Hubungan Antara Individual Arena dan Work Arena dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pembuatan Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) Proyek Banyu Urip di PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013

(1)

HUBUNGAN ANTARA INDIVIDUAL ARENA DAN WORK ARENA DENGAN STRES KERJA PADA PEKERJA PEMBUATAN OFFSHORE PIPELINE AND

MOORING TOWER (EPC3) PROYEK BANYU URIP DI PT. REKAYASA INDUSTRI, SERANG-BANTEN TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH : DANIAWATI NIM : 109101000003

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 H /2013 M


(2)

SkripSiini ku perSembahkan untuk kedua orang tuaku Serta rekan-rekan yang mencintai ilmu dan mengamalkannya


(3)

(4)

ii KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Agustus 2013

Daniawati, NIM. 109101000003

Hubungan Antara Individual Arena dan Work Arena dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pembuatan Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) Proyek Banyu Urip di PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013

xvi + 137 halaman, 23 tabel, 2 bagan, 4 Lampiran ABSTRAK

Pekerja kontraktor merupakan pekerjaan yang selalu dihadapi oleh berbagai tekanan baik itu dari perusahaan, atasan maupun rekan kerja. lingkungan kerja seperti bising, panas, debu yang merupakan kondisi yang selalu ditemui. Kondisi tersebut merupakan penyebab terjadinya stres ditempat kerja. Proyek Banyu Urip merupakan proyek untuk mengembangkan dan menghasilkan cadangan minyak mentah dan gas alam yang ditargetkan rampung dalam waktu satu tahun. Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan sebanyak 70% pekerja mengalami stres kerja.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan pengukuran untuk kebisingan dan tekanan panas. Sampel penelitian berjumlah 82 pekerja proyek banyu urip.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa sebesar 52,4% pekerja mengalami stres kerja ringan dan 23,2% pekerja tidak mengalami stres. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 3 variabel yang berhubungan dengan stres kerja yaitu umur, masa kerja dan kebisingan. Dan kebisingan merupakan variabel yang paling dominan dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower (EPC3) proyek Banyu Urip di PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

Perusahaan diharapkan dapat mempertimbangkan jenis pekerjaan yang akan diberikan kepada pekerja dan juga memberdayakan pekerja melalui program-program kerja yang mampu membuat pekerja tidak merasa jenuh dan dapat melaksanakan pekerjaan dengan maksimal.

Kata Kunci : stres kerja, pekerja proyek, cross sectional Daftar Bacaan : 83 (1976 – 2013)


(5)

iii

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH Undergraduated Thesis, August 2013

Daniawati, NIM : 109101000003

The Relationship Between Individual Arena and Work Arena with Job Stress Of Making Workers On Offshore Pipeline and Mooring Tower (EPC3) Banyu Urip Project in PT Rekayasa Industri, Serang-Banten in 2013

Xvi + 137 pages, 23 tables, 2 charts, 4 attachment ABSTRACT

Project worker is a job that is always faced by a variety of pressures both from the company, superiors and coworkers. The Working environment such as noise, heat, dust is a condition that is always met. That condition a cause a stress in the workplace. Banyu Urip project is a project to develop and produce crude oil and natural gas that expected to be completed within a year. From preliminary studies that have been done, 70% of workers is experiencing job stress.

This study is an analytic research that used quantitative approach and cross sectional study design. The data was collected by using questionnaire tool and noise and heat stress measurements. The Samples are 82 banyu urip project workers.

Based on the research, it is known that 52.4% of workers experiencing mild job stress, 24.4% of workers experiencing severe stress and 23,2% of workers not experiencing job stress. The results show there are three variables related to job stress those are age, years of service and noise. And noise is the most dominant variable toward job stress in workers offshore pipeline and mooring tower (EPC3) Banyu Urip project in PT Rekayasa Industri in 2013.

The company is expected to consider the type of work that will be given to the workers and also empower employees through workplace programs that can make workers not feel bored and can carry out the work to the maximum.

Key word : job stress, the project worker, cross sectional study Reference : 83 (1976 – 2013)


(6)

(7)

(8)

vi Identitas Pribadi

Nama : Daniawati

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 23 Januari 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Pondok maharta blok B28 No 19 rt. 011/010 Pondok kacang timur, ciledug, Tangerang 15526 No. Telp : 085692538704/ 081291274035

Email : Daniawati.plurdana@gmail.com Riwayat Pendidikan

1. 1997 - 2003 : SD Negeri Sudimara I Ciledug 2. 2003 - 2006 : SMP Negeri 142 Jakarta Barat 3. 2006 - 2009 : SMA Negeri 85 Jakarta Barat

4. 2009 – Juli 2013 : S1-Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(9)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Individual Arena Dan Work Arena Dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) Proyek Banyu Urip Di PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013” dapat diselesaikan tepat waktu.

Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir mahasiswa semester VIII (delapan) Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dalam memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Kedua orangtuaku, mama dan papa yang selalu mendo’akan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga untuk mami, papi dan Casillas terima kasih untuk semangat, perhatian serta kasih sayang yang diberikan setiap saat.

2. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tajudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ir. Febrianti, M.Si selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Catur Rosidati, MKM dan Riastuti Kusuma Wardani, MKM selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam pelaksanaan penelitian skripsi ini.

5. Ibu Iting Shofwati, SKM, MKKK selaku penanggung jawab peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang banyak memberikan masukan baik mengenai tugas kuliah, atau mengenai pelajaran hidup.

6. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta termasuk para dosen tamu, terima kasih atas keilmuan yang telah diberikan selama perkuliahan.


(10)

viii

8. Bapak Tommy selaku HRD PT. Rekayasa Industri yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk melakukan penelitian di PT. Rekayasa Industri.

9. Seluruh karyawan dan staf di site office EPC3-Banyu Urip, Serang-Banten khususnya Bapak Alfian, bapak Anton, bapak Ridwan, bapak Tikno dan bapak Ganjar yang telah membantu pelaksanaan penelitian skripsi ini.

10. Bapak Ahmad Gozali yang telah membantu administrasi mahasiswa dari awal hingga akhir perkuliahan.

11. Seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2009, khususnya K3 (Amel, Denisa, Ubay, Vijeh, Mufil, Dio, Ipeh, Diana, Heni, Pikih, Sca, Fadil, Lina, Desi, Reza, Rifky, Novan, Sandy, Defri) yang selalu memberikan saran dan masukan serta semangat dalam penelitian.

12. Sahabat-sahabatku (Denisa, Vijeh, Heni, Ana, Ubay, Mufil) terima kasih untuk support dan kerjasamanya selama ini. You’r rock guys!!!

13. Kak Ami 2007 yang sedikit banyak direpotkan untuk penelitian ini, serta seluruh pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Agustus 2013


(11)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN i

ABSTRAK ii

LEMBAR PERSETUJUAN iv

LEMBAR PENGESAHAN v

RIWAYAT HIDUP vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR BAGAN xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Pertanyaan Penelitian 7

1.4 Tujuan Penelitian 8

1.4.1 Tujuan Umum 8

1.4.2 Tujuan Khusus 8

1.5 Manfaat Penelitian 9

1.5.1 Bagi Institusi 9

1.5.2 Bagi Pekerja 9

1.5.3 Bagi Perusahaan 9

1.6 Ruang Lingkup Penelitian 10

BAB II TINJAUAN PUSAKA 11

2.1 Definisi stres 11

2.1.1 Definisi Stres Kerja 12

2.1.2 Pendekatan-pendekatan dalam mempelajari stres 14


(12)

x

2.2 Faktor Penyebab Stres 22

2.2.1 Individual Arena 22

2.2.2 Work Arena 27

2.3 Pengukuran Stres 49

2.4 Pencegahan dan Pengendalian Stres 54

2.5 Kontraktor 57

2.6 Kerangka Teori 59

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN

3.1 Kerangka Konsep 61

3.2 Definisi Operasional 64

3.3 Hipotesis Penelitian 67

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 68

4.1 Desain Penelitian 68

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 68

4.3 Populasi dan Sampel 68

4.4 Sumber dan Jenis Data 71

4.4.1 Data Primer 71

4.4.2 Data Sekunder 71

4.5 Instrumen Penelitian 71

4.6 Teknik Pengumpulan Data 77

4.7 Manajemen Data 78

4.8 Analisis Data 80

4.8.1 Analisis Univariat 80

4.8.2 Analisis Bivariat 80

4.8.3 Analisis Multivariat 81

BAB V HASIL PENELITIAN 83


(13)

xi

5.1.1 Visi dan Misi Perusahaan 83

5.1.2 Gambaran umum proyek offshore pipeline and mooring tower Proyek Banyu Urip, Serang-Banten 84

5.2 Analisis Univariat 89

5.3 Analisis Bivariat 94

5.4 Analisis Multivariat 103

5.4.1 Pemilihan Variabel Kandidat Analisis Multivariat 103 5.4.2 Pembuatan Model Faktor Penentu Variabel yang Paling

Berpengaruh 104

BAB VI PEMBAHASAN 107

6.1 Keterbatasan Penelitian 107

6.2 Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja pembuatan offshore

pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip 107

6.3 Usia 111

6.4 Masa Kerja 113

6.5 Pendidikan 115

6.6 Status Perkawinan 117

6.7 Rutinitas 118

6.8 Hubungan Interpersonal 120

6.9 Kebisingan 123

6.10 Tekanan Panas 125

BAB VII PENUTUP 128

7.1 Kesimpulan 128

7.2 Saran 129

7.2.1 Bagi Perusahaan 129

7.2.2 Bagi Pekerja 130

7.2.3 Bagi Peneliti Lain 130

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

xii

2.1 Kategori beban kerja berdasarkan metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung

31

2.2 NAB Kebisingan

36

2.3 NAB Tekanan Panas 41

2.4 NAB Intensitas Cahaya 45

2.5 Indikator Stres Kerja 52

3.1 Definisi Operasional 64

4.1 Hasil Perhitungan Sampel Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu 69

4.2 Hasil Uji Validitas 73

5.1 Distribusi frekuensi stres kerja pada pekerja Pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

89

5.2 Distribusi frekuensi usia dan masa kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

90

5.3 Distribusi frekuensi pendidikan dan status perkawinan pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

91

5.4 Distribusi frekuensi rutinitas, hubungan interpersonal, kebisingan dan tekanan panas pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.


(15)

xiii

5.5 Hubungan antara usia dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

95

5.6 Hubungan antara masa kerja dengan stres kerja pada Pekerja Pembuatan Offshore Pipeline and Mooring Tower Proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

96

5.7 Hubungan antara pendidikan dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

97

5.8 Hubungan antara status perkawinan dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

98

5.9 Hubungan antara rutinitas dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

99

5.10 Hubungan antara hubungan interpersonal dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013

100

5.11 Hubungan antara kebisingan dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

101

5.12 Hubungan antara tekanan panas dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013

102

5.13 Hasil Analisis Bivariat Antara Arena dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pembuatan Individual Arena dan Offshore Work Pipeline And Mooring Tower Proyek Banyu Urip PT.


(16)

xiv

usia, masa kerja, rutinitas, hubungan interpersonal, kebisingan dan tekanan panas dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013.

5.15 Hasil analisis multivariat antara usia dan kebisingan dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek Banyu Urip PT. Rekayasa Industri Tahun 2013.


(17)

xv

DAFTAR BAGAN

2.1 Kerangka Teori 60 3.1 Kerangka Konsep 63


(18)

xvi Lampiran 1 Surat Izin

Lampiran 2 kuesioner Penelitian Lampiran 3 Denah Site Bakrie Lampiran 4 Output SPSS


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam era globalisasi saat ini, persaingan antara perusahaan baik di dalam maupun luar negeri semakin ketat dan keras.Disamping itu juga terjadi perubahan-perubahan yang sangat cepat dari berbagai masalah yang sangat kompleks (Tarwaka, 2013).Saat ini,setiap perusahaan dituntut untuk tetap mempertahankan efektivitasnya, hal ini ditujukan agar perusahaan dapat terus bertahan dan bersaing dengan perusahaan lainnya.Salah satu indikator dari keefektivitasan suatu perusahaan adalah produktivitas para pekerjanya.Oleh Karena itu, produktivitas pekerja sangat perlu untuk mendapatkan perhatian khusus dari pihak perusahaan.Namun berdasarkan hasil statistik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 40% pekerja merasa pekerjaannya sangat menekan.Bahkan di tengah lautan stres seperti saat ini, 25% pekerja di Amerika Serikat menganggap pekerjaan adalah hal yang paling menekan dalam kehidupan mereka (Rini, 2008).

Modernisasi membuat orang semakin rajin bekerja.Namun, ternyata tidak semuanya merasa senang.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi

Health and Safety Executive pada tahun 2004-2005 didapatkan bahwa dari 5 juta penduduk United Kingdom (UK) merasakan stres akibat pekerjaannya dan total 12,8 juta pekerja setiap harinya mengalami stres dan depresi yang disebabkan oleh pekerjaannya (National Safety Council, 2004).


(20)

Menurut Hans Selye (1976)dalam (Munandar, 2008) stres didefinisikan sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain, stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Stres merupakan pengalaman bersifat internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis dalam diri seseorang akibat dari faktor lingkungan eksternal, organisasi atau orang lain.

Menurut Anoraga (2001) Stres kerja merupakan suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan pada lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam.Dalam suatu organisasi masalah stres kerja menjadi gejala yang penting untuk diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan karena stres kerja dapat menjadi pemicu terjadinya kecelakaan kerja.

Menurut Hawari (2001) stres kerja ditandai dengan adanya Keluhan.Keluhan yang dialami, dibedakan menjadi tiga yaitu fisiologis, psikologis dan perilaku.keluhanfisiologis seperti sakit kepala/ pusing, sakit punggung, gangguan seksual, asma /sesak nafas, gugup, nafsu makan hilang, badan terasa lemah, letih/lesu. Sedangkan keluhan psikologis seperti mudah marah, mudah tersinggung, perasaan tertekan, merasa cemas/gelisah, mudah putus asa.Dan keluhan perilaku seperti kurang konsentrasi,cepat merasa lupa, menunda-nunda pekerjaan, serta dapat melampiaskannya dengan kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol secara berlebih.kondisi ini biasa disebut dengan stres (Munandar, 2008).


(21)

3

Dampak dari stres di tempat kerja memiliki konsekuensi serius tidak hanya bagi individu tetapi juga untuk produktivitas perusahaan.Kinerja karyawan, tingkat penyakit, absensi yang tinggi, kecelakaan dan turnover karyawan semuanya dipengaruhi oleh status kesehatan mental karyawan (ILO, 2000 dalam Munandar, 2008).Kini diyakini bahwa 80% penyakit dan kesakitan dipicu dan diperburuk oleh stres (National Safety Council, 2004).

Telah banyak penelitian di Indonesia yang membahas mengenai stres kerja. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Adas (2006) yang mengatakan bahwa dari 108 pekerja yang diteliti 22 % mengalami stres kerja ringan dan 77,1 % mengalami stres kerja berat. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti (2010) yaitu dari 108 orang yang diteliti didapatkan bahwa sebesar 44,4 % pekerja mengalami stres berat dan sebesar 55,6 % pekerja mengalami stres kerja ringan.

Beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pekerja.Airmayanti (2010) menyatakan bahwa rutinitas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya stres pada pekerja bagian produksi PT ISM Bogasari Flour Mills tahun 2009.Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Vinallia (2011) yang mengatakan bahwa berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan untuk melihat hubungan antara rutinitas dengan stres kerja didapatkan hubungan yang signifikan antara rutinitas dengan stres kerja.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa stres dapat terjadi ditempat kerja, tak kecuali PT. Rekayasa Industri yang merupakan salah satu sektor industri yang bergerak dalam bidang teknik, konstruksi pengadaan, dan uji-coba operasi


(22)

(EPCC) untuk pabrik-pabrik industri besar di Indonesia. Saat ini PT. Rekayasa Industri sedang menjalankan proyek yang diberi nama Banyu Urip. Banyu Urip merupakan suatu proyek yang direncanakan untuk mengembangkan dan menghasilkan cadangan minyak mentah dan gas alam.Proyek ini berlokasi di Pulau Jawa diantara Kota Cepu dan Kota Bojonegoro. Proyek ini dibagi menjadi lima teknik yaitu : EPC1 Central Processing Facilities (CPF), EPC2 Onshore Export Pipeline, EPC3 Offshore pipeline dan Mooring Tower, EPC4 FSO konversi tanker

dan EPC5 Infrastruktur. Penelitian ini lebih memfokuskan pada kegiatan proyek EPC3, yaitu proyek pembuatan offshore pipeline and mooring tower untuk ekspor minyak yang dihasilkan ke floating storage and offloading (FSO).

Di proyek EPC3 ditemukan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan stres kerja pada pekerja, seperti lingkungan fisik yaitu kebisingan dan tekanan panas.Dari hasil pengukuran area kerja proyek ini memiliki tingkat kebisingan berkisar antara 75 dB-95 dBdan suhu lingkungan yang tinggi berkisar antara 38-39°C.Menurut Ivancevich dan Matteson (1980) dalam Munandar (2008) mengatakan bahwa bising yang berlebih (85dB) yang berulangkali didengar, dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan stres yang berkaitan dengan emosi. Dan menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998 tentang kondisi lingkungan kerja yang sesuai dengan persyaratan kesehatan, suhu kerja industri yang cocok berkisar antara 21-30°C.

Proyek EPC3 pun ditargetkan rampung dalam waktu satu tahun, dimana pada setiap kegiatan yang pekerja jalankan tentunya memiliki tanggung jawab dan beban kerja yang beda, karena tuntutan kerja dan kapasitas pekerja pun


(23)

berbeda-5

beda dan hampir seluruh pekerja merasakan bahwa rutinitas pekerjaannya monoton ketidaknyaman dalam melakukan pekerjaan merupakan tanda-tanda penyebab stres kerja (Tarwaka, 2013).

Menurut NIOSH (1999) stres kerja memiliki risiko untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan ditempat kerja, begitu pula menurut Anoraga (2001) bahwa stres kerja dapat menjadi pemicu terjadinya kecelakaan kerja. PT. Rekayasa Industri memiliki datakecelakaan yang tinggi karena berdasarkan hasil statistik yang diperoleh pada periode Februari - Maret 2013 telah terjadi unsafe act dan unsafe condition sebanyak 460 kejadian, Nearmiss sebanyak 1 kejadian, first aid case

sebanyak 10 kejadian dan 2 damage Property. Dan berdasarkan studi pendahuluan telah dilakukan dari 30 orang responden didapatkan 21 orang mengalami stres,

Oleh karena itu, besar kemungkinan stres kerja pada pekerja proyek dipengaruhi oleh karakteriktik pekerja dan kondisi lingkungan pekerjaan (NIOSH, 1999). Sehingga penelitian ini ingin membuktikan bahwa karakteristik pekerja dan kondisi lingkungan pekerjaan dapat mempengaruhi pekerja terhadap stres kerja.Sehingga dapat dilakukan upaya dalam menanggapi danmengatasi stres kerja tersebut.

1.2Rumusan Masalah

Pekerjaan sebagai pekerja proyek memiliki peluang untuk mengalami stres kerja baik secara fisiologis, psikologis maupun perilaku.Karena pekerjaan ini, memiliki target waktu pelaksanaan, sehingga pekerja selalu dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan secara optimal dan tepat waktu. Dilain pihak, pekerja tentunya memiliki atasan dan rekan kerja dimana bila hubungan yang terjalin tidak


(24)

baik, akan menggangu pikiran pekerja semakin lama semakin buruk dan dapat menyebabkan pekerja tidak nyaman. Ditambah lagi dengan kondisi area workshop

yang bising dan memiliki temperatur suhu yang tinggi sehingga tidak menutup kemungkinan pekerja tentunya akan merasa lelah yang mengakibatkan pekerjaan tidak berjalan optimal dan konsentrasi pekerja menurun sehingga dapat menyebabkan stres. Stres sendiri dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.

PT. Rekayasa Industri merupakan salah satu sektor industri yang bergerak dalam bidang teknik, konstruksi pengadaan, dan uji-coba operasi (EPCC) untuk pabrik-pabrik industri besar di Indonesia.Saat ini, sedang menjalankan proyek banyu urip.Banyu urip merupakan suatu proyek yang direncanakan untuk mengembangkan dan menghasilkan cadangan minyak mentah dan gas alam.Proyek ini ditargetkan rampung dalam waktu satu tahun.

Menurut hasil studi pendahuluan yang pernah dilakukan dengan menggunakan kuesioner life even scale pada 30 pekerjaproyek banyu urip pada bulan April 2013 didapatkan sebanyak 70% pekerja mengalami stres kerja. Berdasarkan fakta dan keadaan tersebut, peneliti inginmelakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerjapada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower proyek banyu urip di PT Rekayasa industri tahun 2013.


(25)

7

1.3Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran stres kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) proyek Banyu Urip di PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

2. Bagaimana gambaran faktor- faktor individual arena (usia, masa kerja,

pendidikan, status perkawinan) pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

3. Bagaimana gambaranfaktor-faktor work Arena (rutinitas, hubungan interpersonal, kebisingan, tekanan panas) pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) Proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

4. Apakah ada hubungan antara faktor- faktor individual dengan kejadian stres

kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

5. Apakah ada hubungan antara faktor-faktor work arenadengan kejadian stres kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

6. Apakahfaktor yang paling mempengaruhi stres kerja pada pekerja pembuatan

Offshore Pipeline And Mooring Tower proyek Banyu Urip (EPC3) di


(26)

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan antara individual arena dan work arena dengan stres kerja pada pekerja pembuatan offshore pipeline and mooring tower

proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013. 1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahui gambaran stres kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower proyek Banyu Urip(EPC3)di PT. Rekayasa Industri, Serang-Bantentahun 2013

2. Diketahui gambaran faktor- faktor Individual Arena (usia, masa kerja, pendidikan, status Perkawinan) pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower (EPC3) proyek Banyu Urip di

PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

3. Diketahui gambaran faktor-faktor work arena (rutinitas, hubungan interpersonal, kebisingan, tekanan panas) pada pekerja pembuatan

Offshore Pipeline And Mooring Tower(EPC3)proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

4. Diketahui hubungan antara faktor- faktor individual arena(usia, masa kerja, pendidikan, status perkawinan)dengan kejadian stres kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower(EPC3) proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?


(27)

9

5. Diketahui hubungan antara faktor-faktor work arena(rutinitas, hubungan interpersonal, kebisingan, tekanan panas) dengan kejadian stres kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower(EPC3)proyek Banyu Urip di PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

6. Diketahui faktor yang paling mempengaruhi stres kerja pada pekerja pembuatan Offshore Pipeline And Mooring Tower(EPC3)proyek Banyu Urip PT.Rekayasa Industri, Serang-Banten tahun 2013?

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Institusi

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan referensi terkait stres kerja khususnya stres kerja pada pekerja untuk angkatan selanjutnya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan.

1.5.2 Bagi Pekerja

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan serta pemahaman terhadap stres kerja yang disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama yang terdapat di dalam lingkungan pekerjaan. Sehingga pekerja dapat mengatasi secara dini agar produktivitas para pekerja tidak menurun.

1.5.3 Bagi Perusahaan

Sebagai masukan pada perusahaan tempat penelitian tentang faktor lingkungan kerja yang berhubungan dengan stres kerjaagar dapat dikendalikan secara dini.


(28)

1.6Ruang Lingkup

Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pekerja proyek Banyu Urip di PT. Rekayasa Industri, Serang-Banten, dilaksanakan pada tahun 2013 oleh mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta peminatan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) tahun 2009.Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dan pengambilan sampel menggunakan

simple random sampling. Pengambilan data dilakukan menggunakan kuesioner dan pengukuran menggunakan sound level meter untuk kebisingan, heat stres Monitor


(29)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam tinjauan pustaka berikut akan dijelaskan terkait teori-teori yang berhubungan dengan stres kerja, seperti definisi stres, definisi stres kerja, Tahapan Stres, Indikator Stres Kerja, Dampak Stres Kerja, Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja, yaitu Individual Arena (Usia, Masa Kerja, Pendidikan, Status Perkawinan ),

Work Arena (Rutinitas, Jam Kerja, Beban Kerja, Shift Kerja, Konsumsi Alkohol, Kebisingan, Tekanan Panas, Pencahayaan, Getaran ), Home Arena (masalah keuangan dan konflik pekerjaan-keuangan) dan Social Arena (Peranan Dalam Organisasi, Pengembangan Karir, Hubungan Interpersonal Dalam Pekerjaan, Struktur Dan Iklim Organisasi). Cara Pengukuran Stres, Pencegahan Dan Pengendalian Stres, dan Definisi Kontraktor.

2.1 Stres

Stres dapat terjadi pada setiap individu/manusia dan pada setiap waktu, karena stres merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dihindarkan (Munandar, 2008). Manusia akan cenderung mengalami stres apabila ia kurang mampu menyesuaikan antara keinginan dengan kenyataan yang ada, baik kenyataan yang ada di dalam maupun diluar dirinya. Segala macam bentuk stres pada dasarnya disebabkan oleh kekurangmengertian manusia akan keterbatasan dirinya sendiri. Ketidakmampuan untuk melawan keterbatasannya


(30)

inilah yang akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan tipe-tipe dasar stres (Anoraga, 2005).

Munandar (2008) mengungkapkan bahwa konsep stres pertama kali dikenalkan oleh Dr. Hans Selye pada tahun 1936 yang memformulasikan stres sebagai reaksi tubuh non-spesifik pada setiap tuntutannya. Tuntutan tersebut adalah keharusan untuk menyesuaikan diri dan karenanya keseimbangan tubuh terganggu.

Menurut Hans Selye jenis stres dibagi menjadi dua, yaitu eustres dan

distress. Eustres merupakan stres yang bersifat positif, stres ini memacu dan mendorong individu untuk memenuhi ambisi-ambisinya, karena sebagian orang akan tergerak dengan adanya dorongan atau rangsangan. Distres merupakan stres

yang bersifat negative, awalnya stres ini merupakan sebuah tantangan namun bergerak berlawanan arah menjadi ancaman, sehingga menghilangkan kemampuan individu dalam memelihara dan mempertahankan diri terhadap stimulus atau rangsangan yang datang dan bahkan hal tersebut dapat menyebabkan kematian (Munandar, 2008)

2.1.1 Definisi Stres Kerja

Menurut Han Selye (1976) dalam Munandar (2008) menyatakan bahwa stres adalah respons tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan beban. Misalnya seseorang mengalami beban pekerjaan


(31)

13

yang berlebihan. Bila ia mampu untuk mengatasinya maka tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuhnya artinya ia tidak mengalami stres. Sebaliknya, bila tenyata terdapat gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik artinya ia mengalami stres. (Hawari, 2001).

Menurut Anoraga (2001) stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang menekan dan dirasakan mengganggu serta mengakibatkan dirinya terancam dalam menghadapi pekerjaannya. Pernyataan ini sesuai dengan NIOSH (1999) mendefiniskan stres kerja adalah respon emosional dan fisik yang bersifat menggangu atau merugikan yang terjadi pada saat tuntutan tugas tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya atau keinginan pekerja.

Begitu pula dengan Robbins (2003), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang.


(32)

2.1.2 Pendekatan-pendekatan dalam mempelajari Stres

Pada dasarnya terdapat tiga pendekatan dalam mempelajari stress (cox dan Ferguson, 1991 dalam Urianti 2000), yaitu:

1. Pendekatan Kerekayasaan

Dasar dari pendekatan ini adalah stimulus. Stress digambarkan sebagai cirri-ciri stimulus lingkungan yang dikenal, diketahui dan dapat merusak. Dilingkungan terdapat kondisi-kondisi, peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ketegangan. Stress eksternal menimbulkan reaksi stress pada seseorang. Contohnya kepada penerbang, yang menjadi stress adalah tugas terbang (kondisi eksternal). Jadi titik berat dari pendekatan ini adalah tugas eksternal dan bukan apa yang terjadi pada diri seseorang.

2. Pendekatan Medik-Fisiologik

Pendekatan medic-fisioligik merumuskan stress sebagai suatu respon umum dan non-spesifik terdapat tuntutan fisikk ataupun emosional, baik dari lingkungan (eksternal) maupun dari dalam diri seseorang (internal). Respon otomatis ini berupa serangkaian respon fisiologik yang disebut sebagai sindrom adaptasi umum (Selyem 1976). Bila terdapat tuntutan atau ancaman, maka pertama-tama adalah reaksi alarm. Reaksi ini ditandai dengan adanya perubaha-perubahan dalam tubuh, antara lain meningkatnya hormone coticol,


(33)

15

ketegangan, meningkatnya emosi. Pada tahap kedua, reaksi alarm diikuti dengan perlawanan melalui mekanisme pertahanan diri. Pada tahat ini, strategi pertahanan stress meninggi dan usha fisiologik untuk mengatasi stress akan mencapai kapasitas penuh. Jika stress berkepanjanga maka ia akan ke tahap ketiga yaitu keletihan. Pada tahap ini, individu menguras seluruh tenaganya , sehingga bisa mengganggu aktivitas dan jatuh sakit. Terlihat bahwa titik berat pada pendekatan ini adalah adanya respons-respons dan aktivitas fisiologik pada individu.

3. Pendekatan Psikologik

Penjelasan dari kedua pendekatan di atas adalah penjelasan yang bersifat umum dan kurang dapat menerangkan perbedaan individual sewaktu mengalami stres. Suatu kejadian dapat meyebabkan stres pada seseorang tetapi kejadian yang sama tidak menimbulkan stres pada orang lain. Pendekatan ini mencoba mengatasi kekurangan dari kedua pendekatan di atas. Bagaimana seseorang mempersepsikan suatu peristiwa atau suatu kondisi berperan dalam menentukan stres. Pendekatan ini dikenal sebagai “Appraisal Model”. Pada pendekatan cara ini, merumuskan stress sebagai suatu keadaan psikologik yang merupakan representasi dari transaksi khas dan problematik antara seseorang dan lingkungannya. Jadi stres merupakan suatu keadaan yang timbul bila seseorang berinteraksi


(34)

dan bertransaksi dengan situasi yang dihadapinya dengan cara tertentu. Bila seseorang menilai ada perbedaan antara tuntutan dengan kemampuannya untuk memenuhi tuntutannya itu, atau dengan kata lain bila ia mempertanyakan apakah ia akan mampu mengatasi atau beradaptasi, maka akan timbul stres yang kemudian diikuti reaksi stres.

2.1.3 Tahapan Stres

Gejala stres awalnya seringkali tidak disadari karena stres timbul secara lambat. Dan baru dirasakan jika tahapan gejala sudah lanjut dan menggangu fungsi kehidupan sehari-hari. Dr. Robert J. Van Amberg (Hawari, 2001 ) membagi tingkatan-tingkatan stress sebagai berikut :

a. Stres Tingkat 1

Pada tingkat ini, merupakan tingkat stress yang paling ringan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan yang memiliki semangat yang besar, memiliki penglihatan yang tajam tidak seperti biasanya, gugup secara berlebihan, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, merasa senang dengan pekerjaan tersebut namun tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energinya sudah menipis.


(35)

17

b. Stres Tingkat 2

Pada tingkat ini, dampak stres yang menyenangkan pada tingkat pertama mulai menghilang dan mulai timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup untuk sepanjang hari. Keluhan-keluhan tersebut seperti merasa letih saat bangun pagi, terasa lelah sesudah makan siang, merasa lelah sepanjang hari, lambung atau perut merasa tidak nyaman, jantung berdebar-debar, dan tersa tegang yang tak biasa pada otot punggung dan tengkuk.

c. Stres Tingkat 3

Pada tingkat ini, keluhan-keluhan terasa mengganggu dan terlihat lebih nyata. Seperti, gangguan pada pencernaan , ketegangan otot semakin terasa, perasaan cenderung tidak tenang dan emosi semakin meningkat, badan terasa lesu seperti ingin pingsan dan gangguan pola tidur (sulit tidur, terbangun tengah malam dan sulit untuk tidur kembali). Pada tingkatan ini penderita sudah dapat berkonsultasi kepada dokter untuk menjalani terapi agar beban stress dapat berkurang.

d. Stres Tingkat 4

Pada tingkat ini, gejala stress sudah semakin buruk ditandai dengan kehilangan kemampuan dalam menanggapi situasi, sulit untuk melakukan kegiatan sehari-hari, sulit untuk


(36)

bertahan sepanjang hari, gangguan tidur semakin parah serta sering mengalami mimpi buruk dan terbangun dimalam hari, kemampuan konsentrasi menurun dan selalu perpikiran negative serta takut yang tidak dapat dijelaskan.

e. Stres Tingkat 5

Pada tingkat ini, stress sudah lebih buruk lagi ditandai dengan keletihan yang mendalam (phsycal and psychological exhaustion), terasa kurang mampu untuk melakukan pekerjaan yang sederhana, gangguan sistem pencernaan (maag dan gangguan pada usus) lebih sering, sulit buang air besar dan sebaliknya feses encer dan sering mengalami perasaan takut (panik).

f. Stres Tingkat 6

Pada tingkat ini disebut sebagai keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita dirawat diruang Intensive Care Unit

(ICU). Gejala-gejala yang terlihat semakin nyata dan mengerikan seperti debaran jantung terasa sangat kuat/keras (zat adrenalin meningkat), badan gemetar, keringat bercucuran, tubuh dingin, tidak memiliki tenaga untuk melakukan hal-hal kecil dan sering pingsan atau collaps.


(37)

19

2.1.4 Indikator Stres Kerja

Menurut Weiss DH Terdapat empat kelompok gejala stres yaitu gejala fisik, gejala emosional, gejala intelektual dan gejala interpersonal (Nawawinetu dan Adriyani, 2007).

1. Gejala Fisik antara lain meliputi sakit kepala, sakit punggung, terutama di bagian bawah, gangguan pencenaan, gatal di kulit, urat tegang terutama di leher dan bahu, bisulan, tekanan darah tinggi, serangan jantung, keringat berlebihan, berubah selera makan, lelah atau kehilangan energi, sering melakukan kesalahan dalam kerja atau hidup.

2. Gejala emosional antara lain berupa rasa gelisah atau cemas, mudah panas dan marah, gugup, rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, mudah menyerang orang, dan bermusuhan.

3. Gejala intelektual meliputi sulit berkonsentrasi atau memusatkan pikiran, sulit membuat keputusan, mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun berlebihan, pikiran dipenuhi satu hal saja, kehilangan rasa humor yang sehat, prestasi dan produktivitas kerja menurun, mutu kerja rendah, banyak melakukan kesalahan dalam bekerja.

4. Gejala interpersonal berupa kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, mudah


(38)

membatalkan janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri, “mendiamkan” orang lain.

2.1.5 Dampak Stres Kerja

Umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri pekerja dan organisasi. Konsekuensi tersebut dapat berupa kecemasan yang berlebih, frustasi hingga menurunnya gairah untuk bekerja. Konsekuensi pada pekerja tidak hanya berhubungan dengan aktifitas kerja saja namun dapat meluas pada aktivitas diluar pekerjaan. Seperti sulit tidur, konsentrasi menurun, selera makan berkurang (Wantoro, 1999).

Konsekuensi bagi organisasi secara tidak langsung yaitu meningkatnya absensi, menurunnya tingkat produktifitas dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi hingga turnover. (Robbins, 1998).

Handoyo (2001) menyebutkan terdapat empat jenis konsekuensi yang ditimbulkan stres, yaitu :

1. Dampak perilaku : peningkatan konsumsi alcohol dan merokok, penyalahgunaan obat-obatan, tidak nafsu makan atau nafsu makan berlebihan.


(39)

21

2. Dampak Psikologis : sikap lebih agresif, sering merasa gelisah, bosan, depresi, lelah, kecewa, mudah marah, harga diri yang rendah.

3. Dampak Fisiologis : gangguan pada kesehatan fisik berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya maupun sebagai pemicu timbulnya penyakit baru.

4. Dampak Kognitif : ketidakmampuan mengambil keputusan, menurunkan daya konsentrasi dan peka terhadap ancaman.

Sedangkan menurut Lubis (2006) stres kerja dapat mengakibatkan hal sebagai berikut :

1. Penyakit fisik yang diinduksi oleh stres seperti penayakit jantung koroner, hipertensi, asma, gangguan menstruasi, tukak lambung, dan lain-lain.

2. Kecelakaan kerja terutama pekerjaan dengan risiko yang tinggi, 3. Lesu kerja, pegawai tidak termotivasi,

4. Absensi kerja,

5. Gangguan jiwa, mulai dari gangguan ringan seperti mudah gugup, tegang, marah-marah, apatis, dan kurang konsentrasi sampai gangguan berat seperti depresi dan cemas yang berlebihan.


(40)

2.2 Faktor Penyebab Stres

Banyak faktor yang dapat menimbulkan terjadinya stres kerja pada pekerja. Menurut Cooper dan Davidson (1987) secara garis besar faktor-faktor pemicu stress dibagi menjadi beberapa arena, antara lain :

1. Individual arena, yaitu karakteristik yang melekat pada individu.

2. Work arena, yaitu stressor yang bersumber dari situasi dan kondisi yang

berhubungan dengan pekerjaan.

3. Home arena, yaitu stressor yang bersumber dari kehidupan rumah.

4. Social arena, yaitu stressor yang bersumber dari kehidupan bermasyarakat atau diluar rumah dan pekerjaan.

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi sehingga menghasilkan suatu gejala-gejala dalam ruang lingkup manifestasi stres.

2.2.1 Individual Arena

Individual arena adalah karakteristik yang melekat pada individu itu sendiri, antara lain:

a. Usia

Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan


(41)

23

fisiologik sama (Nuswantari, 1998). Sedangkan, menurut Hoetomo (2005) Usia adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan.

Menurut Cooper usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stres kerja (Munandar, 2008). Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan usia, terutama yang berhubungan dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Ada keyakinan yang menyatakan bahwa produktivitas dapat menurun dengan semakin tuanya seseorang. Namun, terdapat bukti yang berlawanan dengan keyakinan dan asumsi tersebut. Suatu tinjauan ulang menyeluruh menemukan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan kinerjanya (Robbins, 1998).

Menurut Hidayat (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, dari hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,008. Nilai P value

ini lebih kecil dari α (0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dengan stres kerja. Adanya hubungan yang bermakna antara usia dengan stres kerja termasuk faktor yang mempengaruhi stres kerja dapat disebabkan oleh faktor usia yang lebih muda biasanya disebabkan karena mereka biasanya belum memiliki pengalaman dan pemahaman yang banyak dalam bekerja, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu usia menjadi pemicu terjadinya stres (Suprapto, 2008).


(42)

b. Masa kerja

Masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja ≥ 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja (Munandar, 2008).

Menurut Munandar (2008), masa kerja baik sebentar maupun lama dapat menjadi pemicu terjadinya stres dan diperberat dengan adanya beban kerja yang besar. Sedangkan, menurut Wantoro (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lama, lebih memiliki pengalaman yang luas, kematangan dalam berfikir dan bertindak, sehingga dapat bersikap lebih bijaksana karena telah memiliki pengalaman dalam pekerjaannya. Dengan demikian mereka memiliki kemampuan untuk lebih mengatasi segala situasi dalam pekerjaannya, lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan disekitarnya dan adanya kesempatan untuk pengembangan kemampuan dan keterampilan. Sehingga dapat terhindar dari stres. Akan tetapi menurut Herawati (2006), masa kerja yang lama akan membuat jenuh dan akhirnya dapat menimbulkan stres.


(43)

25

Menurut penelitian Gautama (2008) berdasarkan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,000. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Diah (2006) berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,795.

b. Pendidikan

Menurut Shostak dalam La Dou (1994) yang dikutip dari Yunus (2011) menyatakan seseorang dengan keahlian yang kurang dalam suatu bidang pekerjaan menyebabkan rendah diri pada pekerja. Sedangkan menurut Anderson (dalam Yunus, 2004) menyatakan bahwa karyawan baru yang memiliki harapan tinggi dengan latar belakang pendidikan yang tidak menunjang pekerjaan akan sering mengalami stres kerja.

Maslach (1982) dalam Murtiningrum (2005) menyatakan bahwa seseorang yang berlatar belakang pendidikan rendah cenderung rentan terhadap stress jika dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Seseorang yang berpendidikan rendah memiliki harapan atau aspirasi yang tinggi sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka muncullah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat


(44)

menimbulkan stres. Sebaliknya, bagi seseorang yang berpendidikan tinggi, mereka cenderung mempunyai pandangan yang lebih realistis ketika menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Menurut penelitian Lelyana (2003) berdasarkan uji statistik diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan stres kerja dengan Pvalue= 0,002. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Gitalia (2009) berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian stress kerja dengan Pvalue= 0,585.

d. Status perkawinan

Belum banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa status perkawinan berpengaruh terdapat produktivitas kerja. Menurut Robbins (1998) menyatakan bahwa karyawan yang telah menikah lebih kecil absensinya dan lebih puas dengan pekerjaannya daripada pekerja yang belum menikah. Dan memiliki hubungan perkawinan yang baik dapat membantu untuk mencegah atau mengurangi stres kerja.

Sedangkan menurut Evayanti (2003) menyatakan bahwa pekerja yang berstatus menikah, bila mempunyai masalah di rumah kecenderungan untuk mendapatkan stres di tempat kerja akan lebih


(45)

27

besar. Sebaliknya bila rumah tangga dirasakan aman, nyaman, dan menyenangkan maka masalah-masalah ditempat kerja dapat dihadapi dengan lebih baik karena keadaan keluarga bisa menjadi penghambat, mempercepat atau menjadi penangkal proses terjadinya stres.

Menurut European Commision for Employment and Social Affair (1999), pekerja yang telah berpisah dengan pasangannya atau yang menjadi single parent merupakan kelompok yang lebih rentan mengalami stres karena dihadapkan pada masalah sosial dan emosional dari lingkungan dan anggota keluarga. Menurut Munandar (2004) bahwa isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, dan konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan di dalam pekerjaan, semuanya dapat merupakan tekanan bagi pekerja sehingga akan menyebabkan seseorang menjadi stres dalam pekerjaannya.

Menurut penelitian Gitalia (2009) berdasarkan uji statistik didapatkan Pvalue = 0,031 hal ini menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan stres kerja.

2.2.2 Work Arena

Work Arena adalah penyebab stres (stressor) yang bersumber dari situasi dan kondisi yang berhubungan langsung dengan pekerja di lingkungan kerja, antara lain :


(46)

a. Rutinitas

Rutinitas adalah pekerjaan rutin yang berulang-ulang sehingga menimbulkan kejenuhan karena bersifat monoton (Munandar, 2008). Pada pekerjaan yang sederhana dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas atau terlampau banyakanya tugas yang harus dikerjakan. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani (2008) berdasarkan uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara rutinitas pekerjaan dengan kejadian stres kerja dengan Pvalue=0,001.

b. Jam Kerja

Jam kerja menentukan efisiensi dan produktivitas seseorang. Umumnya seseorang dapat bekerja baik 6-8 jam sehari atau 40-50 jam seminggu (Suma’mur, 1996). Berdasarkan standar yang dikeluarkan Hiperkes bahwa rata-rata jam kerja sehari selama 8 jam. Sehingga segala bentuk penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja jumlah jam kerja yang banyak merupakan sumber dari stres. Menurut, Hurrell dkk bahwa jam kerja


(47)

29

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja (Munandar, 2008).

Penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan usaha adaptasi pekerja, yang kemudian dapat meningkatkan ekskresi katokholamin yaitu hormon adrenalin dan non-adrenalin. Menurut beberapa penelitian, kerja lembur yang terlalu sering, apalagi kalau tanpa kontrol jumlah jam kerja yang berlebihan ternyata tidak hanya mengurangi kuantitas dan kualitas hasil kerja, juga seringkali meningkatkan kuantitas absen dengan alasan sakit atau kecelakaan kerja (munandar, 2008).

Menurut hasil penelitian Noer (2004) diketahui bahwa 87,5% responden yang bekerja >12 jam menunjukan gejala stres. Hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik dengan p value = 0,002 yang artinya ada hubungan yang bermakna antara jam kerja dengan stres kerja.

c. Beban kerja

Menurut Every dan Giordano (1980) dalam Suprapto (2008) beban kerja adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jumlah pekerjaan yang diterima oleh individu. Beban kerja yang berhubungan dengan stres berkaitan erat dengan tenggat waktu dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan (deadline). Kategori beban kerja


(48)

yaitu kerja berlebihan kuantitatif dan kualitatif disemua taraf industri dan wiraswasta.

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit bekerja berlebih atau terlalu sedikit “kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak atau sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih atau terlalu sedikit “kualitatif”, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitaif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (dead line) (Munandar, 2008).

Menurut penelitian Suprapto (2008) dari hasil uji statistik

didapatkan p value = 0,000 lebih kecil dari α (0,05) sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja.

Dalam Permenakertrans No. PER.13/MEN/X/2011, diketahui bahwa pengelompokan beban kerja dibagi menjadi tiga yaitu beban kerja ringan, sedang dan berat. Penetapan beban kerja tersebut dikaitkan dengan konsumsi energi atau jumlah kalori yang dikeluarkan pekerja. Padahal derajat ketegangan fisik atau beban


(49)

31

kerja seseorang tidak seluruhnya bergantung pada pengeluaran kalori, tapi dapat dilakukan dengan pengukuran denyut jantung, metabolisme, respirasi dan suhu tubuh (Sastrowinoto, 1985). Menurut Konz (1998) jika berada dalam keadaan yang stabil atau tidak emosi, denyut jantung merupakan salah satu estimasi laju metabolisme yang baik. Berikut disajikan kategori beban kerja berdasarkan metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung (Christensen 1996 dalam Tarwaka dkk, 2004).

Tabel 2.1

Kategori beban kerja berdasarkan metabolisme, respirasi, suhu tubuh, dan denyut jantung

H

(Cristensen, 1996) Encyclopedia of Occupational Health and Safety. ILO Ganeva)

d. Shift kerja

Shift kerja adalah semua pengaturan jam kerja, sebagai pengganti atau sebagai tambahan kerja siang hari sebagaimana yang biasa dilakukan. Definisi yang lebih operasional dari shift kerja disebutkan sebagai pekerjaan yang secara permanen, atau pekerjaan Kategori Beban Kerja Konsumsi Oksigen (l/min) Ventilasi Paru (l/min) Suhu Rektal Denyut Jantung (denyut/min) Ringan 0.5 - 1.0 11 – 20 37.5 75 – 100 Sedang 1.0 – 1.5 21 – 30 37.5 – 38.0 101 – 125 Berat 1.5 – 2.0 31 – 43 38.0 – 38.5 125 – 150 Sangat Berat 2.0 – 2.5 44 – 56 38.5 – 39.0 151 – 175 Sangat Berat

Sekali


(50)

yang jam kerjanya tidak biasa atau pekerjaan yang jamnya berubah-ubah dan juga tidak teratur (Kuswadji , 1997) .

Berdasarkan hasil dari penelitian terdahulu menunjukkan bahwa shift kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik yang berpengaruh secara emosional dan biologikal. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut dari pada pekerja pagi dan siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan pada perut (Munandar, 2008). Dan menurut Kroemer & Grandjean (1997) pekerja wanita lebih berisiko mengalami stres kerja daripada pekerja pria.

Dalam penelitian yang dilakukan Adas (2006) dari hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0,000 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara shift kerja dengan stres kerja. Sedangkan menurut penelitian Vierdelina (2008) dari hasil uji statistik didapatkan p value = 1,000 ≥ α (0,05) sehingga didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara shift kerja dengan stres kerja.

e. Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol dapat menyebabkan kerusakan pada otot jantung dan sirosis serta hepatitis alkoholik dan meningkatkan tekanan darah (Swarth, 2006). Dengan mengkonsumsi alkohol, detak jantung akan meningkat, pelebaran pada pembuluh darah di lengan


(51)

33

dan kulit, serta menurunkan tekanan darah. Sedangkan jika mengkonsumi alkohol secara rutin, maka akan menyebabkan kesulitan bergerak, berbicara dan berkonsentrasi, kemudian akan berlanjut pada kejadian kelelahan yang berkombinasi dengan keadaan muak atau cepat bosan, sakit perut, pusing, meningkatnya sensitivitas pada suara dan menjadi marah (Hanson dan Venturelli, 1995). Konsumsi alkohol juga dapat mengganggu kualitas tidur seseorang, yang kemudian jika kualitas tidur buruk akan menyebabkan kelelahan yang dapat menimbulkan stres (NSW, 2008).

f. Kebisingan

Kondisi kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stress (stresor). Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran, dapat juga menimbulkan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dan kesiagaan serta ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian memudahkan timbulnya kecelakaan, misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan sehingga timbul kecelakaan (Munandar, 2008).

Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki manusia. Dikatakan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang,


(52)

bunyi-bunyian tersebut akan dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi bahkan kebisingan yang serius dapat mengakibatkan stres bahkan kematian (Santa, 2011). Menurut Ivancevich dan Matteson (1980) menyatakan bahwa bising yang berlebih (sekitar 85 dB) yang berulang kali didengar, untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan stres. Namun, menurut Shofwati dan Satar (2009) dalam bukunya Hygiene Industri mengatakan bahwa tingkat kebisingan yang rendah bekisar antara 40-75 dB dapat pula menyebabkan stres. Stres dapat berbentuk seperti kelelahan, kegelisahan, depresi dan dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stres yang lain, dan menurunkan motivasi kerja.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Airmayanti (2010)

didapatkan p value = 0,005 lebih kecil dari α (0,05) sehingga dapat

dikatakan bahwa ada hubungan antara kebisingan dengan stres kerja. Kebisingan dapat disebabkan oleh berbagai sumber. Sumber bising dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:


(53)

35

a. Bising interior,

Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau mesin-mesin gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi, alat-alat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada digedung tersebut seperti kipas angin, motor kompresor pendingin, pencuci piring dan lain-lain.

b. Bising eksterior,

Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara, dan alat-alat konstruksi. Dalam dunia industri jenis-jenis bising yang sering dijumpai antara lain meliputi:

1. Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara yang ditimbulkan oleh mesin bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.

2. Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising yang dihasilkan oleh suara mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.


(54)

3. Bising terputus-putus (intermittent). Misal suara lalu lintas, suara kapal terbang.

4. Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lain-lain.

Tabel 2.2

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan menurut Permenakertrans No 13 Tahun 2011 Waktu pemaparan

perhari

Intensitas kebisingan dalam dBA

8 Jam 85

4 Jam 88

2 Jam 91

1 Jam 94

30 Menit 97

15 Menit 100

7,5 Menit 103

3,75 Menit 106

1,88 Menit 109

0,94 Menit 112

Catatan : tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB, walaupun sesaat.

a. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan di tempat kerja dapat dilakukan dengan Sound Level Meter. Alat ini dapat mengukur kebisingan diantara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 – 20000 Hz (Suma’mur 2009). Selain itu, ntuk mengukur nilai ambang pendengaran dapat menggunakan Audiometer. Sedangkan, untuk menilai tingkat pajanan pekerja lebih tepat digunakan Noise Dose Meter karena


(55)

37

pekerja umumnya tidak menetap pada suatu tempat kerja selama ia melakukan pekerjaan.

Cara melakukan pengukuran kebisingan dapat dilihat berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2009 tentang metode pengukuran intensitas kebisingan di tempat kerja. Pengukuran kebisingan pada dasarnya meliputi pengukuran intensitas kebisingan, frekuensi dan dosis kebisingan.

Adapun cara pengukuran kebisingan dengan Sound Level Meter sesuai SNI 7231 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

1) Hidupkan alat ukur intensitas kebisingan.

2) Periksa kondisi baterei, pastikan bahwa keadaan power

dalam kondisi baik.

3) Pastikan skala pembobotan.

4) Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan karakteristik sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F untuk sumber bunyi kejut). 5) Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia

yang ada di tempat kerja.

6) Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang sumber bunyi.


(56)

7) Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber bunyi, 70o – 80o dari sumber bunyi).

8) Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi sinambung setara (Leq) Sesuaikan dengan tujuan pengukuran.

9) Catatlah hasil pengukuran intensitas kebisingan pada lembar pengukuran.

g. Tekanan Panas

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1405 Tahun 2002 tentang kondisi lingkungan kerja yang sesuai dengan persyaratan kesehatan, suhu ruangan yang cocok berkisar 21-30°C. Suhu panas dan dingin, dapat menyebabkan pekerja mudah merasa lelah disamping pengaruh kesehatan lainnya. Efek suhu di tempat kerja baik di dalam maupun di luar ruangan harus memperhatikan status kesehatan pekerja, kelembaban, kecepatan aliran udara, jenis pakaian yang digunakan dan lama pemaparan. Karena jika keadaan ini terjadi berlarut-larut dapat menyebabkan pekerja tidak mampu bekerja dengan baik karena menurunnya gairah bekerja atau bila terpaksa bekerja maka dapat mengakibatkan stres (Munandar,2004).

Menurut Achmadi (1990) tekanan panas yang berlebihan merupakan beban tambahan yang harus diperhatikan dan


(57)

39

dipertimbangkan. Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat menyebabkan beban fisiologis seperti kerja jantung menjadi bertambah.

Menurut penelitian Siswanti (2004) didapatkan hasil uji statistik Pvalue sebesar 0,039 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara tekanan panas dengan stres kerja. Selain itu hasil OR sebesar 3,82 hal ini berarti pekerja yang merasakan panas memiliki kecenderungan untuk terkena stres 3 kali lebih besar daripada pekerja yang tidak terkena panas.

a. Pengukuran Tekanan Panas

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja, pengukuran panas dilingkungan kerja juga dapat diketahui dengan menggunakan parameter ISBB (Indeks Suhu Basah dan Bola) yang dimana ketentuan-ketentuannya memperhatikan hal-hal berikut ini:

1) Suhu udara kering (dry bulb temperature): suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu kering.

2) Suhu Basah Alami (natural wet bulb temperature): suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola basah alami. Merupakan suhu penguapan air yang pada suhu yang


(58)

sama menyebabkan terjadinya keseimbangan uap air di udara, suhu ini biasanya lebih rendah dari suhu kering. 3) Suhu Bola (globe temperature) : suhu yang ditunjukkan

oleh termometer bola. Suhu ini sebagai indikator tingkat radiasi.

Pengukuran beberapa faktor lingkungan yang telah disebutkan diatas dapat dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan alat ukur Thermal Environmental Monitor atau

yang biasa disebut dengan WBGT (Wet Bulb Globe Temperature). WBGT memiliki 3 termometer yang masing-masing berfungsi untuk mengkur suhu kering, suhu bola basah, suhu radian atau suhu global.

Perhitungan hasil pengukuran panas lingkungan kerja dapat dibedakan menjadi dua kelompok uaitu:

1) Indoorarea, yaitu lingkungan yang tidak terpajan oleh cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk pekerjaan tanpa panas radiasi adalah :

ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,3 Suhu Bola 2) Outdoor area, yaitu lingkungan kerja yang terpajan

oleh cahaya matahari secara langsung. ISBB untuk pekerjaan diluar ruangan dengan panas radiasi adalah :


(59)

41

ISBB = 0,7 Suhu Basah Alami + 0,2 Suhu Bola + 0,1 Suhu Kering

Dalam penerapannya di lapangan, pengukuran tekanan panas dengan WBGT dilaksanakan bersamaan dengan perhitungan jumlah panas metabolik yang diterima pekerja (beban kerja) sesuai dengan klasifikasi beban kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2011 dan mengukur waktu kerja tenaga kerja setiap jam.

Tabel 2.3

Nilai Ambang Batas (NAB) Tekanan panas Pengaturan waktu

kerja setiap jam

ISBB (oC) Beban Kerja

Ringan Sedang Berat 75% - 100 % 31.0 28.0 -

50% - 75 % 31.0 29.0 27.5 25% - 50% 32.0 20.0 29.0 0 % - 25% 32.2 31.1 30.5 Adapun cara pengukuran takanan panas dengan WBGT sesuai SNI 16-7061 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

1) Prinsip

Alat diletakkan pada titik pengukuran sesuai dengan waktu yang ditentukan, suhu basah alami, suhu kering dan suhu bola dibaca pada alat ukur, dan indeks suhu basah dan bola diperhitungkan dengan rumus.


(60)

2) Peralatan

Alat-alat yang dipakai harus telah dikalibrasi oleh laboratorium yang terakreditasi untuk melakukan kalibrasi, minimal 1 tahun sekali.

Alat-alat yang digunakan terdiri dari:

a) Termometer suhu basah alami yang mempunyai kisaran –50 C sampai dengan 500 C dan bergraduasi maksimal 0,50 C

b) Termometer suhu kering yang mempunyai kisaran – 5oC sampai dengan 500 C dan bergraduasi maksimal 0,50 C

c) Termometer suhu bola yang mempunyai kisaran – 5oC sampai dengan 1000 C dan bergraduasi maksimal 0,50 C

3) Prosedur kerja

Langkah-langkah prosedur kerja adalah sebagai berikut: a) Rendam kain kasa putih pada termometer suhu basah

alami dengan air suling, jarak antara dasar lambung termometer dan permukaan tempat air 1 inci. Rangkaikan alat pada statif dan paparkan selama 30 menit - 60 menit.


(61)

43

b) Rangkaikan termometer suhu kering pada statif dan paparkan selama 30 menit – 60 menit.

c) Pasangkan termometer suhu bola pada bola tembaga warna hitam (diameter 15 cm, kecuali alat yang sudah dirakit dalam satu unit), lambung termometer tepat pada titik pusat bola tembaga. Rangkaikan alat pada statif dan paparkan selama 20 menit – 30 menit. d) Letakkan alat-alat tersebut di atas pada titik

pengukuran dengan lambung termometer setinggi 1 meter – 1,25 meter dari lantai.

e) Waktu pengukuran dilakukan 3 kali dalam 8 jam kerja yaitu pada awal shift kerja, pertengahan shift kerja dan akhir shift kerja.

4) Penentuan titik pengukuran

Letak titik pengukuran ditentukan pada lokasi tempat tenaga kerja melakukan pekerjaan.

h. Pencahayaan

Menurut Suma’mur (2009) permasalahan dalam penerangan meliputi kemampuan untuk melihat sesuatu, sifat-sifat indera penglihatan, usaha-usaha yang diperlukan untuk melihat objek lebih baik serta pengaruh penerangan terhadap lingkungan. penerangan


(62)

yang baik memungkinkan pekerja untuk melihat pekerjaannya lebih teliti, cepat dan tidak perlu menggunakan tenaga yang tidak perlu serta membantu menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan.

Sifat-sifat penerangan yang baik meliputi :

1. Pembagian luminensi dalam lapangan penglihatan 2. Pencegahan kesilauan

3. Arah cahaya 4. Warna

5. Panas ruangan terhadap keadaan lingkungan

Jika pencahayaan tidak sesuai dengan standar maka akan menimbulkan kerugian-kerugian diawali dengan keluhan didaerah mata selanjutnya ditandai oleh timbulnya kelelahan dan pusing sekitar kepala kemudian menyebabkan kerusakan pada penglihatan yang tak jarang akan menyebabkan kecelakaan kerja Suma’mur (2009).

Pencahayaan yang kurang maupun berlebih ditempat kerja dapat menyulitkan pekerja untuk bekerja secara optimal, sehingga jika hal ini terjadi untuk waktu yang lama dapat


(63)

45

menyebabkan pekerja mengalami stress dan ketidaknyamanan dalam bekerja (Suprapto, 2008).

Tabel 2.4

Nilai ambang batas intensitas cahaya ditempat kerja menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SKII/1998: Jenis kegiatan Tingkat pencahayaan minimal (LUX) Keterangan Pekerjaan kasar & tidak terus menerus

100 Ruang penyimpanan &ruang peralata/ instalasi yang memerlukan pekerjaan yang kontinyu

Pekerjaan kasar

& terus menerus

200 Pekerjaan dengan mesin& perakitan/ penyusun

Pekerjaan rutin 300 Pekerjaan kantor/ administrasi, ruang control,

pekerjaan mesin & perakitan/ penyusun.

Pekerjaan agak haluS

500 Pembuatan gambar atau bekerja dengan mesin kantor, pekerja pemeriksaan atau pekerjaan dengan mesin

Pekerjaan halus 1000 Pemilihan/ warna, pemprosesan, tekstil, pekerjaan mesin halus & perakitan halus. Pekerjaan amat halus 1500 tidak menimbulkan bayangan

Mengukir dengan tangan, pemeriksaan pekerjaan mesin dan perakitan yang sangat halus

Pekerjaan detail 3000 tidak menimbulkan

bayangan

Pemeriksaan pekerjaan, perakitan sangat halus


(64)

i. Getaran

Menurut Permenaker No 13 Tahun 2011 Getaran merupakan gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. Nilai Ambang Batas getaran untuk pemaparan tangan-lengan dengan parameter percepatan pada sumbu yang dominan: 4 m/det2 atau 0,40 Grav.

Getaran merupakan sumber stres yang kuat dapat menyebabkan peningkatan taraf catecholamine dan perubahan dari berfungsinya seseorang secara psikologikal dan neurogikal. (Munandar, 2001).

j. Peranan dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja memiliki tugas yang harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, tidak semua pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Hasil yang kurang baik inilah yang dapat menimbulkan stres karena tidak sesuai dengan tuntutan yang diinginkan oleh atasan (Munandar, 2008).

Peranan dalam organisasi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya stres ditempat kerja. Masalah yang timbul dalam stressor ini berupa ambigu atau ketidakjelasan peran dalam organisasi dan konflik


(65)

47

antar peran. Ketidakjelasan peran dapat terjadi jika terdapat dua jenis jabatan yang bersinggungan peran dan fungsinya maupun akibat dari tidak adanya deskripsi yang jelas terkait pekerjaan oleh manajemen. Sedangkan, konflik antarperan dalam organisasi terjadi disebabkan karena adanya ketidakpuasan kerja satu sama lain. (cooper dan Davidson, 1987).

Cox, Griffiths dan Gonzales (2000) dalam Prativi (2013) menambahkan aspek berbahaya lainnya pada peran dalam organisasi meliputi kelebihan peran, ketidakcukupan peran dan tanggung jawab yang berlebih.

k. Pengembangan Karir

Sistem peningkatan jenjang karir menjadi sumber utama stres terutama bagi beberapa pekerjaan yang menekankan adanya hubungan pengembangan karir dengan kompetensi. Mayoritas pekerja khususnya pekerja formal, memiliki sistem peningkatan karir berjenjang dan pekerja dapat terkena stres jika kompetensi tinggi yang dimilikinya tidak membuat karirnya naik.

Menurut Marshal (1977) dalam Prativi (2013) menyatakan bahwa terdapat dua sumber potensial stres kerja yang termasuk dalam pengembangan karir yaitu ketidakpastian pekerjaan dan


(66)

ketidaksesuaian status yang diperoleh pekerja. Aspek pengembangan karir yang menyebabkan stres pada pekerja meliputi promosi jabatan, degradasi jabatan, gaji, ketidaksesuaian status dengan kompetensi, ketidaksesuaian akan jaminan kerja dimasa depan dan ambisi dalam meraih kenaikan jabatan yang terhalangi (cooper dan Davidson, 1987).

l. Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal yang baik idealnya terjalin diantara semua level pekerja, baik dengan atasan, staf maupun pekerja dengan level yang sama. Hubungan interpersonal didalam pekerjaan dan dukungan sosial dari rekan kerja, atasan maupun anggota memiliki keterkaitan dengan stres kerja (cooper dan Davidson, 1987). Hubungan yang buruk ditempat kerja dapat menimbulkan ketidakjelasan peran sehingga dapat menimbulkan ketegangan psikologis serta menimbulkan ketidakpuasan ditempat kerja. Hubungan interpersonal ditempat kerja berhubungan erat dengan kesehatan pada pekerja dan lingkungan kerja itu sendiri. Hubungan interpersonal yang baik tidak hanya berguna untuk menunjang profesionalisme dalam pekerjaan tetapi juga mencegah terjadinya stres kerja (Munandar, 2008).

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejalagejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam


(67)

49

pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya (Kahn dkk, 1964).

m. Struktur dan Iklim Organisasi

Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada dukungan sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan kesehatan mental dan fisik (Munandar, 2008).

2.3 Pengukuran Stres

Menurut Karoley (1985) dalam buku Measurement Strategic in Health Psychology teknik pengukuran stres yang biasa digunakan dalam studi Amerika Serikat dapat digolongkan dalam 4 cara, yaitu :


(68)

1. Self Report Measure

Cara ini dikenal sebagai “Life Event Scale” yang berisi beberapa pertanyaan sebagai indikator dalam menentukan stres kerja. Kuesioner digunakan untuk mengukur stres yaitu dengan menyatakan intensitas pengalaman psikologis, fisiologis dan perubahan fisik yang dialami seseorang. Teknik ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan seseorang. Berikut ini beberapa pertanyaan yang digunakan sebagai indikator dalam menentukan stres kerja berdasarkan metode “Life Event Scale” (Terlampir).

2. Performance Measure

Cara ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang. Contohnya, penurunan prestasi kerja terlihat dari gejala seperti cenderung berbuat salah, kurang konsentrasi, dan menjadi lamban dalam bereaksi.

3. Psysiological Measure

Pada pengukuran ini berusaha untuk melihat perubahan fisik akibat stres, seperti perubahan tekanan darah, ketegangan pada otot bahu, leher dan pundak. Cara ini sering dianggap paling tinggi reabilitasnya, namun sangat tergantung si pengukur dan pada alat yang digunakan.


(69)

51

4. Biochemical Measure

Teknik ini melihat stres melalui respon biokimia individu berupa perubahan kadar hormon katekolamin dan kortikosteroid setelah pemberian stimulus. Reabilitas dari cara ini tergolong tinggi namun hasil pengukurannya dapat berubah bila subjek penelitiannya adalah perokok, peminum alkohol dan kopi. Hal ini karena rokok, kopi dan alkohol dapat meningkatkan kadar kedua hormon tersebut dalam tubuh.

Dari keempat cara tersebut, yang paling sering digunakan dalam penelitian stres adalah life event scale, karena paling mudah diatur dan hanya membutuhkan biaya yang relatif murah walaupun sering terdapat keterbatasan tertentu.


(70)

Tabel 2.6 Indikator stres kerja

Tidak pernah

jarang Kadang-kadang

sering Setiap hari Jantung berdebar

Gemetar

Menggertakan gigi pada saat tidur Tidak bisa tidur

Rentan terhadap penyakit Sakit perut

Sakit kepala

Sakit kepala sebelah (migraine) Merasa lelah terus-menerus Sembelit

Perut kosong

Percaya diri yang turun Hilang nafsu makan Keringat berlebihan

Telapak tangan berkeringat Lesu

Lupa Linglung Merasa jengkel Merasa muak

Merasa ingin bunuh diri Pesimis

Cemburu Murung

Sakit pada bagian punggung Depresi

Gelisah

Kehilangan minat dalam hal-hal Nyeri otot

Sensitif/peka Ragu-ragu

Memeriksa pekerjaan yang berlebihan Sulit bernapas

Berjuang untuk mengatasi penyakit minor (misalnya dingin)

Bersikap curiga Rambut rontok


(71)

53

Gangguan konsenterasi

Perut mulas/rasa panas dalam perut Menurunkan berat badan

Iritasi pada tenggorokan Hilang rasa humor Penyakit kulit

Jangan mengambil inisiatif seperti dulu Mimpi buruk

Mulut kering

Mengkonsumsi tonik (Bioplus, liviton, lucozade, pharmaton)

Diare Gugup

Merasa tidak mampu Mudah kaget

Meningkatnya nafsu makan Gangguan koordinasi Ketidakpastian Cepat frustasi

Kurang keterlibatan dengan orang lain Menggigit kuku

Kurang motivasi

Peningkatan konsumsi kafein(kopi,teh ) Resah

Pengambilan keputusan yang jelek Merokok

Merasa diluar kendali Merasa bingung Tidur yang berlebihan Menggunakan obat tidur Merasa lelah ketika bangun Merasa kewalahan dengan banyak Pekerjaan

Mengedipkan mata secara berlebihan Melamun

Menunda pekerjaan Merasa panic

Mengurangi produktivitas

Membuang-buang waktu pekerjaan Sulit untuk mengidentifikasi penyebab non kinerja


(72)

Tidak bisa mendiskusikan masalah dengan orang lain

Sumber. melalui situs Brown family environmental center at Kenyon college.

Berdasarkan daftar pertanyaan diatas, Jika responden menjawab “tidak pernah” diberi bobot skor 0, jika responden menjawab “jarang” diberi bobot skor 1, jika responden menjawab “kadang-kadang” diberi bobot skor 2, jika responden menjawab “sering” diberi bobot skor 3 dan jika responden menjawab “setiap hari” diberi bobot skor 4. Dengan demikian, jumlah nilai kumulatif berada dalam rentang 75 sampai dengan 300. Untuk penilaian indicator stres kerja, dapat dilakukan penilaian sendiri (self assesment). Sistem penilaian/ scoring yang digunakan sebagai indicator untuk masing-masing kelompok sebagai berikut.

a. Nilai 0-20 : Tidak mengalami stres b. Nilai 21-45 : Mengalami stres ringan c. Nilai 46-70 : Mengalami stres sedang d. Nilai 71-90 : Mengalami stres berat

e. Nilai >90 : Mengalami stres sangat berat

2.4 Pencegahan dan Pengendalian Stres

Menurut Lanny Novianti (2011) ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan stres di tempat kerja, yaitu :


(1)

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 38.015 4 .000

Block 38.015 4 .000

Model 38.015 4 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 75.222a .371 .496

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

classification Tablea

Observed

Predicted stresmedian

Percentage Correct tidak stres stres

Step 1 stresmedian tidak stres 31 7 81.6

stres 11 33 75.0

Overall Percentage 78.0

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a usia .205 .057 13.013 1 .000 1.228 1.098 1.372

masa -.063 .057 1.219 1 .270 .939 .839 1.050

hub1 1.225 .799 2.352 1 .125 3.404 .711 16.291

kebisingan 1.302 .601 4.685 1 .030 3.676 1.131 11.947

Constant -7.288 1.733 17.691 1 .000 .001

a. Variable(s) entered on step 1: usia, masa, hub1, kebisingan.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 82 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 82 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 82 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.


(2)

Dependent Variable Encoding Original

Value Internal Value

tidak stres 0

stres 1

block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted stresmedian

Percentage Correct tidak stres stres

Step 0 stresmedian tidak stres 0 38 .0

stres 0 44 100.0

Overall Percentage 53.7

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .147 .221 .438 1 .508 1.158

Variabel not in the equation

Score df Sig.

Step 0 Variables usia 25.477 1 .000

hub1 2.144 1 .143

kebisingan 10.449 1 .001

Overall Statistics 31.065 3 .000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 36.696 3 .000

Block 36.696 3 .000


(3)

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 76.540a .361 .482

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted stresmedian

Percentage Correct tidak stres stres

Step 1 stresmedian tidak stres 30 8 78.9

stres 12 32 72.7

Overall Percentage 75.6

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a usia .163 .039 16.992 1 .000 1.177 1.089 1.271

hub1 1.144 .801 2.040 1 .153 3.138 .653 15.070

kebisingan 1.222 .592 4.268 1 .039 3.395 1.065 10.828

Constant -6.405 1.482 18.683 1 .000 .002

a. Variable(s) entered on step 1: usia, hub1, kebisingan.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 82 100.0

Missing Cases 0 .0

Total 82 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 82 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.


(4)

Dependent Variable Encoding Original

Value Internal Value

tidak stres 0

stres 1

block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted stresmedian

Percentage Correct tidak stres stres

Step 0 stresmedian tidak stres 0 38 .0

stres 0 44 100.0

Overall Percentage 53.7

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .147 .221 .438 1 .508 1.158

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables usia 25.477 1 .000

kebisingan 10.449 1 .001

Overall Statistics 29.595 2 .000

block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 34.529 2 .000

Block 34.529 2 .000

Model 34.529 2 .000

model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square


(5)

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 34.529 2 .000

Block 34.529 2 .000

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001.

Classification Tablea

Observed

Predicted stresmedian

Percentage Correct tidak stres stres

Step 1 stresmedian tidak stres 30 8 78.9

stres 10 34 77.3

Overall Percentage 78.0

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95.0% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a usia .155 .038 17.036 1 .000 1.168 1.085 1.258

kebisingan 1.342 .583 5.304 1 .021 3.827 1.221 11.990

Constant -5.998 1.396 18.453 1 .000 .002

a. Variable(s) entered on step 1: usia, kebisingan.

UJI VALIDITAS DAN REALIBILITAS

A.

Rutinitas

Reliability

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.


(6)

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.852 3

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

satu 1.7667 .323 .845 .712

dua 1.7667 .323 .845 .712

tiga 1.8667 .257 .598 1.000

b.

Hubungan Interpersonal

Reliability

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

.866 6

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

empat .3333 1.057 .490 .870

lima .3000 .907 .628 .849

enam .3000 .838 .802 .816

tujuh .3000 .838 .802 .816

delapan .3000 .907 .628 .849