Perhitungan Indeks Eritrosit Metode Analisis Data Sel Darah Merah

spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Perhitungan Kadar Hemoglobin gr= Absorban x 36,8 gr Hb100ml. Pembacaan nilai hematokrit atau PCV dilakukan menggunakan International Micro Capillary Reader. Tabung mikro kapiler yang digunakan adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Darah dimasukkan dalam tabung mikro kapiler dengan cara menempelkan bagian ujungnya pada sampel darah dengan posisi mendatar atau sedikit ke bawah. Bagian tabung mikro kapiler diisi darah hingga 70 sampai 90 dari panjang tabung mikro kapiler. Tabung mikro kapiler kemudian dipegang secara horizontal untuk mencegah darah menetes keluar. Setelah itu, bagian ujung tabung mikro kapiler disumbat dengan penyumbat agar darah tidak keluar. Tabung mikro kapiler kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm dengan bagian yang tak tersumbat mengarah ke pusat sentrifuse. Hasil sentrifugasi akan terlihat tiga lapisan yang terbentuk yaitu sel darah merah dibagian dasar yang memadat, lapisan tipis seperti pita putih yang merupakan buffycoat yang tersusun atas leukosit dan trombosit, dan lapisan paling atas berwarna bening merupakan plasma yang terpisah dari benda-benda darah. Tabung mikro kapiler yang telah disentrifugasi kemudian dibaca dengan menggunakan alat international micro capillary reader Theml et al. 2004.

3.7. Perhitungan Indeks Eritrosit

Kerr 2002 menunjukkan perhitungan Indeks eritrosit MCV, MCH, dan MCHC dengan menggunkan persamaan berikut:  MCV fl = PCV ∑RBC juta 10  MCH pg = Hb ∑RBC juta 10  MCHC grdl = Hb PCV 100

3.8. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh dicari rataan dan simpangan bakunya kemudian dianalisis secara deskriptif. BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap minggunya selama 10 minggu menunjukkan nilai yang bervariasi. Data hasil penelitian terhadap jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-rata jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu Minggu BDM jutamm 3 Hb gram PCV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 5.27±1.13 5.20±0.99 5.33±1.53 4.84±1.14 5.91±0.92 5.50±1.38 5.25±1.08 5.21±0.95 5.25±1.13 5.39±0.89 11.74±1.44 10.92±1.33 10.59±1.09 10.31±1.31 10.55±1.13 10.68±1.08 10.55±0.98 10.10±0.72 10.16±0.68 10.44±0.70 28.96±3.27 28.42±4.16 24.92±1.95 24.70±2.04 25.03±2.59 26.11±2.13 25.69±2.52 23.39±1.83 22.86±1.39 24.84±1.85 Rata-rata 5.32±1.13 10.60±1.14 25.49±3.05 Keterangan: BDM: jumlah sel darah merah; Hb: Hemoglobin; PCV: Hematokrit.

4.1. Sel Darah Merah

Sel darah merah atau dikenal juga dengan eritrosit memiliki fungsi utama dalam mentransportasikan hemoglobin yang membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh. Sel darah merah juga mengandung banyak enzim karbonat anhidrase yang berfungsi untuk mengkatalisis reaksi reversibel antara air dan karbon dioksida menjadi asam karbonik H 2 CO 3 Kerr 2002; Guyton and Hall 2006. Proses pembentukan sel darah merah disebut eritropoeisis, kecepatan eritropoeisis ini sangat dipengaruhi oleh hormon eritropoeitin yang dihasilkan di ginjal. Hasil perhitungan rata-rata jumlah sel darah merah pada keempat kerbau menunjukkan nilai yang cenderung sama setiap minggunya. Secara keseluruhan, rata-rata jumlah sel darah merah yang diperoleh yaitu 5.32±1.13 jutamm 3 , nilai ini cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai jumlah sel darah merah pada kerbau di Indonesia yang dilaporkan oleh Tharar et al. 1983 sebesar 7.63±1.22 jutamm 3 . Nilai yang tidak jauh berbeda juga dilaporkan pada hasil penelitian Ciaramella et al. 2005 pada kerbau Mediteranian yang berusia dua sampai tiga tahun sebesar 7.4±0.7 jutamm 3 dan pada hasil penelitian Sulong et al. 1980 yang melaporkan bahwa jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur di Malaysia adalah sebesar 8.8±2.4 jutamm 3 . Pada penelitian lain yang khusus menggunakan kerbau sungai dewasa sebagai hewan cobanya diperoleh jumlah sel darah merah yakni 7.8±0.38 jutamm 3 Sharma et al.1985. Rata-rata jumlah sel darah merah dari keempat kerbau lumpur betina bila dibandingkan dengan literatur yang ada menunjukkan nilai yang cenderung lebih rendah. Variasi nilai dari jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur ini umumnya dipengaruhi oleh kondisi fisiologis masing-masing kerbau. Kondisi fisiologis pada hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti temperatur lingkungan, kualitas nutrisi pada pakan, keseimbangan cairan tubuh, dan breeding Ciaramella et al. 2005. Sulong et al. 1980 juga menyebutkan bahwa Perbedaan jumlah sel darah merah dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, pakan, suhu, iklim, perbedaan fisiologis hewan, dan variasi genetik. Variasi genetik akan mempengaruhi gambaran darah yang meliputi nilai-nilai pada jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kerbau lumpur dan kerbau sungai. Menurut Tharar et al. 1983 pakan yang tinggi serat akan menunjukkan jumlah sel darah merah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pakan tinggi konsentrat. Profil sel darah merah setiap minggunya menunjukkan jumlah yang relatif sama sampai minggu ketiga dan mengalami sedikit penurunan pada minggu keempat. Penurunan jumlah sel darah merah pada minggu keempat kemungkinan disebabkan oleh kondisi kerbau yang tidak stabil dan diduga karena adanya pengaturan hormonal terhadap kondisi lingkungan yang panas heat stress. Terjadinya peningkatan suhu sekitar 2 °C di kandang URR memasuki bulan Juni minggu keempat penelitian menjadikan suhu di kandang URR pada pagi hari berkisar antara 27 sampai 28 °C dengan kelembaban sekitar 84 sampai 85 . Pada kondisi lingkungan yang panas terjadi penurunan sekresi hormon tiroid yakni triiodotironin T3 dan tiroksin T4. Hormon tiroid berperan dalam pengaturan metabolisme tubuh. Penurunan hormon tiroid menyebabkan laju metabolisme kerbau juga menurun hingga nilai terendah di musim panas Marai and Haeeb 2010. Penurunan laju metabolisme menyebabkan kebutuhan jaringan akan oksigen juga menurun, sehingga pembentukan sel darah merah yang baru juga rendah. Tindakan adaptasi kerbau terhadap kondisi lingkungan yang sangat panas juga dipengaruhi oleh sekresi hormon korteks adrenal terutama hormon kortisol. Paparan panas secara akut akan menyebabkan peningkatan hormon kortisol. Peningkatan level kortisol ini menyebabkan hormon glukokortikoid aktif membentuk glukosa melalui proses glukoneogenesis Marai and Haeeb 2010. Fase akut heat stress pada kerbau lumpur dapat menyebabkan peningkatan kandungan protein plasma dari 9.21 gr100ml sampai 9.81 gr100ml Chaiyabuter et al. 1987. Pada minggu kelima terjadi peningkatan jumlah sel darah merah. Peningkatan ini terjadi sebagai akibat penurunan jumlah sel darah merah yang terjadi pada minggu keempat dan merespon sumsum tulang untuk melepaskan darah dalam jumlah yang besar agar jumlah sel darah merah kembali normal Guyton and Hall 2006. Hal lain yang juga bisa menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah sel darah merah adalah kondisi hipoksia. Suatu tempat yang memiliki kadar oksigen yang rendah akan menstimulasi eritropoeitin untuk memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya hingga kondisi kembali normal. Pada minggu keenam hingga minggu kesepuluh, jumlah sel darah merah kembali turun berada dikisaran 5.32±1.13 jutamm 3 . Profil jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur setiap minggunya disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Profil jumlah sel darah merah pada kerbau lumpur betina selama sepuluh minggu. 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ju ml a h S e l D a ra h M e ra h j u ta mm 3 Waktu minggu 9,00 10,00 11,00 12,00 13,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 K ada r He m o gl o bi n gr am Waktu minggu Kondisi dimana jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit berada jauh di bawah rentang nilai normal disebut anemia Guyton and Hall 2006. Anemia merupakan gejala klinis yang muncul sebagai respon sekunder akibat suatu penyakit. Kerr 2002 menggolongkan kejadian anemia berdasarkan kejadiannya yaitu anemia yang terjadi secara akut dan kronis. Kejadian anemia secara akut dapat terjadi karena hemoragi akut, hemolisis akut, produksi sel darah merah yang terganggu, dan defisiensi substansi pembentuk hemoglobin. Adapun anemia yang berjalan secara kronis dapat disebabkan oleh hemoragi pada saluran pencernaan, traktus urinari, ektoparasit pengisap darah, dan hemolisis pada sel darah yang disebabkan oleh agen infeksius, toksin, dan kelainan kongenital. Kondisi anemia terjadi karena jumlah sel darah merah dewasa yang beredar dalam darah rendah. Kekurangan sel darah merah juga dapat dipengaruhi oleh proses pematangan sel darah merah yang terganggu. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat pada pakan merupakan penyebab kegagalan sel darah merah untuk berkembang menjadi dewasa. Kegagalan maturasi sel darah merah juga dapat disebabkan oleh rendahnya daya absorpsi saluran pencernaan terhadap vitamin B12 Guyton and Hall 2006.

4.2. Hemoglobin