Ikan telah menjadi produk yang sangat penting karena merupakan produk pangan dengan nilai nutrisi tinggi.
Ikan juga menjadi komoditas penting bagi sebagian besar penduduk, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia.
Tahun 2004, perikanan dunia memasok sekitar 106 juta ton ikan sebagai bahan pangan yang merupakan catatan tertinggi dalam catatan FAO.
Secara umum, ikan memasok kebutuhan 2.8 milyar penduduk dunia dengan kontribusi sekitar
20 dari rata-rata asupan protein hewani FAO, 2007. Secara budaya, ikan
telah menjadi bagian dari menu diet konsumsi penduduk sejak berabad-abad sebelumnya.
Pada saat sekarang, hal tersebut juga terkait dengan unsur ekonomi bahwa ikan merupakan salah satu sumber protein yang murah bagi
sebagian besar penduduk. FAO memprediksikan bahwa kebutuhan ikan dunia
akan terus meningkat baik karena meningkatnya populasi penduduk maupun karena adanya usaha-usaha untuk meningkatkan konsumsi per kapita.
Ikan merupakan produk pangan hewani yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, kaya akan nutrisi mikro, mineral, asam lemak dan protein esensial.
Kandungan protein ikan berkisar antara 20-35, merupakan sumber protein utama dalam konsumsi pangan karena kelengkapan komposisi kandungan asam
amino esensial serta mutu daya cernanya yang setara dengan telur Harli, 2008. Kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan tingginya kandungan
asam lemak tak jenuh omega-3 yang tidak dimiliki produk daratan hewani dan nabati, merupakan keunggulan produk perikanan tersebut.
Disamping itu, hasil laut dan produk perikanan juga banyak mengandung berbagai jenis vitamin yang
larut dalam lemak, khususnya vitamin A, D, E dan K. Dengan kandungan kalsium Ca yang tinggi, ikan dan produk perikanan juga merupakan bahan makanan
yang sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel tulang. Ikan-ikan laut juga banyak mengandung senyawa yodium yang sangat diperlukan untuk mencegah
penyakit gondok
khususnya bagi
masyarakat yang
bermukim di
wilayah
pegunungan. Budaya makan ikan yang tinggi dalam masyarakat Jepang telah
membuktikan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan dan kecerdasan anak- anak di negara tersebut.
Oleh karena itu, peningkatan konsumsi ikan selain akan dapat menunjang laju pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangangizi, diharapkan juga akan
sangat berperan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia agar menjadi bangsa yang sehat, kuat dan mempunyai etos kerja yang tinggi
sehingga menjadi bangsa yang maju, makmur dan sejahtera.
1.2. Perumusan Masalah
Indonesia merupakan negara maritim luas laut 5.8 juta kilometer persegi dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan garis pantai terpanjang
kedua di dunia, tentunya menjanjikan potensi yang sangat besar. Berdasarkan
data Pusat Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan BRKP Departemen Kelautan dan Perikanan DKP, produksi ikan hasil penangkapan di
laut sektor ini merupakan penyumbang terbesar produksi perikanan Indonesia dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir. Perikanan laut mempunyai tingkat
pemanfaatan mencapai 63.49 dari potensi lestari sebesar 6 409 ton per tahun atau 79.37 dari JTB jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5 127 juta
ton per tahun Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Perikanan Indonesia Menurut Kategori Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya, Tahun 2002 – 2008 Ton
Sumber: Perikanan dan Kelautan dalam Angka, Departemen Kelautan dan Perikanan 2009
Tabel tersebut
memperlihatkan dengan
lebih jelas
dominasi sektor
perikanan tangkap laut dalam penyediaan produksi perikanan. Sumbangannya mencapai 75.89, jauh di atas kontribusi perairan umum 7.36 dan budidaya
16.75 per
tahun; meskipun
demikian, kontribusi
perikanan budidaya
mengalami laju perkembangannya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut menggambarkan bahwa pasokan ikan yang dapat dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri selain untuk kebutuhan ekspor tersedia dalam jumlah yang cukup besar.
Namun ironisnya, tingkat konsumsi ikan per kapita di Indonesia masih tergolong rendah.
Rendahnya konsumsi ikan masyarakat Indonesia tersebut dapat dikaitkan dengan berbagai faktor yaitu : 1 pengetahuan mengenai gizi dan
teknik pengolahan ikan yang masih terbatas, 2 kendala mendapatkan ikan yang bervariasi, 3 harga ikan misalnya udang, cumi, kakap merah yang dinilai cukup
KATEGORI
Tahun
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008 Jumlah
5 515 648 5 915 988
6 350 420 6 817 540
7 448 708 8 238 302
9 051 528 Perikanan Tangkap
Perikanan Laut 4 073 506
4 383 103 4 571 510
4 653 010 4 512 191
4734280 4 701933
Perikanan Perairan Umum
304 989 308 693
310 300 312 000
293 921 310 457
494 393
Perikanan Budidaya
Budidaya Laut 234 859
249 242 420 919
519 200 1365 918
1509528 1966002
Budidaya Tambak
473 128 501 977
559 612 643 600
629 610 933 833
959 509 Budidaya Kolam
254 624 281 262
286 182 307 900
381 946 410 373
479 167 Budidaya
Karamba 40 742
40 304 53 694
65 600 56 200
63 929 75 769
Budidaya Jaring Apung
47 172 57 628
62 371 72 300
143 251 190 893
263 169 Budidaya
Sawah 86 627
93 779 85 832
90 000 105 671
85 009 111 584
mahal dibandingkan
daya beli
masyarakat pada
umumnya, 4
tingkat preferensikesukaan ikan belum berkembang, 5 citraimagegengsi ikan sebagai
makanan acara khusus belum berkembang, 6 masih terdapatnya nilai budaya, tabu, mitos, dan pantangan sekelompok masyarakat mengenai dampak negatif
konsumsi ikan, dan 7 promosi konsumsi ikan yang belum optimal Sulistyo et al., 2004.
Selain itu, konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar gizi dan kesehatan. Faktor-faktor produksi, pemasaran, teknologi dan perhubungan
sangat mempengaruhi
konsumsi ikan
secara makro
tingkat nasional
dan regional, sedangkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya mempengaruhi
secara mikro tingkat keluarga dan individu. Berdasarkan data SUSENAS,
tahun 1997 tingkat konsumsi ikan adalah 18 kg per kapita per tahun. Tahun 2000 meningkat menjadi 22 kg per kapita per tahun, dan terakhir tahun 2006, tingkat
konsumsi tersebut baru mencapai 24 kg per kapita per tahun, belum mencapai target pemerintah sebesar 26 kg per kapita per tahun dan masih di bawah
standar FAO sebesar 30 kg per kapita per tahun.
Tabel
3. Perkembangan Konsumsi Ikan per Kapita Indonesia Tahun 2000-2008
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2009 : Angka perkiraan
: Angka proyeksi, Badan Pusat Statistik 2009 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
Total Konsumsi
Kgkapthn 21.57
22.47 22.79
22.36 22.58
23.95 25.03
26.00 28.00
Total Populasi
juta 206
208 211
214 216
219 222
225 228
Rendahnya tingkat
konsumsi ikan
per kapita
per tahun
tersebut menunjukkan
masih rendahnya
budaya makan
ikan di
Indonesia. Sebagai
perbandingan, konsumsi ikan per kapita per tahun di Jepang adalah 110 kg, Korea Selatan 85 kg, Amerika Serikat 80 kg, Singapura 80 kg, Hongkong 85 kg,
Malaysia 45 kg, Thailand 35 kg, dan Filipina 24 kg FAO, 2003. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingginya konsumsi ikan masyarakat Jepang
menyebabkan rendahnya angka kematian akibat jantung koroner di negara tersebut dibandingkan dengan Amerika.
Suatu penelitian mencatat bahwa pada kelompok yang mengkonsumsi ikan
sekurang-kurangnya 30
gram sehari
memiliki resiko
kematian karena
penyakit jantung koroner yang berkurang 50 dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengkonsumsi ikan.
Lebih dari itu, asam lemak omega-3, yang hanya
terdapat pada
produk perikanan,
juga dapat
mencegah terjadinya
penyakit-penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, beberapa jenis penyakit ginjal, serta membantu penyembuhan depresi dan gejala hiperaktif pada anak-anak
FAO, 2003. Selain itu, asam lemak omega-3 pada minyak ikan juga dapat
memperbaiki sensitivitas insulin pada penderita kelebihan berat badan. Zat
tersebut membantu
mencegah kemingkinan
menderita penyakit
diabetes. Penelitian di University of Connecticut mengindikasikan bahwa ibu hamil yang
dalam darahnya mengandung banyak asam lemak omega-3 sangat membantu perkembangan
pola pertumbuhan
neurologi yang
baik pada
bayi yang
dikandungnya. DHA,
merupakan salah
satu dari
asam lemak
omega-3, bersama-sama dengan AA arachidonic acid membantu bayi membangun otak
dan mata yang cemerlang Suzuki, 2004 dalam Bappenas, 2008. Mempertimbangkan keunggulan komparatif bahan pangan ikan tersebut
maka sangat tepat bila pemerintah mentargetkan peningkatan konsumsi ikan untuk
memenuhi kebutuhan
protein hewani
asal ikan
sekaligus mengatasi
permasalahan gizi yang masih dihadapi masyarakat Indonesia. Pola makan
yang tidak seimbang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang serius terutama munculnya penyakit-penyakit degeneratif yang prevalensinya terus
meningkat pada golongan ekonomi menengah ke atas. Pada beberapa golongan etnik Indonesia, kedudukan ikan dalam susunan
menu makanan keluarga telah menjadi bagian dari budaya. Kebiasaan makan
itu terjadi tidak saja melalui proses sosialisasi dalam sistem sosial masyarakat bersangkutan, tetapi juga telah menyatu dalam selera makan anggota keluarga
dan ditunjang oleh ketersediaan bahan makanan di alam. Konsumsi pangan sangat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Demikian pula dengan tingkat dan pola konsumsi ikan. Berdasarkan data
Kementerian Kelautan Perikanan KKP
1
pada tahun 2005 disparitas konsumsi tergambar dari tingkat konsumsi Daerah Istimewa Yogjakarta DIY sebesar 8.3
kgkapitatahun terendah dan Maluku Utara 54.71 kgkapitatahun tertinggi. Variasi ini juga terjadi pada kelompok konsumsi ikan segar, ikan asin, dan produk
makanan jadi. Oleh karena itu sangat penting untuk memperoleh informasi
tentang ketersediaan kecukupan konsumsi ikan hingga ke tingkat rumah tangga agar tercapai target pemerintah Bappenas, 2008.
Konsumsi ikan per kapita dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara signifikan tercermin dari konsep food security yang meliputi kecukupan volume
produksi food availability dan akses terhadap bahan pangan tersebut food access termasuk keterjangkauan harga oleh masyarakat price affordability.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya masalah kultur atau budaya, persepsi
terhadap ikan
sebagai produk
pangan, dan
tingkat pendapatan
keluarga. Di samping itu juga dapat dilihat preferensi yang dihubungkan dengan
1
Pada tahun 2009 nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan DKP berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP.