9. Nilai proyeksi permintaan berdasarkan kondisi riil dengan laju pertumbuhan
pendapatan 5 persen dan laju pertumbuhan harga 3 persen menghasilkan persentase kesalahan relatif MAPE, akar kuadrat tengah galat RMSE dan
persentase akar kuadrat tengah galat RMSPE yang paling kecil, yaitu sekitar 1.24 persen, 0.50 dan 1.82 persen. Pada skenario ini terlihat tingkat
konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia akan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun. Jika hasil proyeksi ini
dikaitkan dikaitkan dengan program pemerintah yang mentargetkan
tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kgkapita pada tahun 2014 tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai, karena nilai proyeksi berdasarkan skenario
ini adalah 36.3 kgkapita. Dengan asumsi elastisitas harga dan pendapatan tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kgkapita pada tahun
2014 dapat dicapai dengan upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sebesar 2 persen per tahun.
9.2. Implikasi Kebijakan
1. Besarnya peranan ikan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani di
Indonesia dengan distribusi yang tidak merata
mengindikasikan bahwa intervensi
kebijakan di
bidang perikanan
tetap diperlukan.
Kebijakan tersebut
adalah kebijakan
yang berhubungan
dengan pemasaran,
pengembangan saranaprasarana, dan regulasi pemasaran. Tujuannya
antara lain adalah untuk memudahkan konsumen dan pelaku usaha dalam mendapatkan
produk perikanan
yang terjamin
kualitas, kuantitas
dan kontinuitasnya.
2. Mengingat konsumsi ikan penduduk Indonesia didominasi oleh konsumsi
ikan segar
sedangkan berdasarkan
nilai elastisitas
diketahui bahwa
komoditas ikan
segar tersebut
tidak elastis
terhadap harga
maupun pendapatan, maka kebijakan untuk meningkatkan konsumsi ikan yang perlu
dilakukan adalah
kebijakan sosialisasi
dan peningkatan
pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan melalui penyuluhan, pendidikan,
dan iklan layanan masyarakat seperti yang selama ini dilakukan melalui program Gemarikan.
3. Untuk mencapai target peningkatan konsumsi ikan pada tahun 2014 sebesar
38 kgkapita, maka upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi
sebesar 2 persen per tahun akan lebih baik dibandingkan dengan upaya memacu pertumbuhan pendapatan menjadi 6 persen per tahun.
9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan
1. Penelitian selanjutnya mengenai pola konsumsi dan analisis permintaan
ikan dapat dilakukan dengan data yang terbaru sehingga dapat mengungkap fakta yang lebih aktual dan menangkap perubahan pola konsumsi dan
permintaan ikan di wilayah Indonesia secara lebih jelas. 2.
Penelitian yang akan datang dapat mengunakan model analisis yang lebih komprehensif
dengan mempertimbangkan
rumahtangga nelayan
yang bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen.
3. Penelitian
lanjutan juga
dapat dilakukan
dengan penggolongan
produk perikanan, wilayah, maupun kelompok pendapatan yang berbeda, serta
memasukkan peubah
jumlah anggota
rumahtangga dengan
mempertimbangkan komposisi umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan pada
model permintaan
sehingga akan
memperkaya analisis
terutama dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi protein hewani asal ikan.
V. METODE PENELITIAN
5.1. Kerangka Pendekatan
Secara umum pola konsumsi pangan menunjukkan susunan makanan yang mencakup jumlah dan jenis makanan rata-rata per orang per hari yang
umum dikonsumsi penduduk dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu aspek ketahanan pangan.
Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar dan terus
bertambah dari tahun ke tahun menuntut aspek ketahanan pangan menjadi program strategis pembangunan nasional.
Namun demikian, aspek ketahanan pangan tersebut juga memaksa tidak hanya faktor kuantitas, tetapi juga faktor
kualitas, termasuk di dalamnya asupan protein dalam rangka meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia.
Ikan menjadi
salah satu
pilihan penting
mengingat ketersediaannya
pada sebagian
besar wilayah
Indonesia serta
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Tingkat
konsumsi ikan
masyarakat Indonesia
dari tahun
ke tahun
mengalami peningkatan. Walaupun mengalami peningkatan, namun masih lebih rendah
dibandingkan negara-negara
lain seperti
Malaysia dan
Jepang. Sementara itu, terdapat disparitas tingkat konsumsi per kapita antar daerah di
Indonesia. Variasi juga terjadi antar konsumsi ikan segar, ikan awetan, dan
udang. Keadaan
tersebut dapat
dipengaruhi oleh
berbagai faktor
sosial, ekonomi, budaya, serta preferensi yang dihubungkan dengan kondisi geografis.
Peubah-peubah tersebut berinteraksi dengan aspek ketersediaan ikan untuk konsumsi domestik dan ekspor, yang pada akhirnya menentukan pola dan
tingkat konsumsi ikan per kapita. Pola konsumsi per kapita akan mempengaruhi tingkat permintaan ikan secara nasional.
Dari beberapa
literatur diperoleh
informasi bahwa
studi mengenai
permintaan produk ikan masih sangat jarang dilakukan. Pada umumnya studi
yang dilakukan adalah studi mengenai permintaan pangan secara umum. Studi mengenai
permintaan produk
ikan umumnya
dijadikan satu
dengan studi
mengenai permintaan pangan hewani. Di sisi lain informasi mengenai pola konsumsi ikan dan bagaimana respon terhadap perubahan harga dan perubahan
pendapatan sangat
diperlukan untuk
menduga kesejahteraan,
pengaruh perubahan teknologi, perkembangan infrastruktur, atau kebijakan ekonomi lain.
Informasi ini
diperlukan secara
lebih spesifik,
bukan hanya
ikan secara
keseluruhan. Harga dan preferensi konsumen berbeda untuk setiap jenis ikan atau
kelompok ikan. Penelitian mengenai permintaan ikan secara spesifik termasuk suatu hal baru, khususnya di negara berkembang.
Karena kekurangan data permintaan ikan, proyeksi global tahun 2020 yang dilakukan oleh International
Food Policy
Research Institute
IFPRI berdasarkan
IMPACT model
tidak memasukkan komoditas ikan di dalamnya.
Pada tahun 1997 komoditas ikan baru
dimasukkan sebagai
salah satu
kategori dari
lima kelompok
produk livestock.
Secara global, FAO mengingatkan bahwa secara umum telah terjadi excess demand dibanding suplai produk perikanan di dunia.
Gap ini diduga terjadi karena pertumbuhan produksi perikanan dunia yang tidak bisa memenuhi
permintaannya akibat pertumbuhan penduduk dan usaha peningkatan konsumsi per kapita di beberapa negara yang akhirnya mendorong proses perdagangan
internasional. Aspek ini tidak dibahas dalam penelitian ini bagian biru pada