fransiska Ambuk NIM : 098114112

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

ii

PENATALAKSANAANGANGGUANSALURANPERNAPASAN DIRUMAHSAKITPANTIRINIYOGYAKARTA

PERIODEJANUARI-JULI2012

KAJIANDOSISDANKEMUNGKINANINTERAKSIOBAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Serevino Leonardo Ambuk

NIM : 078114001

Oleh:

Maria Fransiska Ambuk NIM : 098114112

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

v

Aku yang membentuk nasibku sendiri,

Sehingga yang kuupayakan adalah

pembentuk kualitas hidupku”

(Mario Teguh)

Kupersembahkan karya ini untuk: Yesus, Orang Tua, Saudara,


(6)

(7)

(8)

viii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Penatalaksanaan Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari - Juli 2012, Kajian Dosis dan Kemungkinan Interaksi Obat” yang disusun sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari segala dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ipang Djunarko M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Direktur Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta, dr. Y. Wibowo Soerahjo, MMR, yang telah memberikan ijin menggunakan Rumah Sakit Panti Rini sebagai tempat untuk menjalankan penelitian.

3. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk bergabung dalam penelitian ini dan bimbingan yang telah diberikan selama ini.

4. Ibu Aris Widayati, M. Si., Ph.D, Apt. dan dr. Fenty, M. Kes., Sp.PK selaku dosen penguji atas kesediaannya menjadi dosen penguji serta bimbingan dan saran yang diberikan.

5. Kepala Sub Seksi Farmasi (Y. Betty Husadani S. Farm., Apt.), Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Penunjang Medik (Hary Budiarto) beserta staf, Kepala


(9)

ix

Seksi Keperawatan (Sr. Lucia Utami, CB), Kepala Sub Seksi Rawat Inap (Suster A. M. Siti Listiyani) beserta staf, serta Bagian Sekretariat dan Personalia (Yoseph Ardianto) beserta staf, atas bantuan dan dukungan selama penelitian

6. Segenap dosen yang telah memberikan ilmu selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma, Yogyakarta.

7. Bapa Tomas Ambuk dan mama Bernadetha Dugis yang telah membesarkan, mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan doa yang tulus serta pengorbanan tanpa henti kepada penulis.

8. Kakak-kakakku tersayang Yosep Fandinas Ambuk dan Serevino Leonardo Ambuk yang telah mengayomi penulis serta menjadi motivator dan inspirator penulis dalam menyusun penelitian.

9. Bergita Jemimun “Kumbang” yang telah mendukung, memberi semangat, dan doa ketika peneliti dalam keadaan sulit.

10.Regina Arningsari Ewo Pati, Maria Rosari Quincy Pang, dan Silvia Agustina atas kerjasama, suka dan duka yang dilalui bersama.

11.Suster “Custer” Novita, Devi Ipin, Mache Febria, Endang Milkon, dan Nangning umed, yang telah menjadi sahabat terbaik, tempat curahan hati, dan supporter setia penulis.

12.Teman-teman FKK B 2009 dan Farmasi 2009 yang telah memberi semangat dan dukungan selama penyusunan skripsi.

13.Semua pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, atas dukungannya selama ini.


(10)

x

Penulis menyadari penelitian ini masih belum sempurna mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan ini dapat berguna demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Penulis


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xx

ABSTRACT ... xxi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8


(12)

xii

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saluran Pernapasan ... 9

B. Gangguan Saluran Pernapasan ... 13

1. Asma ... 13

a. Definisi ... 13

b. Etiologi ... 13

c. Patofisiologi ... 13

d. Manifestasi Klinis ... 14

e. Penatalaksanaan ... 14

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ... 16

a. Definisi ... 16

b. Etiologi ... 16

c. Patofisiologi ... 16

d. Manifestasi Klinis ... 17

e. Penatalaksanaan ... 17

3. Pneumonia ... 19

a. Definisi ... 19

b. Etiologi ... 20

c. Patofisiologi ... 20

d. Manifestasi Klinis ... 20

e. Manajemen Terapi ... 21

4. Tuberkulosis ... 22

a. Definisi ... 22


(13)

xiii

c. Patofisiologi ... 22

d. Manifestasi Klinis ... 23

e. Penatalaksanaan ... 23

C. Pharmaceutical Care ... 26

D. Drug Therapy Problems ... 26

E. Dosis ... 28

F. Interaksi Obat ... 29

G. Keterangan Empiris... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31

B. Variabel Penelitian ... 31

C. Definisi Operasional ... 31

D. Subyek Penelitian ... 32

E. Bahan Penelitian ... 33

F. Alat Penelitian ... 33

G. Tata Cara Penelitian ... 33

H. Tata Cara Analisis Data ... 35

I. Kesulitan Penelitian ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit panti Rini Yogyakarta ... 37

1. Golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan ... 37


(14)

xiv

B. Evaluasi Pengobatan pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan Periode

Januari - Juli 2012 ... 41

1. Dosis terlalu tinggi ... 41

2. Interaksi obat ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Kesimpulan ... 46

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 51


(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Dosis golongan beta-2 agonis secara oral dan inhalasi ... 15 Tabel II. Dosis kortikosteroid inhalasi ... 15 Tabel III. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis

Tetap untuk Kategori 1 ... 24 Tabel IV. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis

Tetap untuk Kategori 2 ... 24 Tabel V. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap untuk

sisipan ... 25 Tabel VI. Penyebab-penyebab Drug Related Problems ... 27 Tabel VII. Tingkat signifikasi interaksi obat ... 29 Tabel VIII. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien

yang menggunakan obat gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012 ... .38 Tabel IX. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien

yang menggunakan obat lain selain gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012 ... 39 Tabel X. Kasus dosis terlalu tinggi pada Pasien yang menggunakan

obat gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012 ... 41


(16)

xvi

Tabel XI. Kasus interaksi obat pada pasien yang menggunakan obat gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012 ... 43


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekam Medis Kasus 1 ... 52

Lampiran 2. Rekam Medis Kasus 2 ... 54

Lampiran 3. Rekam Medis Kasus 3 ... 56

Lampiran 4. Rekam Medis Kasus 4 ... 58

Lampiran 5. Rekam Medis Kasus 5 ... 60

Lampiran 6. Rekam Medis Kasus 6 ... 62

Lampiran 7. Rekam Medis Kasus 7 ... 64

Lampiran 8. Rekam Medis Kasus 8 ... 66

Lampiran 9. Rekam Medis Kasus 9 ... 68

Lampiran 10. Rekam Medis Kasus 10 ... 70

Lampiran 11. Rekam Medis Kasus 11 ... 72

Lampiran 12. Rekam Medis Kasus 12 ... 74

Lampiran 13. Rekam Medis Kasus 13 ... 76

Lampiran 14. Rekam Medis Kasus 14 ... 78

Lampiran 15. Rekam Medis Kasus 15 ... 80

Lampiran 16. Rekam Medis Kasus 16 ... 84

Lampiran 17. Rekam Medis Kasus 17 ... 86

Lampiran 18. Rekam Medis Kasus 18a ... 88

Lampiran 19. Rekam Medis Kasus 18b ... 90

Lampiran 20. Rekam Medis Kasus 19 ... 92

Lampiran 21. Rekam Medis Kasus 20 ... 94


(19)

xix

Lampiran 23. Rekam Medis Kasus 22 ... 98

Lampiran 24. Rekam Medis Kasus 23 ... 100

Lampiran 25. Rekam Medis Kasus 24 ... 102

Lampiran 26. Rekam Medis Kasus 25 ... 104

Lampiran 27. Rekam Medis Kasus 26 ... 106

Lampiran 28. Rekam Medis Kasus 27 ... 108

Lampiran 29. Rekam Medis Kasus 28 ... 110

Lampiran 30. Rekam Medis Kasus 29 ... 111

Lampiran 31. Rekam Medis Kasus 30 ... 113

Lampiran 32. Rekam Medis Kasus 31 ... 114

Lampiran 33. Rekam Medis Kasus 32 ... 116

Lampiran 34. Rekam Medis Kasus 33 ... 117

Lampiran 35. Rekam Medis Kasus 34 ... 119

Lampiran 36. Rekam Medis Kasus 35a ... 121

Lampiran 37. Rekam Medis Kasus 35b ... 123

Lampiran 38. Rekam Medis Kasus 35c ... 125

Lampiran 39. Rekam Medis Kasus 36a ... 127

Lampiran 40. Rekam Medis Kasus 36b ... 129

Lampiran 41. Rekam Medis Kasus 37 ... 131

Lampiran 42. Rekam Medis Kasus 38 ... 134

Lampiran 43. Rekam Medis Kasus 39 ... 136

Lampiran 44. Komposisi Obat Dagang ... 139


(20)

xx INTISARI

Bernapas merupakan aktivitas yang penting bagi manusia. Jika terjadi gangguan pada saluran pernapasan, akan timbul berbagai penyakit, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguan saluran pernapasan yang sering terjadi di masyarakat adalah asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), pneumonia, dan tuberkulosis (TB). Oleh karena itu, perlu dilakukan penatalaksanaan agar dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup sehingga pasien dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta terhindar dari risiko kematian.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan mengenai dosis dan interaksi obat. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari sampai Juli 2012. Data diperoleh dari lembar medik pasien selama dirawat di Rumah Sakit, kemudian dievaluasi berdasarkan referensi, yaitu Drug Information Handbook, Drug Interaction Fact, Stockley’s

Drug Interaction, dan MIMS Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 39 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien gangguan saluran pernapasan, yaitu 37 kasus. Ceftriaxone merupakan jenis antibiotika yang banyak dipakai. Ditemukan kejadian dosis terlalu tinggi sebanyak 3 kasus untuk obat cefixim, amlodipin, klopidogrel, dan ondansetron, serta kejadian interaksi obat sebanyak 17 kasus.


(21)

xxi ABSTRACT

Respiratory disorders vary from mild to severe. Respiratory disorders that frequently occur in society are asthma, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), pneumonia, and tuberculosis (TB). Therefore, management of respiratory disorders is needed to improve and maintain the quality of life of the patients in order to allow them to normal life without any obstacles in performing daily activities and avoid the risk of death.

This research was non experimental. The design of the research was explorative-descriptive research with retrospective. The purpose of this study was to evaluate the treatment of respiratory disorders in patients focusing on dosage and drug interactions. Data were collected at Panti Rini Hospital Yogyakarta in the period of January to July 2012. Data were taken from medical record of the hospitalized patients, and then were evaluated using the Drug Information Handbook, Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug Interaction, and MIMS Indonesia.

The results show that there are 39 cases that met the inclusion criteria. Antibiotics are a class of drugs most widely used in patients with respiratory disorders. Ceftriaxone is the most antibiotic used in this study. There are 4 cases with the dose was too high and 17 cases whith drug interactions


(22)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Menurut Ikawati (2007) bernapas merupakan proses inspirasi dan ekspirasi. Aktivitas ini penting bagi manusia karena tubuh memerlukan suplai oksigen yang cukup untuk proses metabolisme. Jika terjadi gangguan pada saluran pernapasan, pertukaran gas akan terganggu dan akan menimbulkan berbagai penyakit, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguan saluran pernapasan yang sering terjadi di masyarakat adalah asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), pneumonia, dan tuberkulosis (TB).

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007, tuberkulosis menempati urutan pertama penyakit menular penyebab kematian di perkotaan maupun di pedesaan. Tuberkulosis paru klinis tersebar di seluruh Indonesia dengan prevalensi 0,99%, dan di provinsi DI Yogyakarta adalah 1,58%. Pada penyakit pneumonia, prevalensi di Indonesia adalah 2,13%, dan untuk Provinsi DI Yogyakarta adalah 1,81%. Untuk penyakit asma di Indonesia ditemukan prevalensi sebesar 3,5%, dan di provinsi DI Yogyakarta adalah 3,5%. Sedangkan menurut Depkes RI (2004) PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%) pada tahun 2004.

Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2005), diperlukan suatu pelayanan kesehatan yang terpadu dalam penatalaksanaan pengobatan gangguan saluran pernapasan. Dalam hal ini Apoteker sebagai salah


(23)

satu tenaga kesehatan sudah seharusnya berperan dari aspek pelayanan kefarmasiannya dengan menerapkan Pharmaceutical Care. Konsep

pharmaceutical care merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat. Dengan diterapkannya pharmaceutical care, diharapkan kejadian DRPs (Drug Related Problems) dapat dihindari. Drug Related Problems terdiri dari tujuh kategori, dua di antaranya adalah dosis terlalu tinggi dan interaksi obat.

Kejadian interaksi obat cukup besar terjadi terutama pada pasien yang mengkonsumsi banyak macam obat. Dari hasil penelitian yang dilakukan di salah satu Rumah Sakit Pendidikan di Yogyakarta, ditemukan kejadian interaksi obat terjadi pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan. Pada pasien rawat inap ditemukan 125 kejadian interaksi (48 interaksi obat-obat dan 77 interaksi obat-makanan), sedangkan pada rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan (Rahmawati, dkk, 2006). Kejadian interaksi seperti ini dapat meningkatkan toksisitas atau menurunnya efek terapi sehingga pasien tidak cepat sembuh sebagaimana seharusnya dan terkadang dapat menimbulkan gangguan serius yang menimbulkan kematian.

Pasien yang menerima obat dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dosis terapinya dapat meningkatkan risiko efek toksik dan bisa membahayakan pasien. Hal tersebut akan memperlama waktu rawat inap dan menghambat kesembuhan pasien. Menurut Pagiling et al (2005) di Yogyakarta DRPs yang


(24)

paling sering terjadi pada resep dokter adalah over dose yaitu sebesar 66,6% dari 42 resep. Masalah utama DRP dosis terlalu tinggi ini dapat disebabkan karena kelemahan tenaga kesehatan terutama farmasi klinis dalam memonitor penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan.

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta merupakan rumah sakit swasta yang yang dimiliki oleh Yayasan Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rini memiliki pelayanan dasar, umum, gigi, dan pelayanan medik spesialistik, yaitu Spesialis Penyakit Dalam, Bedah, Penyakit Anak, serta Kebidanan dan Kandungan. Berdasarkan informasi dari pihak Rumah Sakit Panti Rini bagian Pelayanan Medik dan Penunjang Medik, penyakit gangguan saluran pernapasan, seperti asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) masuk dalam 10 besar penyakit yang sering terjadi pada tahun 2011. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rini mengenai penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan dengan kajian dosis terlalu tinggi dan kemungkinan interaksi obat, sebagai salah satu usaha penulis untuk memonitor penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan. Penelitian ini hasilnya diharapkan dapat diaplikasi pada pelaksanaan pharmaceutical care di rumah sakit sehingga

patient safety bisa terwujud.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, permasalahan yang diteliti adalah:


(25)

2. Apakah ditemukan regimen dosis yang terlalu tinggi yang diberikan pada pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit periode Januari - Juli 2012?

3. Apakah terjadi kemungkinan interaksi antar obat-obat yang diberikan pada pasien gangguan saluran pernapasan?

C. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan masalah penatalaksanaan pada pasien gangguan saluran pernapasan yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut:

1. Pola Penggunaan Obat Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada Pasien Geriatri Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari - Desember 2003, oleh: Arifah pada tahun 2004. Metode dan hasil Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil yang didapat adalah pemakaian golongan obat bronkodilator (100%), kortikosteroid (71%), antibiotik (59%), mukolitik (63%), ekspektoran (7%), antitusif (15%). Penggunaan obat PPOK pada pasien geriatri rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih periode Januari - Desember 2003 sudah sesuai dengan standar pelayanan medis PPOK, Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di Indonesia, dilihat dari pemilihan obat dan kesesuaian dosis kortikosteroid (98%) dan antibiotik (90%), sedangkan dosis bronkodilator di bawah dosis lazim (54%), karena


(26)

bronkodilator diberikan secara kombinasi, sehingga diperlukan pengaturan dosis, yaitu diturunkan di bawah dosis lazim.

2. Evaluasi Penggunaan Kombinasi Antibiotik pada Pasien Pneumonia Pediatrik Rawat Inap di RSUD Sleman Yogyakarta Periode Tahun 2006, oleh: Utmiyannah tahun 2007. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif evaluatif dengan metode pengumpulan data secara retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 86 kasus terdapat 54 kasus (62,79%) sesuai dan 32 kasus (37,21%) yang tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Medik RSUD Sleman tahun 2005, sedangkan berdasarkan jurnal American Family Physician

(2004), diketahui sebanyak 79 kasus (91,86%) sesuai dan 7 kasus (8,14%) tidak sesuai antara jenis bakteri dengan antibiotik.

3. Evaluasi Pola Penggunaan Anti Tuberkulosis di Instalasi Rawat Inap RS Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2007, oleh Risdania pada tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan degan metode retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 79 pasien tuberkulosis, yang menggunakan OAT-kombipak sebanyak 29 pasien dan OAT-FDC sebanyak 42 pasien. Kesesuaian jenis obat anti tuberkulosis sebanyaka 63 kasus (88,73%) dan kesesuaian dosis obat anti tuberkulosis sebanyak 48 kasus (67,61%). Lama perawatan rata-rata pasien di RS Dr. Sardjito Yogyakarta periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2007 untuk pasien tuberkulosis tanpa penyakit penyerta adalah 9,91 hari dengan hasil pengobatan adalah sembuh sebanyak 4,35% pasien, 82,60% membaik, 8,70% belum sembuh, dan 4,35 % meninggal.


(27)

4. Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors dan Drug Therapy Problems pada Pasien RS Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008 (Kajian Penggunaan Obat Saluran Pernapasan), oleh: Tandiose pada tahun 2008. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian non eksperimental, dengan rancangan penelitian eksploratif deskriptif yang bersifat prospektif. Jumlah kasus yang menerima obat saluran pernapasan di Rumah Sakit Bethesda adalah adalah 22 kasus. DTP dan ME yang terjadi, dosis terlalu tinggi 4 kasus, dosis terlalu rendah 12 kasus, ADR 5 kasus, interaksi obat 8 kasus,

complience 6 kasus, potensi administration error 3 kasus, pemberian diluar instruksi dokter 1 kasus dan kegagalan mengecek instruksi 3 kasus.

5. Evaluasi Drug Therapy Problems pada Pengobatan Pasien Stroke di Unit Stroke Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas Periode Januari - Juni 2009 (Kajian Obat Pencernaan dan Pernapasan), oleh: Septiana pada tahun 2009. Rancangan penelitiannya adalah deskriptif analitik yang bersifat retrospektif. Dari hasil penelitian ini ditemukan 24 kasus stroke pada Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas. Identifikasi DRPs penggunaan obat pencernaan dan pernapasan diperoleh 24 kasus, yang terdiri dari 23 kasus dosis kurang, 2 kasus dosis berlebih, serta 1 kasus efek samping dan interaksi obat.

6. Pola Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma Dewasa Rawat Inap di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Yogyakarta Periode Januari - Desember 2010, oleh: Husan tahun 2011. Penelitian ini menggunakan rancangan non eksperimental (deskriptif) dengan metode pengumpulan data secara retrospektif dari data rekam medis pasien. Jumlah pasien yang memenuhi


(28)

kriteria inklusi adalah 54 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus yang mengalami tepat indikasi sebesar 98,0%, jumlah kasus yang mengalami tepat obat sebesar 93,0%, jumlah kasus yang mengalami tepat pasien sebesar 94%, dan jumlah kasus yang mengalami tepat dosis sebesar 98,0%. Frekuensi lama perawatan pasien paling banyak pada kisaran 1-5 (88,7%). Frekuensi keadaan pulang pasien paling banyak adalah membaik (54,8%).

7. DRPs Kategori Tepat Dosis dan Tepat Indikasi pada Pasien Rawat inap dengan Diagnosis Tuberkulosis di RSUD Tidar Magelang Periode Januari - Desember 2009, oleh: Purwaningtyas pada tahun 2011. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian non eksperimental dan bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan mencatat rekam medik pasien. Pasien yang memenuhi criteria inklusi sebanyak 24 orang. Hasil identifikasi diperoleh bahwa pada DRP kategori dosis tidak ditemukan DRP yang disebabkan oleh dosis terlalu tinggi dan DRP dalam hal dosis terlalu rendah sebesar 1,27%, sedangkan pada DRP kategori tepat indikasi ditemukan DRP membutuhkan terapi tambahan sebesar 2,54% dan terapi tidak perlu sebesar 4,24%.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada pada subyek, waktu, dan tempat penelitian, yaitu pasien dengan gangguan saluran pernapasan periode Januari - Juli 2012 di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada kajian gangguan


(29)

saluran pernapasan yaitu aspek keamanan yang meliputi dosis dan kemungkinan interaksi obat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran, informasi, dan referensi bagi para tenaga kesehatan, khususnya farmasis, untuk menjalankan perannya dengan lebih meningkatkan pelayanan terapi obat yang benar dan berkualitas di seluruh rumah sakit, khususnya di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta, sehingga patient safety bisa terwujud.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi pola penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012. 2. Untuk mengidentifikasi dosis obat terlalu tinggi yang diberikan pada pasien

saluran gangguan pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012.

3. Untuk mengidentifikasi ada tidaknya interaksi yang terjadi pada obat-obat yang diberikan pada pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012.


(30)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan

Menurut Somantri (2007) bernapas adalah perpindahan oksigen (O2) dari udara menuju ke sel-sel tubuh dan keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel-sel menuju udara bebas. Saluran pernapasan terdiri atas dua bagian, yaitu saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah.

Gambar 1. Anatomi saluran pernapasan (Somantri, 2007) Saluran pernapasan bagian atas terdiri atas:

1. Lubang hidung (cavum nasalis)

Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring kasar terhadap benda asing yang masuk. Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembapan udara, pengatur suhu,


(31)

pelindung dan penyaring udara, indra penciuman, dan reseptor suara (Somantri, 2007).

2. Sinus parasinalis

Sinus parasinalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Sinus berfungsi untuk membantu menghangatkan dan humidifikasi, meringankan berat tulang tengkorak, serta mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi (Somantri, 2007).

3. Faring

Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5 cm yang merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus.

a. Nasofaring, terdiri dari dua tuba eustachius (auditorik) dan amandel faring b. Orofaring, terdiri dari uvula dan amandel palatinum

c. Laringofaring mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya.

(Pearce, 2009). 4. Laring

Laring terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkannya dari kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligament dan membran. Pita suara terletak didalam laring, berjalan dari tulang rawan tiroid di sebelah depan sampai di kedua tulang rawan aritenoid (Pearce, 2009).


(32)

Saluran pernapasan bagian bawah terdiri atas: 1. Saluran udara konduktif:

a. Trakea

Trakea dilapisis selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergerak menuju ke atas laring sehingga debu dan butir-butir halus lainnya yang masuk dapat dikeluarkan (Pearce, 2009).

b. Bronkus dan bronkiolus

Cabang bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang bronkus sebelah kiri. Bronkus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkiolus, yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan bronkiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus atau lubang kecil yang terletak antar alveoli yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli (Somantri, 2007).

2. Saluran respiratorius terminal a. Alveoli

Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli merupakan kantong udara yang berukuran sangat kecil dan merupakan akhir dari bronkiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2 (Somantri, 2007).


(33)

b. Paru-paru

Paru-paru ada dua, merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada, terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletak di dalam mediastinum. Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-pari kiri 2 lobus (Pearce, 2009).

c. Dada, diafragma, dan pleura

Tulang dada (sternum) berfungsi melindungi paru-paru, jantung, dan pembuluh darah besar. Bagian luar rongga dada terdiri atas dua belas pasang tulang iga (costae) (Somantri, 2007).

Diafragma terletak di bawah rongga dada. Pengaturan saraf diafragma (Nervus Phrenicus) terdapat pada susunan syaraf spinal pada tingkat C3, sehingga jika terjadi kecelakaan pada saraf C3 akan menyebabkan gangguan ventilasi (Somantri, 2007).

Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru-paru. Pleura ada dua macam, yaitu pleura parietal dan pleura visceral (Somantri, 2007).

d. Sirkulasi pulmoner

Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah, yaitu arteri bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-paru (Somantri, 2007).


(34)

B. Gangguan Saluran Pernapasan 1. Asma

a. Definisi

Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran nafas, yang ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi, dan respon yang berlebihan terhadap rangsang. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma, antara lain: udara dingin, obat- obatan, stress, olahraga (Ikawati, 2007).

b. Etiologi

Berdasarkan faktor pemicunya, asma dibagi menjadi dua, yaitu asma ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi. Asma intrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar mekanisme imunitas, dan umumnya dijumpai pada orang dewasa. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma, antara lain: udara dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga (Ikawati, 2007).

c. Patofisiologi

Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memicu pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator inflamasi, yaitu histamin, leukotrien, dan faktor kemotaktik eosinofil. Akibatnya terjadi bronkokonstriksi, permeabilitas vaskuler, edema, produksi


(35)

dahak yang kental, dan gangguan fungsi mukosiliar. Sedangkan pada asma non-atopik, mekanismenya bukan melalui sel mast tetapi melalui stimulasi pada jalur refleks parasimpatik yang melepaskan asetilkolin, dan kemudian mengkontraksi otot polos bronkus (Ikawati, 2007).

d. Manifestasi klinis

Manifestasi asma mudah dijelaskan oleh adanya peradangan dan obstruksi saluran napas. Gejalanya adalah batuk, mengi (wheezing), dispnea dan rasa sesak di dada, takipnea dan takikardia, pulsus paradoksus, hipoksemia, hiperkapnia dan asidosi respiratorik, hiperresponsivitas bronkus (McPhee dan Ganong, 2011).

e. Penatalaksanaan

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol) (Depkes RI, 2009). Terapi non-farmakologi yang bisa diberikan adalah: edukasi pasien, banyak minum air, kontrol secara teratur, dan pola hidup sehat dengan berhenti merokok, kegiatan fisik (senam) (Binfar, 2007).

Menurut U.S. Departement of Health and Human Service (2011) terapi farmakologi asma diklasifikasikan menjadi:

1) Quick-relief medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi otot-otot di saluran pernafasan, memudahkan pasien untuk bernafas, memberikan kelegaan bernafas, dan digunakan saat terjadi serangan asma (asthma attack). Contohnya: beta-2 agonis kerja cepat


(36)

(bronkodilator). Berikut adalah aturan dosis golongan beta-2 agonis yang sering diberikan pada pasien:

Tabel I. Dosis golongan beta-2 agonis secara oral dan inhalasi (Ikawati, 2007)

Obat Dosis

Dewasa Anak

Inhalasi

Salbutamol 100-200 mcg 100 mcg

Eformoterol 12 mcg / inhalasi -

Fenoterol 0,2-1,0 mcg > 6 th: 0,2-1,0 mcg

Salmetrol 50 mcg, 2 x sehari -

Oral

Salbutamol 4 mg, 3-4x sehari < 2 th: 0,2/ kg 4 x sehari 2-6 th: 1-2 mg, 3-4 sehari 6-12 th: 2 mg, 3-4 sehari Terbutalin 2,5 mg 3 x sehari, bisa

dinaikkan 5mg 3 x sehari

3-7 th: ½-1 sdk takar, 2-3 x sehari.

7-15 th: 1-2 sdm (2,5 mg) 2 x sehari

2) Long-term medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati inflamasi pada saluran pernafasan, mengurangi udem dan mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk membantu mencegah timbulnya serangan asma (asthma attack). Contohnya: kortikosteroid bentuk inhalasi. Berikut adalah aturan dosis yang sering dipakai pada pasien:

Tabel II. Dosis kortikosteroid inhalasi (Ikawati, 2007)

Obat Dosis

Dewasa Anak

Beklometason diproplonat

200 mcg, 2 x sehari atau 100 mcg 3-9 x sehari (pada kondisi berat, dosis awal 600-800 mcg/hari)

50-100 mcg, 2-4 x sehari atau 100-200 mcg 2 x sehari

Budesonid 200 mcg, 2 x sehari, asma ringan: 200 mcg sehari. Asma berat: hingga 800 mcg sehari.

200-800 mcg sehari dalam dosis terbagi (asma berat: 800 mcg).

Flutikason 100-250 mcg 2 x sehari, dapat dinaikkan hingga 1 mg 2 x sehari.

4-16 th: 50-100 mcg, 2 x sehari


(37)

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) a. Definisi

PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel berbahaya (Rubenstein, Wayne, dan Bradley, 2005).

b. Etiologi

Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain: merokok (penyebab utama), polusi udara. Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host antara lain: usia, adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi, predisposisi genetik, yaitu defisiensi α1 antitripsin (AAT) (Ikawati, 2007).

c. Patofisiologi

Menurut Ikawati (2007) terdapat dua gangguan yang sering terjadi pada PPOK, yaitu:

1) Bronkitis kronis: secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi terus-menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mucociliary clereance). Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di


(38)

saluran nafas. Di samping itu, iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus dan alveoli. Akibatnya makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus yang berlebih, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli

2) Emfisema: terjadi kerusakan dinding dalam asinus (bronkiolus, duktus alveolus, dan kantong alveolar) yaitu bagian paru-paru yang bertanggung jawab dalam pertukaran gas. Alveolus mengalami pembesaran dan kehilangan elastisitas untuk mengerut (recoil). Akibatnya pertukaran O2 dan CO2 terganggu.

d. Manifestasi klinis

Gejala yang timbul adalah peningkatan volume sputum, sesak nafas yang progresif, dada terasa sesak (chest tightness), sputum yang purulen, lemah, lesu, mudah lelah (McPhee dan Ganong, 2011).

e. Penatalaksanaan

Menurut WHO (2006), penatalaksanaan PPOK terdiri dari empat komponen utama, yaitu: pemantauan dan assessment penyakit, mengurangi faktor risiko, penatalaksaan PPOK yang stabil, dan penatalaksanaan eksaserbasi akut PPOK. Tujuan terapi pada PPOK stabil adalah memperbaiki keadaan obstruktif kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut, menurunkan kecepatan peningkatan penyakit, meningkatkan keadaan fisik dan psikologik pasien sehingga dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari. Terapi


(39)

pada eksaserbasi akut adalah untuk memelihara fungsi pernafasan dan memperpanjang survival.

Terapi non-farmakologi yang dapat diberikan pada pasien adalah berhenti merokok atau menjauhi asap rokok, olahraga ringan, edukasi (Rubenstein, Wayne, dan Bradley, 2005). Sedangkan terapi farmakologinya adalah:

1) Bronkodilator

Bronkodilator ini diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Macam-macam bronkodilator:

a) Golongan antikolinergik: terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Mekanisme kerjanya adalah menghambat reseptor kolinergik pada otot bronkial untuk mengatasi bronkokonstriksi. Contoh: ipratropium bromide (Ikawati, 2007).

b) Golongan agonis β2: merupakan bronkodilator dan meningkatkan pembersihan mukosiliar (mucociliary clereance) (Ikawati, 2007). c) Kombinasi antikolinergik dan agonis β2: kombinasi kedua golongan

obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan


(40)

obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

d) Golongan metilksantin: digunakan jika pasien intoleran terhadap bronkodilator lainnya. Contohnya adalah teofilin, aminofilin dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat (Ikawati, 2007).

2) Antiiflamasi: digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3) Antibiotik: diapakai untuk mengatasi eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi. Contoh antibiotik yang digunakan adalah amoksisilin, makrolida, asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

4) Mukolitik: tidak diberikan secara rutin, hanya digunakan sebagai pengobatan simptomatik bila tedapat dahak (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3. Pneumonia a. Definisi

Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit (Binfar, 2005).


(41)

b. Etiologi

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri, virus, mycoplasma, Chlamydia, dan jamur. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, dimana penyebab tersering adalah

respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza, influenza, dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus,

dan Mycoplasmapneumonia (Binfar, 2005). c. Patofisiologi

Pneumonia dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlobang-lobang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif terisi dengan cairan dan infeksi menyebar melalui perluasan bakteri atau virus dari alveolus ke alveolus. Akhirnya, kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi “berkonsolidasi”, yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel (Guyton dan Hall, 2008). d. Manifestasi klinis

Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam, tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum baik dari jumlah maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri dada, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada sebelah kanan pada saat bernafas (Binfar, 2005).


(42)

e. Manajemen Terapi

Outcome yang ingin dicapai dalam pengobatan pneumonia adalah eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia. Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri patogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen. Pilihan antibiotika yang disarankan adalah golongan makrolida (eritromisin, claritromisin, azitromisin), doksisiklin, fluoroquinolon. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat fluoroquinolon terbaru (Binfar, 2005).

Eritromisin dan makrolida lainnya memiliki potensi untuk berinteraksi dengan sejumlah besar obat melalui mekanisme sitokrom P450, khususnya CYP1A2 dan CYP3A4, yang terjadi di hati. Bila berinteraksi dengan astemizol, cisapride, dan terfenadine, dapat mengakibatkan efek buruk, seperti aritmia ventrikel. Interaksi ini sering terjadi pada obat eritromisin dan troleandomycin, sedangkan golongan makrolida lain, seperti azitromisin dan dirithromycin menimbulkan interaksi yang tidak berarti. Selain itu, makrolida juga meningkatkan kadar digoksin dalam serum melalui penghambatan transportasi P-glikoprotein digoksin usus atau ginjal (Sweetman, 2009).


(43)

4. Tuberkulosis (TB) a. Definisi

Menurut Washington State Department of Health (2009) tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium Tuberculosis atau basillus tuberkel.

b. Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar menyerang paru-paru.

Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Binfar, 2005).

c. Patofisiologi

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui peredaran darah, saluran limfa, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Binfar, 2005).


(44)

d. Manifestasi klinis

Gejala sistemik atau gejala umum yang sering terjadi adalah:

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) 2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan

malam hari disertai keringat malam. 3) Penurunan nafsu makan dan berat badan 4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah

(Werdhani, 2002). e. Penatalaksanaan

Menurut Depkes RI (2006) pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Saat ini telah tersedia Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT - KDT), yang terdiri dari 4KDT dan 2KDT. Dalam obat 4KDT, mengandung 75 mg Isoniazid, 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol. Sedangkan 2KDT mengandung 150 mg Isoniazid dan 150 mg Rifampisin. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1) Tahap awal (intensif). Pada tahap ini pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.


(45)

2) Tahap Lanjutan. Pada tahap ini pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Kategori 1: diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif, foto toraks positif, dan untuk pasien TB ekstra paru Tabel III. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis

Tetap untuk kategori 1 (Depkes, 2006) Berat Badan (kg) Tahap Intensif:

tiap hari selama 56 hari

Tahap Lanjutan: 3 kali seminggu selama 16 minggu

30 - 37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 - 54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 - 70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Keterangan: KDT = Kombinasi Dosis Tetap

2) Kategori 2: diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel IV. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap untuk kategori 2 (Depkes, 2006)

Berat

Badan (kg) Tahap Intensif: tiap hari

Tahap Lanjutan: 3 kali seminggu Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30 - 37 2 tab 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj. 2 tab 4KDT

2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 38 - 54 3 tab 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT

3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 55 - 70 4 tab 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT

4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol ≥ 71 + 1000 mg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5

tab Etambutol Keterangan: KDT = Kombinasi Dosis Tetap


(46)

3) OAT Sisipan. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama 28 hari.

Tabel V. Dosis Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap untuk sisipan (Depkes, 2006)

Berat Badan (kg) Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

30 - 37 2 tab 4KDT

38 - 54 3 tab 4KDT

55 - 70 4 tab 4KDT

≥ 71 5 tab 4KDT

Keterangan: KDT = Kombinasi Dosis Tetap

Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah Rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi diantaranya:

protease inhibitor, antibiotika makrolid, warfarin, siklosporin, fenitoin, digoxin, alprazolam, diazepam, triazolam dan beberapa obat lainnya. Rifampisin juga berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. (Depkes RI, 2006).

Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid (Depkes RI, 2006).


(47)

C. Pharmaceutical Care

Menurut Cipolle and Strand (2004) pharmaceutical care merupakan suatu praktek yang dilakukan dengan tanggung jawab kepada kebutuhan yang berhubungan dengan obat yang diberikan pada pasien dan diselenggarakan berdasarkan komitmen tanggung jawab tersebut. Dalam menjalani pharmaceutical care, perlu dilakukan penilaian terhadap hal-hal berikut:

1. Obat yang tepat: semua obat yang diterima pasien sudah sesuai indikasi dan memberikan manfaat bagi kondisi medis pasien.

2. Obat yang efektif: obat yang diberikan pada pasien merupakan obat yang paling efektif dan dosis yang diberikan sudah tepat untuk mencapai tujuan terapi.

3. Obat yang aman: tidak terjadi adverse drug reactions dan tidak ada tanda-tanda toksisitas obat.

4. Compliance: pasien bersedia menjalani terapi sesuai dengan aturan.

D. Drug Therapy Problems

Drug Therapy Problems adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang dialami pasien selama proses terapi obat, sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan. Identifikasi drugtherapy problems merupakan fokus penentuan dan keputusan akhir yang dibuat dalam tahapan proses pelayanan pasien (Cipolle and Strand, 2004).

Drug Related Problems (DRPs) ada dua yaitu aktual dan potensial. Keduanya memiliki perbedaan, tetapi pada kenyataannya problem yang muncul


(48)

tidak selalu terjadi dengan segera dalam prakteknya. Drug Related Problems

(DRPs) aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan potensial, karena risiko yang sedang berkembang jika farmasis tidak turun tangan (Rovers, et al., 2003). Tabel VI. Penyebab-penyebab Drug Related Problems (Cipolle and Strand, 2004)

No Jenis DRPs Contoh Penyebab DRPs

1 Terapi obat yang tidak diperlukan (unnecessary drug therapy)

Ada indikasi obat yang sudah tidak tepat saat itu.

Penggunaan obat lebih dari satu dengan kondisi dapat menggunakan terapi tunggal.

Kondisi pasien lebih baik diterapi non-farmakologis (tanpa obat).

Terapi efek samping akibat suatu obat yang sebenarnya dapat digantikan dengan yang lebih aman.

2 Perlu tambahan terapi obat (need for additional drug therapy)

Munculnya kondisi medis baru yang membutuhkan tambahan obat baru.

Terapi untuk mencegah timbulnya risiko atau kondisi medis yang baru atau terapi profilaksis.

Kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek sedatif . 3 Obat yang tidak

efektif

(ineffective drug)

Obat yang digunakan tidak efektif atau bukan yang paling efektif.

Kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat. Bentuk sediaan obat tidak sesuai.

Obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami. 4 Dosis terlalu

rendah (dosage too low)

Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk mendapatkan respon yang diinginkan.

Interval dosis terlalu rendah untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan .

Interaksi obat menurunkan jumlah zat adiktif yang tersedia

Durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan.

5 Reaksi obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reaction)

Pasien memiliki reaksi alergi atau idiosikrasi terhadap obat.

Pasien teridentifikasi memiliki risiko terhadap obat tersebut.

Bioavailabilitas obat diubah oleh interaksi dengan obat lain atau makanan.

Efek obat diubah oleh karena adanya induksi atau inhibisi enzim, serta pergeseran tempat ikatan.


(49)

Lanjutan Tabel VI

No Jenis DRPs Contoh Penyebab DRPs

6 Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Dosis terlalu tinggi.

Konsentrasi obat dalam darah di atas rentang terapi yang diharapkan.

Akumulasi obat karena terapi jangka panjang.. 7 Kepatuhan pasien

(compliance)

Pasien gagal menerima obat yang sesuai karena

medication error.

Pasien tidak mematuhi aturan yang ditetapkan baik dengan sengaja maupun karena tidak mengerti.

Pasien tidak mampu menebus obat karena masalah biaya.

Keterangan: DRPs = Drug Related Problems

E. Dosis

Menurut Joenoes (2004) dosis adalah sejumlah obat yang memberikan efek terapetik pada penderita dewasa; juga disebut dosis lazim atau dosis medicinalis terutama obat yang tergolong racun ada kemungkinan terjadi keracunan, dinyatakan sebagai dosis toxica. Dosis toksik ini dapat sampai mengakibatkan kematian, disebut sebagai dosis letalis.

Macam-macam dosis:

1. Dosis terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat menyembuhkan

2. Dosis maksimal adalah dosis yang terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan

(Joenoes, 2004). Salah satu rencana terapi yang perlu diperhatikan adalah menyeleksi regimen yang tepat. Sasarannya di sini adalah menetapkan dosis, frekuensi, rute, bentuk sediaan, dan cara yang tepat. Obat-obatan dengan indikasi multiterapi,


(50)

dapat ditetapkan dosis berbeda untuk tiap indikasi. Faktor lain seperti umur, tinggi, bobot, dan status penyakit atau terapi obat bersamaan dapat mempengaruhi regimen dewasa harian. Kerusakan fungsi ginjal atau hati terutama penting apabila menyeleksi suatu dosis. Tambahan pula, obat- obatan dengan indeks terapi yang sempit, dosis selalu diukur secara farmakokinetik untuk mengoptimasikan efikasi dan mengurangi toksisitas (Siregar, 2006).

F. Interaksi Obat

Menurut Hayes (2006) interaksi obat didefinisikan sebagai kerja atau efek obat yang berubah, atau mengalami modifikasi sebagai akibat interaksi dengan satu obat atau lebih. Ini tidak boleh dikacaukan dengan reaksi obat yang tidak diinginkan, yang dapat berkisar dari yang sifatnya ringan sampai kepada efek toksik yang berat, termasuk reaksi hipersensitivitas dan anafilaksis.

Tabel VII. Tingkat signifikasi interaksi obat (Tatro, 2001)

Tingkat Signifikasi Keparahan Pelaporan

1 Berat (mayor) Terbukti

2 Sedang (moderat) Terbukti

3 Ringan (minor) Terbukti

4 Berat atau sedang (mayor atau moderat) Mungkin terjadi

5 Ringan (minor) Mungkin terjadi

Tidak ada (any) Tidak terjadi Menurut Tatro (2001) interaksi obat dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan waktu munculnya efek dari interaksi obat (onset):

a. Cepat (rapid) jika efek dari interaksi obat muncul dalam 24 jam setelah penggunaan obat

b. Tertunda (delayed) jika efek dari interaksi obat muncul dalam beberapa hari atau minggu setelah penggunaan obat


(51)

2. Berdasarkan tingkat keparahan efek yang timbul akibat interaksi obat:

a. Utama (mayor) jika menimbulkan kerusakan pada tubuh yang menetap atau dapat menyebabkan kematian

b. Sedang (moderat) jika menyebabkan semakin memburuknya kondisi pasien

c. Kecil (minor) jika hanya memberikan efek yang kecil

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keamanan penatalaksanaan pada pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta, dalam aspek keamanan kajian yang akan dievaluasi adalah kejadian interaksi obat dan dosis terlalu tinggi.


(52)

31 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian Penatalaksanaan Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari - Juli 2012 Kajian Dosis dan Kemungkinan Interaksi Obat ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif. Penelitian ini bersifat non eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subyek penelitian (Praktiknya, 2001) dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena bertujuan melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi kemudian mengevaluasi data dari rekam medik (Notoatmodjo, 2005).

Penelitian ini menggunakan data retrospektif, yang diperoleh dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar rekam medis pasien asma bronkial, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah profil penggunaan obat gangguan saluran pernapasan, dosis obat, dan interaksi obat.

C. Definisi Operasional

1. Profil penggunaan obat gangguan saluran pernapasan meliputi golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan serta golongan dan jumlah obat lain.


(53)

2. Dosis obat dalam penelitian ini terkait adanya dosis terlalu tinggi pada penggunaan obat gangguan saluran pernapasan.

3. Interaksi obat yang dilihat dalam penelitian ini adalah interaksi yang terjadi antar obat yang diterima pasien selama menjalani terapi.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pneumonia, dan tuberkulosis di Rumah Sakit Panti Rini, Yogyakarta periode Januari - Juli 2012. 1. Kriteria inklusi subyek:

a. Pasien rawat inap yang menerima terapi obat gangguan saluran pernapasan: asma, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis, selama periode Januari - Juli 2012.

b. Mempunyai catatan rekam medik lengkap yang mencakup usia, jenis kelamin, diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, hasil laboratorium, dan lama perawatan.

2. Kriteria eksklusi subyek:

a. Pasien dengan rekam mediknya tidak ditemukan. b. Pasien yang meninggal dunia.

Selama periode Januari - Juli 2012, terdapat 43 pasien yang dirawat inap di Rumah Sakit Panti Rini. Dari 43 pasien, data yang diambil sebanyak 39 pasien dengan 43 kasus karena memenuhi kriteria inklusi, sedangkan 4 pasien lainnya masuk dalam kriteria eksklusi karena catatan rekam mediknya tidak ditemukan.


(54)

Dari 39 pasien, didapat jumlah kasus asma adalah 13 kasus, PPOK 27 kasus, pneumonia 2 kasus, dan tuberkulosis 1 kasus.

E. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah kartu rekam medik, dalam hal ini dibutuhkan data nomor rekam medik, jenis kelamin, usia, diagnosis utama, hasil pemeriksaan laboratorium, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, lama perawatan, dan lembar resume pasien yang menerima obat gangguan saluran pernapasan di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012.

F. Alat Penelitian

Alat-alat yang dipakai pada penelitian ini adalah Drug Information Handbook 20th edition, MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 10: 2010/2011, Drug

Interaction Facts, Stockley’s Drug Interaction 9th edition, dan drug interaction checker pada Medscape.

G. Tata Cara Penelitian

Jalannya penelitian meliputi tiga tahap, yaitu tahap orientasi, tahap pengambilan data, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Orientasi

Tahap orientasi diawali dengan studi pustaka mengenai penyakit asma, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis, dosis obat, dan interaksi obat, serta


(55)

menentukan permasalahan dan cara menganalisis masalah tersebut. Selanjutnya dilakukan pencarian informasi mengenai kemungkinan dapat tidaknya melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta dan mengurus perizinan untuk mendapatkan izin penelitian. Tahapan berikutnya mempelajari teknik pengambilan data yang sesuai agar tidak menggangu pekerjaan petugas kesehatan. 2. Tahap Pengambilan Data

Pada tahap pengambilan data, dibagi menjadi dua, yaitu pengumpulan data dan penelusuran informasi.

a. Pengumpulan data:

Pada proses ini subyek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria inklusi selama periode waktu Januari - Juli 2012. Data diambil dari catatan rekam medik yang meliputi: nama pasien, nomor RM, jenis kelamin, umur, tanggal masuk, anamnesis, diagnosa, tanda vital, hasil laboratorium, nama obat serta dosis dan cara pemberian.

b. Penelusuran informasi:

Pada proses ini dilakukan penelusuran informasi pada pihak perawat yang bertugas di instalasi rawat inap RS Panti Rini. Hasil informasi yang diperoleh digunakan sebagai penunjang untuk membantu dalam evaluasi kemungkinan interaksi obat dengan diketahuinya waktu minum obat. Penelusuran informasi juga dilakukan pada pihak apoteker untuk mengetahui obat-obat gangguan saluran pernapasan yang dipakai di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta.


(56)

3. Tahap Pengolahan Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, yaitu tabel nama obat, dosis, cara pemakaian, tanggal pemberian obat, dan waktu penggunaan obat oleh pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta. Data-data yang didapat dievaluasi dosis terlalu tinggi dan interaksi antar obat yang diterima pasien.

H. Tata Cara Analisis Data

Data penelitian yang diperoleh dianalisis untuk melihat profil penggunaan obat pada pasien penyakit asma, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis, serta dilakukan evaluasi mengenai pengobatan yang diterima pasien. Untuk melihat profil penggunaan obat pada pasien, akan dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan yang diterima pasien. 2. Golongan dan jumlah obat lain selain gangguan saluran pernapasan yang

diberikan pada pasien.

Hasil dari pengelompokan obat ini akan disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian dilakukan evaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan mengenai dosis terlalu tinggi dan interaksi antar obat yang diterima pasien dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan).

I. Kesulitan Penelitian

Dalam proses pengambilan data, peneliti mengalami beberapa kesulitan, yaitu dalam metode penelitian. Awalnya peneliti ingin mengambil data secara


(57)

prospektif. Saat penelitian dilakukan, terjadi beberapa kendala dalam pengambilan data, yaitu keterbatasan waktu dan keterbatasan jumlah pasien. Selain itu peneliti juga tidak bisa mengamati secara langsung kondisi pasien saat dirawat di rumah sakit, sehingga peneliti harus mengubah metode penelitian menjadi retrospektif.

Pada metode retrospektif terdapat beberapa kekurangan, yaitu peneliti tidak bisa mengamati langsung kondisi pasien saat dirawat di rumah sakit. Selain itu, peneliti juga tidak bisa berkomunikasi dengan dokter mengenai pilihan terapi yang diberikan pada pasien, sehingga peneliti hanya melakukan evaluasi pengobatan pasien berdasarkan data yang ada di rekam medik.

Selain itu, peneliti kurang berpengalaman dalam membaca catatan rekam medik pasien dan membaca tulisan dokter maupun perawat yang tertera didalam catatan rekam medis tersebut. Untuk mengatasi kesulitan ini, peneliti bertanya kepada perawat dan apoteker yang sedang bertugas pada saat itu.


(58)

37 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian mengenai Penatalaksanan Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Periode Januari - Juli 2012, Kajian Dosis dan Kemungkinan Interaksi Obat, terdapat 39 pasien rawat inap yang menderita gangguan saluran pernapasan, dengan jumlah kasus sebanyak 43. Hasil dan pembahasan penelitian ini akan dibahas menjadi dua bagian, yaitu: profil penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan dan evaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan. Pada profil penggunaan obat, akan dibahas golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan serta golongan dan jumlah obat lain yang digunakan pada pengobatan pasien gangguan saluran pernapasan, sedangkan evaluasi pengobatan pasien akan dilakukan dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan).

A. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

1. Golongan dan jumlah obat saluran pernapasan

Setiap obat saluran pernapasan yang digunakan oleh pasien di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012 dibagi menjadi sepuluh kelompok, yaitu: ekspektoran, mukolitik, antihistamin, nasal dekongestan, kortikosteroid, bronkodilator, derivat xantin, antibiotik, obat anti TB (OAT), dan kombinasi.


(59)

Tabel VIII. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien yang menggunakan obat gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta periode Januari - Juli 2012

No Golongan obat Nama obat Jumlah kasus 1. Antibiotik Ceftriaxone

Levofloksasin Cefuroxime Cefixime Cefotaxime Gentamisin Ofloxacin Cefadroksil Azitromisin Cefepim HCl Kloramfenikol 12 6 4 4 4 2 1 1 1 1 1 2. Kortikosteroid Metilprednisolon

Deksametason Triamsinolon

31 2 1 3. Mukolitik Ambroxol

N-asetilsistein

15 16 4. Bronkodilator Procaterol HCl

hemihydrates

Salbutamol

6 22 5. Kombinasi Flutikason propionate

dan salbutamol Ipratropiun HBr dan salbutamol

13 3 6. Ekspektoran Carbocisteine

Gliceryl guaiacolat (GG)

8 4 7. Antihistamin Cetirizin HCl

Cyproheptadin HCl

5 1 8. Derivat xantin Aminofilin

Teofilin

4 1 9. Nasal dekongestan Pseudoefedrin HCl 2

10. Obat Anti TB (OAT) 4FDC 1

Total 172

Kasus yang paling banyak menggunakan obat gangguan saluran pernapasan berasal dari golongan obat antibiotika, yaitu 37 kasus. Antibiotika ceftriaxone paling banyak diberikan pada pasien, yaitu sebanyak 12 kasus. Pemberian antibiotika ini disebabkan oleh banyaknya pasien yang mengalami infeksi saluran pernapasan yang dapat dilihat dari tingginya angka leukosit.


(60)

Golongan obat terbanyak kedua adalah kortikosteroid dengan jumlah 33 kasus. Metilprednisolon merupakan obat golongan kortikosteroid yang banyak diberikan pada pasien. Fungsinya adalah untuk mengatasi inflamasi pada penderita asma dan PPOK.

2. Golongan dan jumlah obat lain

Selain obat saluran pernapasan, pasien juga menerima golongan obat lain, yaitu dibagi dalam 24 golongan. Berikut adalah obat-obat golongan lain yang diterima pasien.

Tabel IX. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien yang menggunakan obat lain selain gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012

No Golongan obat Nama obat Jumlah kasus

1. Anti ulser Ranitidin

Omeprazol Dexanta® Pantoprazol 14 5 1 10 2. Analgesik dan antipiretik Parasetamol

Sistenol®

Metamizol natrium

10 2 2

3. Suplemen Cinula®

Kalium dan magnesium Astacor® Curcuma® 1 5 3 1

4. Elektrolit NaCl

Aminoral® Vitamin K Kalium 4 1 2 3

5. Loop diuretik Furosemid 9

6. Obat dislipidemia Atorvastatin Simvastatin Gemfibrozil

1 3 2 7. Obat jantung Digoxin

Dobutamin

4 1

8. Obat gout Allopurinol 5

9. Anti inflamasi non steroid Analsik®

Metamizol natrium

1 3 10. Antiemetik Granisetron

Ondansetron

1 3


(61)

Lanjutan Tabel IX

No Golongan obat Nama obat Jumlah kasus 11. Nootropik dan neurotropik Mekobolamin 4

12. Ansiolitik Alprazolam 3

13. Antidiabetes Insulin aspart 3

14. Antidiare Activated attapulgite

Loperamid

1 1

15. Antagonis Kalsium Amlodipin 2

16. Kardiovaskular golongan lain

Bio ATP® 2

17. Hepatoprotektor Proliver® 2

18. Vitamin B kompleks Neurodex®

Alinamin fursultiamin

1 1 19. Obat vasodilator perifer Flunarizin

Citicolin

1 1

20. Antivertigo Betahistin mesylate 1

21. Anti platelet Klopidogrel 1

22. Obat malaria Klorokuin 1

23. Anti angina Isosorbit dinitrat 1

24. Obat aritmia ventrikular Amiodarone 1

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa obat lain selain obat gangguan saluran pernapasan yang paling banyak digunakan pada pasien adalah anti ulser dengan 30 kasus. Obat-obatan ini diberikan pada pasien yang mempunyai keluhan gangguan saluran pencernaan. Obat anti ulser yang paling banyak digunakan adalah ranitidin (antagonis reseptor H2) yang mempunyai indikasi untuk tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS, dan kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.

Golongan obat terbanyak kedua adalah analgesik dan antipiretik dengan 14 kasus. Parasetamol merupakan obat yang paling banyak digunakan. Indikasinya adalah untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang dan demam.


(62)

B. Evaluasi Pengobatan pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan Periode Januari - Juli 2012

Evaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan dilakukan dengan mengidentifikasi dosis obat terlalu tinggi dan ada tidaknya interaksi yang terjadi pada obat-obat yang diberikan berdasarkan penelusuran pustaka. Dari 43 kasus yang menggunakan obat saluran pernapasan, terdapat 3 kasus pasien yang mengalami dosis terlalu tinggi dan 17 kasus yang mengalami interaksi obat. 1. Dosis Terlalu Tinggi:

Tabel X. Kasus dosis terlalu tinggi pada pasien yang

menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012

Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi 20 Cefixime Penggunaan cefixime

kurang tepat, karena pasien mendapat 1000 mg cefixime dalam sehari

Dosis cefixime dikurangi menjadi 400 mg sehari

31 Amlodipin Penggunaan amlodipin kurang tepat, karena dosis yang seharusnya diberikan bagi penderita gangguan hepar adalah 2,5 mg sehari. Pada kasus 31, pasien mendapat 1 tablet (10 mg) amlodipin dalam sehari

Menurunkan dosis amlodipin menjadi 2,5 mg (1/4 tablet) sehari dan melakukan pengecekan tekanan darah pasien

39 Ondansetron Penggunaan ondansetron injeksi kurang tepat, karena dosis yang seharusnya diberikan pada penderita gangguan hati adalah tidak lebih dari 2 ampul (8 mg) dalam sehari. Pada kasus 39, pasien mendapat 3 ampul (12 mg) ondansetron dalam sehari

Dosis ondansetron dikurangi menjadi 4-8 mg dalam sehari


(63)

Menurut Drug Information Handbook, cefixime merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi III yang diindikasikan untuk infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh E. coli dan P. mirabilis, otitis media yang disebabkan oleh H. influenza dan S. pyogenes, faringitis karena S. pyogenes, dan gonore. Dosis yang dianjurkan adalah 400 mg sehari. Pada kasus 20, pasien menerima dosis terlalu tinggi, yaitu 1000 mg cefixime dalam sehari. Penggunaan cefixime dengan dosis terlalu tinggi dapat menyebabkan mual, muntah, dan diare, sehingga perlu dilakukan penurunan dosis cefixime.

Amlodipin adalah antihipertensi golongan antagonis kalsium. Mekanisme kerjanya adalah menghambat influks kalsium pada otot polos pembuluh darah dan miokard, kemudian mengalami metabolisme di hati (Drug Information Handbook,

2011). Pada kasus 31, pasien mengalami dosis terlalu tinggi karena amlodipin yang diterima pasien sebanyak 10 mg dalam sehari. Menurut Macleods Pharmaceuticals Limited (2012) pemakaian amlodipin dalam dosis yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan vasodilatasi perifer yang berlebihan dan kemungkinan terjadinya hipotensi sistemik yang berkepanjangan. Selain itu, diketahui pula bahwa mengalami pasien mengalami gangguan pada fungsi hati, yang dilihat dari kadar SGOT dan SGPT pasien. Akibatnya, waktu paruh eliminasi amlodipin menjadi lebih panjang, yaitu 56 jam. Hal ini cukup membahayakan pasien, sehingga perlu dilakukan pengurangan dosis amlodipin menjadi 2,5 mg amlodipin dalam sehari, kemudian dilakukan monitor pada pasien untuk mencegah terjadinya hipotensi.


(64)

Ondansetron merupakan obat antiemetik dan secara ekstensif dimetabolisme di hati oleh CYP1A2, CYP2C9, CYP2D6, dan CYP3A4 (Drug Information Handbook, 2011). Menurut Brunton, et al (2011) pasien dengan gangguan fungsi hati menyebabkan penurunan plasma clearance. Pasien pada kasus 39 mengalami gangguan pada fungsi hati, karena tingginya kadar SGOT dan SGPT. Oleh Karena itu, perlu dilakukan penyesuaian dosis, yaitu 4-8 mg ondansetron dalam sehari.

2. Interaksi Obat:

Tabel XI. Kasus interaksi obat pada pasien yang menggunakan obat gangguan sistem saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

periode Januari - Juli 2012

Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi 2, 14,

dan 35b

Antibiotik golongan

kuinolon dan kortikosteroid

Meningkatkan risiko

tendon rupture

Monitor kondisi fisik pasien setelah mengkonsumsi obat 3, 15,

dan 18a

Digoxin dan pantoprazol

Peningkatan kadar digoxin dalam darah, sehingga

menyebabkan toksisitas digoxin

Digoxin diberikan 1 jam setelah pemberian pantoprazol 12, 15, 18a, 18b, dan 35c Antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 dan furosemid

Menimbulkan risiko nefrotoksisitas, tapi interaksi yang terjadi tidak signifikan

Melakukan

pemeriksaan fungsi ginjal pasien 12, 18a, 18b, 22, dan 35c Metilprednisolon dan furosemid

Terjadinya risiko hipokalemia, tapi interaksi yang terjadi tidak signifikan

Melakukan

pemeriksaan kadar kalium darah

15 Dobutamin dan Furosemid

Terjadi risiko hipokalemia, tapi interaksi yang terjadi tidak signifikan

Melakukan

pemeriksaan kadar kalium darah


(65)

Kasus interaksi obat merupakan drug therapy problem yang bersifat potensial, dimana kejadian ini berpotensi terjadi pada pasien, namun belum terjadi pada kasus. Berdasarkan hasil penelusuran dengan Medscape, interaksi obat terjadi antara antibiotik golongan kuinolon dengan kortikosteroid dan dobutamin dengan furosemid. Interaksi antibiotik golongan kuinolon dan kortikosteroid akan meningkatkan risiko tendon rupture. Sedangkan penggunaan bersama dobutamin dan furosemid menyebabkan hipokalemia karena keduanya menurunkan kadar kalium dalam darah. Untuk menghindari kejadian interaksi ini, perlu dilakukan pemeriksaan kondisi fisik pasien untuk menghindari terjadinya tendon rupture

serta pemeriksaan kadar kalium darah. Selain itu terjadi risiko nefrotoksisitas pada penggunaan bersama antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 dengan furosemid. Interaksi yang ditimbulkan tidak signifikan, tetapi perlu dilakukan monitor terhadap pasien, yaitu fungsi ginjal ginjal pasien.

Berdasarkan drug information handbook, interaksi terjadi pada penggunaan bersama furosemid dan metilprednisolon yang dapat meningkatkan efek dari furosemid. Akibatnya terjadi hipokalemia, meskipun interaksi yang ditimbulkan tidak signifikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan monitor terhadap kadar kalium pasien.

Pemberian bersama antara digoxin dan pantoprazol dapat menyebabkan interaksi obat dengan tingkat signifikansi 4 dan onset cepat (rapid) serta tingkat keparahan rendah (minor). Interaksi kedua obat dapat menyebabkan peningkatan kadar digoxin dalam darah. Mekanisme interaksinya adalah dengan meningkatkan absorpsi digoxin (Tatro, 2007). Menurut drug information handbook, waktu paruh


(66)

eliminasi (t ½) dari pantoprazol adalah 1 jam. Waktu paruh eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi separuhnya. Ini berfungsi dalam pengaturan waktu minum digoxin dan pantoprazol. Jadi dalam pemberiaannya, pantoprazol diberikan terlebih dahulu, kemudian setelah 1 jam diberikan digoxin. Dengan adanya jeda minum obat, diharapkan tidak terjadi interaksi antar kedua obat.


(1)

Ambroxol 3 x 1 p.o 2x Ondansetron 3 x 1 ampul Injeksi √ √ 1x Novalgin® 2 x 1 ampul Injeksi √ √ 1x Daryacef® 1 x 1 g Injeksi √

Socef® 1 x 1 g Injeksi √ 2x √ Penilaian:

1. Vastigo® merupakan obat analgesik yang mengandung 6 mg betahistin mesylate dalam setiap tabletnya. Dosis yang dianjurkan 1-2 tablet 3 x sehari. Dosis yang diterima pasien sudah tepat.

2. Unalium® adalah obat vasodilator perifer, dimana dalam tiap tablet mengandung 5 mg dan 10 mg flunarizine. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/hari dosis tunggal atau 5 mg 2 x sehari, pada pagi dan malam. Pasien mendapat dosis yang tepat. 3. Allopurinol adalah obat gout dan hiperurisemia dimana dalam tiap tabletnya

mengandung 100 mg allopurinol. Dosis yang dianjurkan adalah 200-300 mg sehari. Pasien sudah mendapat dosis yang tepat.

4. Gemfibrozil merupakan obat dislipidemia dimana bentuk sediaannya adalah kapsul 300 mg. Pemakaian gemfibrozil dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

5. Proliver® merupakan suplemen untuk menunjang dan melindungi fungsi hati. Dosis yang direkomendasikan adalah 1 kaplet 2-3 x sehari. Pasien sudah mendapat dosis yang tepat.

6. GG (gliceryl guaiacolat) merupakan obat ekspektoran dimana dalam tiap tablet mengandung 100 mg GG. Dosis yang dianjurkan adalah 200-400 mg sehari. Dosis yang diterima pasien sudah tepat.

7. Ambroxol merupakan obat mukolitik. Dalam tiap tablet mengandung 30 mg ambroxol HCl. Dosis pemakaiannya adalah 3 x sehari satu tablet. Dosis yang diberikan pada pasien tepat.

8. Ondansetron merupakan obat antiemetik, dimana dalam tiap ampulnya berisi 4 mg/2 ml ondansetron. Dosis yang dianjurkan pada penderita gangguan hati adalah adalah tidak lebih dari 8 mg/hari. Jadi pasien mendapat dosis berlebih.

9. Novalgin® adalah obat analgesik non narkotik dan antipiretik yang mengandung 1 g metamizole natrium dalam setiap vial yang berisi 2 ml. Dosis yang dianjurkan adalah 2-5 ml sehari. Pasien mendapat dosis yang tepat.

10.Daryacef® merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi III. Dalam tiap vial yang berisi 1 g/2 ml cefepime HCl. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g tiap 12 jam, sehingga pasien sudah mendapat dosis yang tepat.


(2)

Lampiran 44. Komposisi Obat Dagang

1. Breathy® : natrium klorida

2. Dexanta® : alam tiap 5 ml suspense mengandung: Koloidal Al(OH)3 200 mg Mg (OH)2 200 mg, simethicone 20 mg

3. Sistenol® : parasetamol 500 mg dan n-acetylcysteine 20 mg

4. Cinula® : cinnamon extr (Cinnulin PF) 250 mg, alpha lipoic acid 300 mg, cyanocobalamin 100 mcg

5. Renapar® : K I-aspartate 300 mg dan Mg I-aspartate 100 mg

6. Astacor® : natural astaxanthin 4 mg dan omega-3 fatty acid 350 mg 7. Curcuma® : bubuk dari akar curcuma

8. Aminoral® : alpha-ketoisoleucine calcium salt 67 mg, alpha-ketoleucine calcium salt 101 mg, alpha-ketophenylalanine calcium salt 68 mg, alpha-ketovaline calcium salt 86 mg, alpha-hydroxymethionine calcium salt 59 mg, L-lysine acetate 105 mg, L-threonine 53 mg, L-tryptophan 23 mg, L-histidine 38 mg, L-tyrosine 30 mg, total nitrogen 36 mg, total calcium 50 mg

9. Aspar-K® : K I-aspartate

10.Analsik® : methampyrone 500 mg dan diazepam 5 mg

11.Bio ATP® : ATP 20 mg, vitamin B1 100 mg, vitamin B6 200 mg, vitamin B12 200 mcg, vitamin E 30 mg

12.Proliver® : curcuminoid 20 mg, silymarin phytosome 70 mg, choline bitartrate 150 mg, vitamin B6 2 mg


(3)

Lampiran 45. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta


(4)

BIOGRAFI PENULIS

Maria Fransiska Ambuk merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Thomas Ambuk dan Bernadetha Dugis. Lahir di Ruteng, Flores pada tanggal 6 Oktober 1990. Pendidikan awal dimulai di Taman Kanak-Kanak Santo Gabriel Inviolata, Ruteng, Flores pada tahun 1995-1997. Kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan di Sekolah Dasar Katolik St. Theresia Ruteng V, Ruteng, Flores pada tahun 1997-2003. Selanjutnya ke jenjang

pendidikan Sekolah Menengah Pertama di Sekolah Menengah Pertama Katolik St. Fransiskus Xaverius, Ruteng, Flores pada tahun 2003-2006. Kemudian naik ke

jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Ruteng, Flores pada tahun 2006-2009. Selanjutnya menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma dan sampai saat ini masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas sebagai anggota divisi Quality Control pada periode 2012-2013.


(5)

INTISARI

Bernapas merupakan aktivitas yang penting bagi manusia. Jika terjadi gangguan pada saluran pernapasan, akan timbul berbagai penyakit, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguan saluran pernapasan yang sering terjadi di masyarakat adalah asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), pneumonia, dan tuberkulosis (TB). Oleh karena itu, perlu dilakukan penatalaksanaan agar dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup sehingga pasien dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta terhindar dari risiko kematian.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan mengenai dosis dan interaksi obat. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari sampai Juli 2012. Data diperoleh dari lembar medik pasien selama dirawat di Rumah Sakit, kemudian dievaluasi berdasarkan referensi, yaitu Drug Information Handbook, Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug Interaction, dan MIMS Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 39 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien gangguan saluran pernapasan, yaitu 37 kasus. Ceftriaxone merupakan jenis antibiotika yang banyak dipakai. Ditemukan kejadian dosis terlalu tinggi sebanyak 3 kasus untuk obat cefixim, amlodipin, klopidogrel, dan ondansetron, serta kejadian interaksi obat sebanyak 17 kasus.


(6)

xxi ABSTRACT

Respiratory disorders vary from mild to severe. Respiratory disorders that frequently occur in society are asthma, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), pneumonia, and tuberculosis (TB). Therefore, management of respiratory disorders is needed to improve and maintain the quality of life of the patients in order to allow them to normal life without any obstacles in performing daily activities and avoid the risk of death.

This research was non experimental. The design of the research was explorative-descriptive research with retrospective. The purpose of this study was to evaluate the treatment of respiratory disorders in patients focusing on dosage and drug interactions. Data were collected at Panti Rini Hospital Yogyakarta in the period of January to July 2012. Data were taken from medical record of the hospitalized patients, and then were evaluated using the Drug Information Handbook, Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug Interaction, and MIMS Indonesia.

The results show that there are 39 cases that met the inclusion criteria. Antibiotics are a class of drugs most widely used in patients with respiratory disorders. Ceftriaxone is the most antibiotic used in this study. There are 4 cases with the dose was too high and 17 cases whith drug interactions


Dokumen yang terkait

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Juni 2016.

0 1 41

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari-Juni 2016.

0 12 56

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan sindrom koroner akut di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari-Oktober 2016.

0 1 53

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari 2015-Juni 2016.

0 0 50

Kajian interaksi obat pada peresepan pasien rawat jalan diabetes melitus di Rumah Sakit Panti Nugroho Yogyakarta periode Januari Juni 2016

0 0 39

Efektivitas pengobatan pasien gangguan saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012.

0 5 124

Penatalaksanaan gangguan saluran cerna di RS Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 : kajian kemungkinan interaksi obat dan dosis obat.

4 22 126

Efektivitas pengobatan pasien gangguan saluran pencernaan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012

1 29 122

Penatalaksanaan gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari Juli 2012 kajian dosis dan kemungkinan interaksi obat

1 28 162

Penatalaksanaan gangguan saluran cerna di RS Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 : kajian kemungkinan interaksi obat dan dosis obat - USD Repository

0 2 124