2.1.3 Kebiasaan makan
Larva kepiting bakau memakan plankton. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting yang baru menetas biasanya hanya
mengkonsumsi fitoplankton. Setelah beberapa lama, larva tersebut cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya Sara et al. 2006. Adapun kepiting
muda menyukai udang dan moluska terutama kerang-kerangan Wiliams 1978, diacu dalam
Fujaya 1996. Kepiting dewasa tidak memilih-milih jenis makanan. Setelah dewasa kepiting bakau memakan segala jenis bangkai omnivorous
scavenger . Kepiting dewasa memakan kulit kodok, ikan rucah, isi perut binatang,
siput, kerang-kerangan dan tiram Chen 1976, diacu dalam Fujaya 1996. Aktivitas pencarian makanan yang dilakukan oleh kepiting bakau
berlangsung pada malam hari, sehingga hewan ini dikelompokkan ke dalam hewan nokturnal. Jarak yang dapat ditempuh kepiting bakau ketika mencari
makanan mencapai 219-910 m. Pada saat matahari akan terbit, kepiting bakau akan membenamkan diri kembali ke dalam lumpur.
2.1.4 Daur hidup kepiting bakau
Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan bakau. Kepiting betina secara berangsur-angsur -- sesuai dengan perkembangan telurnya
-- akan beruaya ke laut untuk memijah. Sebaliknya, kepiting muda akan beruaya ke pantai atau muara sungai untuk mencari makanan dan perlindungan Le Reste
1976, diacu dalam Tossin 1992. Sara et al. 2006 menyatakan bahwa keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan kualitas perairan tersebut,
karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan. Daur hidup kepiting bakau dan larva kepiting disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Sumber: Kanna 2002
Gambar 4 Daur hidup kepiting.
Sumber: Davey 2000
Gambar 5 Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting zoea dan megalopa.
Kepiting muda pada tingkat juvenil sulit terlihat di perairan hutan bakau. Hal ini dikarenakan kepiting memiliki kecenderungan untuk membenamkan diri
di dalam lumpur. Selain itu, kepiting muda lebih menyukai tempat-tempat
terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan creek, di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau Heasman 1980
diacu dalam Tossin 1992. Kepiting jantan dewasa biasanya tetap berada di
perairan bakau atau estuari. Kepiting banyak ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur, atau pada tempat yang banyak terdapat makanannya.
2.2 Bubu 2.2.1 Deskripsi
Bubu diklasifikasikan ke dalam kelompok perangkap dan penghadang atau traps and guiding barriers
. Jenis alat tangkap ini pada umumnya dikenal dengan nama fish pots atau fish basket Von Brandt 2005. Bubu merupakan alat tangkap
yang dipasang secara pasif Sudirman dan Mallawa 2000; Baskoro dan Effendy 2005. Organisma yang menjadi tujuan tangkapannya adalah jenis-jenis organisma
non ikan dan ikan. Jenis-jenis organisma non ikan terdiri atas kepiting dan udang, sedangkan jenis-jenis ikan meliputi ikan demersal, ikan karang, ikan hias dan ikan
terbang Puspito 2009. Konstruksi bubu dirancang agar mudah dimasuki oleh organisma air, tetapi
sulit untuk membebaskan diri Sudirman dan Mallawa 2000. Bagian-bagian utamanya terdiri atas badan bubu, rangka, mulut, tempat umpan, dan pintu untuk
mengeluarkan hasil tangkapan Slack and Smith 2001. Pada umumnya, jumlah pintu masuk pada bubu sebanyak 1 atau 2 buah Von Brandt 2005.
Bentuk bubu bermacam-macam, diantaranya adalah tabung silinder, tabung segi banyak, kubah setengah lingkaran Slack and Smith 2001, kerucut, kubus,
dan balok Monintja dan Martasuganda 1991. Bentuk umum bubu yang digunakan oleh nelayan Indonesia adalah kubah, prisma segitiga dan tabung
silinder Subani dan Barus 1989. Bubu dapat dioperasikan pada tempat-tempat dimana jenis alat tangkap lain
tidak dapat dioperasikan. Misalnya daerah berkarang, celah karang, lubang-lubang di antara bebatuan, perairan yang sangat dalam, atau perairan dengan pantai
berupa tebing yang tinggi dan terjal Puspito 2009. Pengoperasiannya, menurut Sudirman dan Mallawa 2000, dilakukan dengan cara dipasang secara menetap di
dalam air pada jangka waktu tertentu. Bubu dapat dipindahkan dari satu tempat ke
tempat lain dengan mudah, baik menggunakan perahu maupun tanpa menggunakan perahu Von Brandt 2005.
Menurut lokasi pemasangannya, bubu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bubu yang dipasang di dekat pantai inshore potting dan jauh
dari pantai offshore potting Sainsbury 1996. Rinciannya adalah: 1 Bubu yang dipasang di dekat pantai inshore potting
Lokasi pemasangan bubu biasanya di daerah estuari, pantai, dan teluk. Kedalaman perairan tempat bubu ini dipasang berkisar antara 1,8-75 m.
Karakteristik bubu inshore potting adalah berukuran kecil dan ringan, sehingga dapat dioperasikan menggunakan perahu yang berukuran kecil. Jumlah nelayan
yang mengoperasikannya sebanyak 1 - 2 orang. 2 Bubu yang dipasang jauh dari pantai offshore potting
Bubu yang termasuk offshore potting berukuran lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan bubu inshore potting. Perahu yang digunakan berukuran
besar dan dilengkapi dengan perlengkapan yang mendukung operasi penangkapan di laut lepas. Bubu yang termasuk ke dalam kelompok ini
dioperasikan hingga kedalaman perairan 900 m atau lebih. Selanjutnya Sainsbury 1996 menambahkan bahwa menurut metode
pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu: 1 Sistem tunggal
Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal dilakukan dengan cara bubu dipasang satu per satu di dasar perairan. Bubu biasanya diberi pemberat agar
posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali.
2 Sistem rawai Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai
bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu
dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan
bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir dilakukan setelah seluruh bubu selesai dipasang.
2.2.2 Konstruksi bubu lipat
Bubu lipat yang umum digunakan terdiri atas dua macam, yaitu berbentuk balok dan kubah Gambar 6. Keduanya biasa digunakan untuk menangkap
rajungan Archdale 2006. Adapun bubu lipat yang biasa digunakan untuk menangkap kepiting bakau berbentuk balok.
Bagian-bagian bubu lipat diantaranya adalah rangka bubu, badan bubu, mulut bubu, pengunci, dan tempat umpan. Rangka bubu terbuat dari besi dengan
diameter ø 0,4 mm. Besi yang digunakan merupakan jenis besi yang tidak mudah berkarat. Adapun badan bubu biasanya terbuat dari jaring polyethylene
PE dengan ukuran mata 4 cm Jirapunpipat 2008. Mulut bubu pada bubu berbentuk balok berupa celah, sedangkan pada bubu kubah berbentuk corong
dengan diameter 15 cm Archdale et al. 2007. Bubu lipat memiliki dimensi yang berbeda di beberapa negara. Menurut
Archdale et al. 2007, bubu lipat di Jepang memiliki dimensi panjang 63 cm × lebar 46 cm × tinggi 18 cm. Adapun bubu lipat berbentuk kubah memiliki
dimensi panjang 73 cm × lebar 53 cm × tinggi 27 cm. Menurut Jirapunpipat 2008, bubu lipat di Thailand berdimensi panjang 40 cm × lebar 27 cm ×
tinggi 12 cm.
a b
Sumber: Archdale et al. 2007 Gambar 6 Bubu berbentuk balok a dan kubah b.
2.2.3 Umpan