Uji Fitokimia TINJAUAN PUSTAKA

ditambahkan pereaksi dragendorf, dan endapan merah hingga jingga pada yang ditambahkan pereaksi wagner. b Steroid. Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam 2 ml kloroform, kemudian ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Uji ini positif jika larutan yang dihasilkan membentuk warna merah di awal kemudian berubah menjadi biru atau hijau di akhir pengujian. c Flavonoid. Sejumlah ekstrak ditambahkan bubuk magnesium Mg sebanyak 0,1 mg, kemudian ditambahkan larutan amil alcohol sebanyak 0,4 ml, selanjutnya ditambahkan kembali alkohol sebanyak 4 ml dan dikocok. Uji flavonoid positif jika larutan membentuk lapisan amil alkohol dengan warna merah, kuning, atau jingga. d Saponin. Sejumlah ekstrak dilarutkan dengan akuades kemudian dipanaskan, jika muncul busa dan bertahan hingga 30 menit maka uji dilanjutkan dengan menambahkan 1 tetes HCl 2N. Uji saponin positif jika larutan mampu mempertahankan busa. e Molisch. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, lalu diambil 1 ml dan ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch serta 1 ml larutan asam sulfat H 2 SO 4 pekat. Uji ini positif jika ditandai dengan terbentuknya kompleks warna ungu diantara dua lapisan. f Benedict. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, kemudian diambil delapan tetes dan dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict, lalu dididihkan selama lima menit. Uji benedict positif jika larutan membentuk warna hijau, kuning, atau membentuk endapan warna merah bata. g Biuret. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa peptida. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan 4 ml pereaksi biuret, lalu dikocok. Uji ini positif jika larutan membentuk warna ungu. h Ninhidrin. Uji ninhidrin dilakukan untuk mengetahui keberadaan golongan senyawa asam amino. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil 2 ml, kemudian ditambahkan beberapa tetes 55 pereaksi ninhidrin 0,1 dan dipanaskan selama 10 menit. Uji ini positif jika terbentuk larutan dengan warna biru. Gambar 9 Proses kegiatan uji fitokimia

3.3.4. Uji toksisitas

Uji toksisitas ini dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi metode uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina Meyer et al. 1982. Larva Artemia salina ini dipelihara pada air laut yang telah difilter selama 24 jam pada suhu 28 C, kemudian setiap 10 larva dipindahkan ke dalam masing-masing wheel yang telah diisi air laut hasil filtrasi sebanyak 2 ml. Untuk menguji toksisitas ekstrak kasar lamun, ekstrak diencerkan menggunakan air steril aquades hingga konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm, kemudian diteteskan kedalam masing masing wheel yang telah diisi Artemia. Sebagai kontrol digunakan satu wheel tambahan tanpa penambahan ekstrak kasar lamun, setelah 24 jam, masing masing wheel kembali diamati, dihitung, dan dicatat jumlah larva yang hidup. Data yang digunakan dalam perhitungan BSLT adalah data Artemia yang mati, kemudian data tersebut dikonversi kedalam bilangan logaritma dari Tabel Probit Lampiran 2. Perolehan nilai dari Tabel Probit dan nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan kemudian dimasukan ke dalam persamaan regresi, sehingga diperoleh nilai konsentrasi LC 50 . Ilustrasi proses uji toksisitas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10 Proses kegiatan uji toksisitas

3.3.5. Uji bioantifouling

Uji bioantifouling dilakukan secara invitro, dengan mengamati aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm. Uji aktivitas hambat biofilm ini diawali dengan melakukan selekesi bakteri uji, seperti yang dipaparkan dalam Gambar 11. Bakteri pembentuk biofilm yang digunakan adalah genus Vibrio, hal ini mengacu pada hasil penelitian Mayavu et al. 2009 dan Yildiz and Visick 2009 yang menyatakan Vibrio spp. adalah bakteri pembentuk biofilm dan dapat memicu pembentukan fouling. Bakteri Vibrio spp. yang digunakan dalam penelitian diseleksi dari isolat bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi P2O – LIPI. Seleksi bakteri dilakukan untuk mendapatkan bakteri Vibrio sp. pembentuk biofilm tertinggi dengan menggunakan metode Biofilm Formation Assay Ramage et al. 2001. Isolat bakteri pembentuk biofilm terpilih kemudian diremajakan kembali dalam media Marine agar, berikutnya dikultur pada media selektif Thiosulfat Citrate Bile Sucrose TCBS untuk mendapatkan genus Vibrio Feliatra 1999, proses ini dapat dilihat pada Gambar 12. 57 Gambar 11 Alur skematik seleksi bakteri uji Uji aktivitas hambat biofilm ini menggunakan metode difusi agar yang diadopsi dari Jensen et al. 1998 dan El-Hady et al. 2007, yaitu bakteri terpilih dikulturkan pada media marine agar dan diletakkan pada masing masing cawan petri, kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu 28 C. Pada saat yang bersamaan, kertas cakram yang telah disiapkan dicelupkan kedalam ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mgml dan 20mgml, kemudian didiamkan selama 1 jam agar pelarut menguap. Kertas cakram yang sudah dicelupkan diletakan pada media agar yang telah disebar bakteri biofilm terpilih, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 C. Aktivitas hambat ekstrak lamun diukur berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk. Proses uji aktivitas hambat biofilm selama penelitian ini ditampilkan pada Gambar 13. Isolat bakteri pembentuk biofilm, koleksi Laboratorium mikrobiologi P2O LIPI Seleksi isolat bakteri Vibrio spp. dengan menggunakan media agar selektif TCBS 2 isolat bakteri uji Vibrio spp. Identifikasi awal bakteri, dengan metode pewarnaan gram +- Gambar 12 Proses mendapatkan bakteri terpilih Gambar 13 Proses uji aktivitas hambat biofilm 3.4. Analisis Data Data rendemen hasil ekstraksi lamun dianalisis dengan menggunakan uji anova dua arah, kemudian dilanjutkan dengan uji F, untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap hasil ekstraksi. Hasil uji fitokimia, berupa golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun dianalisis secara deskriptif. Data hasil uji toksisitas BSLT dianalisis dengan menggunakan analisis regresi, untuk mengetahui keeratan hubungan antara mortalitas Artemia salina dengan log konsentrasi ekstrak lamun yang diberikan. Hasil uji anti bakteri biofilm bioantifouling berupa nilai diameter zona hambat bakteri biofilm dianalisis secara deskriptif. 59

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Koleksi Contoh Lamun

Koleksi contoh lamun yang diambil adalah jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Gambar 14. Kedua jenis lamun tersebut dapat diklasifikasikan Waycott et al. 2004 sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Angiospermae Class : Liliopsida Sub-class : Alismatidae Order : Alismatales Family : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii Genus : Enhalus Spesies : Enhalus acoroides Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mudah dikenali, karena memiliki morfologi daun yang besar, lebar, dan keras. Pertumbuhan daun Enhalus acoroides sangat unik karena langsung dari rhizoma yang tebal dan keras dengan garis garis hitam. Thalassia hemprichii memiliki ciri khusus berupa ujung daun yang membundar dengan bercak merah, dan memiliki pertumbuhan daun tidak langsung dari akarnya, namun dari stem vertikal Waycott et al. 2004. Gambar 14 Foto lamun A Enhalus acoroides dan B Thalassia hemprichii. A B Kedua jenis lamun ini dipilih karena telah terbukti pada penelitian sebelumnya mengandung senyawa bioaktif El-Hady et al. 2007; Elfahmi et al. 1997; Jensen et al. 1998; Lakshmi et al. 2006; Raja-Kanan et al. 2010; Qi et al. 2008; Mayavu et al. 2009, sehingga diduga memiliki potensi lebih besar sebagai bioantifouling. Alasan lain penyebab digunakannya Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dalam penelitian, karena distribusi kedua jenis lamun tersebut di Indonesia sangat luas. Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dapat ditemui di perairan Indonesia, seperti Pulau Belitung Fahmi et al. 2010, Kepulauan Seribu Mardesyawati dan Anggraeni 2009, Teluk Gilimanuk, Bali Dewi et al. 2008, dan Pantai Molas, Manado Maabuat et al. 2012. Pertumbuhan dan perkembangbiakan lamun dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, dan nutrien. Madigan et al. 2000 memaparkan produksi senyawa metabolit sekunder organisme merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yang meningkat produksinya seiring dengan tekanan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Data kualitas air yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Lumban-Toruan 2011, meliputi suhu, salinitas, pH, DO, fosfat, nitrat dan ammonia, hasil analisis parameter tersebut menunjukkan nilai yang masih berada dalam kisaran nilai baku mutu kualitas perairan untuk biota laut menurut Kepmen – LH 51 Tahun 2004 Tabel 3. Tabel 3 Hasil analisis kualitas perairan Pulau Pramuka, DKI Jakarta Maret 2011 No Parameter Satuan Pramuka Barat Pramuka Timur Baku Mutu 1 Suhu o C 29,5 29,5 28 - 30 2 Salinitas ppm 34,2 34,3 33 - 34 3 pH 8 8,1 7 – 8,5 4 DO mgL 10 8,8 5 6 Fosfat PO4 mgL 0,17 0,015 7 Nitrat NO3 mgL 0,02 0,02 0,008 8 Amonia NH3 mgL 0,07 0,22 0,3 Sumber : Lumban-Toruan 2011 Keterangan : Baku mutu berdasarkan Kepmen - LH 51 Tahun 2004 untuk biota laut