Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) Di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta Tahun 2014

(1)

PEMADAM KEBAKARAN (PKP-PK) DI BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA JAKARTA TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh AHMAD RIVAI NIM : 107101001696

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

ii Skripsi, Juli 2014

Ahmad Riva’i, NIM : 107101001696

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja Pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) Di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta Tahun 2014

xix + 121 Halaman, 17 Tabel, 2 Gambar, 2 Bagan, Lampiran ABSTRAK

Stres kerja adalah satu bentuk tanggapan seorang, baik fisik maupun mental terhadap satu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Petugas pemadam kebakaran dan petugas penyelamat (rescue workers) merupakan pekerjaan dengan resiko stres yang tinggi karena terpajan dengan berbagai kejadian yang bersifat traumatis sebagai bagian dari pekerjaannya. Salah satu jenis pekerjaan seperti itu adalah unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di suatu bandar udara.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta yang berjumlah 96 responden. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chi-square. Variabel yang diteliti yaitu, faktor intrinsik dalam pekerjaan (beban kerja, rutinitas dan kebisingan), pengembangan karier (promosi kerja, kepuasan gaji dan pendidikan dan pelatihan) dan faktor pekerja (umur, pendidikan, masa kerja dan status pernikahan). Stres kerja diukur dengan menggunakan metode pengukuran life event scale.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pekerja yang mengalami stres kerja berat yaitu sebesar 21,9% (21 orang), mengalami stres kerja ringan sebesar 68,8% (66 orang) dan yang tidak mengalami stres sebesar 9,4% (9 orang). Kemudian dari hasil analisis bivariat, diperoleh dua faktor yang berhubungan dengan stres kerja yaitu beban kerja dengan p value 0,011 dan kebisingan dengan p value 0,020.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka ada beberapa saran yang dapat direkomendasikan kepada unit kerja PKP-PK dan para pekerjanya agar mengisi waktu standby dengan hal-hal yang positif seperti berolahraga ringan, membaca buku dan kegiatan lainnya yang mendukung dalam pelaksanaan tugas. Pihak instansi dapat menyediakan alat pelindung telinga yang sesuai dengan standar yang ada sehingga kebisingan di tempat kerja dapat dikurangi yang pada akhirnya tidak menimbulkan efek yang buruk terhadap pendengaran para pekerjanya.

Kata Kunci : Stres Kerja, Bandar Udara, Cross Sectional, Kebisingan Daftar bacaan : 35 (1985 - 2013)


(4)

iii Undergraduate, July 2014

Ahmad Riva’i, NIM : 107101001696

FACTORS ASSOCIATED WITH JOB STRESS ON AIRPORT RESCUE AND FIREFIGHTING SERVICES (ARFS) WORKERS IN SOEKARNO-HATTA AIRPORT JAKARTA IN 2014

xix + 121 pages, 17 tables, 2 pictures, 2 charts, attachments ABSTRACT

Job stress is one form of responses, either physical or mental to a change in their environment are perceived annoying and resulting in himself threatened. Firefighters and rescue workers is a job at the risk of a stress that high because is exposed to a variety of an occurrence that is spatially traumatic as part of the job. One of the types of work as it is a unit of Airport Rescue and Firefighting Services (ARFS) in an airport.

This research is the kind of research quantitative with a design the study of cross-sectional. A sample in this research is Airport rescue and firefighting Services (ARFS) workers in Soekarno-Hatta Airport Jakarta which totaled 96 respondents. Statistical test used in this research is chi-square. The variables examined is an intrinsic factors in work (workload, routines and noise), it is a further career (employment promotion, salary satisfaction, education and training) and workers (age, education, past employment and marital status). Job stress measured by using the method of life event scale.

Based on the results of the study revealed that workers who experience stress that amounted to 37.5% (36 people) and are not subjected to the stress of 62.5% (60 people). Then from bivariat analysis results, obtained two factors related to stress of work it is the workload with a p value 0,020 and noise with a p value 0.042.

Based on the results of the research conducted, then there are some suggestions that can be recommended to the working unit of ARFS and his workers in order to fill the time standby with positive things such as mild exercise, read books and other activities that support the implementation of the task. The Agency can provide the appropriate ear protectors with existing standards so that the noise in the workplace can be reduced that ultimately did not result in bad effects against hearing his workers. Keywords : Job Stress, Airport, Cross Sectional, Noise


(5)

(6)

(7)

vi

NAMA : Ahmad Riva’i

TTL : Jakarta, 9 April 1989

JENIS KELAMIN : Laki-laki

AGAMA : Islam

ALAMAT : Jalan Manunggal 2 No. 59 Rt. 003 Rw. 02

Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan KEWARGANEGARAAN : Indonesia

AGAMA : Islam

NO. TELEPON : +6285694404744

EMAIL : mutiara.5623@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

2007 – 2014 : S1 – Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2004 - 2007 : Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Jakarta

2001 – 2004 : Madrasah Tsanawiyah (Mts) Darunnajah Petukangan, Jakarta Selatan 1995 – 2001 : Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darunnajah Petukangan, Jakarta Selatan


(8)

vii Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Puji Syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat-Nya yang tak terbatas bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam tidak lupa tercurah limpahkan kepada junjungan kita Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kejahiliyahan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta Tahun 2014” ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kesulitan dan hambatan yang dihadapi. Keberhasilan penyusunan laporan skripsi ini tentu tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada :

1. Kedua orangtua, ayahanda dan ibunda yang selalu mendoakan dan memberikan kasih sayang serta dukungannya kepada penulis.

2. Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Prof. Dr. (HC) dr. M. K. Tadjuddin, Sp. And.


(9)

viii Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak dr. Yuli Prapancha Satar, MARS sebagai pembimbing I, yang selalu bersedia menyediakan waktu dan memberikan masukan, kritik dan saran dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM sebagai pembimbing II, yang dengan setianya memberikan bimbingan saran dan motivasi kepada penulis.

6. Ibu Fase Badriah Ph.D sebagai penguji I, terimakasih atas saran, masukan dan bimbingan selama penyusunan skripsi.

7. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK sebagai penguji II sekaligus dosen panutan, terimakasih atas nasehat, motivasi dan kesempatan yang telah ibu berikan selama ini kepada saya dan mohon maaf atas keterlambatan dalam penyusunan skripsi ini. 8. Bapak Alibin, Amd. dan Bapak Enten Rostendi, Amd. yang telah memberikan izin

dalam melaksanakan penelitian di unit kerja PKP-PK.

9. Seluruh pekerja PKP-PK Bandar Udara Soekarno-Hatta yang telah membantu dan bekerjasama dalam rangka penyusunan skripsi ini.

10. Komandan Jaga dan Personel Delta Force, yang selalu memberikan izin, dukungan dan semangat dikala penulis melaksanakan penyusunan skripsi.

11. Teman-teman seperjuangan magang SUCOFINDO, Thanks bro Hasyim & Said, semoga kita bisa menjadi orang-orang yang sukses!!!


(10)

ix

dan andil yang luar biasa kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Untuk Tim “veteran” angkatan 2007 (arif, hadi, faiz, ambang, riki, fadlie, yogi, agista, hara, rita, tiwi, zakia) terimakasih atas perjuangannya selama ini yang pada akhirnya kita bisa sampai pada tahapan ini bersama.

14. Sahabat-sahabatku angkatan OPUS 2007, selamat berjuang untuk menuju kesuksesan..!!!

15. Dan untuk semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan secara keseluruhan.

16. Yang teramat spesial, untuk mutiara hatiku (Lu’luil Maknuun) yang telah memberikan anugerah yang sangat luar biasa bagi keluarga kita (Alula Khairiyah Az-Zahra), terimakasih atas kesabarannya, dukungan semangat serta kasih sayang yang sangat luar biasa sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Pada akhirnya, skripsi ini telah disusun sedemikian rupa, tentunya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran sangat diharapkan, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Jakarta, Juli 2014 Penulis


(11)

x

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR BAGAN ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian... 11

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Stres ... 13

2.2 Pengertian Stres Kerja ... 15

2.3 Tahapan Stres ... 16

2.4 Pembangkit Stres ... 19

2.4.1 Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan ... 19


(12)

xi

2.4.5 Struktur dan Iklim Organisasi ... 33

2.4.6 Tuntutan dari Luar Organisasi/ Pekerjaan ... 34

2.4.7 Karakteristik Individu ... 34

2.5 Dampak Stres Kerja ... 41

2.6 Pengukuran Stres ... 43

2.7 Manajemen Stres Kerja ... 49

2.8 Kerangka Teori ... 55

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep ... 57

3.2 Definisi Operasional ... 59

3.3 Hipotesis Penelitian ... 61

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian ... 62

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 62

4.3. Populasi dan Sampel ... 62

4.4. Alat dan Cara Pengumpulan Data ... 1. Data Primer ... 65

2. Data Sekunder ... 66

4.5. Pengolahan Data... 1. Data Editing... 67

2. Data Coding... 67

3. Data Entry ... 68

4. Data Cleaning ... 69

4.6. Analisis Data ... 1. Analisis Univariat ... 69


(13)

xii

Pemadam Kebakaran (PKP-PK) Bandar Udara Soekarno-Hatta ... 71

5.1.1. Gambaran Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran Bandar Udara Soekarno-Hatta ... 71

5.1.2. Tugas dan Fungsi Unit PKP-PK ... 73

5.1.3. Struktur Organisasi PKP-PK Bandar Udara Soekarno-Hatta .... 73

5.1.4. Tugas dan Tanggung Jawab dalamStruktur Organisasi PKP-PK 74 5.2. Analisis Univariat ... 79

5.2.1. Gambaran Stres Kerja pada Pekerja PKP-PK di Bandara Soekarno-Hatta Tahun 2014... 79

5.2.2. Gambaran Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan ... 80

a. Beban Kerja ... 81

b. Rutinitas ... 81

c. Kebisingan ... 81

5.2.3. Gambaran Pengembangan Karir ... 82

a. Promosi kerja ... 82

b. Kepuasan Gaji ... 82

c. Pendidikan dan Pelatihan ... 83

5.2.3. Gambaran Faktor Pekerja ... 83

a. Umur ... 84

b. Pendidikan ... 84

c. Masa Kerja ... 84

d. Status Pernikahan ... 84

5.3. Analisis Bivariat ... 5.3.1. Hubungan antara Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan (Beban Kerja, Rutinitas dan Kebisingan) ... 85

a. Beban Kerja ... 85

b. Rutinitas ... 86


(14)

xiii

a. Promosi kerja ... 88

b. Kepuasan Gaji ... 89

c. Pendidikan dan Pelatihan ... 90

5.2.3. Hubungan antara Faktor Pekerja (Umur, Pendidikan, Masa Kerja dan Status Pernikahan ... 91

a. Umur ... 91

b. Pendidikan ... 92

c. Masa Kerja ... 93

d. Status Pernikahan ... 94

BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Keterbatasan Penelitian ... 95

6.2. Gambaran Stres Kerja ... 96

6.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja ... 98

1. Faktor Intrinsik dalam Pekerjaan ... 98

a. Hubungan antara Beban Kerja dengan Stres Kerja ... 98

b. Hubungan antara Rutinitas dengan Stres Kerja... 100

c. Hubungan antara Kebisingan dengan Stres Kerja ... 102

2. Pengembangan Karir ... 105

a. Hubungan antara Promosi Kerja dengan Stres Kerja ... 105

b. Hubungan antara Kepuasan Gaji dengan Stres Kerja ... 107

c. Hubungan antara Pendidikan dan Pelatihan dengan Stres Kerja . 108 3. Faktor Pekerja ... 109

a. Hubungan antara Umur dengan Stres Kerja ... 109

b. Hubungan antara Pendidikan dengan Stres Kerja ... 110

c. Hubungan antara Masa Kerja dengan Stres Kerja ... 111


(15)

xiv

7.2. Saran ... 116

1. Bagi Pekerja ... 116

2. Bagi Instansi ... 116

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118 LAMPIRAN


(16)

xv

Tabel 2.1 Daftar Pertanyaan untuk Metode Life Event Scale ... 45 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 59 Tabel 4.1 Hasil Penghitungan Sampel Berdasarkan Uji Hipotesis Beda

Dua Proporsi Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu ... 63 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Stres Kerja pada Pekerja Pertolongan

Kecelakaan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di bandara

Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 80 Tabel 5.2 Distribusi Responden menurut Faktor Intrinsik Pekerjaan

pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta

Tahun 2014 ... 81 Tabel 5.3 Distribusi Responden menurut Pengembangan Karier pada

Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta Tahun

2014 ... 82 Tabel 5.4 Distribusi Responden menurut Faktor Pekerja pada Pekerja

Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta Tahun

2014 ... 83 Tabel 5.5 Distribusi Responden menurut Beban Kerja terhadap Stres

Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara

Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 85 Tabel 5.6 Distribusi Responden menurut Rutinitas terhadap Stres Kerja

pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta

Tahun 2014 ... 86 Tabel 5.7 Distribusi Responden menurut Kebisingan terhadap Stres

Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara


(17)

xvi

dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara

Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 88 Tabel 5.9 Distribusi Responden menurut Kepuasan Gaji terhadap Stres

Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara

Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 89 Tabel 5.10 Distribusi Responden menurut Pendidikan dan Pelatihan

terhadap Stres Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di

Bandara Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 90 Tabel 5.11 Distribusi Responden menurut Umur terhadap Stres Kerja

pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta

Tahun 2014 ... 91 Tabel 5.12 Distribusi Responden menurut Pendidikan terhadap Stres

Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara

Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 92 Tabel 5.13 Distribusi Responden menurut Masa Kerja terhadap Stres

Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara

Soekarno-Hatta Tahun 2014 ... 93 Tabel 5.14 Distribusi Responden menurut Status Pernikahan terhadap

Stres Kerja pada Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di


(18)

xvii

Gambar 5.1 Unit Kerja PKP-PK Bandar Udara Soekarno-Hatta; (a) North Fire Station, (b) South Fire Station dan (c) Main Fire

Station ... 72 Gambar 5.2 Struktur Organisasi Unit Kerja PKP-PK di Bandar Udara


(19)

xviii

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 56 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 58


(20)

xix

PKP-PK : Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran ICAO : International Civil Aviation Organization


(21)

1

PENDAHULAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional kini memasuki era industrialisasi yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi. Produktivitas dan efisiensi kerja baik bagi pekerja maupun perusahaan merupakan landasan kuat dalam memacu produktivitas nasional. Namun, pembangunan berteknologi tinggi memiliki resiko bahaya dan penyakit akibat kerja yang dapat berpengaruh terhadap produktivitas kerja, efisiensi perusahaan dan juga menghambat laju kemajuan nasional. Era industrialisasi yang disertai dengan modernisasi industri dan pembangunan teknologi canggih, diantaranya juga dapat memberikan dampak negatif terhadap keselamatan dan kesehatan bagi para tenaga kerja (Nugrahani, 2008).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, membawa perubahan pula dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan itu mambawa akibat yaitu tuntutan yang lebih tinggi terhadap setiap individu untuk lebih meningkatkan kinerja mereka sendiri dan masyarakat luas. Agar eksistensi tetap terjaga, maka setiap individu akan mengalami stres terutama bagi individu yang kurang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut (Novitasari, 2003). Stres kerja merupakan masalah yang sering dijumpai serta menjadi perhatian di bidang kesehatan dan keselamatan kerja. Masalah yang dialami pekerja dapat menghasilkan ketidakstabilan psikologis dan mempengaruhi produktivitas. Berdasarkan “model stres kerja dan kesehatan” dari National


(22)

Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), berbagai stressor di lingkungan kerja dapat menimbulkan reaksi psikis, fisiologis dan perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan (Afrianti dkk, 2011).

Penyebab utama stres kerja adalah tuntutan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan atau keterampilan pekerja, keinginan atau aspirasi yang tidak tersalurkan, dan ketidakpuasan dalam bekerja. Stres kerja merupakan tahap awal terjadinya penyakit pada individu yang rentan. Sebagai akibatnya, stres dapat menimbulkan gangguan psikosomatik, neurotik, dan psikosis yang dapat dilihat dengan meningkatnya angka absenteisme, angka terlambat kerja, pergantian karyawan, kecelakaan kerja dan besarnya angka kerugian sehubungan dengan ketidakhadiran pekerja. Di samping itu, stres kerja selain dapat menurunkan tingkat kesehatan dapat pula mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dan akhirnya mempengaruhi kualitas performa kerja (Fatmah, 1993 dikutip oleh Airmayanti, 2009).

Kebanyakan pekerjaan dengan waktu yang sangat sempit ditambah lagi dengan tuntutan harus serba cepat dan tepat membuat orang hidup dalam keadaan ketegangan atau stres (Hawari, 1999). Salah satu pekerjaan yang menuntut pelaksanaan tugas tersebut adalah seorang pemadam kebakaran. Organisasi pemadam kebakaran tidak hanya di miliki oleh daerah pada umumnya, tetapi juga dimiliki oleh instansi atau perusahaan untuk melindungi aset yang dimiliki dari bahaya kebakaran termasuk di dalam suatu bandar udara.

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : KP 420 Tahun 2011, setiap bandar udara wajib membentuk organisasi Pertolongan


(23)

Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) sesuai dengan kategori bandar udara untuk Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK). Pelayanan Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) dilaksanakan secara cepat dan tepat untuk penyelamatan dan pertolongan kecelakaan penerbangan serta pemadaman kebakaran di bandar udara dan sekitarnya. Tugas dan fungsi unit Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di bandar udara, yaitu :

a. memberikan pelayanan Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) untuk menyelamatkan jiwa dan harta benda dari suatu pesawat udara yang mengalami kejadian (incident) atau kecelakaan (accident) di bandar udara dan sekitarnya

b. mencegah, mengendalikan, memadamkan api, melindungi manusia dan barang yang terancam bahaya kebakaran pada fasilitas di bandar udara

Pada dasarnya, tugas dan tanggung jawab PKP-PK tidak jauh berbeda dengan pemadam kebakaran pada umumnya yaitu untuk menyelamatkan jiwa dan harta masyarakat yang mengalami musibah terutama kebakaran. Kebakaran adalah proses kimia yaitu reaksi antara bahan bakar (fuel) dengan oksigen dari udara atas bantuan sumber panas (heat). Ketiga unsur api tersebut dikenal sebagai segitiga api (fire triangle). Oleh karena itu, bencana kebakaran selalu melibatkan bahan mudah terbakar dalam jumlah yang besar baik yang berbentuk padat seperti kayu, kertas atau kain maupun bahan cair seperti bahan bakar dan bahan kimia (Ramli, 2010).


(24)

Menurut data National Fire Protection Association (NFPA), jumlah kasus kebakaran yang terjadi di 50 negara bagian Amerika Serikat pada tahun 2006 sebanyak 524.000 kasus, tahun 2007 sebanyak 530.500 kasus dan pada tahun 2008 jumlah kebakaran yang terjadi sebanyak 515.000 kasus (Ramli, 2010).

Menurut penelitian CareerCast, secara global pemadam kebakaran menempati peringkat ketiga dalam pekerjaan yang paling rawan stres. Di Amerika Serikat pada 2011 dilaporkan ada 81 orang yang meninggal saat bertugas. Sedangkan pada 2012 ada 77 orang meninggal saat menjalankan tugas pemadaman kebakaran. Secara global biasanya jam shift pemadam kebakaran hingga 48 jam. Jumlah jam kerja yang panjang ini memberikan kontribusi pada kelelahan fisik dan dapat menjadi beban psikis pada kehidupan keluarga dan kesejahteraan emosional.

Menurut Hurell dalam Munandar (2006), faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar, yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi. Terkait faktor-faktor penyebab stres kerja ini, Siu et al (1997) dalam Nugrahani (2008) melakukan penelitian tentang stres kerja di beberapa pabrik di Cina dengan jumlah sampel 342 orang. Tujuan studinya adalah untuk menginvestigasi stres kerja pada pekerja pabrik. Hasil penelitian tersebut diantaranya menunjukkan bahwa sumber utama stres kerja adalah faktor intrinsik pekerjaan.


(25)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Aulya (2013) pada polisi lalu lintas di Polres Jakarta Pusat tahun 2013, menyatakan bahwa dari 65 responden yang diteliti, 16 responden (24,6%) mengalami stres berat, 34 responden (52,3%) mengalami stres ringan dan 15 responden (23,1%) tidak mengalami stres.

Menurut penelitian Airmayanti (2009) pada pekerja di Bagian Produksi PT ISM Bogasari Flour Mills Tbk Tahun 2009, diketahui bahwa dari 100 responden yang menyatakan beban kerja berat, 73,3% mengalami stres kerja berat. Sebaliknya responden yang menyatakan beban kerja ringan, 65,6% juga mengalami stres kerja ringan. Berdasarkan teori Robert L Kahn (dalam Desy, 2002), yang termasuk dalam faktor intrinsik pekerjaan diantaranya adalah: pekerjaan rutin yang menimbulkan kejenuhan karena bersifat monoton, shift kerja (kerja gilir), beban kerja terlalu berat atau terlalu ringan, dan lain-lain.

Petugas pemadam kebakaran dan petugas penyelamat (rescue workers) lainnya merupakan pekerjaan dengan resiko stres yang tinggi karena terpajan dengan berbagai kejadian yang bersifat traumatis sebagai bagian dari pekerjaannya. Kejadian kebakaran merupakan peristiwa yang tidak dapat diprediksi sebelumya, sehingga petugas kebakaran dituntut untuk selalu siaga ketika bertugas. Pekerjaan memadamkan api yang berkobar tidak jarang membuat petugas mengalami kecelakaan dan bahkan menjadi korban. Di sejumlah negara sudah banyak pemadam kebakaran yang menjadi korban karena pekerjaan mereka. Beban pekerjaan yang keras menjadikan pemadam kebakaran sebagai profesi rawan stres.


(26)

PKP-PK adalah suatu unit di bandar udara yang bertugas untuk memberikan pelayanan pertolongan kecelakaan penerbangan dan pemadaman kebakaran terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan (incident dan accident) dan/atau yang disertai dengan kebakaran di bandar udara dan sekitarnya dengan mengutamakan keselamatan jiwa dan harta penumpang yang ada di dalam pesawat tersebut, serta mengendalikan, memadamkan api, dan melindungi manusia dan barang yang dibawa yang terancam oleh api yang terdapat di fasilitas lain yang ada di bandar udara. Bandar udara Soekarno-Hatta sendiri jumlah pergerakan pesawat mencapai > 700/harinya. Jelas, pelayanan keselamatan penerbangan yang prima dan berkelas dunia wajib disediakan oleh unit PKP-PK sesuai ketentuan ICAO.

Berdasarkan hasil studi pendahulan yang telah dilakukan pada 12 pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dengan menggunakan metode pengukuran life event scale, di dapatkan hampir 66,7% pekerja mengalami stres kerja. Seperti yang diketahui bahwa stres kerja selain dapat menurunkan tingkat kesehatan dapat pula mempengaruhi tingkat produktivitas kerja yang akhirnya mempengaruhi kualitas dan performa kerja sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap stres kerja. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya, diharapkan proses pencegahan dapat lebih mudah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta.


(27)

1.2. Rumusan Masalah

Petugas Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama halnya dengan petugas pemadam kebakaran pada umumnya, mereka adalah karyawan yang dilatih dan bertugas untuk menganggulangi kebakaran dan penyelamatan (rescue). Selain terlatih untuk memadamkan api, menyelamatkan korban dari kebakaran, para petugas juga dilatih untuk menyelamatkan korban dari kecelakaan pesawat udara, gedung runtuh dan lain sebagainya.

Jika melihat deskripsi pekerjaannya, petugas PKP-PK merupakan pekerjaan yang berbahaya dan memiliki tingkat risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Pekerjaan ini dianggap berisiko tinggi karena dapat menyebabkan luka ringan, luka sedang, luka parah, kecatatan bahkan kematian dari pekerjaannya.

Berdasarkan hasil studi pendahulun yang dilakukan terhadap 12 pekerja di unit kerja PKP-PK, diketahui bahwa 8 orang diantaranya mengalami gejala stres dan 4 orang lainnya tidak mengalami stres.

Risiko pekerjaan yang tinggi dan tuntutan untuk menyelesaikan perkerjaan dalam waktu yang singkat dapat menimbulkan terjadinya stres kerja. Selain itu beban kerja yang fluktuatif dan paparan kebisingan di tempat kerja menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stres kerja. Menurut hasil observasi langsung dan pengamatan lapangan yang telah dilakukan pada petugas PKP-PK di bandar udara Soekarno Hatta, banyak faktor-faktor lainnya yang dapat menimbulkan stres kerja. Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian tentang faktor- faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada


(28)

pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran stres kerja pada pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?

2. Bagaimana gambaran faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan (beban kerja, rutinitas dan kebisingan) pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?

3. Bagaimana gambaran faktor-faktor pengembangan karier atau jabatan (promosi kerja, kepuasan gaji dan pendidikan dan pelatihan) pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?

4. Bagaimana gambaran faktor-faktor pekerja (umur, masa kerja, pendidikan dan status pernikahan) pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?

5. Apakah ada hubungan antara faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan (beban kerja, rutinitas dan kebisingan) dengan stres kerja pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?


(29)

6. Apakah ada hubungan antara faktor-faktor pengembangan karier (promosi, kepuasan gaji dan pendidikan dan pelatihan) dengan stres kerja pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?

7. Apakah ada hubungan antara faktor-faktor pekerja (umur, masa kerja, pendidikan dan satatus pernikahan) dengan stres kerja pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014?

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stress kerja pada unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta tahun 2014.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran stres kerja pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

b. Diketahuinya gambaran faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan (beban kerja, rutinitas, kebisingan) pada pekerja di unit kerja Pertolongan


(30)

Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

c. Diketahuinya gambaran faktor-faktor pengembangan karier jabatan (promosi kerja, kepuasan gaji dan pendidikan dan pelatihan) pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno- Hatta Jakarta pada tahun 2014.

d. Diketahuinya gambaran faktor-faktor pekerja (umur, masa kerja, pendidikan dan status pernikahan) pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

e. Diketahuinya hubungan antara faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan (beban kerja, rutinitas dan kebisingan) dengan stres kerja pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

f. Diketahuinya hubungan antara faktor-faktor pengembangan karier (promosi kerja, kepuasan gaji dan pendidikan dan pelatihan) dengan stres kerja pada pekerja di unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

g. Diketahuinya hubungan faktor-faktor pekerja (umur, masa kerja, pendidikan dan status pernikahan) dengan stres kerja pada pekerja di


(31)

unit kerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta pada tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Institusi

a. Memperoleh informasi tambahan mengenai stress yang dialami oleh pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

b. Sebagai acuan dalam program peningkatan performa dan produktivitas kerja pada pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta

1.5.2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

a. Hasil penelitian dapat dijadikan tambahan kepustakaan yang bermanfaat bagi keilmuan di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

b. Terciptanya kerjasama yang saling menguntungkan dan bermanfaat dengan institusi lainnya.

1.5.3. Bagi Peneliti

a. Hasil penelitian dapat dijadikan acuan bagi peneliti lainnya yang akan melakukan penelitian terkait kejadian stress kerja.

b. Dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan terkait stress kerja yang telah di dapat diperkuliahan dan tempat kerja yang sesungguhnya


(32)

c. Meningkatkan kemampuan penulis khususnya dalam proses identifikasi terkait masalah stress kerja yang terjadi di lingkungan kerja

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun hal yang ingin diteliti adalah tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta Tahun 2014.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni tahun 2014. Populasi penelitian ini adalah Pekerja Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran yang berjumlah 195 orang. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain studi cross sectional.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 12 pekerja PKP-PK di Bandar Udara Soekarno Hatta, diketahui 8 pekerja mengalami stres kerja. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner.


(33)

13 2.1. Pengertian Stres

Manusia merupakan anggota lebih dari satu kelompok sosial. Dalam melakukan kegiatan di setiap kelompok, manusia dapat mengalami stres. Stres yang dialami sebagai hasil kegiatannya di setiap kelompok saling menunjang, saling menguatkan. Pada umumnya kita merasakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah ke timbulnya penyakit fisik atau pun mental, atau mengarah ke perilaku yang tak wajar (Munandar, 2006).

Menurut Ficham dan Rhodes (1988) dalam Munandar (2006) mengasumsikan bahwa stres, yang disimpulkan dari gejala-gejala dan tanda-tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik, adalah hasil dari atau kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti keprbadiannya, bakatnya dan kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif.

Sedangkan yang dimaksud dengan stres menurut Hans Style (1950) dalam Hawari (2001) adalah respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban kerja yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya itu berarti tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata


(34)

ia mengalami gangguan pada satu / lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia mengalami distres.

Mendefinisikan stres merupakan masalah yang tidak mudah. Namun menurut Hasan (2008), setidaknya terdapat tiga macam pendekatan tentang stres yaitu stres dapat dipandang sebagai stimulus, sebagai tanggapan psikologis atau fisiologis terhadap stimulus, atau interaksi antara keduanya.

a. Stres sebagai stimulus

Pendekatan stres sebagai stimulus terfokus pada lingkungan, yakni bila individu yang bersangkutan mengidentifikasikan sumber atau penyebab stres yang dialaminya adalah karena kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa disekitarnya. Kejadian atau peristiwa yang dianggap mengancam atau merugikan, dengan sendirinya, akan menghasilkan perasaan tertekan yang disebur stresor.

b. Stres sebagai respons atau tanggapan

Fokus pendekatan stres, sebagai respons atau tanggapan, adalah pada reaksi inidividu terhadap stresor. Ketika sesorang menggunakan kata stres, maka yang dimaksudkannya adalah keadaan tegangnya itu sendiri. Respons atau reaksi individu tersebut mengandung dua komponen yang saling berhubungan, yaitu psikologis dan fisiologis. Reaksi psikologis meliputi perilaku, pola pikir dan emosi dalam ruang lingkup yang luas. Sementara, reaksi fisiologis meliputi


(35)

reaksi tubuh yang meningkat, seperti jantung berdebar-debar, mulut terasa kering, perut kembung dan sebagainya.

c. Stres sebagai interaksi antara stimulus dan respons

Stres dapat dilihat sebagai proses yang mencakup stresor dan ketegangan dengan ditambah dimensi penting lain, yaitu hubungan di antara individu dan lingkungannya. Proses ini mencakup interaksi dan penyesuaian yang terus menerus yang disebut transaksi. Menurut pendekatan ini, stres bukan hanya merupakan stimulus atau respons, tetapi lebih merupakan suatu proses di mana seseorang adalah agen yang aktif yang dapat mempengaruhi dampak stresor melalui strategi perilaku, kognitif, dan emosional yang dimilikinya. Oleh sebab itu, setiap individu akan memberikan reaksi stres yang berbeda terhadap stresor yang sama karena dipengaruhi oleh berbagai perbedaan yang dimiliki masing-masing individu, baik dari aspek biologi, mental, spiritual maupun sosialnya. 2.2. Pengertian Stres Kerja

Stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Jika seseorang / karyawan mengalami stres yang terlalu besar maka akan dapat menganggu kemampuan seseorang / karyawan tersebut untuk menghadapi lingkungannya dan pekerjaan yang akan dilakukannya (Handoko, 1997).


(36)

Menurut Pandji Anoraga (2001), stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkunganya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam.

Gibson dkk (1996), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang.

Beehr dan Franz (dikutip Bambang Tarupolo, 2002), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu.

Yoder dan Staudohar (1982) mendefinisikan stres kerja adalah Job stres refers to a physical or psychological deviation from the normal human state that is caused by stimuli in the work environment, yang kurang lebih memiliki arti suatu tekanan akibat bekerja juga akan mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi fisik seseorang, di mana tekanan itu berasal dari lingkungan pekerjaan tempat individu tersebut berada.

2.3. Tahapan Stres

Gejala-gejala stres pada diri sesorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Baru akan dirasakan bilamana tahapan


(37)

gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja atau pun di pergaulan lingkungan sosialnya (Hawari, 2001).

Menurut Dr. Robert J. Van Amberg (1979) dalam Hawari (2001), membagi tahapan-tahapan stres menjadi enam tahapan, sebagai berikut :

a. Stres tahap I

Pada tahap ini, merupakan tahapan stres yang paling ringan yang disertai dengan perasaan semangat dalam bekerja, mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya dan merasa senang dengan pekerjaannya, namun tanpa disadari energi yang dikeluarkan terlampau berlebihan.

b. Stres tahap II

Pada tahapan ini, perasaan yang awalnya menyenangkan berubah dengan timbulnya keluhan-keluhan yang diakibatkan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk beristirahat seperti merasa letih sewaktu bangun pagi, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman dan tidak bisa merasa santai

c. Stres tahap III

Pada tahapan ini, akibat dari terlalu memaksakan diri dalam pekerjaannya, maka keluhan-keluhan yang terjadi akan semakin nyata dan mengganggu, seperti gangguan lambung dan usus semakin terasa, perasaan ketidak-tenangan dan ketergangan emosional semakin meningkat serta mengakibatkan gangguan pola tidur.


(38)

d. Stres tahap IV

Pada tahapan ini, gejala stres yang timbul akan semakin bertambah parah seperti pekerjaan teramat membosankan dan sulit untuk diselesaikan, pola tidur semakin terganggu dengan disertai mimpi-mimpi yang menegangkan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun serta timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

e. Stres tahap V

Bila keadaan berlajut, maka akan ditandai dengan kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan psychological exhaustion), sulit menyelesaikan pekerjaan yang terbilang mudah dan sederhana, terjadinya gangguan pencernaan yang semakin berat dan timbul perasaan ketakutan serta kecemasan (bingung dan panik).

f. Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahap klimaks, tidak jarang orang yang mengalami tahap ini berulangkali dibawa ke UGD bahkan ke ICCU. Keluhan yang terjadi seperti debaran jantung teramat keras, sesak napas, tubuh gemetaran bahkan pingsan atau kolaps (collapse).

Bila disimpulkan, maka keluhan atau pun gejala-gejala dari setiap tahapan stres yang ada didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh sebagai akibat stresor psiko-sosial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.


(39)

2.4. Pembangkit Stres (Stressors)

Setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Tenaga kerja dalam interaksinya di pekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil interaksinya di tempat lain, di rumah, di sekolah, di perkumpulan dan sebagainya. Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima katergori besar, yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karier, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi (Hurrell, dkk. 1988).

2.4.1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan 1. Beban Kerja

Salah satu yang menjadi faktor seorang pekerja mengalami stres adalah akibat dari beban kerja. Menurut Munandar (2006) beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/ terlalu sedikit ‘kuantitatif’, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/ sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/ terlalu sedikit ‘kualitatif’, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan/ atau potensi dari tenaga kerja.


(40)

Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan.

Bentuk lain yang merupakan pembangkit stres adalah adanya fluktuasi dalam beban kerja. Untuk jangka waktu tertentu bebannya sangat ringan, tetapi untuk saat-saat lain bebannya malah berlebihan. Faktor waktu juga perlu dipertimbangkan, makin singkat waktu yang diberikan dalam proses pengambilang keputusan suatu pekerjaan, makin dirasakan desakan waktu, maka akan semakin besar stresnya. Waktu merupakan salah satu ukutan efisiensi. Pedoman yang banyak didengar adalah “Cepat dan Selamat”. Atas dasar ini orang sering harus bekerja berkejaran dengan waktu.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aulya (2013) pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat, menyatakan bahwa tingkat stres kerja berat lebih banyak dialami oleh responden dengan beban kerja berat. Sehingga terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja dengan stres kerja dengan p value 0,030. Namun menurut Desy (2002), berdasarkan penelitian yang dilakukan PT. Unilever Indonesia Tbk. diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat beban kerja dengan stres kerja.


(41)

2. Waktu Kerja

Menurut standar HIPERKES, rata-rata jam kerja adalah 8 jam per hari. Sehingga penambahan jam kerja diluar standar dapat meningkatkan ekskresi katokholamin yaitu hormon adrenalin dan non-adrenalin (Munandar, 2006).

Hasil penelitian membuktikan bahwa kerja lembur yang berlebihan tidak hanya meragukan akan keluaran per jamnya, tetapi juga akan diikuti dengan meningkatnya kemangkiran karena sakit atau kecelakaan kerja. Perbandingan antara konsumsi energi dan penggantian kembalinya, atau penggantian antara bekerja dan pemulihannya berlaku sama bagi semua fungsi tubuh. Hal tersebut diperlukan oleh semua pegawai. Waktu istirahat merupakan kebutuhan fisiologis yang tidak dapat dihindarkan dalam rangka mempertahankan kapasitas kerja (Sedamayanti, 2009).

Menurut penelitian Airmayanti (2009) diketahui bahwa responden yang bekerja > 8 jam sebagian besar (55,8%) mengalami stres kerja berat. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara jam kerja dengan stres kerja dengan p value 0,037.

3. Rutinitas

Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampaunya sedikit tugas yang harus dilakukan dapat menghasilkan


(42)

berkurangnya perhatian. Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

Masa lama tidak adanya aktivitas, yang mungkin merupakan ciri dari pekerjaannya sehingga memerlukan rancangan ulang, merupakan suatu alasan yang yang tepat dari peningkatan kecemasan, depresi dan ketidakpuasan kerja. George Everly dan Daniel Girdano (1980), dua orang ahli dari Amerika memperkenalkan istilah deprivational stres untuk menjelaskan kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

Menurut hasil penelitian Vinallia (2009), diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rutinitas dengan stres kerja pada pekerja di bagian Weaving PT. Unitex dengan p value sebesar 0,003.

4. Kebisingan

Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja. Bayangkan saja, jika ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan kerja terlalu padat,


(43)

lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan.

Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Salah satu kondisi fisik dalam pekerjaan yang merupakan pembangkit stres di dalam suatu pekerjaan adalah kebisingan.

Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Paparan (exposure) terhadap bising berkaitan dengan rasa lelah, sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Akibat paparan terhadap bising dalam bentuk perilaku, misalnya penurunan unjuk-kerja/ produktivitas, terjadinya kecelakaan, penurunan perilaku membantu, bersikap lebih negatif terhadap orang lain, rasa bermusuhan yang lebih terbuka dan agresi terbuka.

Bising dalam kesehatan kerja, bising diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki


(44)

dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian (Buchori, 2007 dalam Nadhiroh, 2011)

Suara di tempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan mengganggu atau tidak diinginkan (Tigor, 2009 dalam Nadhiroh, 2011) secara :

1) Fisik (menyakitkan telinga pekerja)

2) Psikis (mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi)

Hasil penelitian Airmayanti (2009), menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebisingan dengan stres kerja dengan p value 0,005 dan diperoleh OR sebesar 3.429, artinya responden yang menyatakan kebisingan mengganggu memiliki peluang 3,429 kali untuk mengalami stres kerja berat dibandingkan dengan responden yang menyatakan tidak mengganggu.

2.4.2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masaiah.


(45)

Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meiiputi: konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity). 1. Konflik Peran

Ada sebuah penelitian menarik tentang stres kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stres karena konflik peran. Mereka stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami pekerja di Indonesia, dimana perusahaan atau organisasi tidak punya garis-garis haluan yang jelas, aturan main, visi dan misi yang seringkali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya, sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

 Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan antara tanggung jawab yang ia miliki,

 Tugas-tugas yang harus ia lakukan menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya,


(46)

 Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya,

 Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaanya.

2. Ketaksaan Peran

Ketaksaan peran dirasakan jika seorang tenaga kerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran menurut Everly dan Girdano dalam Munandar (2001) ialah:

 Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan) kerja,  Kesamaran tentang tanggung jawab,

 Ketidakjelasan tentang prosedur kerja,

 Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain,

 Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk-kerja pekerjaan.

Menurut Khan dkk. dalam Munandar (2006), stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ke ketidakpuasan


(47)

pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa diri tidak berguna, rasa harga diri yang menurun, depresi, motivasi rendah untuk bekerja, peningkatan tekanan darah dan detak nadi, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan.

2.4.3. Pengembangan Karier 1. Promosi Kerja

Setiap orang pasti punya harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu perusahaan atau organisasi. Bayangan akan kesuksesan karier, menjadi fokus perhatian dan penantian dari hari ke hari. Namun pada kenyataannya, impian dan cita-cita mereka untuk mencapai prestasi dan karier yang baik seringkali tidak terlaksana. Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem pengembangan karier dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen perusahaan, atau karena sudah "mentok" alias tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.

Everly dan Girdano dalam Munandar (2006) menganggap bahwa untuk menghasilkan kepuasan pekerjaan dan mencegah timbulnya frustasi pada para tenaga kerja (yang merupakan bentuk reaksi terhadap stres), perlu diperhatikan tiga unsur yang penting dalam pengembangan karier, yaitu:


(48)

 Peluang mengembangkan keterampilan baru

 Penyuluhan karier untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karier

Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

1. Job Insecurity

Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahaan. Reorganisasi dirasakan perlu untuk dapat mcnghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya ialah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan yang baru. Dapat terjadi bahwa pckerjaan yang baru memerlukan ketrampilan yang baru. Setiap reorganisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial.

2. Over dan Under-promotion

Setiap organisasi industri mempunyai proses pertumbuhan masing-masing. Ada yang tumbuhnya cepat dan ada yang lambat, ada pula yang tidak tumbuh atau setelah tumbuh besar mengalami penurunan, organisasi menjadi lebih kecil. Pola pertumbuhan


(49)

organisasi industri berbeda-beda. Salah satu akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan dari mobilitas vertical dari para tenaga kerjanya. Peluang dan kecepatan promosi tidak sama setiap saat.

Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengijinkan maupun karena mungkin ‘dilupakan’, dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang tidak memiliki aspirasi karier. Perilaku yang mengganggu, semangat kerja yang rendah dan hubungan antarpribadi yang bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara kedudukannya sekarang di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan. Sedangkan stres yang timbul karena over-promotion memberikan kondisi beban kerja yang berlebihan serta adanya tuntutan pengetahuan dan ketrampilan yang tidak sesuai dengan bakatnya.

Promosi sendiri dapat merupakan sumber stres, jika peristiwa tersebut dirasakan sebagai perubahan drastis yang mendadak, misalnya jika tenaga kerjanya kurang dipersiapkan untuk promosi. Everly dan Girdano dalam Munandar (2006) mengajukan tiga faktor yang menyebabkan promosi dirasakan sebagai stres, yaitu:

 Perubahan-perubahan nyata dari fungsi pekerjaan, misalnya menjadi fungsi pemantau;


(50)

 Penambahan tanggung jawab terhadap manusia, produksi dan uang;

Perubahan dalam peran sosial yang ‘menemani’ promosinya, misalnya menjadi ketua dari berbagai macam panitia, mewakili menjadi anggota dari delegasi organisasi dalam negosiasi dengan pihak-pihak lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Aulya (2013), pada 65 responden yang dilakukan penelitian, tingkat stres kerja lebih banyak dialami oleh responden yang tidak puas atas promosi yang berlaku di perusahaan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara promosi kerja dengan stres kerja. 2. Kepuasan Gaji

Gaji merupakan kompensasi yang diterima oleh pekerja apabila ia telah menyelesaikan pekerjaannya (Munandar, 2006). Sedangkan menurut Schultz (1998) salah satu penyebab tingginya turn over pekerja disebabkan gaji yang mereka terima sewaktu bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Selain itu gaji dapat mempengaruhi motivasi pekerja. Berdasarkan teori dua faktor oleh Heizberg (1990) dalam Munandar (2006) menyatakan kepuasan bekerja sangat menentukan motivasi untuk bekerja, salah satu komponennya adalah upah.


(51)

Menurut penelitian Setyani (2013), dari 40 responden yang memiliki gaji yang tidak sesuai sebanyak 35,0% mengalami stres kerja, berdasarkan hasil uji statistik terdapat hubungan yang bermakna antara gaji dengan stres kerja dengan p value 0,045. Namun menurut penelitian Nugroho (2004), menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara gaji dengan stres kerja.

3. Pendidikan dan Pelatihan

Munandar (2006) menjelaskan bahwa risiko dan bahaya jika digandengkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber dari stres. Kelompok-kelompok jabatan yang dianggap memliki risiko tinggi, dalam arti kata secara fisikal berbahaya, antara lain polisi, pekerja tambang, tentara, pegawai di lembaga permasyarakatan, pegawai mobil kebakaran, pekerja pada eskplorasi gas dan minyak, dan pada instalasi produksi.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa para pekerja melihat risiko dan bahaya berkaitan dengan pekerjaan sebagai sumber stres. Makin besar kesadaran akan bahaya dan akibat pembuatan kesalahan, makin besar depresi dan kecemasan pada seorang pekerja.

Risiko dan bahaya berkaitan dengan banyak jabatan yang tidak dapat diubah, tetapi persepsi karyawan terhadap risiko dapat dikurangi melalui pelatihan dan pendidikan. Para pekerja yang cemas, memiliki


(52)

obsesi dan takut, kurang bermotivasi untuk bekerja, mempunyai semangat rendah dan lebih mudah menimbulkan kecelakaan, dan dalam jangka panjang dapat menderita akibat-akibat dari penyakit yang berhubungan dengan stres, termasuk sakit jantung dan perut.

2.4.4. Hubungan dalam Pekerjaan

Stres akan cenderung muncul pada para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan (khususnya moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya.

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, taraf pemberian support yang rendah dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antarpribadi yang tidak sesuai antara para tenaga


(53)

kerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan (Khan dkk. dalam Munandar, 2006).

Hubungan sosial yang menunjang (supportive) dengan rekan-rekan kerja, atasan, dan bawahan di pekerjaan, tidak menimbulkan tekanan-tekanan antar pribadi yang berhubungan dengan persaingan. Kelompok kerja dapat memberikan tekanan yang besar kepada anggota kelompoknya untuk berperilaku konform, sesuai dengan norma-norma kelompok kerjanya. Kondisi ini dapat merupakan sumber dari stres jika individu memliki keyakinan, nilai dan norma yang berbeda. Tenaga kerja yang penuh semangat kerja akan merasakan stres dalam situasi kerja dimana semua rekan-rekan kerjanya bekerja secara santai.

2.4.5. Struktur dan Iklim Organisasi

Gambaran perusahaan Asia dewasa ini masih diwarnai oleh kurangnya struktur organisasi yang jelas. Salah satu sebabnya karena perusahaan di Asia termasuk Indonesia, masih banyak yang berbentuk family business. Kebanyakan (family) business dan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat konvensional dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Tidak hanya itu, aturan main yang terlalu kaku atau malah tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan


(54)

membuat karyawan jadi stres karena merasa seperti anak ayam kehilangan induk - segala sesuatu menjadi tidak jelas.

Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta pada support sosial. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan kinerja dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik. 2.4.6. Tuntutan dari Luar Organisasi/ Pekerjaan

Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seorang yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dengan demikian memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaanya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.

2.4.7. Karakteristik Individu

Menurut pandangan interaktif dari stres, stres ditentukan pula oleh individunya scndiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres.


(55)

Reaksi-reaksi sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain inteligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial.

a) Kepribadian

Mereka yang berkepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan yang kebih besar daripada mereka yang berkepribadian extrovert, pada konflik peran. Kepribadian yang flexible (orang yang lebih terbuka terhadap pengaruh dari orang lain sehingga lebih mudah mendapatkan beban yang berlebihan) mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik, dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian rigid.


(56)

b) Kecakapan

Kecakapan merupakan variabel penting dalam menentukan stres tidaknya seorang individu menghadapi situasi yang dihadapinya. Jika seseorang tidak mampu memecahkan sebuah masalah, sedangkan masalah yang dihadapinya sangat penting, maka hal tersebut dapat memicu terjadinya stres. Ketidakmampuan individu menyelesaikan masalah tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya stres, berkaitan dengan kecakapan dan kemampuan masing-masing individu (Munandar, 2006).

c) Nilai dan Kebutuhan

Setiap organisasi dan perusahaan memiliki budaya dan nilai masing-masing. Para tenaga kerja diharapkan dapat mengikuti nilai dan budaya yang dimiliki perusahaan tersebut. Proses sosialisasi pekerja dalam mengikuti nilai dan budaya yang dimiliki oleh perusahaan tidak sepenuhnya berjalan lancar, ada yang sepenuhnya berhasil, ada yang setengah, adapula yang gagal menyesuaikan diri. Bagi pekerja yang gagal tersebut biasanya akan mengundurkan diri. Bila ia tidak mengundurkan diri, karena tidak ada pekerjaan lain atau sebab lain maka tenaga kerja tersebut akan mengalami stres (Munandar, 2006)


(57)

d) Masa Kerja

Masa kerja mempunyai potensial untuk terjadinya stres kerja. Baik masa kerja yang sebentar ataupun lama dapat memicu terjadinya stres kerja serta diperberat dengan adanya beban kerja yang besar (Munandar, 2006).

Selain itu menurut Munandar (2006) bahwa masa jabatan yang berhubungan dengan stres kerja sangat berkaitan dengan kejenuhan dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja di atas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih tinggi daripada pekerja yang baru bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres kerja.

Sedangkan menurut Wantoro (1999) mengatakan bahwa pekerja dengan masa kerja lebih lama, lebih mempunyai pengalaman yang luas, kematangan berfikir dan bersikap, sehingga dapat bertindak lebih bijaksana. Semakin lama masa kerja seorang pekerja berarti semakin tinggi pengalamannya di tempat kerja. Dengan demikian semakin tinggi pula kepuasan kerjanya, mereka lebih berpengalaman sehingga mempunyai kemampuan untuk mengatasi berbagai situasi pekerjaan, lebih mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan disekitarnya dan adanya kesempatan untuk pengembangan kemampuan dan keterampilan kerjanya, sehingga lebih terhindar dari stres.


(58)

Berdasarkan penelitian Suprapto (2008) pada polisi lalu lintas menunjukkan bahwa responden yang memiliki masa kerja > 5 tahun sebesar 40,6% mengalami stres kerja berat. Sementara itu responden yang memiliki masa kerja < 5 tahun hanya sebesar 36,7% yang mengalami stres kerja. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Setyani (2013), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan stres kerja dengan p value sebesar 0,034. Sedangkan menurut penelitian Aulya (2013) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara faktor individu (masa kerja) dengan stres kerja. e) Umur

Hubungan antara umur dengan stres memiliki kesamaan dengan hubungan antara masa kerja dengan stres. Namun, tidak selamanya umur dengan stres kerja dihubungkan dengan masa kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat berpengaruh dengan umur, terutama yang berhubungan dengan sistem indera dan kekuatan fisik. Biasanya pekerja yang memiliki umur yang lebih muda memiliki penglihatan yang dan pendengaran yang lebih tajam, gerakan yang lebih lincah dan daya tahan tubuh yang kuat. Namun, untuk beberapa jenis pekerjaan lain, faktor umur yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman dan pemahaman bekerja yang lebih banyak, sehingga pada jenis pekerjaan tertentu umur dapat menjadi kendala dan dapat memicu terjadinya stres (Munandar, 2006).


(59)

Penelitian yang dilakukan oleh Cardiff University (2000) yang dikutip dalam Suprapto (2008) terhadap faktor-faktor demografi yang mempengaruhi timbulnya stres kerja, dapat disimpulkan bahwa umur memiliki hubungan dengan timbulnya stres kerja. Dalam penelitian ini, umur dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu usia 18-32 tahun, 33-40 tahun dan di atas usia 51 tahun. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kategori usia 41-50 tahun memiliki persentase terbesar untuk terkena stres kerja tinggi (20,8%). Sedangkan untuk kategori usia yang memiliki persentase terbesar yang mengalami stres tingkat rendah adalah usia 18-32 tahun dan usia 51 tahun ke atas (83%). Hal ini disebabkan pada usia awal perkembangan keadaan emosi seseorang masih lebih labil. Sedangkan pada usia lanjut biasanya daya tahan tubuh seseorang sudah mulai berkurang sehingga sangat berpotensi untuk terkena stres.

Berdasarkan penelitian Airmayanti (2009) yang dilakukan pada pekerja bagian produksi PT ISM Bogasari Flour Mills Tbk diketahui bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan stres kerja. Sementara itu, penelitian Suprapto (2008) yang dilakukan pada polisi lalu lintas di kawasan puncak Bogor diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan stres kerja.


(60)

f) Pendidikan

Baik disadari atau tidak, pendidikan mempunyai pengaruh dalam stres kerja. Hal ini disebabkan seorang pekerja harus memiliki kualifikasi sebagai gambaran keserasian seseorang dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang secara internal dipengaruhi oleh kemampuan, pengalaman, pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki (Effendi, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Utami (2009) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian stres kerja. Namun pada hasil penelitian Lelyana (2003) diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan stres kerja dengan p value 0,002.

g) Status Pernikahan

Status pernikahan dapat pula berpengaruh terhadap pekerjaan. Menurut Handy dalam Appelbaum (1981) menyatakan bila seseorang pekerja mendapat dukungan dalam karier dari istri maka ia akan mendapatkan kepuasan kerja, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, hubungan pernikahan yang baik membantu pekerja untuk mencegah atau mengurangi stres kerja.

Evayanti (2003) menyatakan bahwa bagi pekerja yang berstatus menikah, keadaan keluarga bisa menjadi penghambat, mempercepat


(61)

atau menjadi penangkal proses terjadinya stres. Bila sesorang mempunyai masalah gawat di rumah, kecenderungan untuk mendapatkan stres di tempat kerja akan lebih besar. Sebaliknya, bila rumah tangga dirasakan aman, nyaman dan menyenangkan maka masalah-masalah di tempat kerja dapat dihadapi dengan lebih baik.

Hasil studi penelitian yang dilakukan oleh Utami (2009) pada perawat di RS Pelni Petamburan, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status pernikahan dengan kejadian stres kerja dengan p value sebesar 0,031. Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hidayat (2012) pada pengemudi bus yang ada di Terminal Kampung Rambutan Jakarta, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan stres kerja. 2.5. Dampak Stres Kerja

Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikis maupun fisik. Biasanya karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan perilaku dan terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau berdiam diri (freeze). Dalam kehidupan sehari-hari kedua reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.


(62)

Pada umumya, stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya.

Sedangkan bagi perusahaan, konsekuensinya adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, hingga turnover.

Selain itu, reaksi individu terhadap stres, secara umum dikelompokkan dalam berbagai segi, yaitu kognitif, emosi dan tingkah laku sosial (dalam Herawaty, 2005). 1. Dampak Stres Terhadap Kognitif

Stres yang tingkahnya sudah tinggi bisa mengganggu ingatan dan perhatian seseorang dalam melakukan kegiatan yang melibatkan kognitif

2. Dampak Stres Terhadap Emosi

Emosi cenderung hadir ketika seseorang sedang stres dan orang juga sering menggunakan emosinya untuk mengevaluasi stres yang sedang dialaminya. Salah satu reaksi emosional yang sering muncul ketika stres adalah rasa takut (fear). Rasa takut merupakan kombinasi ketidaknyamanan psikologis (psychological discomfort) dan physical arousal dalam situasi yang mengancam. Ada dua kategori takut, yaitu phobia dan anxiety. Phobia merupakan takut yang berlebihan dan tidak masuk akal yang diasosiasikan dengan peristiwa atau situasi tertentu. Sedangkan anxiety adalah perasaan tidak nyaman yang sering terjadi pada situasi mengancam yang tidak pasti.


(63)

Stres juga bisa menyebabkan terjadinya perasaan sedih atau depresi. Perasaan seperti ini merupakan hal yang normal. Perbedaan antara depresi yang normal dan yang tidak normal terletak pada tingkat depresi itu sendiri. Depresi bisa menjadi gangguan psikologis apabila tingkatnya parah terjadi pada kurun waktu yang lama dan frekuensi terjadinya sering. Perasaan sedih yang terjadi pada karyawan masih pada tingkat yang normal, karena stres yang dialami karyawan tidak menyebabkannya menjadi depresi berat. Reaksi emosional lainnya adalah rasa marah (anger), yang sering terjadi ketika situasi yang ada dinilai membahayakan atau membuat frustrasi.

3. Dampak Stres Terhadap Tingkah Laku Sosial

Stres bisa mengubah perilaku seseorang terhadap orang lain. Dalam situasi yang menyebabkan stres, seperti bencana alam, orang-orang yang bekerja sama untuk bisa menolong orang lain. Hal ini dilakukan karena mereka mempunyai tujuan yang sama dan hanya bisa diwujudkan dengan bekerja sama. Tapi dalam situasi lain, orang lain bisa menjadi tidak sensitif, kurang peduli dan lebih agresif terhadap orang lain. Ketika stres diikuti dengan rasa marah, maka akan terjadi perilaku sosial yang negatif. Dampak stres terhadap tingkah laku sosial dapat terlihat dari tingkah laku yang menjauhi sesamanya.

2.6. Pengukuran Stres

Teknik pengukuran stres yang banyak digunakan dalam studi di Amerika menurut Karoley (dalam Hawari, 2001) dapat digolongkan ke dalam 4 cara, yaitu :


(64)

1. Self report measure

Cara ini mencoba mengukur stres dengan menanyakan melalui kuesioner tentang intensitas pengalaman psikologis, fisiologis dan perubahan fisik yang dialami dalam peristiwa kehidupan seseorang. Teknik ini disebut “life event scale”.

2. Performane measure

Teknik ini mengukur stres dengan melihat atau mengobservasi perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang, seperti misalnya penurunan prestasi kerja yang tampak dalam gejala-gejala seperti : a. Cenderung berbuat salah

b. Cepat lupa, kurang perhatian terhadap detail c. Lamban dalam bereaksi

3. Physiological measure

Pengukuran ini berusaha untuk melihat perubahan yang terjadi pada fisik sesorang seperti perubahan tekanan darah, ketegangan otot-otot bahu, leher dan pundak, dan sebagainya. Cara ini sering dianggap memiliki reabilitas paling tinggi, namun sangat bergantung pada alat yang digunakan dan pengukur itu sendiri.


(65)

4. Biochemical measure

Teknik pengukuran dengan cara ini adalah berusaha melihat respon kimia lewat perubahan kadar hormon kotekolamin dan kortikosteroid setelah pemberian suatu stimulus. Walaupun cara ini dianggap memiliki reabilitas yang tinggi, namun mempunyai kelemahan yaitu seandainya subjek penelitian adalah perokok, peminum alkohol dan sering mengkonsumsi kopi, karena pemberian stimulus tersebut juga akan meningkatkan kadar kedua hormon tersebut.

Dari keempat cara pengukuran stres seperti yang telah disebutkan di atas, yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah life event scale karena dianggap manageable dan biayanya relatif lebih murah walaupun dengan keterbatasan tertentu.

Tabel 2.1.

Daftar Pertanyaan untuk Metode Life Event Scale Tidak Pernah (0) Jarang (1) Kadang-kadang (2) Sering (3) Setiap Hari (4) Jantung berdebar Gemetar

Menggertakan gigi pada saat tidur

Tidak bisa tidur Rentan terhadap penyakit

Sakit perut Sakit kepala

Sakit kepala sebelah (migrain)


(66)

Merasa lelah terus- menerus

Sembelit Maag

Percaya diri menurun Hilang nafsu makan Keringat berlebihan Telapak tangan berkeringat Lesu Lupa Linglung Merasa jengkel Merasa muak

Merasa ingin bunuh diri Pesimis

Cemburu Murung

Sakit pada bagian punggung

Depresi Gelisah

Kehilangan minat dalam berbagai hal Nyeri otot Sensitif/ peka Ragu-ragu Memeriksa pekerjaan yang berlebihan Sulit bernapas Berjuang untuk mengatasi penyakit minor (misalnya dingin) Bersikap curiga

Rambut rontok

Gangguan konsentrasi Perut mulas/ rasa panas dalam perut


(67)

Menurunkan berat badan

Iritasi pada tenggorokan Hilang rasa humor

Penyakit kulit Mengambil inisiatif terlebih dahulu Mimpi buruk Mulut kering Mengonsumsi tonik (Bioplus, liviton, lucozade, pharmathon) Diare Gugup Putus asa Mudah kaget Meningkatnya nafsu makan Gangguan koordinasi Ketidakpastian Cepat frustrasi Kurang keterlibatan dengan orang lain Menggigit kuku Kurang motivasi Peningkatan motivasi Peningkatan konsumsi kafein (kopi, teh) Resah

Pengambilan keputusan yang buruk

Merokok

Merasa di luar kendali Merasa bingung Tidur yang berlebihan Menggunakan Obat tidur

Merasa lelah ketika bangun


(1)

7.

Umur

umur_kelompok * stres_kelompok

umur_kelompok * streskerja_NEW2 Crosstabulation

stres_kelompok

Total stres berat stres ringan tidak stres

umur_kelompok > = 34 tahun Count 12 33 3 48

% within umur_kelompok

25.0% 68.8% 6.3% 100.0%

< 34 tahun Count 9 33 6 48

% within umur_kelompok

18.8% 68.8% 12.5% 100.0%

Total Count 21 66 9 96

% within umur_kelompok

21.9% 68.8% 9.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.429a 2 .490

Likelihood Ratio 1.449 2 .484

Linear-by-Linear Association 1.250 1 .264

N of Valid Cases 96

a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.


(2)

8.

Pendidikan

pendidikan * stres_kelompok

Crosstab

stres_kelompok

Total stres berat stres ringan tidak stres

pendidikan SMA Count 20 54 5 79

% within pendidikan 25.3% 68.4% 6.3% 100.0%

D3 Count 0 6 1 7

% within pendidikan .0% 85.7% 14.3% 100.0%

Sarjana Count 1 6 3 10

% within pendidikan 10.0% 60.0% 30.0% 100.0%

Total Count 21 66 9 96

% within pendidikan 21.9% 68.8% 9.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 8.509a 4 .075

Likelihood Ratio 8.561 4 .073

Linear-by-Linear Association 5.933 1 .015

N of Valid Cases 96

a. 5 cells (55,6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,66.


(3)

9.

Masa Kerja

masakerja_kelompok * stres_kelompok

Crosstab

stres_kelompok

Total stres berat stres ringan tidak stres

masakerja_kelompo k

< 12 tahun Count 8 26 6 40

% within

masakerja_kelompok

20.0% 65.0% 15.0% 100.0%

> = 12 tahun Count 13 40 3 56

% within

masakerja_kelompok

23.2% 71.4% 5.4% 100.0%

Total Count 21 66 9 96

% within

masakerja_kelompok

21.9% 68.8% 9.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 2.565a 2 .277

Likelihood Ratio 2.535 2 .282

Linear-by-Linear Association 1.286 1 .257

N of Valid Cases 96

a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,75.


(4)

10. Status Pernikahan

status_pernikahan * stres_kelompok

Crosstab

stres_kelompok

Total stres berat stres ringan tidak stres

status_pernikahan belum menikah Count 4 19 5 28

% within

status_pernikahan

14.3% 67.9% 17.9% 100.0%

sudah menikah Count 17 47 4 68

% within

status_pernikahan

25.0% 69.1% 5.9% 100.0%

Total Count 21 66 9 96

% within

status_pernikahan

21.9% 68.8% 9.4% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 4.079a 2 .130

Likelihood Ratio 3.851 2 .146

Linear-by-Linear Association 3.403 1 .065

N of Valid Cases 96

a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,63.


(5)

Descriptives

Statistic Std. Error

umur Mean 35.46 1.051

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 33.37

Upper Bound 37.54

5% Trimmed Mean 35.25

Median 33.50

Variance 106.040

Std. Deviation 10.298

Minimum 21

Maximum 56

Range 35

Interquartile Range 20

Skewness .250 .246

Kurtosis -1.390 .488

masa_kerja Mean 13.55 1.033

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 11.50

Upper Bound 15.60

5% Trimmed Mean 13.22

Median 12.00

Variance 102.376

Std. Deviation 10.118

Minimum 2

Maximum 34

Range 32

Interquartile Range 19

Skewness .345 .246


(6)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

umur 96 100.0% 0 .0% 96 100.0%

masa_kerja 96 100.0% 0 .0% 96 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

umur .159 96 .000 .911 96 .000

masa_kerja .234 96 .000 .845 96 .000