Keanekaragaman Plankton Di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat

(1)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU

SEMBILAN KECAMATAN PANGKALA

SUSU KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

MASLENA SIREGAR

060805033

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU

SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT

Kategori : SKRIPSI

Nama : MASLENA SIREGAR

NIM : 060805033

Program Studi : SARJANA (S-1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Juni 2011

Komisi Pembimbing

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M.Si. Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc. NIP 19721126 199802 2 002 NIP 19581016 198703 1 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP 19630123 199003 2 001


(3)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2011

MASLENA SIREGAR 060805033


(4)

PENGHARGAAN

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini yang berjudul ”Keanekaragaman plankton di Pulau

Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara”, yang

merupakan satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc, dan Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si M.Si sebagai Dosen Pembimbing pada penyelesaian skripsi ini, dan memberikan panduan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan kajian ini. Panduan ringkas, padat dan profesional telah diberikan kepada saya agar penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si, Ibu Dr. Suci Rahayu M.Si sebagai dosen penguji dan Ibu Kaniwa Berliani S.Si, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang membimbing penulis selama masa perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu M.Sc sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA USU serta Bapak Kiki Nurtjahja sebagai sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, Ibu Rosalina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi dan seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Dr. Sutarman M.Sc selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga berterima kasih kepada para senior dan junior serta rekan-rekan seperjuangan stambuk 2006 (leni, eva, mami iwa, indah, nikmah, ami, lia, tari, reni, vita rivo, dola, helen, christine, hilda, desmina, jean, n’ce, sari, yayan, nana, ika, kasbi, zuki, umri, sulistiadi, rudi, andri yang banyak memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini, juga terima kasih kepada Tim Lapangan: Zulfa Suza, Dian Purnamasari, Grisa Tratlira, Afridawati dan Hariadi Sirait yang banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai (W. Siregar dan Asria Murni Batubara)yang dengan sabar mendukung pendidikan saya, memberikan do’a dan kasih sayang sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini, serta abang (M. Yusuf Siregar) dan adik-adik saya M. Yasir Siregar, M. Yunus Siregar yang memberikan dukungan doa dan moril.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil penelitian ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terimakasih seemoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.


(5)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul ”Keanekaragaman Plankton di Perairan Pulau

Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

Penelitian ini dilakukan dengan metoda Purpossive Random Sampling yaitu menentukan 3 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas masyarakat yang berlangsung di daerah tersebut. Pengambilan sampel dengan 9 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman plankton. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh 6 kelas fitoplankton yang tergolong dalam 29 famili dan 40 genus serta 4 kelas zooplankton yang tergolong dalam 10 famili dan 10 genus. Kelimpahan plankton, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 272,10 ind/l (K), 5,60% (KR), dan 66,66% (FK) pada genus Ceratium. Sedangkan nilai kelimpahan plankton, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 27,21 ind/l (K), 1,02% (KR) dan 22,22% (FK) yaitu pada genus Bidulphia, Thalassiothrix dan Dytilum. Indeks Keanekaragaman (H’) plankton tertinggi pada stasiun 3 yaitu 3.535 sedangkan Indeks Keanekaragaman terendah pada stasiun 1 yaitu 2.770. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 yaitu 0.96 sedangkan indeks Keseragaman terendah pada stasiun 1 yaitu 082. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa suhu, pH, salinitas, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, BOD5, amoniak dan fosfat berkolerasi sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman (H’) plankton.

Kata Kunci : Keanekaragaman Plankton, Pulau Sembilan


(6)

PLANKTON DIVERSITY OF SEA SEMBILAN ISLAND SUBDISTRICT PANGKALAN SUSU REGENCY LANGKAT NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Have been done research with the title “Diversity of Plankton in Water Island District Nine Pangkalan Susu Langkat North Sumatra”. This research is done with the method of purpossive Random Sampling that is determine 3 research stations of pursuant difference in community activities that take place in the area. The samples with 9 replications at each research station. The purpose of this study was to see the diversity of plankton and the relationship between physical factors with the chemical diversity of plankton. From the results obtained by the identification of 6 classes of phytoplankton are classified in 29 families and 40 genera and 4 classes of zooplankton that are categorized in 10 families and 10 genera. Plankton abundance, relative abundance and the highest frequency contained in stasiun 2 presence of 272.10 ind / l (K), 5.60% (KR), and 66.66% (FK) in the genus Ceratium. While the value of plankton abundance, relative abundance and frequency of attendance at station 1 contained the lowest of 27.21 ind / l (K), 1.02% (KR) and 22.22% (FK) is the genus Bidulphia, Thalassiothrix and Dytilum. Diversity Index (H '), the highest plankton at station 3 of 3535 while the lowest diversity indices at station 1 is 2770. Uniformity Index (E) the highest at station 3 is 0.96 while the uniformity index is the lowest at station 1 082. Results of correlation analysis showed that temperature, pH, salinity, light intensity, light penetration, BOD5, ammonia and phosphate correlated very strongly to the Diversity Index (H') plankton.


(7)

DAFTAR ISI

halaman

PERSETUJUAN PERNYATAAN

PENGHARGAAN

ii iii iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 BAHAN DAN METODE 4

2.1 Metode Penelitian 4

2.2 Deskripsi Area 4

2.3 Pengambilan Sampel 6

2.4 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 7

2.5 Analisa Data 9

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

3.1 Hasil Identifikasi Plankton 12

3.2 Kelimpahan Plankton 14

3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada masing-masing stasiun

18

3.4 Indeks Similaritas 19

3.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 20

3.6 Analisa Korelasi 25

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 28

4.1 Kesimpulan 28

4.2 Saran 29


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

Tabel 2.4 Alat dan Satuan Yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

8 Tabel 3.1 Plankton Yang Ditemukan Pada Setiap Stasiun Penelitian 12 Tabel 3.2 Nilai Kelimpahan (ind/l), Kelimpahan Relatif (%), dan

Frekuensi Kehadiran (%) Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

14

Tabel 3.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Pada Masing-Masing Stasiun

18 Tabel 3.4 Nilai Indeks Similaritas Antara Stasiun Pengamatan 19 Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan Pada Masing-Masing

Stasiun Penelitian

20 Tabel 3.6 Nilai korelasi Antara Parameter Fisik Kimia Perairan

Dengan Keanekaragaman Plankton Dari Setiap Stasiun Penelitian


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman

Lampiran A Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur Kelarutan Oksigen(DO)

31 Lampiran B Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur

BOD5

32

Lampiran C Bagan Kerja Amoniak 33

Lampiran D Peta Lokasi 34

Lampiran E Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air.

35

Lampiran F Data Mentah Plankton 36

Lampiran G Foto Beberapa Plankton Yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian

42

Lampiran H Contoh Perhitungan 46

Lampiran I Data Hasil Korelasi Sistem Komputerisasi SPPS Ver. 16.00

47 Lampiran J Hasil Analisa Phosphat, Nitrat dari Pusat

Penelitian USU


(10)

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul ”Keanekaragaman Plankton di Perairan Pulau

Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara”.

Penelitian ini dilakukan dengan metoda Purpossive Random Sampling yaitu menentukan 3 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas masyarakat yang berlangsung di daerah tersebut. Pengambilan sampel dengan 9 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik kimia dengan keanekaragaman plankton. Berdasarkan hasil identifikasi yang diperoleh 6 kelas fitoplankton yang tergolong dalam 29 famili dan 40 genus serta 4 kelas zooplankton yang tergolong dalam 10 famili dan 10 genus. Kelimpahan plankton, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 272,10 ind/l (K), 5,60% (KR), dan 66,66% (FK) pada genus Ceratium. Sedangkan nilai kelimpahan plankton, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 27,21 ind/l (K), 1,02% (KR) dan 22,22% (FK) yaitu pada genus Bidulphia, Thalassiothrix dan Dytilum. Indeks Keanekaragaman (H’) plankton tertinggi pada stasiun 3 yaitu 3.535 sedangkan Indeks Keanekaragaman terendah pada stasiun 1 yaitu 2.770. Indeks Keseragaman (E) tertinggi pada stasiun 3 yaitu 0.96 sedangkan indeks Keseragaman terendah pada stasiun 1 yaitu 082. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa suhu, pH, salinitas, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, BOD5, amoniak dan fosfat berkolerasi sangat kuat terhadap Indeks Keanekaragaman (H’) plankton.

Kata Kunci : Keanekaragaman Plankton, Pulau Sembilan


(11)

PLANKTON DIVERSITY OF SEA SEMBILAN ISLAND SUBDISTRICT PANGKALAN SUSU REGENCY LANGKAT NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Have been done research with the title “Diversity of Plankton in Water Island District Nine Pangkalan Susu Langkat North Sumatra”. This research is done with the method of purpossive Random Sampling that is determine 3 research stations of pursuant difference in community activities that take place in the area. The samples with 9 replications at each research station. The purpose of this study was to see the diversity of plankton and the relationship between physical factors with the chemical diversity of plankton. From the results obtained by the identification of 6 classes of phytoplankton are classified in 29 families and 40 genera and 4 classes of zooplankton that are categorized in 10 families and 10 genera. Plankton abundance, relative abundance and the highest frequency contained in stasiun 2 presence of 272.10 ind / l (K), 5.60% (KR), and 66.66% (FK) in the genus Ceratium. While the value of plankton abundance, relative abundance and frequency of attendance at station 1 contained the lowest of 27.21 ind / l (K), 1.02% (KR) and 22.22% (FK) is the genus Bidulphia, Thalassiothrix and Dytilum. Diversity Index (H '), the highest plankton at station 3 of 3535 while the lowest diversity indices at station 1 is 2770. Uniformity Index (E) the highest at station 3 is 0.96 while the uniformity index is the lowest at station 1 082. Results of correlation analysis showed that temperature, pH, salinity, light intensity, light penetration, BOD5, ammonia and phosphate correlated very strongly to the Diversity Index (H') plankton.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Bumi kita sebagian besar terdiri dari lingkungan akuatik yaitu ± 75%. Lingkungan akuatik ini sangat besar pengaruhnya terhadap lingkungan daratan yang berbatasan dan memegang peranan penting dalam siklus materi kimia. Perairan laut sangat beragam sebaran geografis, kedalaman serta sifat fisik-kimianya. Perairan laut ditandai oleh tingkat salinitas >32 0/00 serta kedalamannya hingga 11.000 m. Arus, pasang surut air, angin serta dasar laut yang tidak rata menyebabkan gerakan air laut terutama di permukaan. Secara umum perairan laut dibagi sebagai zona fotik (lapisan air yang mendapat sinar matahari) dan zona afotik yaitu lapisan air dengan sinar matahari tidak dapat menembus. Zona fotik dapat mencapai kedalaman 200 m, tergantung turbiditas air (Soemarwoto, 1990).

Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002). Faktor fisik kimia lingkungan terutama unsur hara nitrat dan fosfat sangat berpengaruh pada pertumbuhan plankton. Jika terjadi pencemaran oleh kedua unsur tersebut dapat mengakibatkan peledakan jumlah populasi plankton tertentu yang biasa mengeluarkan zat toksik kedalam perairan. (Wibisono, 2005).

Pulau Sembilan merupakan nama salah satu desa yang berada digugusan pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan secara administrasi terletak di kecamatan Pangkalan, Susu Kabupaten Langkat. Desa ini dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat hingga pelabuhan penyeberangan


(13)

di pangkalan susu yang terletak sekitar 90 km dari kota Medan. Luas Pulau Sembilan 15,65 km2. Di Pulau ini terdapat hutan mangrove. Kondisi air tanah masih cukup baik dimana tidak ditemukan adanya air sumur yang asin atau terkena intrusi air laut (BPS, 2010).

Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar Perairan Pulau Sembilan antara lain : kegiatan rumah tangga, pertambakan ikan dapat mengubah faktor fisik-kimia perairan secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan mempengaruhi keberadaan plankton di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya juga akan mempengaruhi biota air lainnya. Keragaman jenis merupakan parameter yang digunakan dalam mengetahui suatu komunitas. Parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu komunitas (Pirzan & Pong-Masak, 2008). Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul: “Keanekaragaman

plankton di Perairan Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat”.

1.2Permasalahan

Berbagai aktivitas yang berlangsung di Perairan Pulau Sembilan seperti kegiatan rumah tangga (mandi, cuci dan kakus) dan pertambakan ikan yang mengakibatkan perubahan faktor fisik-kimia perairan yang berdampak pada keanekaragaman plankton di kawasan perairan Pulau Sembilan. Sejauh ini belum diketahui bagaimanakah keanekaragaman plankton di Perairan Pulau Sembilan dan hubungan keanekaragaman dengan faktor fisik-kimia perairan.


(14)

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui keanekaragaman plankton di Perairan Pulau Sembilan.

b. Untuk mengetahui hubungan keanekaragaman plankton dengan faktor fisik kimia di Perairan Pulau Sembilan.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman plankton pada tiga lokasi pengamatan di Perairan Pulau Sembilan.

b. Terdapat hubungan atau korelasi antara faktor fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman plankton di Perairan Pulau Sembilan.

1.5Manfaat

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman jenis plankton di Perairan Pulau Sembilan.

b. Memberikan informasi yang berguna bagi berbagai pihak yang membutuhkan data mengenai kondisi lingkungan di Perairan Pulau Sembilan.


(15)

BAB 2

BAHAN DAN METODA

2.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Mei 2010 di Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Perairan ini banyak dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas antara lain: sumber air untuk kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK), tempat pertambakan ikan, dan sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel adalah “Purpossive Random Sampling” dengan menentukan tiga stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 9 kali ulangan pengambilan sampel.

2.2 Deskripsi Area

Pulau Sembilan terletak di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, yang secara geografis terletak pada 04º 08’ 01,0” LU dan 98º 15’ 08,6” BT sampai 04º 08’ 18,4” LU dan 98º 14’ 50,5” BT. Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat. Luas Desa Pulau Sembilan adalah 1.565 Ha atau 10,34% dari luas Pangkalan Susu. Di Pulau Sembilan ini terdapat beberapa aktivitas masyarakat seperti hutan mangrove, pertambakan dan pemukiman penduduk.


(16)

a. Stasiun 1

Stasiun ini merupakan daerah kontrol dengan vegetasi dominan mangrove (Gambar 1). Secara geografis terletak pada 04º 08’ 01,0” LU dan 98º 15’ 08,6” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir berlumpur.

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel pada stasiun 1 (merupakan daerah kontrol)

c. Stasiun 2

Stasiun ini merupakan wilayah yang banyak dijumpai keramba ikan dan area pemukiman masyarakat setempat (Gambar 2). Secara geografis terletak pada 04º 07’ 27,7” LU dan 98º stasiun 212’ 46,3” BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa batuan dan pasir berlumpur.

Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel pada stasiun 2 (Merupakan daerah pertambakan ikan)


(17)

c. Stasiun 3

Stasiun ini terdapat di wilayah pemukiman masyarakat (Gambar 3). Secara geografis terletak pada 04º 08’ 18,4” LU dan 98º 14’ 50,5” BT. Subtrat dasar pada lokasi ini berupa batu dan pasir.

Gambar 3. Lokasi pengambilan sampel pada stasiun 3 (Merupakan daerah pemukiman penduduk)

2.3 Pengambilan Sampel

Sampel air dari permukaan diambil dengan menggunakan ember kapasitas 5 liter sebanyak 25 liter, kemudian dituang kedalam plankton net. Sampel plankton yang terjaring akan terkumpul dalam bucket yang selanjutnya dituang kedalam botol film dan diawetkan menggunakan lugol sebanyak 3 tetes dan diberi label.

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU. Sampel diamati dengan menggunakan mikroskop dan selanjutnya di identifikasi dengan menggunkan buku identifikasi Edmoson (1963), Bold & Wyne (1989) dan Streble Krauter (1988).


(18)

2.4 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Temperatur (ºC)

Temperatur air diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan kedalam sampel air selama lebih kurang 10 menit. Kemudain dibaca skala pada termometer tersebut.

b. Penetrasi cahaya (m)

Pengukuran penetrasi cahaya dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan ke dalam badan air hingga tidak terlihat lagi dari permukaan, kemudian diukur panjang tali yang masuk kedalam air.

c. Salinitas

Pengukuran salinitas dengan menggunakan alat refrakto meter, Kemudian diambil sampel air sebanyak 1 tetes kemudian ditetesi pada permukaan alat refrakto meter, dilihat batas akhir pada skala.

d. Intensitas Cahaya

pengukuran intensitas cahaya dengan menggunakan lux meter yang diletakkan kearah datangnya cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut.

e. pH (Derajat keasaman)

Pengukuran pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil. Kemudian dibaca angka konstan yang tertera pada pH meter tersebut.


(19)

f. DO (Disolved Oxygen)

Pengukuran DO diukur dengan menggunakan metode Winkler, yaitu dengan memasukkan sampel air kedalam botol winkler, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir. (Lampiran A).

g. BOD5

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode Winkler. Sampel air diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC kemudian diukur nilainya dengan metode winkler dimana nilai BOD5 didapat dari pengurangan DO awal – DO akhir (Lampiran B).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik – Kimia Perairan

No Parameter

Fisik – Kimia Satuan Alat

Tempat Pengukuran

1. Suhu Air °C Termometer In-situ

2. pH - pH meter In-situ

3. Salinitas 0/00 Refraktometer In-situ 4. Intensitas Cahaya Candela Luxmeter In-situ 5. Penetrasi Cahaya M Keping Sechii In-situ 6. DO (Oksigen Terlarut) mg/l Metoda Winkler In-situ

7. BOD5 mg/l Metoda Winkler Laboratorium

8. Kejenuhan Oksigen % - In-situ

9. Amoniak mg/l Spektrofotometri Laboratorium 10 Phosfat Mg/l Spektrofotometri Laboratorium


(20)

2.5 Analisis Data

Data plankton yang diperoleh dihitung nilai kelimpahan populasi, kelimpahan relatif, frekuensi kehadiran, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks similaritas dan analisis korelasi dengan persamaan menurut Michael (1984), Brower et

al., dan Krebs (1985) sebagai berikut:

a. Kelimpahan Plankton (K)

K =

W x 0,0196 P x V ind/L

di mana : v = volume bucket (60 ml)

P= jumlah individu suatu spesies /ulangan W= banyaknya air yang disaring (25 L)

b. Kelimpahan Relatif (KR)

KR = K total spesies setiap dalam K jumlah

x 100 %

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

ulangan Total spesies suatu ditempati yang ulangan Jumlah

dimana nilai FK : 0 – 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang

50 – 75% = sering

> 75% = sangat sering

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’)


(21)

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener Pi = proporsi spesies ke –i

ln = logaritma Nature

pi =

ni /N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

0 < H´ < 2,302 = keanekaragaman rendah 2,302 < H´ < 6,907 = keanekaragaman sedang H´ > 6,907 = keanekaragaman tinggi

Nilai indeks diversitas (H’) dihubungkan dengan tingkat pencemaran: >2,0 = tidak tercemar

1,6<H’<2,0 = tercemar ringan 1,0<H’<1,6 = tercemar sedang <1,0 = tercemar berat

e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

E =

max '

H H

Dimana nilai E :

0-1 atau mendekati 1 = penyebaran merata dan keseragaman rendah < 1 = penyebaran tidak merata dan keseragaman tinggi H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner

H max = keanekaragaman spesies maximum = ln S (dimana S banyaknya genus)

f. Indeks Similaritas (IS)

IS =

b a

c

+ 2

dimana :

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B


(22)

Bila: IS = 75 - 100% : sangat mirip IS = 50 - 75% : mirip

IS = 25 - 50 % : tidak mirip

IS = ≤ 25 % : sangat tidak mirip

g. Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan =

DO(t) DO(u)

x 100%

dimana: DOu = Nilai oksigen terlarut hasil pengukuran

DOt = Nilai oksigen maksimum yang disesuaikan dengan suhu

h. Analisis Korelasi

Analisis Korelasi Pearson merupakan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik kimia air dengan nilai keanekaragaman plankton. Uji korelasi tersebut dilakukan dengan metode komputerisasi menggunakan SPSS versi 16.0.

Menurut sugiyono (2005), tingkat hubungan nilai Indeks korelasi dinyatakan sebagai berikut:

Internal Koefisien Tingkat Hubungan

0,00 – 0,199 sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat


(23)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Klasifikasi Plankton

Dari hasil identifikasi plankton yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian di Perairan Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat diperoleh berbagai jenis fitoplankton dan zooplankton dengan klasifikasi dan keberadaan jenis seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Klasifikasi dan Jenis Plankton yang Ditemukan Pada Tiga Lokasi Stasiun Penelitian

KELOMPOK/KELAS ORDO FAMILI GENUS STASIUN

1 2 3 Fitoplankton

1. Ascomycetes Endomycetales 1. Lagenidiaceae 1. Anguillospora + + +

2. Bacillariophyceae Bacillariales 2. Achanthaceae 2. Gyrosigma - + +

3. Bacteriastraceae 3. Bacteriastrum + + -

4. Bidulphiaceae 4. Bidulphia + + +

5. Eucampia + - +

5. Chaetoceraceae 6. Chaetoceros + + +

7. Rhizosolenia + + +

6. Corethronaceae 8. Thalassiosira - + +

7. Coscinodiscaceae 9. Coscinodiscus - + +

8. Diatoma 10. Asterionella + - +

11. Tabellaria + + +

12. Thalassiothrix + + -

13. Thalasionema - + +

9. Melosinaceae 14. Stephanopyxis + - -

10. Naviculaceae 15. Mastoglota - - +

16. Navicula + + -

17. Pleurosigma - + +

11. Nitzschiaceae 18. Ditylum + + +

19. Nitzschia - - +

12. Rhizosoleniacea 20. Rizoclonium + + -

13.Surirelaceae 21. Campylodiscus - + +

22. Surirella + + -


(24)

3. Chlorophyceae Chlorococchales 15. Mesotaniaceae 24. Gonatozygon + - +

16. Microchiniaceae 25. Setigera + + -

17. Nesmidicaceae 26. Closterium + - -

18. Oocystaceae 27. Closteridium + + +

28. Dactilococcus - + +

19. Raphiophyceae 29. Raphidiophrys + + +

20. Rhizochrysidaceae 30. Gitricha + + -

21. Ulothrichascaceae 31. Ulothrix - + +

4. Chyanophyceae Oscillatoriales 22. Oscillatoriaceae 32. Beggiota + + +

Ceratiaceales 23. Ceratiaceae 33. Cerataulina + + +

Volvocales 24. Volvocaceae 34. Tetraspora + + +

35. Volvox - + +

Zygnematales 25. Zygnemataceae 36. Geminetta + + -

5. Dinophyceae Gonyaulacales 26. Ceraticaceae 37. Ceratium - - +

27. Dinophyceae 38. Dinophysis + + +

28. Mesotamiaceae 39. Cylindocystis - + -

29. Rhizosolemaceae 40. Rhizosolema + + +

Jumlah 27 30 29

Zooplankton

1. Brachiopoda Cladocera 30. Acinetidae 41. Thecucineta + + +

31. Bosminidae 42. Bosmina + + +

2. Maxillopoda Cyclopoida 32. Cyclopidae 43. Diacyclops - + +

33. Didnidae 43. Pronodon - - +

34. Halopepidae 45. Latonopsis - + +

Clamidylobacteriales 35. Eubacteria 46. Cerotrix + + +

36. Chromonadae 47. Distephanus - - -

37. Diaptomidae 48. Diaptomus - + +

38. Elidiaptomidae 49. Elidiaptomus + - -

Monogonanta 39. Dicranophoridae 50. Rotaria - + +

Jumlah 4 7 8

Jumlah keseluruhan 31 37 37

Keterangan: (+) = ditemukan, (-) = tidak ditemukan

Dari Tabel 3.1 diketahui bahwa pada seluruh stasiun penelitian ditemukan 5 kelas fitoplankton yang tergolong dalam 29 famili, 8 ordo dan 40 genus serta 2 kelas zooplankton yang tergolong dalam 10 famili, 4 ordo dan 10 genus. Keberadaan jumlah fitoplankton lebih banyak dibandingkan dengan zooplankton. Hal ini disebabkan oleh salinitas yang relatif tinggi di perairan Pulau Sembilan, yaitu berkisar antara 27-28,5‰. Menurut Sachlan (1972) dalam Dianthani (2003), fitoplankton yang hidup pada kisaran


(25)

salinitas diatas 20‰ sebagian besar merupakan plankton dari kelompok Bacillariophyceae, keadaan demikian juga berkaitan dengan kondisi perairan yang mendukung ketersediaan unsur hara. Yudilasmono (1996) dalam Asril (1999), menyatakan bahwa Bacillariophyceae lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan merupakan kelompok fitoplankton yang disenangi oleh ikan dan larva udang. Berdasarkan jumlah jenis plankton yang banyak ditemukan adalah pada stasiun 3 (29 jenis fitoplankton dan 8 jenis zooplankton) dan stasiun 2 (30 jenis fitoplankton dan 7 jenis zooplankton). Sedangkan pada stasiun 1 (kontrol) didapatkan 27 jenis fitoplankton dan 4 jenis zooplankton. Kepadatan zooplankton disuatu perairan lotik (mengalir) lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Oleh karena itu umumnya zooplankton banyak ditemukan diperairan yang mempunyai kecepatan arus rendah serta kekeruhan air yang sedikit (Barus, 2004).

3.2 Kelimpahan Plankton (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton Pada Masing-Masing Stasiun Pengamatan

Dari hasil analisis data jumlah individu plankton diperoleh nilai Kelimpahan (ind/l), Kelimpahan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) plankton pada masing-masing stasiun penelitian, seperti terlihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Nilai Kelimpahan (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton yang didapatkan Pada Masing-masing

Stasiun Penelitian

No Taksa

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 K (ind/L) KR

(%)

FK (%)

K (ind/L) KR (%)

FK (%)

K (ind/L) KR (%)

FK (%) Fitoplankton

1. Anguillospora 81,63 3,07 44,44 163,2 3,36 66,66 108,84 2,63 55,55

2. Gyrosigma - - - 81,63 1,68 44,44 149,65 3,62 66,66

3. Bacteriastrum 81,63 3,07 55,55 68,02 1,40 55,55 - - -

4. Biddulphia 27,21 1,02 22,22 68,02 1,40 44,44 68,02 1,64 33,33

5. Eucampia 108,84 4,10 66,66 - - - 122,44 2,96 55,55

6. Chaetoceros 136,05 5,12 44,44 217,68 4,48 55,55 95,23 2,30 66,66

7. Rhizosolenia 68,02 2,56 44,44 108,84 1,96 44,44 68,02 1,64 33,33

8. Thalassiosira - - - 81,63 2,24 55,55 136,05 3,29 66,66

9. Coscinodiscus - - - 190,47 3,91 66,66 122,44 2,96 55,55


(26)

11. Tabellaria 95,23 3,59 44,44 108,84 2,24 55,55 95,23 2,30 66,66

12. Thalassiothrix 27,21 1,02 22,22 95,23 1,96 33,33 - - -

13. Thalasionema - - - 136,05 2,80 44,44 81,63 1,97 55,55

14. Stephanopyxis 40,81 1,53 33,33 - - - -

15. Mastoglota - - - 108,84 2,63 77,77

16. Navicula 95,23 3,59 44,44 95,23 1,96 33,33 - - -

17. Pleurosigma - - - 122,44 2,52 44,44 95,23 2,30 55,55

18. Ditylum 27,21 1,02 22,22 81,63 1,68 44,44 163,26 33,95 77,77

19. Nitzschia - - - 81,63 1,97 44,44

20. Rizoclonium 108,84 4,10 22,22 108,84 2,24 66,66 - - -

21. Campylodiscus - - - 122,44 2,52 55,55 108,84 2,63 55,55

22. Surirella 68,02 2,56 44,44 122,44 2,52 44,44 - - -

23. Thalassiosina 136,05 5,12 44,44 - - - 176,87 4,28 77,77

24. Beggiota 81,63 3,07 33,33 54,42 1,20 22,22 108,84 2,63 55,55

25. Cerataulina 81,63 3,07 22,22 68,02 1,40 22,22 136,05 3,29 66,66

26. Gonatozygon 54,42 2,05 44,44 - - - 108,84 2,63 55,55

27. Setigera 40,81 1,53 22,22 81,63 1,68 33,33 - - -

28. Closterium 190,04 7,16 55,55 - - - -

29. Closteridium 176,87 6,66 44,44 163,26 3,36 66,66 108,84 2,63 66,66

30. Dactilucoccus - - - 136,05 2,80 55,55 68,02 1,64 66,66

31. Raphidiophrys 95,23 3,59 44,44 122,44 2,52 55,55 136,05 3,29 66,66

32. Gitricha 136,05 5,12 55,55 95,23 1,96 55,55 - - -

33. Ulothrix - - - 217,68 4,48 44,44 149,65 3,62 77,77`

34. Tetraspora - - - 122,44 2,52 66,66 122,44 2,96 44,44

35. Volvox - - - 163,26 3,36 55,55 95,23 2,30 44,44

36. Geminetta 40,81 1,53 22,22 122,44 2,52 66,66 - - -

37. Ceratium - - - 272,10 5,60 66,66 122,44 2,96 66,66

38. Dinophysis 68,02 2,56 33,33 149,65 3,08 66,66 136,05 3,29 55,55

39. Cylindocystis - - - 81,63 1,68 44,44 - - -

40. Rhizosolema 68,02 2,56 22,22 81,63 1,68 44,44 95,23 2,30 44,44

Jumlah 2244,35 84,63 3918,11 79,56 3292,34 77,98

Zooplankton

41. Thecucineta 54,42 2,05 33,33 95,23 1,96 66,66 122,44 2,96 66,66

42. Diacyclops - - - 149,65 3,08 44,44 95,23 2,30 55,55

43. Pronodon - - - 136,05 3,29 55,55

44. Bosmina 108,84 4,10 33,33 122,44 2,52 66,66 95,23 2,30 66,66

45. Latonopsis - - - 149,65 3,08 66,66 54,42 1,31 44,44

46. Cerothrix 122,44 4,61 33,33 108,84 2,24 55,55 95,23 2,30 33,33

47. Distephanus - - - 122,44 2,96 55,55

48. Diaptomus - - - 136,05 2,80 55,55 108,84 2,63 66,66

49. Elidiaptomus 122,44 4,61 33,33 - - - -

50. Rotaria - - - 81,63 2,80 33,33 81,63 1,97 22,22

Jumlah 408,14 15,37 938,72 20,44 911,51 22,02


(27)

Dari Tabel 3.2 diperoleh total keseluruhan kelimpahan plankton di stasiun 1 sebesar 2652,49 ind/l dan di stasiun 2 diperoleh total keseluruhan kelimpahan plankton sebesar 4856,83 ind/l. Sedangkan di stasiun 3 diperoleh total keseluruhan plankton sebesar 4203,85ind/l. Tingginya kelimpahan plankton di stasiun tersebut disebabkan karena banyaknya ketersedian nutrisi, stasiun ini merupakan daerah pertambakan ikan. Menurut Barus (2004, hlm: 73) proses penguraian bahan organik dalam air yang berasal dari pembuangan limbah, melalui proses biodegradasi akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis alaga dan fitoplankton lainnya.

Nilai kelimpahan plankton, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi dari ketiga stasiun penelitian terdapat pada stasiun 2 sebesar 272,10 ind/l (K), 5,60% (KR), dan 66,66% (FK) yaitu pada genus Ceratium. Sedangkan nilai kelimpahan plankton, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran terendah dari ketiga stasiun penelitian terdapat pada stasiun 1 sebesar 27,21 ind/l (K), 1,02% (KR) dan 22,22% (FK) yaitu pada genus Bidulphia, Thalassiothrix dan Dytilum. Hal ini disebabkan karena kandungan DO yang tinggi yaitu sebesar 5,7 mg/L (Tabel 3.5). Menurut Soediarti et al., (2006) dalam Fachrul et al., (2008) menyatakan bahwa ketidakseimbangan lingkungan akibat dari pencemaran akan memunculkan organisme yang dominan dan tidak dominan dalam suatu komunitas perairan.

Genus Stephanopyxis, Closterium, dan Elidiaptomus hanya terdapat pada stasiun I Hal ini karena kondisi lingkungan seperti suhu yang normal yaitu 28oC dan salinitas yang rendah 27‰ (Tabel 3.5) sesuai untuk pertumbuhan genus-genus tersebut. Menurut Hutabarat & Evans (1985), suhu di lautan adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan plankton, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisma maupun perkembangan dari organisme. Selanjutnya menurut Gosari (2002), hampir semua organisme laut dapat hidup pada daerah yang mempunyai salinitas rendah, salinitas yang normal untuk kehidupan organisme laut adalah bekisar antara 30-35‰.

Genus Cylindocystis hanya terdapat pada stasiun 2. Hal ini karena kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya yang sangat tinggi 562 Candela (Tabel 3.5). Menurut


(28)

Romimohtarto & Juwana (2001), hlm: 54), banyaknya cahaya yang menembus permukaan air dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis.

Genus Mastoglota, Nitzschia, Prodon, Dislephanus hanya terdapat pada stasiun 3. Hal ini disebabkan kadar unsur hara yaitu fosfat yang tinggi 0,032 mg/l (Tabel 3.5). Genus-genus ini tidak terdapat pada stasiun I dan 2 karena kelarutan oksigen yang rendah sehingga pertumbuhan plankton tersebut menjadi terhambat. Menurut Nybakken (1988) banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi.

3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan indeks (E) Masing-Masing Stasiun Penelitian

Indeks Keanekaragaman (H’) dan indeks (E) yang diperoleh pada masing-masing stasiun seperti pada Tabel 3.3

Tabel 3.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Indeks Keanekaragaman (H’) 2.770 3.260 3.535

Indeks Keseragaman (E) 0.82 0.88 0.96

Dari Tabel 3.3 diatas diperoleh nilai keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 3.535. Pada stasiun 3 kondisi faktor fisik kimia perairan mendukung bagi pertumbuhan plankton. Kejenuhan oksigen sebesar 73,54 serta faktor fisik kimia lain di duga sangat mendukung kelangsungan hidup plankton (Tabel 3.5). Keanekaragaman terendah pada stasiun 1 sebesar 2.770. Stasiun ini merupakan daerah kontrol. Hal ini dipengaruhi oleh nilai BOD yang rendah yaitu sebesar 2,7 mg/L. Ketiga stasiun penelitian dapat di kategorikan mengalami pencemaran pada tingkat tercemar sedang.


(29)

Menurut Krebs (1985), keanekaragaman rendah bila 0 < H’ < 2,30, keanekaragaman sedang bila 2,302 < H’ < 6,907 keanekaragaman tinggi bila H’> 6,907, dapat disimpulkan bahwa perairan Pulau Sembilan mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Menurut Begon et al., (1986), nilai diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat pencemaran yaitu apabila nilai H’<1 tercemar berat, apabila nilai 1<H<3 tercemar sedang dan apabila nilai H’>3 tidak tercemar/bersih.

Indeks keseragaman pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara 0.82-0.96 berarti penyebaran individu cukup merata. Apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi plankton menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata, dari ketiga stasiun penelitian di kategorikan penyebaran merata dan keseragaman rendah.

3.4 Indeks Similaritas

Dari hasil analisis data diperoleh nilai indeks similaritas antara stasiun pengamatan cukup bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 3.4

Tabel 3.4 Nilai Indeks Similaritas (IS)

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Stasiun 1 - 65.71% 55.88%

Stasiun 2 - - 76.92%

Stasiun 3 - - -

Dari Tabel 3.4 di atas dapat dilihat bahwa nilai Indeks Similaritas (IS) yang dikategorikan sangat mirip diperoleh antara stasiun 2 dengan stasiun 3 (76,92%), sedangkan antara stasiun 1 dengan stasiun 2, dan antara stasiun 1 dengan stasiun 3 tergolong mirip (55,88% dan 65,71%). Hal ini disebabkan karena kondisi beberapa faktor


(30)

fisik kimia (Tabel 3.5) antara stasiun-stasiun penelitian tersebut cukup mirip dan memiliki jumlah dan jenis yang tidak jauh berbeda.

Menurut Krebs (1985, hlm: 525), Indeks Similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan plankton yang hidup di beberapa tempat yang berbeda. Apabila semakin besar Indeks Similaritasnya, maka jenis plankton yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesamaan plankton antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor fisik-kimia dan biologi lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.

3.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Hasil pengukuran dan analisis laboratorium terhadap faktor fisik-kimia perairan yang diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan seperti pada Tabel 3.5

Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun

1 2 3

1. Suhu °C 28 29 30

2. pH - 7,3 7,5 7,8

3. Salinitas 0/00 27 27,5 28

4. Intensitas Cahaya Candela 473 562 497

5. Penetrasi Cahaya M 2,51 1,96 2,64

6. DO Mg/l 5,7 4,6 4,2

7. BOD5 Mg/l 2,7 3,1 3,3

8. Kejenuhan O2 % 73,54 60,20 55,77

9. Amoniak Mg/l 0,428 0,432 0,508

10. Phosphat Mg/l 0,026 0,030 0,032

Keterangan:

a. Stasiun 1 : Kontrol

b. Stasiun 2 : Pertambakan Ikan c. Stasiun 3 : pemukiman penduduk


(31)

3.5.1 Suhu

Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 28-29 oC, dengan suhu tertinggi pada stasiun 3 yaitu 30oC (daerah pemukiman penduduk) dan terendah pada stasiun 1 yaitu 28 oC (daerah kontrol). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Efendi (2003) dalam Yuliana (2007) bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan plankton di perairan adalah 20-30oC.

Menurut Subarijanti (1990), suhu ini memungkinkan badan air untuk mengikat oksigen bebas dari udara secara optimal. Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air, juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton.

3.5.2 pH

Dari penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH (derajat keasaman) yang tertinggi sebesar 7,8 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 7,3. Tingginya pH pada daerah ini disebabkan oleh adanya berbagai macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang selanjutnya akan mengalami penguraian. Namun secara keseluruhan pH pada stasiun penelitian masih tergolong normal yang berkisar antara 7,3-7,8.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 73-74), niali pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah (buangan) berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju kondisi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian.


(32)

3.5.3 Salinitas

Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 27-280/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 3 sebesar 28 0/00, sedangkan nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 1 sebesar 27 0/00. Hal ini disebabkan karena banyaknya limbah pemukiman masyarakat yang dapat meningkatkan kadar garam tersebut.

Menurut Barus (2004, hlm: 73) Secara alami kandungan garam terlarut dalam air meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi pada hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Proses penguraian bahan organik dalam air, yang berasal dari pembuangan limbah cair misalnya, melalui proses biodegredasi akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis alga dan fitoplankton lain. Hal ini akan menyebabkan kadar garam terlarut terlarut dalam air akan mengalami fluktuasi sesuai dengan fluktuasi dari populasi fitoplankton dan fluktuasi dari jumlah bahan organik yang ada dalam air. Toleransi dari organisma air terhadap kadar salinitas dapat dibedakan antara stenohalin, yaitu organisme yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap fluktuasi salinitas, sedangkan euryhalin adalah organisme yang mempunyai air yang mempunyai toleransi yang luas/besar terhadap fluktuasi salinitas air.

3.5.4 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terhadap di stasiun 2 (keramba ikan) yaitu 562 Candela. Pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi olah awan.


(33)

Menurut Suin (2002), prinsip penentuan kecerahan air dengan menggunakan keping sechii adalah berdasarkan batas pandangan kedalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh suatu perairan, akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih, akan jauh batas pandangan tersebut. (tarumingkeng, 2001) antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan. Ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman.

3.5.5 Penetrasi Cahaya

Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 1,96-2,64 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 3 (daerah pemukiman penduduk) sebesar 2,64 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 (daerah pertambakan ikan) sebesar 1,96 m.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 99), padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas. Menurut Agusnar (2007, hlm: 16), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

3.5.6 DO (Disolved Oxygen)

Dari Hasil pengukuran dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut antara 4,2-5,7 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada stasiun 1 sebesar 5,7 mg/l. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tumbuhan air pada stasiun ini yang mensuplai


(34)

oksigen dari hasil fotosintesis dan suhu yang tidak terlalu tinggi pada stasiun ini sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen yang terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 4,2 mg/l. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan organik yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan tingginya suhu serata rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 85), oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk.

3.5.7 BOD5 (Biological Oxygen Demand)

BOD5 (Biological Oxygen Demand) yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa BOD yang tertinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 3,3 mg/l. Hal ini disebabkan karena banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. BOD terendah terdapat pada stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 2,2 mg/l.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 87) BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar (2007, hlm: 22), bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan-bahan-bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber


(35)

seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya.

3.5.8 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 1 sebesar 73,54% dan terendah pada stasiun 3 sebesar 55,77%. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1 memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dan respirasi meningkat dari seluruh stasiun penelitian yang dapat memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih rendah.

Menurut Barus (2004, hlm: 60), Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/L, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam suatu contoh air yang diukur.

3.5.9 Amoniak

Dari data pada tabel 3.5 menunjukan bahwa hasil pengukuran amoniak berkisar antara 0,428-0,508 mg/l. Nilai kandungan amoniak tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,0508 mg/l. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini limbah domestik yang masuk kebadan perairan banyak mengandung senyawa anorganik dibandingkan senyawa organik. Sedangkan kandungan amoniak terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,428 mg/l. Banyaknya senyawa organik dapat dilihat dari nilai BOD.


(36)

Menurut barus (2004, hlm: 69), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang bisa mematikan organisme air.

3.5.10 Kadar Phosfat

Dari tabel 3.5 diperoleh hasil pengukuran phosfat berkisar antara 0,026-0,032 mg/l. Dari data tersebut diperoleh nilai phosfat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,032 mg/l. Hal ini dikarenakan pada stasiun 3 merupakan lokasi pembuangan limbah domestik. Sedangkan nilai phosfat terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,026 mg/l. Hal ini karena pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol (tanpa aktivitas) sehingga tidak ada masukan nutrisi dari luar yang dapat mempengaruhi kandungan phosfat pada stasiun ini.

3.6 Analisis Korelasi

Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan keanekaragaman plankton dengan metoda komputerisasi SPSS ver. 16.00 dapat dilihat pada tabel 3.6.

Tabel 3.6 Nilai Korelasi Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan Dengan Keanekaragaman Plankton Dari Setiap Stasiun Penelitian

Suhu pH Salinitas Intensitas Penetrasi DO BOD5 Kejenuhan O2 Amoniak Phosphat

+0.987 +0.962 +0.987 +0.412 +0.020 -0.995 +1.000 -0.993 +0.802 +1.000 Keterangan: - = korelasi negatif (berlawanan)

+ = korelasi positif (searah)

Dari Table 3.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara beberapa faktor fisik kimia perairan terhadap Indeks Keanekaragaman (H’). Suhu berkorelasi positif searah dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton, dimana semakin tinggi suhu maka indeks keanekaragaman juga semakin tinggi, dan sebaliknya.


(37)

pH berkolerasi positif dan searah dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton, dimana semakin tinggi pH maka indeks keanekaragaman akan semakin rendah, dan sebaliknya. pH berpengaruh pada setiap kehidupan organisme, namun setiap organisme mempunyai batas toleransi yang bervariasi terhadap pH perairan. Toleransi masing-masing jenis terhadap pH juga sangat dipengaruhi faktor lain seperti suhu dan oksigen terlarut. pH yang tinggi akan menyebabkan kematian bagi organisme tertentu yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap pH. Menurut Handayani & Patria (2005) kenaikan pH pada perairan akan menurunkan konsentrasi CO2 terutama pada siang hari ketika proses fotosintesis sedang berlangsung.

Salinitas berkolerasi positif dan searah dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton, dimana semakin tinggi salintias maka indeks keanekaragaman akan semakin rendah, dan sebaliknya. Akibat respirasi dari plankton akan menyebabkan kadar garam air meningkat. Menurut Barus (2004), secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila populasi fitoplankton menurun.

BOD5 berkorelasi positif dan searah dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton, dimana semakin tinggi BOD5 maka indeks keanekaragaman akan semakin rendah, dan sebaliknya. Jika suatu perairan sudah tercemar oleh senyawa organik maupun anorganik maka mikroorganisme membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa-senyawa tersebut. Dan perairan yang sudah tercemar berkaitan dengan BOD5, tingginya nilai BOD5 menunjukkan tingkat pencemaran didaerah perairan tersebut tinggi sehingga tidak sesuai untuk kehidupan plankton. Menurut Kristanto (2002) jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

Amoniak berkorelasi positif dan searah dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton, dimana semakin tinggi amoniak maka indeks keanekaragaman akan semakin rendah, dan sebaliknya. Apabila dalam suatu perairan mengandung amoniak yang tinggi akan menyebabkan kematian bagi plankton. Menurut Wardhana (1990) pada umumnya perairan di lingkungan tercemar kandungan oksigennya rendah. Hal itu karena oksigen


(38)

yang terlarut diserap oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan buangan organik sehingga bahan buangan yang mudah menguap (amoniak). Makin banyak buangan dalam air makin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut didalamnya.

Fosfat berkolerasi positif dan searah dengan indeks keanekaragaman (H’) plankton, dimana semakin tinggi fosfat maka indeks keanekaragaman akan semakin rendah. Fosfat merupakan salah satu unsur hara yang terpenting untuk kehidupan plankton dan apabila kadungan fosfat dalam suatu perairan berlebih maka dapat menyebabkan ledakan populasi fitoplankton. Menurut Barus (2004) peningkatan unsur hara berupa fosfat akan meningkatkan pertumbuhan berbagai jenis tumbuhan air yang sangat cepat sehingga terjadi ledakan populasi yang sering disebut dengan blooming.


(39)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap keanekargaman plankton yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Plankton yang ditemukan pada seluruh stasiun penelitian adalah 5 kelas fitoplankton yang terdiri dari 29 famili, 8 ordo dan 40 genus serta 2 kelas zooplankton yang terdiri dari 10 famili, 4 ordo dan 10 genus.

b. Nilai kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 pada genus Ceratium sebesar 272,10 ind/l dan nilai kelimpahan plankton terendah terdapat pada stasiun 1 pada genus Biddulphia, Thalassiothrix dan Ditylum sebesar 27,21 ind/l.

c. Indeks keanekaragaman berkisar 2,770-3.535 tergolong pada stasiun yang memiliki keanekaragaman sedang.

d. Indeks keseragaman berkisar 0.82-0.96 tergolong pada penyebaran merata dan keseragaman rendah.

e. Suhu, pH, salinitas, intensitas, penetrasi, BOD5, amoniak dan phosphate berkorelasi sangat kuat terhadap indeks keanekaragaman plankton.

4.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan terhadap keanekaragam plankton berdasarkan perbedaan musim hujan dan musim kemarau untuk melihat persebaran kelimpahan plankton berdasarkan musim.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Agusnar, G. & Sri, S. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. hlm: 16-22.

BPS, 2010. Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Barus. T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU-Press. hlm: 69-116.

Bold, H. C dan M.J. Wayne. 1985. Introduction To Algae. Second Edition, Prenticeahal, Inc. Engglewood Clitts, New Jersey 07632. USA.

Brower, J. E., H. Z. Jerrold & Car. I. N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods

for General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher. USA. New York.

Edmondson, W. T. 1963. Fres Water Biologi. Second Edition. New York: Jhon Wiley & Sons, Inc.

Fachrul, M. F., Ediyono. H. S & Wulandari, M. 2008. Komposisi dan Model Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai Ciliwung, Jakarta. Biodiversitas. 9(4).

Gosari, B. 2002. Skripsi Komposisi Jenis Fitoplankton Berbahaya di Sekitar Pelabuhan Soekarno-Hatta. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Handayani, S & M. P. Patria. 2005. Komunitas Zooplankton di Perairan Waduk Krenceng, Cilegon, Banten. Makara Sains. 9(2).

http://ptigah.wordpress.com/2009/06/02/kondisi-umum-aras-napal-dan pulau Sembilan. Isnansetyo, A & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.

Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Krebs, C. J. 1985. The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Third Edition. New york: Happer & Row Publisher. hlm: 523.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Penerbit ANDI. hlm: 73-87.

Michael, P. 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta Universitas Indonesia Press.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia. hlm: 41.

Pennak, R.W.1978. Freshwater Invertebrates of The United States. 2nd.ed. A Willey Interscience Public. Jhon Willey and Sons. New York


(41)

Pirzan, A. M & Pong-Masak. R. P. 2008. Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air di Pulau Bauluang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Biodiversitas. 9(3). hlm: 217.

Sarwono. 2006. Diakses 09 Oktober 2010. Teori Analisis Korelasi Mengenal Analisis Korelasi.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. hlm : 85-99.

Soegianto, A. 2005. Ilmu Lingkungan Sarana Menuju Masyarakat Berkelanjutan. Surabaya : Penerbit Airlangga University Press.

Soemarwoto. I. 1990.Biologi Umum 2. Jakarta: Gramedia. hlm: 73-76.

Subarijanti, H. U. 1990. Diktat Kuliah Limnology. NUFFIC/UNIBRAW/LUW/FISH. Malang: Universitas Brawija. hlm: 45.

Sugiyono. 2005. Analisis Statistik-Korelasi Linier Sederhana. Diakses Tanggal 12 Desember 2010.

Suin, N. 2002. Metoda Ekologi. Padang: Penerbit Universitas Andalas. hlm: 118.

Tarumingkeng, R. C. 2001. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Peredupan

Intensitas Cahaya Matahari Pada Kolam Air di Daerah Pasir kole, Waduk IR. H. Juanda Purwakarta. Jawa Barat. Makalah Palsafah Sains (PPs 702). Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit ANDI. hlm: 90.

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. hlm: 66.


(42)

Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO

Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOH KI Dikocok Didiamkan

Sampel Endapan Putih/Cokelat

1 ml H2SO4 Dikocok Didiamkan

Larutan Sampel Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Ditetesi Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum

Sampel Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai

Hasil


(43)

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

dihitung nilai DO akhir diinkubasi selama 5 hari pada temperatur 20°C

dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air


(44)

(45)

LAMPIRAN D. PETA LOKASI

Keterangan :

a. Stasiun 1 : Kontrol

b. Stasiun 2 : Pertambakan Ikan c. Stasiun 3 : Pemukiman Penduduk


(46)

Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai Besaran Temperatur Air.

T˚C 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81 1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44 2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08 3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74 4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41 5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09 6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79 7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50 8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22 9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95 10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70 11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45 12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22 13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00 14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78 15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58 16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39 17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20 18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03 19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86 20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 58,73 8,71 8,70 21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55 22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40 23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26 24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13 25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00 26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88 27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76 28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65 29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54 30 7,53 7,52 7,51 7,50 7,48 7,47 7,46 7,45 7,44 7,43


(47)

Lampiran F. Data Mentah Plankton Stasiun 1

No Taksa U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 Total

Fitoplankton

I. Ascomycetes

A. Lagenidiaceae

1.Anguillospora 2 - 2 1 - 1 - - - 6

II. Bacillariophyceae

B. Achanthaceae

2.Gyrosigma - - - -

C. Bacteriastraceae

3. Bacteriastrum 1 1 - - 2 - 1 - 1 6

D. Biddulphiaceae

4. Biddulphia - 1 - - - 1 - - - 2

5. Eucampia 1 2 - 1 - 1 - 2 1 8

E. Chaetoceraceae

6. Chaetoceros 6 - - 1 - - 2 - 1 10

Rhizosoleniaceae

7. Rhizosolenia - 2 1 - - 1 - - 1 5

F. Corethronaceae

8. Thalassiosira - - - -

G. Coscinodiscaceae

9. Coscinodiscus - - - -

H. Fragilariaceae

10. Asterionella - 2 - 1 - - 2 - 3 8

11. Tabellaria - - - - 1 - - - 1 2

12. Thalassiothrix - - - -

13. Thalasionema

I. Melosinaceae

14. Stephanopyxis 1 - - 1 - - - - 1 3

J. Naviculaceae

15. Mastoglota - - - -

16. Navicula 2 - 2 - - - 2 - 1 7

17. Pleurosigma - - - -

K. Nitzschiaceae

18. Ditylum - - - - 1 - - 1 - -

19. Nitzschia - - - -

L. Rhizosoleniaceae

20.Rizoclonium - - 2 - - - - 6 - 8

M. Surirelaceae

21. Campylodiscus - - - -

22. Surirella 2 - - 1 1 - - - 1 5

N. Thalassiosinaceae

23. Thalassiosina - - - -

III. Chyanophyceae

O. Oscilatoriaceae

24. Beggiatoa - - 2 - - 3 - - 1 6

P. Ceratiaceae

25. Cerataulina 5 - - - 1 6

IV. Chlorophyceae

Q. Mesotaniaceae

26. Gonatozygon 1 - - 1 - - 1 - 1 4


(48)

27. Setigera - - - 2 - 1 3

S. Desmidicaceae

28. Closterium 5 - - 3 - 4 - 1 1 14

T. Oocystaceae

29. Closteridium 3 - 4 - - 5 - 1 - 13

30. Dactilococus - - - -

U. Raphiophyceae

31. Raphidiophrys 2 - 2 - - 3 - - 1 7

V. Rhizochrysidaceae

32. Gitricha 4 - 2 - 2 - 1 1 - 10

W. Ulothrichascaceae

33. Ulothrix - - - -

Pytomastigophorea

X. Volvocaceae

34. Tetraspora - - - -

35. Volvox - - - -

Y. Zygnemataceae

36. Geminetta 1 - - - 2 - - - - 3

V. Dinophyta

Z. Ceraticaceae

37. Ceratium - - - -

A. Dinophyceae

38. Dinophysis 2 - - 1 - - 2 - - 5

B. Mesotamiaceae

39. Cylindocystis - - - -

C. Rhizosolemaceae

40. Rhizosolema - - 3 - - - 2 - - 5

Zooplankton VI. Ciliata

D. Acinetidae

41. Thecucineta 1 - - 1 - - - 2 - 4

E. Cyclopidae

42. Diacyclops - - - -

F. Didnidae

43. Pronodon - - - -

VII. Cladocera

G. Bosminadae

44. Bosmina 3 - - 2 - - 3 - - 8

H. Halopepidae

45. Latonopsis - - - -

VIII. Clamidylobacteriales

I. Eubacteria

46. Cerotix 3 - - 2 - - 4 - - 9

J. Chromonadae

47. Distephanus - - - -

K. Diaptomidae

48. Diaptomus - - - -

L. Elidiaptomidae

49. Elidiaptomus 4 - - 2 - - - 3 - 9

IX. Monogonanta

M. Dicranophoridae

50. Rotaria - - - -


(49)

Data Mentah Plankton Stasiun 2

No Taksa U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 Total

Fitoplankton

I. Ascomycetes

A. Lagenidiaceae

1.Anguillospora 2 1 1 - - 4 - 2 2 12

II. Bacillariophyceae

B. Achanthaceae

2.Gyrosigma - 1 - 2 1 - 2 - - 6

C. Bacteriastraceae

3. Bacteriastrum 1 - - 1 1 - 1 - 1 5

D. Biddulphiaceae

4. Biddulphia - - - 1 2 - 1 - 1 5

5. Eucampia - - - -

E. Chaetoceraceae

6. Chaetoceros 8 - 2 2 - 3 - - 1 16

7. Rhizosolenia 3 - - 1 - 2 - - 1 7

F. Corethronaceae

8. Thalassiosira 2 - 2 - 1 1 - - 2 8

G. Coscinodiscaceae

9. Coscinodiscus 6 - 3 1 2 - 1 - 1 14

H. Fragilariaceae

10. Asterionella - - - -

11. Tabellaria 4 1 1 - - 1 1 - - 8

12. Thalassiothrix 3 - - - 2 - - 2 - 7

13. Thalasionema 3 2 - - - - 2 - 3 10

I. Melosinaceae

14. Stephanopyxis - - - -

J. Naviculaceae

15. Mastoglota - - - -

16. Navicula 2 - 4 - 1 - - - - 7

17. Pleurosigma 4 - - 1 - - 2 - 2 9

K. Nitzschiaceae

18. Ditylum 3 - 1 - 1 - 2 - - 6

19. Nitzschia - - - -

L. Rhizosoleniaceae

20.Rizoclonium 2 1 1 2 - - 1 - 1 8

M. Surirelaceae

21. Campylodiscus 3 - 2 - 2 1 - - 1 9

22. Surirella 5 - 2 - 1 - 1 - - 9

N. Thalassiosinaceae

23. Thalassiosina - - - -

III. Chyanophyceae

O. Oscilatoriaceae

24. Beggiatoa 1 1 1 - - - - 1 - 4

P. Ceratiaceae

25. Cerataulina 3 - - 2 - - - 5

IV. Chlorophyceae

Q. Mesotaniaceae

26. Gonatozygon - - - -


(50)

27. Setigera 2 3 1 - - - 6

S. Desmidicaceae

28. Closterium - - - -

T. Oocystaceae

29. Closteridium 4 - 3 - 2 - 1 1 1 12

30. Dactilococus 2 2 - - 2 - 3 - 1 10

U. Raphiophyceae

31. Raphidiophrys 1 2 - 2 - 2 - 2 - 9

V. Rhizochrysidaceae

32. Gitricha 1 1 - - - 1 2 2 - 7

W. Ulothrichascaceae

33. Ulothrix 4 - 6 - - 2 - 4 - 16

X. Volvocaceae

34. Tetraspora 2 2 - 2 - - 1 1 1 9

35. Volvox 4 - 3 3 - 1 1 - - 12

Y. Zygnemataceae

36. Geminetta 2 1 2 - 2 - 1 - 1 9

V. Dinophyta

Z. Ceraticaceae

37. Ceratium 6 - 6 - - 4 2 1 1 20

A. Dinophyceae

38. Dinophysis 2 - 2 - 3 - 2 1 1 11

B. Mesotamiaceae

39. Cylindocystis 2 2 - - 1 1 - - - 6

C. Rhizosolemaceae

40. Rhizosolema 3 - - 1 - - - 1 1 6

Zooplankton VI. Ciliata

D. Acinetidae

41. Thecucineta 1 1 2 - - - 1 1 1 7

E. Cyclopidae

42. Diacyclops 4 - 4 - - - 2 - 1 11

F. Didnidae

43. Pronodon - - - -

VII. Cladocera

G. Bosminadae

44. Bosmina 4 - 1 1 1 - - 1 1 9

H. Halopepidae

45. Latonopsis 3 - 2 - - 3 1 1 1 11

VIII. Clamidylobacteriales

I. Eubacteria

46. Cerotix 3 2 - - 1 - 1 1 - 8

J. Chromonadae

47. Distephanus - - - -

K. Diaptomidae

48. Diaptomus 2 2 - - 3 - - 2 1 10

L. Elidiaptomidae

49. Elidiaptomus - - - -

IX. Monogonanta

M. Dicranophoridae

50. Rotaria 3 1 - - 2 - - - - 6


(51)

Data Mentah Plankton Stasiun 3

No Taksa U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 Total

Fitoplankton

I. Ascomycetes

A. Lagenidiaceae

1.Anguillospora 2 3 1 1 - - 1 - - 8

II. Bacillariophyceae

B. Achanthaceae

2.Gyrosigma 3 4 1 - - 1 1 - 1 11

C. Bacteriastraceae

3. Bacteriastrum - - - -

D. Biddulphiaceae

4. Biddulphia 3 - - 1 - 1 - - - 5

5. Eucampia 2 3 2 1 1 - - - - 9

E. Chaetoceraceae

6. Chaetoceros 1 - 2 1 1 - 1 1 - 7

7. Rhizosolenia 2 - 2 - 1 - - - - 5

F. Corethronaceae

8. Thalassiosira 3 2 2 1 - - 1 - 1 10

G. Coscinodiscaceae

9. Coscinodiscus 4 - 2 - 1 - - 1 1 9

H. Fragilariaceae

10. Asterionella 2 2 - 1 1 - 1 1 1 9

11. Tabellaria 1 2 1 1 1 - 1 - - 7

12. Thalassiothrix - - - -

13. Thalasionema 1 - 1 2 1 1 - - - 6

I. Melosinaceae

14. Stephanopyxis - - - -

J. Naviculaceae

15. Mastoglota 2 1 1 - - 1 1 1 1 8

16. Navicula - - - -

17. Pleurosigma 1 1 - - 2 1 2 - - 7

K. Nitzschiaceae

18. Ditylum 3 2 1 - - 1 1 2 2 12

19. Nitzschia 2 2 1 - - 1 - - - 6

L. Rhizosoleniaceae

20.Rizoclonium - - - -

M. Surirelaceae

21. Campylodiscus 3 2 1 - - - - 1 1 8

22. Surirella - - - -

N. Thalassiosinaceae

23. Thalassiosina 1 1 1 - 2 - 4 3 1 13

III. Chyanophyceae

O. Oscilatoriaceae

24. Beggiatoa 2 - 1 - 2 - - 2 1 8

P. Ceratiaceae

25. Cerataulina 2 - 3 - 2 - 1 1 1 10

IV. Chlorophyceae

Q. Mesotaniaceae

26. Gonatozygon 1 1 - 3 - 2 - 1 - 8


(52)

27. Setigera - - - -

S. Desmidicaceae

28. Closterium - - - -

T. Oocystaceae

29. Closteridium 2 2 1 1 - - 1 - 1 8

30. Dactilococus 1 1 1 1 - - 1 - - 5

U. Raphiophyceae

31. Raphidiophrys 1 - 3 2 - 1 1 - 2 10

V. Rhizochrysidaceae

32. Gitricha - - - -

W. Ulothrichascaceae

33. Ulothrix 4 - 1 2 1 1 - 1 1 11

X. Volvocaceae

34. Tetraspora 2 - 2 - - - - 3 2 9

35. Volvox 3 2 1 - 1 - - - - 7

Y. Zygnemataceae

36. Geminetta - - - -

V. Dinophyta

Z. Ceraticaceae

37. Ceratium 2 - 2 2 - - 1 1 1 9

A. Dinophyceae

38. Dinophysis 3 - 2 1 - - 2 2 - 10

B. Mesotamiaceae

39. Cylindocystis - - - -

C. Rhizosolemaceae

40. Rhizosolema 2 2 - 2 - 1 - - - 7

Zooplankton VI. Ciliata

D. Acinetidae

41. Thecucineta 2 1 1 - 1 2 - 1 1 9

E. Cyclopidae

42. Diacyclops 3 - 1 1 1 - - 1 - 7

F. Didnidae

43. Pronodon 4 - 1 2 2 1 - - - 10

VII. Cladocera

G. Bosminadae

44. Bosmina 1 - 1 2 - 1 1 1 - 7

H. Halopepidae

45. Latonopsis 1 - 1 - 1 - 1 - - 4

VIII. Clamidylobacteriales

I. Eubacteria

46. Cerotix 3 2 2 - - - 7

J. Chromonadae

47. Distephanus 1 2 3 - - 1 1 - 1 9

K. Diaptomidae

48. Diaptomus 1 1 - 2 1 1 2 - - 8

L. Elidiaptomidae

49. Elidiaptomus - - - -

IX. Monogonanta

M. Dicranophoridae

50. Rotaria 4 2 - - - 6


(53)

Lampiran G. Foto Beberapa Plankton yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian

Coscinodiscus sp. Ceratium sp.


(54)

Rhizosolenia Biddulphia


(55)

Diaptomus Nitzschia sp.

Navicula sp. Thalassiothrix sp.


(56)


(57)

Lampiran H. Contoh Perhitungan Plankton

K = P . V 0,0196 X W

= 6/9 . 60 ml = 81,63 ind/m2 0,0196 X 25 liter

KR = Kepadatan suatu spesies x 100 % Jumlah kepadatan seluruh jenis

= 81,63 X 100% 2652,49

= 3,07 %

FK = Jumlah plot yang ditempati suatu jenis x 100 %

total plot

= 4 X 100 % = 44,44 % 9

H’ = −∑ pi ln pi

= −∑ (6/195 ln 6/195) + (2/195 ln 2/195) + (8/195 ln 8/195) + (10/195 ln 10/195) + (5/195 ln 5/195) + (8/195 ln 8/195) + (7/195 ln 7/195) + (2/195 ln 2/195) + (3/195 ln 3/195) + (7/195 ln 7/195) + (2/195 ln 2/195) + (8/195 ln 8/195) + (5/195 ln 5/195) + (10/195 ln 10/195) + (6/195 ln 6/195) + (6/195 ln 6/195) + (4/195 ln 4/195) + (3/195 ln 3/195) + (14/195 ln 14/195) + (13/195 ln 13/195) + (7/195 ln 7/195) + (10/195 ln 10/195) + (5/195 ln 5/195) + (5/195 ln 5/195) (4/195 ln 4/195) + (8/195 ln 8/195) (9/195 ln 9/195) + (9/195 ln 9/195)

= 102,375 H maksimum = ln 29

= 3.367

E = H’ Hmaksimum

= 2.77 = 0,822 3,367


(1)

27. Setigera - - - -

S. Desmidicaceae

28. Closterium - - - -

T. Oocystaceae

29. Closteridium 2 2 1 1 - - 1 - 1 8

30. Dactilococus 1 1 1 1 - - 1 - - 5

U. Raphiophyceae

31. Raphidiophrys 1 - 3 2 - 1 1 - 2 10

V. Rhizochrysidaceae

32. Gitricha - - - -

W. Ulothrichascaceae

33. Ulothrix 4 - 1 2 1 1 - 1 1 11

X. Volvocaceae

34. Tetraspora 2 - 2 - - - - 3 2 9

35. Volvox 3 2 1 - 1 - - - - 7

Y. Zygnemataceae

36. Geminetta - - - -

V. Dinophyta

Z. Ceraticaceae

37. Ceratium 2 - 2 2 - - 1 1 1 9

A. Dinophyceae

38. Dinophysis 3 - 2 1 - - 2 2 - 10

B. Mesotamiaceae

39. Cylindocystis - - - -

C. Rhizosolemaceae

40. Rhizosolema 2 2 - 2 - 1 - - - 7

Zooplankton VI. Ciliata

D. Acinetidae

41. Thecucineta 2 1 1 - 1 2 - 1 1 9

E. Cyclopidae

42. Diacyclops 3 - 1 1 1 - - 1 - 7

F. Didnidae

43. Pronodon 4 - 1 2 2 1 - - - 10

VII. Cladocera

G. Bosminadae

44. Bosmina 1 - 1 2 - 1 1 1 - 7

H. Halopepidae

45. Latonopsis 1 - 1 - 1 - 1 - - 4

VIII. Clamidylobacteriales

I. Eubacteria

46. Cerotix 3 2 2 - - - 7

J. Chromonadae

47. Distephanus 1 2 3 - - 1 1 - 1 9

K. Diaptomidae

48. Diaptomus 1 1 - 2 1 1 2 - - 8

L. Elidiaptomidae

49. Elidiaptomus - - - -

IX. Monogonanta

M. Dicranophoridae


(2)

Lampiran G. Foto Beberapa Plankton yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian


(3)

Rhizosolenia

Biddulphia


(4)

Diaptomus

Nitzschia sp.


(5)


(6)

Lampiran H. Contoh Perhitungan Plankton

K

= P . V

0,0196 X W

= 6/9 . 60 ml = 81,63 ind/m

2

0,0196 X 25 liter

KR

= Kepadatan suatu spesies x 100 %

Jumlah kepadatan seluruh jenis

= 81,63

X 100%

2652,49

= 3,07 %

FK

= Jumlah plot yang ditempati suatu jenis

x 100 %

total plot

= 4 X 100 %

= 44,44 %

9

H’ =

−∑ pi ln pi

=

−∑ (6

/195 ln 6/195) + (2/195 ln 2/195) + (8/195 ln 8/195) + (10/195 ln 10/195)

+ (5/195 ln 5/195) + (8/195 ln 8/195) + (7/195 ln 7/195) + (2/195 ln 2/195) +

(3/195 ln 3/195) + (7/195 ln 7/195) + (2/195 ln 2/195) + (8/195 ln 8/195) + (5/195

ln 5/195) + (10/195 ln 10/195) + (6/195 ln 6/195) + (6/195 ln 6/195) + (4/195 ln

4/195) + (3/195 ln 3/195) + (14/195 ln 14/195) + (13/195 ln 13/195) + (7/195 ln

7/195) + (10/195 ln 10/195) + (5/195 ln 5/195) + (5/195 ln 5/195) (4/195 ln

4/195) + (8/195 ln 8/195) (9/195 ln 9/195) + (9/195 ln 9/195)

= 102,375

H maksimum = ln 29

= 3.367