Bentuk dan bukaan mulut bubu 1 Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat standar nelayan

diperbesar dengan cara meningkatkan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu. Berdasarkan hasil penelitian sudut kemiringan, sudut α = 20, 40 dan 60 o tidak dapat menghambat pergerakan kepiting. Seluruh kepiting dapat melewati lintasan dengan ketiga sudut tersebut. Dengan demikian, ketiga sudut tersebut dapat digunakan untuk membuat bubu. Berdasarkan hasil pengamatan, sudut α = 20 dan 60 o sebaiknya tidak digunakan. Sudut α = 20 o terlalu rendah meskipun paling mudah dilalui oleh kepiting. Selain itu, pintu masuk bubu mudah tertutup lumpur. Adapun sudut α = 60 o terlalu tinggi, sehingga perancangan pintu masuk bubu agak sulit dilakukan. Lintasan masuk bubu dengan sudut kemiringan α = 60 o lebih sulit dilalui oleh kepiting dibandingkan dengan α = 20 dan 40 o . Berdasarkan pengamatan, kenampakan umpan oleh kepiting menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepiting masuk kedalam bubu. Kepiting akan lebih cepat mendekati umpan yang terlihat, sehingga sudut lintasan α = 60 o sebaiknya tidak dipakai karena menghalangi penglihat kepiting terhadap umpan. Oleh karena itu, sudut yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembuatan lintasan masuk mulut bubu adalah 40 o .

4.1.3 Bentuk dan bukaan mulut bubu 1 Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat standar nelayan

Bubu lipat yang digunakan nelayan untuk menangkap kepiting bakau memiliki konstruksi yang hampir sama dengan bubu lipat di beberapa negara. Secara umum bubu lipat berbentuk balok. Bubu dengan konstruksi ini banyak digunakan di Jepang Vay 2001, Thailand Jirapunpipat 2008 dan di Indonesia, misalnya di Desa Mayangan Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang Iskandar dan Rusdi 2011. Ukuran bubu lipat bervariasi pada setiap daerah. Bubu lipat yang ada di Thailand memiliki dimensi 40 × 27 × 12 p×l×t cm Jirapunpipat 2008. Adapun bubu lipat di Indonesia memiliki 3 ukuran yang berbeda, yaitu ukuran kecil 40 × 25 × 15 cm, sedang 45 × 28 × 18 cm, dan besar 50 × 30 × 20 cm. Bubu lipat standar yang digunakan oleh nelayan memiliki bukaan mulut berbentuk celah Gambar 21. Celah tersebut memiliki bukaan yang tidak standar untuk setiap bubu. Beberapa bubu memiliki celah yang cukup elastis, sehingga mudah untuk terbuka. Beberapa lainnya memiliki celah dengan kekenduran yang rendah sehingga sulit terbuka. Berdasarkan hasil pengamatan laboratorium, bentuk mulut bubu standar yang berupa celah akan menyulitkan kepiting untuk memasuki bubu. Kepiting yang merayap melalui dinding pengarah bubu akan sedikit-demi sedikit berpindah ke bagian tengah celah mulut bubu. Hal ini dikarenakan, bagian tersebut memiliki bukaan mulut yang paling besar dibandingkan dengan bagian sisi-sisinya. Beberapa kepiting gagal memasuki bubu dikarenakan duri-duri pada bagian karapas dan capitnya tersangkut pada jaring di pintu masuk. Selain itu, ukuran kepiting yang lebih besar dibandingkan dengan bukaan celah mulut menyebabkan kepiting tidak dapat masuk ke dalam bubu. 2 Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat baru Model bukaan pintu bubu standar berbentuk celah yang digunakan nelayan menyulitkan kepiting untuk keluar dari dalam bubu sekaligus menyulitkan kepiting untuk masuk. Archdale et al. 2007 melakukan penelitian untuk melihat Mulut tampak depan Celah mulut Lintasan masuk Gambar 21 Bentuk dan bukaan mulut bubu nelayan. kemampuan rajungan swimming crab Charybdis japonica dan Portunus pelagicus keluar dari dua jenis bubu. Bubu yang digunakan berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah dan bubu berbentuk kubah dengan mulut berupa corong. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seluruh kepiting yang digunakan pada uji coba tidak dapat keluar dari bubu berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah. Adapun pada bubu berbentuk kubah, seluruh kepiting dapat keluar. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan prinsip kerja bubu, yaitu memudahkan biota yang menjadi target penangkapan untuk masuk, namun menyulitkannya untuk keluar. Berdasarkan studi literatur, beberapa peneliti melengkapi mulut masuk bubu dengan menambahkan deretan kisi yang dipasang secara permanen. Kisi terbuat dari bahan plastik. Salah satu penelitiannya dilakukan oleh Zulkarnain et al. 2011 yang memasang kisi pada mulut bubu lipat untuk menangkap lobster. Kelemahan kisi plastik adalah ukuran bukaan mulut bubu sering berubah, karena sangat tergantung pada kelenturan plastik yang digunakan. Jenis bahan kisi yang digunakan pada penelitian ini adalah kawat yang didesain dapat bergerak naik- turun. Kisi dipasang pada bagian sisi atas mulut dengan kemiringan tertentu. Dengan demikian kisi akan terbuka ketika terdorong oleh kepiting yang akan masuk dan akan menutup kembali dengan sendirinya akibat gravitasi setelah kepiting masuk ke dalam bubu. Jarak antar kisi adalah 2-3 cm. Penggunaan kisi dapat meningkatkan hasil tangkapan. Hal ini diakibatkan biota yang menjadi target penangkapan menjadi lebih mudah masuk. Mason 1970 diacu dalam Miller 1990 menyatakan bahwa hasil tangkapan Cancer pagurus meningkat kurang lebih 50 pada bubu yang menggunakan kisi. Selain itu, penggunaan kisi akan menyulitkan biota untuk keluar dari bubu. High 1976 diacu dalam Miller 1990 menyatakan bahwa setelah dilakukan pengamatan selama 12 hari, hanya 5 Cancer magister yang dapat keluar dari bubu yang menggunakan kisi. Adapun pada bubu yang tidak menggunakan kisi, 100 Cancer magister dapat keluar. Tinggi celah mulut bubu dalam penelitian ini didasarkan pada tebal karapas kepiting bakau. Kepiting bakau yang digunakan sebagai dasar penentuan ukuran celah pintu masuk harus memiliki ukuran yang normal. Berdasarkan uji regresi, nilai koefisien determinasi R 2 antara tebal dan panjang karapas dari 30 kepiting bakau yang digunakan sebagai sampel sebesar 0,9491. Hal ini berarti bahwa 94,91 tebal karapas dapat dijelaskan oleh panjang karapas, sehingga hubungan keduanya sangat erat karena mendekati 100 Santoso 1999. Hubungan yang erat juga ditunjukkan oleh nilai R 2 antara tebal - lebar karapas dan tebal – berat kepiting dengan nilai masing-masing sebesar 0,9505 dan 0,933 Gambar 22. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting yang digunakan memiliki perbandingan ukuran ukuran yang proporsional, sebagaimana ukuran kepiting pada umumnya. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka kepiting tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan tinggi celah bubu. Tebal karapas kepiting bakau yang menjadi patokan adalah tebal karapas kepiting yang layak tangkap Gambar 23. Rata-rata tebal karapas kepiting tersebut adalah 3,5 cm, sehingga ukuran tersebut merupakan tinggi minimal dari bukaan mulut pintu masuk bubu. Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kepiting dapat melewati suatu celah selama celah tersebut lebih besar dari tebal karapasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tinggi celah pintu masuk bubu yang digunakan adalah sebesar 5 cm Gambar 24. Besarnya celah masuk bubu akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hasil penelitian Koike and Ogura 1977 diacu dalam Miller 1990 menunjukkan bahwa bubu dengan diameter pintu masuk 30 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan spider crab Chionoechetes japonicus sebanyak 6,4 individu per bubu, sedangkan bubu dengan diameter 50 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan 13,9 individu per bubu. t = 0,552 p + 0,1387 R² = 0,9491 15 30 45 20 40 60 80 T eb al t m m Panjang p mm t = 0,3549 l + 3,6 R² = 0,9505 15 30 45 20 40 60 80 100 120 T eb al t m m Lebar l mm t = 0,1095 b + 20,882 R² = 0,9331 15 30 45 50 100 150 200 T eb al t m m Berat b mm Gambar 22 Hubungan antara tebal karapas dengan panjang dan lebar karapas serta berat kepiting. Bukaan mulut bubu yang dirancang, dipasangi kisi yang terbuat dari kawat. Kisi berfungsi untuk menghalangi kepiting agar tidak dapat keluar dari bubu. Setiap dua kisi terbuat dari satu kawat yang terhubung. Ini dimaksudkan agar kisi tidak mudah bergeser, sehingga jarak antar kisi tidak berubah-ubah Gambar 24. Gambar 23 Posisi pengukuran tebal karapas kepiting bakau. Tebal t 5 cm 2-3 cm Gambar 24 Kisi-kisi pada mulut bubu.

4.1.4 Warna tutupan