Faktor Fisik Kimia Perairan

Leiognathus sp., Lutjanus sp., Pangasius sp., Pomadasys sp., Plotosus sp., Secutor sp.,Singanus sp.,Xenentodon sp., Dikategorikan distribusi spesies secara acak random. Sedangkan Spesies yang memiliki nilai indeks distribusi berkelompok yaitu Dermogenis sp., Mugil sp., Schatophagus sp., Terapon Jarbua. Hal ini diduga karena spesies ini merupakan jenis ikan demersal yaitu ikan yang ciri-ciri hidupnya membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar dengan gerakaktivitas yang relatif rendah Kottelat Whitten, 1993, hlm: 45. Odum 1996, hlm: 574 menyatakan bahwa populasi bergerombol dengan bermacam derajat merupakan pola yang paling umum dalam populasi dan hampir merupakan aturan apabila dipandang dari sudut individu. Menurut Michael 1984, hlm: 143, bahwa bila diperoleh indeks morista bernilai 1 maka pola distribusi spesies tersebut adalah acak, bila diperoleh indeks morista bernilai 1 maka pola distribusi spesies tersebut adalah bergerombol, bila diperoleh nilai indeks morista 1 maka pola distribusi spesies tersebut adalah normal. Pola penyebaran suatu organisme bergantung pada sifat fisik-kimia lingkungan yang berupa nutrisi, substrat atau berupa faktor fisik kimia perairan tersebut. Suatu struktur komunitas alami tergantung pada cara organisme tersebar atau terpencar.

3.6 Faktor Fisik Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata faktor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel 3.6 Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian No. Parameter Satuan Stasiun I II III 1 Suhu °C 28 29 29,5 2 Penetrasi Cahaya M 1,35 1,71 2,91 3 Intensitas Cahaya Candela 485 583 496 4 Salinitas 00 27 28 28,5 5 pH - 7,5 7,7 7,8 6 DO mgl 6,5 6,1 5,6 Universitas Sumatera Utara 7 Kejenuhan Oksigen 83,87 79,84 73,87 8 BOD 5 mgl 2,5 3,1 3,4

3.6.1 Suhu Nilai Suhu yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 28 – 29,5°C,

dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun III pemukiman dan terendah sebesar 28 pada stasiun I mangrove. Tingginya suhu pada stasiun III disebabkan banyaknya aktifitas manusia.Secara keseluruhan ketiga stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan ikan.Perbedaan temperatur tersebut sangat berpengaruh terhadap aktifitas organisme akuatik di dalam air tersebut.Menurut Suin 2002, hlm: 63, bahwa berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan dari yang biasa, karena pembuangan sisa pabrik, misalnya, dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah. Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar antara 15 -30 C dan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 5 C Cahyono, 2000, hlm: 34.Menurut Sutisna Sutarmanto 1995, hlm: 49, menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan adalah antara 25 C – 35 C. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih normal dan belum membahayakan kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu air laut yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Suin 2000, hlm: 63 menjelaskan bahwa kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktifitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air Universitas Sumatera Utara dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh ditepi.

3.6.2 Penetrasi Cahaya

Nilai penetrasi cahaya yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 135 – 2,91m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 2,91 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah diperoleh pada stasiun I sebesar 1,35 m. Yang mempengaruhi penetrasi cahaya pada lapisan air adalah ada tidaknya kanopi yang menutupi perairan tersebut, misalnya terdapat pohon dipinggir suatu perairan ataupun, banyaknya cahaya yang masuk akan mempengaruhi organisme yang berada dalam suatu badan perairan.Rendahnya nilai penetrasi pada stasiun I tersebut juga disebabkan karena daerah ini merupakan daerah yang berlumpur. Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi. Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman.Kekeruhan, terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas. Kekeruhan dan kedalaman air mempunyai pengaruh terhadap jumlah dan jenis hewan akuatik Abdunnur, 2002, hlm: 13. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan.Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik kurang dari 45 cm batas pandang ikan akan berkurang Kordi, 2004,hlm: 124. Cahaya dibutuhkan oleh ikan untuk memangsa, menghindar diri dari predator atau untuk beruaya. Pada umumnya ikan berada pada daerah-daerah yang penetrasi cahayanya masih baik, sedangkan pada daerah yang gelap di mana Universitas Sumatera Utara penetrasi cahaya sudah tidak ada, hanya dihuni ikan buas atau predator yang lebih menyukai tempat gelap Choliket,2005, hlm: 54. Air yang terlalu keruh dapat menyebabkan ikan mengalami gangguan pernapasan karena insangnya terganggu oleh kotoran. Selain itu dapat menurunkan atau melenyapkan selera makan karena daya penglihatan ikan terganggu Cahyono, 2000, hlm: 153.

3.6.3 Intensitas Cahaya

Nilai intensitas cahaya yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 485 – 583 Candela.Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 583 Candela.Sedangkan intensitas cahaya terendah diperoleh pada stasiun I yaitu sebesar 485 Candela.Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun I adalah karena pada stasiun ini merupakan daerah mangrove sehingga terdapat banyak vegetasi. Menurut Barus 2004, hlm: 45, vegetasi yang ada di sepanjang aliran sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan Rifai et al, 1983, hlm: 67.

3.6.4 Salinitas

Nilai salinitas yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 27 – 28,5 00 . Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun III sebesar 28,5 00 sedangkan salinitas terendah pada stasiun I sebesar 27 00 . Tinggi rendahnya nilai salinitas pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia yang berada di Universitas Sumatera Utara kawasan tersebut yang menghasilkan limbah sehingga berdampak pada peningkatan kadar salinitas air.Di sisi lain perbedaan salinitas pada ketiga stasiun berkaitan dengan daerah penelitian ini merupakan daerah estuari, sehingga akan terjadi perubahan fluktuasi salinitas yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh pasang surutnya air. Salinitas adalah banyaknya zat terlarut dalam perairan Nybakken, 1994, hlm: 294.Zat terlarut itu meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup dan gas-gas terlarut.Salinitas yang rendah dalam air laut biasanya merupakan akibat dari percampuran dengan air sungai yaitu di muara-muara sungai Zottoli, 1983, hlm: 173.Perbedaan salinitas dalam suatu perairan dapat mempengaruhi jenis-jenis ikan yang hidup di dalamnya. Supriharyono 2000, hlm: 12-14 menyatakan bahwa muara merupakan perairan yang berhubungan bebas dengan laut sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Menurut Nybakken 1994, hlm: 296, pada daerah estuari yang terdapat aliran air tawar yang cukup memadai dan penguapan yang tidak terlalu tinggi, air tawar akan bergerak dan bercampur dengan air asin dibagian permukaan, sehingga salinitas akan turun. Kisaran ini masih sesuai dengan standar baku mutu air untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51MNLHI2004, bahwa kisaran salinitas normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah sd 34 00 MNLH, 2004.

3.6.5 pH

Nilai pH yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisarantara 7,5 -7,8. Dari hasil nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian bahwa daerah tersebut masih dapat mendukung kehidupan ikan.Secara keseluruhan kisaran nilai pH sudah dibawah standar baku mutu air untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51MNLHI2004, bahwa kisaran pH normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 6.50-8.50 Universitas Sumatera Utara MNLH, 2004. Sutrisno 1987, hlm: 34, menyatakan pH optimum berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Michael 1994, hlm: 132, menyatakan nilai pH di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kemampuan air untuk melepas atau mengikat sejumlah ion hidrogen yang menunjukkan larutan tersebut asam dan basa. pH air sangat berpengaruh terhadap organisasi air, baik tumbuhan maupun hewan yang hidup di dalamnya. pH air dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Adapun pH air yang dapat menjadikan ikan dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 6,5-9,0 Cahyono, 2000, hlm: 264. Menurut Kristanto 2002, hlm: 73, bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

3.6.6 DO

Nilai DO yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 5,6 – 6,5 mgl. DO tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 6,5 mgl, sedangkan DO terendah diperoleh pada stasiun III sebesar 5,6 mgl. Perubahan kandungan oksigen terlarut di lingkungan sangat berpengaruh terhadap hewan air. Oksigen di dalam air berguna untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Kadar oksigen terlarut di perairan yang ideal bagi pertumbuhan ikan dewasa adalah 5 mgl. Pada kisaran 4–5 mgl ikan masih dapat bertahan tetapi pertumbuhannya terhambat. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan Jubaedah, 2006, hlm: 44. Universitas Sumatera Utara Menurut Brotowidjoyo 1993, hlm: 49, kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5 – 7mgl tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh ikan baik pada suhu rendah 20 – 25 C maupun tinggi 30 C sebagai batas optimum. Kisaran kandungan oksigen terlarut pada Perairan muara sungai Asahan masih berada pada kisaran normal yang masih dapat menopang kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui KEP No-51MNLHI2004 yaitu 3 mgl MNLH, 2004.

3.6.7 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun I daerah kontrol yaitu sebesar 82 dan kejenuhan oksigen terendah terdapat pada stasiun III pemukiman penduduk yaitu sebesar 73. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dari seluruh stasiun penelitian yang dapat memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun III yang mengandung senyawa organik dari limbah pembuangan penduduk. Menurut Barus 2004, hlm: 60, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian uang dilakukan oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Seandainya pada pengukuran temperatur 13,9° C diperoleh kadar oksigen terlarut 8 mgl, maka sesuai dengan tabel pada lampiran E seharusnya kelarutan oksigen maksimum akan mencapai 10 mgl. Disini terlihat ada selisih nilai oksigen terlarut antara yang diukur 8 mgl dengan yang seharusnya dapat larut 10mgl yaitu sebanyak 2 mgl dengan nilai kejenuhan sebesar 80. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa pada lokasi tersebut telah terdapat senyawa organik pencemar yang dapat diketahui dari defisit oksigen sebesar 2 mgl. Oksigen terlarut digunakan dalam proses penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerobik. Universitas Sumatera Utara

3.6.8 BOD

5 Nilai BOD 5 yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 2,5 - 3,4 mgl. BOD 5 tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 3,4 mgl, sedangkan BOD 5 terendah diperoleh pada stasiun I sebesar 2,5 mgl. Adanya perbedaan nilai BOD 5 disetiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD 5 pada stasiun III Pemukiman Penduduk diakibatkan oleh banyaknya pencemaran organik pada lokasi tersebut sedangkan pada stasiun I yang merupakan daerah mangrove nilai BOD 5 lebih rendah yaitu sebesar 2,5 mgl. Nilai BOD5 pada perairan ini masih sesuai dengan baku mutu air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No-51MNLHI2004 bahwa nilai BOD 5 yang masih dapat menopang kehidupan biota adalah 25 mgl MNLH, 2004. Menurut Brower et al 1990, hlm: 67, bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mgl O 2 , maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mgl O 2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi. Selanjutnya Wardhana 1995, hlm: 90- 91 mengatakan bahwa peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

3.7 Analisa Korelasi