Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan

(1)

GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH,

NILAI HEMATOKRIT, DAN KADAR HEMOGLOBIN INDUK

DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN

DAN DICEKOK EKSTRAK TEMULAWAK PLUS

SELAMA KEBUNTINGAN

RIDI ARIF

SKRIPSI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ABSTRAK

RIDI ARIF. Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar

Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan. Dibimbing oleh ANDRIYANTO dan WASMEN MANALU.

Superovulasi merupakan salah satu teknologi reproduksi yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas domba. Domba yang disuperovulasi memilki kondisi yang berbeda dengan domba yang tidak disuperovulasi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran fisiologis darah domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus. Sebanyak 16 ekor domba dengan bobot badan antara 20-25 kg dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan dengan pola faktorial 2 x 2. Faktor pertama ialah superovulasi yang terdiri atas dua level, yaitu kontrol (tidak disuperovulasi) dan superovulasi (disuntik dengan PMSG). Faktor kedua ialah pemberian ekstrak temulawak plus yang terdiri atas dua level, yaitu kontrol dan dicekok ekstrak temulawak plus. Variabel yang diamati dalam penelitian ini antara lain jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Pengambilan sampel darah dilakukan di vena jugularis setiap bulan selama lima bulan periode kebuntingan. Kelompok kontrol memiliki jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin yang paling rendah dibandingkan kelompok lainnya, sedangkan kelompok TM SO memiliki nilai tertinggi. Kelompok SO memiliki jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok TM. Kelompok TM memiliki nilai yang lebih tinggi dari kelompok kontrol namun lebih rendah dibandingkan dengan kelompok SO dan TM SO. Jumlah sel darah merah dan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan mengalami kenaikan pada awal kebuntingan dan penurunan pada akhir kebuntingan. Kadar hemoglobin mengalami perubahan yang tidak signifikan selama masa kebuntingan. Kesimpulan dari penelitian ini ialah pemberian ekstrak temulawak dan superovulasi pada domba dapat meningkatkan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin.


(3)

ABSTRACT

RIDI ARIF. Red Blood Cell Count, Hematocrit, and Hemoglobin Concentration of Superovulated Ewes Administered Temulawak Extract Plus during Pregnancy.

ANDRIYANTO and WASMEN MANALU.

Superovulation is a reproductive technology used to enhance the productivity of ewes. This study was conducted to determine the effect of superovulation and temulawak extract plus administration on the red blood cell count, hematocrit, and hemoglobin concentration of ewes during pregnancy. A total of 16 ewes weighing between 20-25 kg were divided into 4 groups with 2×2 factorial arrangement. The first factor was superovulation and the second factor was administration of temulawak extract plus. Variables measured were number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration. Blood samples were drawn from the jugular vein monthly during the five-month pregnancy period. The control group had the lowest number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration as compared to other groups while the superovulated ewes administered temulawak extract plus had the highest value. Superovulated ewes had the highest red blood cell count, hematocrit, and hemoglobin concentration as compared to control and temulawak treatment. The number of red blood cell and hematocrit increased during the early pregnancy and decreased during late pregnancy. Hemoglobin concentration did not change significantly during pregnancy. It was concluded that superovulation of ewes prior to mating and temulawak extract plus administration during pregnancy could increase the number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration.


(4)

GAMBARAN JUMLAH SEL DARAH MERAH,

NILAI HEMATOKRIT, DAN KADAR HEMOGLOBIN INDUK

DOMBA YANG DISUPEROVULASI SEBELUM KAWIN

DAN DICEKOK EKSTRAK TEMULAWAK PLUS

SELAMA KEBUNTINGAN

RIDI ARIF

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Ridi Arif NRP. B04070031


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi Undang - Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skrpisi

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

:

: : :

Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan

Ridi Arif B04070031

Kedokteran Hewan

Disetujui, Dosen Pembimbing 1

drh. Andriyanto, M. Si NIP. 19820104 200604 1 006

Dosen Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu NIP. 19571220 198312 1 001

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini

NIP. 19621205 198703 2 001


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama delapan bulan dimulai pada bulan Mei sampai dengan Desember 2010 yang bertempat di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Skripsi ini berjudul “Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi sebelum Kawin dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan”.

Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih atas petunjuk, saran, dan arahan yang telah diberikan oleh semua pihak yang membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada drh. Andriyanto, M. Si selaku dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda (Rohmat) dan ibunda (Parjuni) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman GIANUZZI 44 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Akhirnya, semoga skripsi ini memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ridi Arif. Penulis lahir di Magelang pada tanggal 3 Juni 1988 dari pasangan Bapak Rohmat dan Ibu Parjuni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya ialah lulusan SD 1 Mangunrejo pada tahun 2001, lulusan SMP 1 Wonosobo pada tahun 2004, dan lulusan SMA 1 Wonosobo pada tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi intrakampus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB 2010) dan tergabung pula dalam organisasi Himpunan Profesi Satwa Liar (2008-2010).

Penulis telah melakukan penelitian sebagai bahan dalam penyusunan skripsi yang berjudul “Gambaran Jumlah Sel Darah Merah, Nilai Hematokrit, dan Kadar Hemoglobin Induk Domba yang Disuperovulasi dan Dicekok Ekstrak Temulawak Plus selama Kebuntingan”. Penyusunan skripsi dilakukan di bawah bimbingan drh. Andriyanto, M. Si sebagai dosen pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing kedua.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR GRAFIK ... DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Tujuan ... 1.3. Manfaat Penelitian ...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Domba ... 2.2. Sinkronisasi Estrus pada Domba ... 2.3. Superovulasi pada Domba ... 2.4. Permasalahan Superovulasi ... 2.5. Darah ... 2.6. Sel Darah Merah ... 2.7. Profil Ekstrak Temulawak yang diberikan ...

III. METODE

3.1. Waktu dan Tempat ... 3.2. Alat dan Bahan ... 3.3. Tahap Persiapan ... 3.3.1. Hewan Percobaan ... 3.3.2. Aklimatisasi Domba ... 3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum ... 3.4. Tahap Pelaksanaan ... 3.4.1. Rancangan Percobaan ... 3.4.2. Superovulasi ... 3.4.3. Pemberian Ekstrak Temulawak Plus ... 3.4.4. Pengambilan Sampel ... 3.4.5. Penghitungan Eritrosit, Hematokrit, dan Hemoglobin ... 3.5. Variabel yang Diamati ... 3.6. Analisis Data ...

vii viii ix x 1 3 3 4 5 6 9 10 12 15 17 17 17 17 17 18 18 18 18 19 19 20 21 21


(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel Darah Merah ... 4.2. Hematokrit ... 4.3. Hemoglobin ...

KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTARPUSTAKA ... LAMPIRAN ...

22 28 31 35 36 40


(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan ... Tabel 2 Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba bunting yang

disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan ... Tabel 3 Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan ... Tabel 4 Kadar hemoglobin (gram%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan ...

18 22

29


(13)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Domba lokal atau Ovis aries (Anonim 1999) ...

Gambar 2 Bentuk sel darah merah (Anonim 2008) ... Gambar 3 Temulawak atau Curcuma xanthorrhiza (Anonim 2010) ...

4 12 15


(14)

ix

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan ... Grafik 2 Nilai hematokrit induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan... Grafik 3 Kadar hemoglobin induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan...

27

30


(15)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan pertama ... Lampiran 2 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan kedua ... Lampiran 3 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai

hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan ketiga ... Lampiran 4 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan keempat ... Lampiran 5 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah, nilai

hematokrit, dan kadar hemoglobin bulan kelima ...

41 48 54 60 67


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Domba merupakan ternak ruminansia yang mempunyai kemampuan untuk melahirkan anak dengan jumlah lebih dari dua ekor dalam sekali kelahiran. Pengalaman empiris di lapangan menunjukkan bahwa domba yang melahirkan anak dengan jumlah lebih dari dua ekor biasanya memiliki bobot lahir yang rendah dengan tingkat kematian yang tinggi (Sumaryadi 1997; Sutama et al. 1999;

Andriyanto dan Manalu 2011). Keadaan tersebut merupakan salah satu masalah utama yang membuat rendahnya produktivitas bakalan domba yang dihasilkan.

Performans induk domba sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak domba yang dikandung. Kondisi tubuh induk yang sehat akan mendukung fungsi uterus dalam memelihara kebuntingan. Pertumbuhan dan perkembangan uterus sangat dipengaruhi oleh hormon kebuntingan, yaitu progesteron dan estrogen. Selain itu, kedua hormon tersebut juga mempengaruhi proses tumbuh kembang kelenjar ambing. Hormon progesteron dan estrogen merupakan hormon yang dihasilkan oleh folikel ovarium. Hewan betina telah mempunyai ratusan ribu folikel ketika lahir namun hanya sebagian kecil dari folikel tersebut yang akan berkembang dan mengovulasikan sel telur (Gordon 2005).

Salah satu teknologi reproduksi yang telah dikenal untuk meningkatkan kualitas bakalan domba ialah superovulasi. Teknologi ini memungkinkan ovarium untuk melakukan ovulasi lebih dari satu sel telur dalam satu siklus berahi. Menurut Andriyanto dan Manalu (2010), teknologi superovulasi mampu memperbaiki sekresi hormon endogen kebuntingan yaitu progesteron dan estrogen. Teknik superovulasi dapat dilakukan dengan pemberian hormon gonadotropin, seperti Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG).

Hormon FSH dan PMSG dapat meningkatkan perkembangan folikel ovarium sehingga meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan. Banyaknya jumlah sel telur yang diovulasikan akan meningkatkan jumlah korpus luteum yang terbentuk. Korpus luteum dalam jumlah banyak akan menghasilkan hormon


(17)

progesteron dalam jumlah yang banyak pula (Manalu et al.1999; Amiridis et al.

2002).

Induk yang disuperovulasi memiliki kondisi yang berbeda dengan induk yang tidak disuperovulasi. Induk yang disuperovulasi memiliki beban metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi sebagai akibat jumlah anak yang dikandung lebih banyak. Induk yang disuperovulasi rata-rata memiliki jumlah fetus lebih dari dua ekor. Induk yang memiliki litter size lebih dari tiga ekor biasanya memiliki bobot lahir yang lebih

kecil dan tingkat kematian yang tinggi (Andriyanto dan Manalu 2011).

Mengingat hal tersebut, maka status fisiologis induk domba bunting hasil superovulasi perlu diamati. Status kesehatan induk tersebut dapat dilihat dari hasil pemeriksaan gambaran darah merahnya. Berbagai variabel penghitungan darah yang terangkum dalam penghitungan darah lengkap dapat memberikan informasi mengenai status kesehatan induk. Peningkatan kesehatan induk dapat dilakukan dengan memberikan pakan yang berkualitas dan pemberian sediaan ramuan tanaman obat atau formulasi tertentu.

Salah satu jenis tanaman yang dipercaya dapat meningkatkan kesehatan tubuh ialah temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Temulawak memiliki beberapa

manfaat yang dapat digunakan sebagai obat. Manfaat tersebut di antaranya sebagai hepatoprotektor, menurunkan kadar kolesterol, antiradang, laksansia (pencahar), diuretikum, dan menghilangkan nyeri sendi. Temulawak juga mengandung zat berkhasiat yang dikenal sebagai kurkumin. Senyawa kurkumin memiliki sifat hepatoprotektif dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi hati yang sedang mengalami kerusakan (Marotta et al. 2003).

Penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki performans induk domba bunting yang disuperovulasi dengan memberikan ekstrak temulawak plus. Pemberian ekstrak temulawak diharapkan mampu meningkatkan performans induk domba yang disuperovulasi sehingga dapat memperbesar harapan hidup anak yang dihasilkan melalui pengamatan variabel gambaran darah merah. Peningkatan status fisiologis diharapkan akan meningkatkan kualitas bakalan yang dihasilkan dengan tingkat kematian anak menjadi rendah sehingga nilai efisiensi reproduksi induk akan meningkat.


(18)

1.2.Tujuan

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penerapan superovulasi dan pengaruh pemberian ekstrak temulawak terhadap status fisiologis induk melalui gambaran sel darah merah. Selain itu, tujuan dari penelitian ini ialah untuk meningkatkan performans induk yang tergambar melalui gambaran sel darah merahnya.

1.3.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini ialah memaksimalkan aplikasi teknologi reproduksi (superovulasi) yang dikombinasikan dengan pemberian ekstrak temulawak. Pemberian ekstrak temulawak dapat meningkatkan performans induk domba sehingga menghasilkan anakan yang lebih baik secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan jumlah populasi domba diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daging domestik dan memberikan sumbangan terhadap program swasembada daging nasional.


(19)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Domba

Domba memiliki nama ilmiah Ovis aries. Secara klasifikasi ilmiah,

domba masuk dalam kerajaan animalia, filum chordata, kelas mamalia, dan ordo artiodactyla. Selanjutnya, domba masuk di dalam subfamili caprinae, genus Ovis

dan memiliki nama ilmiah Ovis aries (Purbowati 2009). Gambar domba disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1 Domba atau Ovis aries (Anonim 1999)

Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat yang dimiliki domba ialah bangsa domba. Pengetahuan tentang bangsa-bangsa domba dapat digunakan untuk mengenali sifat dan karakteristik pada domba. Domba yang ada sekarang merupakan hasil domestikasi manusia. Domba diperkirakan diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan

dan Asia Kecil, Argali (Ovis amon) berasal dari Asia Tenggara, dan Urial (Ovis vignei) yang berasal dari Asia (Anonim 2009).

Bangsa-bangsa domba yang tersebar di Indonesia terdiri atas beberapa jenis di antaranya domba priangan, domba ekor gemuk, dan domba ekor tipis. Domba lokal merupakan domba yang berasal dari Indonesia dan tersebar hampir di seluaruh wilayah Indonesia. Domba priangan dikenal juga sebagai domba garut dan berasal dari Indonesia. Domba garut banyak terdapat di Jawa Barat. Domba


(20)

ekor gemuk merupakan domba yang berasal dari Indonesia bagian timur, seperti Madura, Sulawesi, dan Lombok. Domba ekor tipis banyak ditemukan di Jawa Barat.

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia. Domba ini kurang produktif bila dibandingkan dengan jenis domba yang lain karena jumlah karkas yang dihasilkan sangat rendah. Domba jenis ini banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan. Ciri-ciri domba ini di antaranya ialah ukuran badannya kecil, pertumbuhannya lambat, bobot badan domba jantan berkisar 30 sampai dengan 40 kg, sedangkan betina berkisar 15 sampai dengan 20 kg, warna rambut dan polanya sangat beragam, telinganya kecil dan pendek, domba betina tidak bertanduk, sedangkan yang jantan bertanduk, dan ekornya kecil serta pendek (Cahyono 1998).

2.2.Sinkronisasi Estrus pada Domba

Sinkronisasi estrus atau penyerentakan berahi dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama ialah dengan mengeluarkan korpus luteum atau menjadikannya tidak berfungsi sehingga hewan tersebut memasuki fase folikuler dari siklus berahinya. Cara kedua adalah dengan menekan perkembangan folikel ovarium selama fase luteal (Hunter 1995).

Penghilangan korpus luteum dapat dilakukan dengan memberikan preparat hormon yang bersifat luteolisis. Hormon tersebut ialah PGF2α atau analognya. Hormon PGF2α akan membuat korpus luteum yang ada di ovarium mengalami regresi setelah dilakukan injeksi. Sementara itu, penekanan perkembangan folikel ovarium dapat diberikan dengan memberikan preparat hormon progesteron atau progestin sintetik. Pemberian preparat progesteron atau progestin sintetik akan menekan aktivitas ovarium dalam waktu yang singkat sehingga tetap dalam fase luteal (Donald dan Leslie 1980).

Penyerentakan berahi domba dilakukan dengan memberikan injeksi hormon PGF2α. Pemberian injeksi ini harus dilakukan pada fase luteal, yaitu ketika ovarium domba sedang memiliki korpus luteum. Selain itu, injeksi hormon ini dilakukan ketika korpus luteum tersebut telah memasuki masa responsif terhadap PGF2α. Korpus luteum telah menjadi responsif terhadap PGF2α ketika


(21)

minimal telah berumur tiga hari atau kira-kira hari keempat siklus berahinya. Oleh karena itu, injeksi PGF2α dapat dilakukan pada hari ke 5-16 dari siklus berahinya (Donald dan Leslie 1980). Namun, jika penyerentakan berahi dilakukan pada sekelompok hewan maka teknik manajemen yang dilakukan ialah dengan injeksi PGF2α sebanyak dua kali. Injeksi PGF2α yang kedua berjarak 8 atau 9 hari dari injeksi yang pertama (Hunter 1995). Menurut Donald dan Leslie (1980), injeksi PGF2α juga dapat dilakukan dengan rentang waktu antara 10-12 hari setelah injeksi yang pertama.

Regresi korpus luteum atau luteolisis akan cepat terjadi setelah dilakukan injeksi PGF2α. Hewan akan menjadi berahi maksimal dalam 72 jam setelah injeksi PGF2α dilakukan. Rentang waktu terjadinya berahi biasanya dalam kisaran antara 29-48 jam setelah injeksi PGF2α (Hunter 1995). Hormon PGF2α yang mempunyai sifat luteolisis menyebabkan regresi korpus luteum dengan cara mempengaruhi kerja LH terhadap korpus luteum dan meningkatkan jumlah sekresi oksitosin oleh ovarium. Setelah itu, ovarium akan kembali ke siklus berikutnya dengan perkembangan folikelnya yang baru (James 2003).

2.3.Superovulasi pada Domba

Superovulasi merupakan suatu teknik untuk merangsang pembentukan folikel dalam ovarium melebihi kemampuan alamiahnya. Melalui superovulasi, jumlah folikel yang tumbuh dan matang lebih cepat akan meningkat. Teknik superovulasi dilakukan dengan menggunakan hormon gonadotropin. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan superovulasi di antaranya jumlah pemberian dosis, preparat hormon yang digunakan, preparat tambahan yang digunakan, dan prosedur pelaksanaan. Aplikasi teknik superovulasi yang dilakukan pada domba memberikan hasil yang sangat bervariasi (Gordon 2005).

Salah satu faktor lain yang mempengaruhi respons superovulasi ialah kondisi awal ovarium. Kondisi awal ovarium yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda terhadap jumlah populasi folikel yang akan berkembang selama perlakuan superovulasi. Pada kondisi awal dengan ovarium yang telah memiliki beberapa folikel yang telah berkembang sebelumnya, memberikan respons superovulasi yang lebih baik (Lopez et a.l 2005). Respons superovulasi


(22)

juga dapat ditingkatkan dengan mengubah teknik superovulasi itu sendiri. Penggunaan metode berupa stimulasi superovulasi yang berulang akan memberikan hasil yang lebih baik (Cueto et al. 2010).

Jenis gonadotropin yang sering dipakai dalam penerapan teknik superovulasi ialah FSH dan PMSG. Pemakaian FSH dalam teknik superovulasi mempunyai respons yang sangat baik namun waktu paruh biologinya singkat, yaitu kurang lebih 2 sampai dengan 5 jam sehingga penyuntikan perlu dilakukan berulang kali (Hafez 2000). Hormon FSH dapat diperoleh dari ekstraksi pituitari ataupun dari sintetis secara buatan. Salah satu contoh gondadotropin sintetis ialah analog human hFSH. Hormon analog tersebut memiliki potensi yang mirip dengan FSH ketika diaplikasikan pada domba (Lemke 2008). Hormon PMSG merupakan hormon yang dihasilkan oleh plasenta yang mempunyai aktivitas mirip dengan FSH dan LH. Hormon PMSG mencapai kadar tertinggi dalam darah antara hari ke-60 sampai dengan 90 dari masa kebuntingan dan diperkirakan hormon ini merangsang pembentukan korpus luteum tambahan atau folikel berlutein yang diperlukan untuk mempertahankan kebuntingan (Hunter 1995). Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh PMSG di antaranya merangsang pertumbuhan folikel, menunjang produksi estrogen, merangsang ovulasi, dan luteinisasi.

Pemberian PMSG dalam dosis tunggal secara intramuskular sudah cukup untuk merangsang timbulnya ovulasi. Penggunaan PMSG menimbulkan respons yang sangat bervariasi, yaitu dari tidak memberi respons hingga respons yang berlebihan. Pemberian PMSG yang tidak disertai dengan pemberian hormon lain harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus estrus untuk domba (Hunter 1995).

Gonadotropin eksogen berupa PMSG yang diaplikasikan dalam teknik superovulasi akan memberikan aktivitas biologi yang menyerupai FSH dan LH. Hormon PMSG akan berperan dalam merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium, pematangan folikel tersebut, dan pembentukan hormon estrogen. Pembentukan estrogen tersebut akan meningkatkan konsentrasi estrogen di dalam darah. Kadar estrogen yang tinggi di dalam darah digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pematangan folikel. Selain itu, tingginya


(23)

kadar estrogen dalam darah akan memberikan sinyal untuk menghentikan sekresi hormon gonadotropin oleh hipotalamus dan hipofise anterior. Kadar estrogen yang berada di atas ambang akan menekan pelepasan FSH oleh hipotalamus dan selanjutnya meningkatkan sekresi LH untuk merangsang proses ovulasi. Pada saat terjadi ovulasi, sel-sel granulosa akan memproduksi inhibin yang berfungsi untuk mengahambat produksi FSH (Hernawan 2003).

Pada kasus superovulasi, produksi hormon estrogen hanya dirangsang oleh hormon gonadotropin eksogen. Pemberian LH eksogen tidak diperlukan untuk menginduksi terjadinya ovulasi karena lonjakan pelepasan LH endogen akan terjadi secara otomatis akibat superovulasi. Ovulasi merupakan pelepasan sel telur dari folikel yang telah matang. Ovulasi dapat terjadi jika ada sekresi LH secara mendadak dan dalam waktu yang cepat oleh hipofise anterior (Frandson et al.

2009). Pada beberapa spesies hewan tetap diperlukan adanya injeksi LH eksogen setelah pemberian PMSG. Injeksi LH eksogen diperlukan untuk menginduksi ovulasi dari beberapa folikel yang telah berkembang sebelumnya (Donald dan Leslie 1980).

Induksi ovulasi dapat dilakukan dengan melakukan injeksi tunggal LH dalam bentuk hCG atau fraksi hipofise yang kaya akan aktivitas LH. Pemberian preparat hormon tersebut dilakukan dengan injeksi intravena atau intramuskular. Waktu pemberian injeksi hormon dilakukan menjelang munculnya berahi, yaitu ketika terdapat folikel yang matang. Injeksi LH atau hCG harus dilakukan sebelum terjadi perbanyakan sekresi gonadotropin endogen. Jika injeksi LH atau hCG dilakukan terlalu cepat, yaitu ketika folikel belum matang, maka akan muncul efek lain pada hewan. Efek tersebut di antaranya hewan tidak berahi, terjadi ovulasi oosit primer, atau bahkan tidak terjadi ovulasi meskipun luteinisasi folikel dapat dimulai (Hunter 1995).

Prosedur superovulasi pada domba biasanya dilakukan dengan injeksi PMSG. Injeksi dilakukan pada akhir fase luteal siklus berahi, yaitu sekitar hari ke-12 atau 13. Injeksi PMSG juga dapat dilakukan setelah injeksi progesteron yang digunakan untuk sinkronisasi estrus. Prosedur tersebut bertujuan agar ukuran populasi folikel yang matang lebih homogen sebelum dimulainya perangsangan dengan gonadotropin eksogenous. Pemberian PMSG juga dapat dilakukan pada


(24)

fase luteal yaitu beberapa saat menjelang injeksi tunggal preparat luteolisis (Hunter 1995). Menurut James (2003) induksi superovulasi menggunakan injeksi PMSG juga dapat mulai diberikan pada pertengahan siklus estrus. Pemberian induksi superovulasi ditujukan untuk meningkatkan jumlah folikel yang matang yang akan tumbuh menjadi folikel dominan dan untuk mengurangi jumlah folikel yang mengalami regresi.

Masing-masing folikel yang mencapai tahap folikel dominan akan melepaskan satu sel telur. Pada kondisi konsepsi, lokasi pelepasan sel telur tadi akan berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum akan menghasilkan progesteron yang berfungsi menjaga kebuntingan. Konsentrasi progesteron yang ada di dalam darah dapat digunakan untuk mengetahui jumlah embrio yang sedang berkembang. Semakin tinggi kadar progesteron dalam darah, maka jumlah embrio yang sedang berkembang semakin banyak. Namun, kadar progesteron di dalam darah tidak dapat menjadi ukuran untuk menentukan jumlah korpus luteum yang terbentuk (Amiridis et al. 2002).

2.4.Permasalahan Superovulasi

Penerapan teknik superovulasi memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan efisiensi reproduksi ternak, akan tetapi memiliki berbagai kendala dalam aplikasinya. Penerapan superovulasi masih terbatas dilakukan pada ternak sapi sedangkan pada domba masih jarang dilakukan. Tujuan utama dilakukan superovulasi pada sapi ialah untuk mendapatkan embrio dengan kualitas baik dan jumlah yang lebih banyak melalui inseminasi buatan dengan pejantan unggul. Selanjutnya, embrio dalam jumlah banyak hasil superovulasi tersebut dapat dipanen untuk kemudian dilakukan transfer embrio. Pada domba, penerapan superovulasi untuk tujuan tersebut tidak dilakukan karena dianggap tidak efektif.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan superovulasi ialah respons individu terhadap hormon yang diberikan dan waktu pemberian hormon tersebut. Pemberian preparat hormon untuk superovulasi memberikan pengaruh yang sangat bervariasi antarindividu. Selain itu, waktu pemberian preparat hormon juga sangat berpengaruh pada respons perkembangan folikel ovarium. Pemberian preparat hormon superovulasi akan memberikan hasil terbaik


(25)

ketika ternak sedang berada pada fase folikuler, terutama pada periode munculnya gelombang folikuler. Pada teori sebelumnya, gelombang folikel diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus berahi yang sekaligus pertengahan fase luteal sehingga diyakini pada saat tersebutlah waktu yang tepat untuk melakukan program superovulasi. Namun, perlakuan tersebut hanya memberikan hasil yang tidak pasti. Saat ini diketahui bahwa gelombang folikuler tidak terjadi satu kali saja. Gelombang folikuler terjadi bergantung pada fertilitas individu masing-masing sehingga dimungkinkan terjadi satu hingga tiga gelombang folikuler dalam satu siklus berahi (Sumaryadi 1997).

Permasalahan lain yang muncul ketika pelaksanaan program superovulasi ialah tingginya tingkat stres induk. Stres induk tersebut disebabkan oleh tingginya beban metabolisme yang ditanggung dengan banyaknya jumlah fetus yang ada dalam uterus. Selain itu, peningkatan perkembangan folikel akibat superovulasi akan meningkatkan sekresi hormon endogen. Peningkatan sekresi hormon-hormon endogen akan berpengaruh juga pada peningkatan beban metabolisme induk. Dengan demikian, suatu metode perlu diaplikasikan untuk mengurangi stres metabolisme akibat peningkatan beban metabolisme pada induk yang disuperovulasi. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan ekstrak dari tanaman berkhasiat yang diharapkan mampu meningkatkan performans induk yang disuperovulasi.

2.5.Darah

Darah merupakan cairan tubuh yang terdapat di luar sel dan termasuk bagian dari sistem sirkulasi. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah yang ada di seluruh tubuh. Darah terdiri atas plasma dan sel-sel darah. Sel-sel darah terdiri atas Sel-sel darah merah atau eritrosit, Sel-sel darah putih atau leukosit, dan keping darah atau trombosit. Jumlah leukosit relatif sangat sedikit, yaitu 2 permil dari jumlah eritrosit. Bagian darah yang mempunyai fungsi penting dalam proses pembekuan darah adalah trombosit (Poedjiadi 2006). Menurut Seiverd (1964) untuk setiap 500 eritrosit terdapat 30 trombosit dan hanya terdapat satu leukosit.


(26)

Darah yang diberi antikoagulan dan kemudian disentrifugasi akan memisahkan bagian darah berdasarkan bobotnya. Sel-sel darah akan mengendap sedangkan plasma darah akan berada di atasnya. Pada darah normal, sel-sel darah akan menempati 0,45 bagian dari volume keseluruhan. Bagian ini disebut hematokrit atau jika dalam unit internasional disebut VPRC (Volume of Packed Red Cells). Bobot jenis darah bervariasi antara 1,045-1,060 sedangkan bobot jenis

plasma darah antara 1,024-1,028. Viskositas atau derajat kekentalan darah kira-kira 4,5 kali viskositas air.

Bagian cair dari darah disebut plasma darah. Plasma darah mengandung sekitar 90% air. Peranan air dalam darah sangat besar. Air yang terkandung dalam plasma berfungsi sebagai pelarut zat-zat, menjaga tekanan darah, menjaga kondisi osmotik, dan pengaturan panas. Air mempunyai kalor jenis yang tinggi, konduktivitas panas yang tinggi, dan kalor penguapan laten yang tinggi pula. Sifat air tersebut sangat menguntungkan dalam hal pengaturan panas (Poedjiadi 2006).

Salah satu zat terbanyak yang terdapat dalam plasma ialah protein. Kadar protein plasma kira-kira 6 sampai dengan 8% dari plasma. Beberapa protein yang terkandung dalam plasma di antaranya fibrinogen, albumin, dan globulin. Fibrinogen adalah suatu protein yang dapat berubah menjadi fibrin dan menyebabkan terjadinya penggumpalan darah apabila terjadi perlukaan. Fibrinogen memiliki sifat seperti globulin namun berbeda pada beberapa reaksi pengendapan. Fibrinogen dibentuk dalam hati. Pada keadaan peradangan dan kebuntingan, jumlah fibrinogen dalam plasma meningkat. Albumin dan globulin merupakan bagian besar protein yang terdapat dalam plasma. Kedua jenis protein ini berfungsi sebagai zat yang menentukan besarnya tekanan osmosis (Poedjiadi 2006).

Fraksi sel darah merah dalam darah disebut dengan hematokrit. Nilai hematokrit menunjukkan kemampuan darah dalam membawa oksigen. Nilai hematokrit berkisar antara 40-50%, menunjukkan bahwa di dalam darah sudah terdapat hemoglobin dengan jumlah yang cukup untuk pengangkutan oksigen ke jaringan. Di dalam sel darah merah terdapat protein berpigmen yang disebut dengan hemoglobin. Fungsi utama hemoglobin ialah untuk mengangkut oksigen dan karbon dioksida dalam darah (Cunningham 1997).


(27)

2.6.Sel Darah Merah

Sel darah merah atau eritrosit dibentuk di dalam sumsum tulang. Hemoglobin merupakan zat padat dalam eritrosit yang menyebabkan warna merah pada eritrosit. Eritrosit kurang mengandung air dibandingkan dengan sel-sel lain dalam jaringan. Di dalam eritrosit terdapat lipid, protein, dan enzim. Lipid yang terdapat di dalam eritrosit di antaranya kolesterol, lesitin, dan sefalin. Protein yang terdapat di dalam eritrosit ialah stromatin, lipoprotein, dan elimin. Beberapa enzim yang terdapat di dalam eritrosit di antaranya karbonat anhidrase, peptidase, kolinesterase, dan enzim-enzim dalam sistem glikolisis. Molekul ATP dan ADP merupakan bagian yang penting di dalam eritrosit. Urea, asam amino, kreatinin, dan glukosa adalah zat organik yang larut di dalam eritrosit. Konsentrasi glukosa dalam plasma sama dengan konsentrasi glukosa dalam eritrosit (Poedjiadi 2006). Gambar dari bentuk sel darah merah disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Bentuk sel darah merah (Anonim 2008)

Komposisi elektrolit dalam sel darah merah secara kualitatif sama dengan plasma, namun secara kuantitatif terdapat sedikit perbedaan. Tekanan osmosis dalam sel sama dengan tekanan osmosis pada plasma, yaitu senilai dengan tekanan osmosis larutan 0,9% NaCl dalam air. Perubahan tekanan osmosis yang terjadi pada larutan di luar eritrosit akan berpengaruh pada besarnya sel. Larutan yang bersifat hipotonik menyebabkan air masuk ke dalam sel sehingga ukuran sel membesar. Kondisi sel yang terus membesar dapat mengakibatkan pecahnya sel sehingga hemoglobin keluar dari sel. Proses pecahnya sel darah merah tersebut disebut hemolisis. Pada kondisi sebaliknya, yaitu lingkungan yang hipertonik


(28)

maka air dari dalam sel akan keluar. Ukuran sel menjadi kecil dan dikenal dengan istilah krenasi.

Eritrosit dibentuk dalam sumsum tulang kemudian dilepaskan ke dalam sistem sirkulasi dan beredar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Jumlah eritrosit dalam darah relatif konstan. Jumlah eritrosit yang konstan menunjukkan pembentukan eritrosit yang baru memiliki kecepatan yang sama dengan kecepatan rusaknya eritrosit yang lama. Sel darah merah dapat bertahan selama 120 sampai dengan125 hari dalam sirkulasi dan kemudian mengalami kerusakan. Sekitar 0,8% dari seluruh eritrosit mengalami kerusakan dan dibentuk setiap hari.

Eritrosit yang rusak menyebabkan hemoglobin keluar dari sel. Hemoglobin tersebut akan mengeluarkan zat besi atau Fe yang terkandung di dalamnya. Fe yang telepas akan bergabung dengan transferin yang kemudian disimpan dan dapat digunakan lagi. Transferin merupakan suatu protein yang terdapat dalam plasma dan mampu mengikat Fe secara reversibel. Kemampuan tubuh untuk menyimpan Fe dan menggunakannya kembali sangat menguntungkan karena usus mempunyai kemampuan yang terbatas dalam melakukan penyerapan Fe yang terkandung dalam makanan.

Kadar Fe dalam tubuh bergantung pada ukuran badan dan tingkat hemoglobin. Fe terdapat dalam hemoglobin, feritin, hemosiderin, dan sisanya dalam mioglobin. Kandungan Fe sedikit di dalam plasma dan cairan ekstraseluler. Fe yang terdapat dalam makanan diserap di semua jalur pencernaan makanan namun terbanyak adalah di duodenum. Zat besi diserap dalam bentuk Fe++ dan langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Sebagian Fe akan tersimpan dalam sel hati, limpa, dan sumsum tulang sebagai feritin dan hemosiderin. Feritin merupakan protein yang larut dalam air yang terdiri atas apoferitin dan kompleks ferihidroksidafosfat. Kelebihan Fe yang tidak tertampung oleh feritin akan disimpan sebagai hemosiderin yang tidak larut dalam air. Pemasukan Fe yang terus menerus ke dalam tubuh menyebabkan tertimbunnya hemosiderin dalam hati dan dapat menyebabkan kerusakan hati dan jantung (Guyton dan Hall 1997).

Hemoglobin yang rusak menyebabkan terbentuknya bilirubin. Bilirubin merupakan zat warna kuning yang membentuk kompleks dengan albumin dan dibawa ke hati. Di dalam hati, bilirubin akan diubah menjadi bilirubin


(29)

diglukoronida oleh enzim UDP-glukoronil transferase yang kemudian dibawa ke empedu. Bilirubin diglukoronida akan dikeluarkan bersama cairan empedu ke dalam usus. Di dalam usus glukoronida dipisahkan sedangkan bilirubin direduksi menjadi urobilinogen yang tidak berwarna. Sebagian urobilinogen diserap kembali dan dibawa ke hati. Sebagian besar urobilinogen dikeluarkan bersama feses setelah diubah menjadi urobilin melalui jalur oksidasi.

Kondisi kelainan eritrosit berupa jumlahnya yang tidak mencapai normal disebut anemia. Anemia dapat disebabkan oleh berbagai hal. Pendarahan, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan kekurangan volume darah dalam tubuh sehingga menyebabkan anemia. Plasma darah dapat kembali dalam 24 jam dengan jalan mengambil cairan dari jaringan-jaringan. Sementara itu, dibutuhkan waktu beberapa minggu untuk mengembalikan jumlah sel darah merah yang hilang. Kekurangan Fe dalam tubuh dapat berakibat kurangnya jumlah hemoglobin yang secara tidak langsung mempengaruhi konsentrasi eritrosit. Anemia juga dapat terjadi karena sel darah merah yang mudah rusak. Rusaknya sel darah merah dapat terjadi karena rapuhnya membran sel. Produksi sel yang tidak dapat mengimbangi laju kerusakannya akan mengakibatkan kondisi anemia. Anemia terbagi dalam beberapa jenis sesuai dengan penyebabnya. Pernicious anemia terjadi karena kurangnya asam folat atau vitamin B12 yang menyebabkan produksi sel darah merah berkurang dan ukurannya membesar. Jenis anemia yang lain adalah anemia aplastik. Pada kondisi ini sumsum tulang sama sekali tidak mampu untuk memproduksi sel darah merah. Akibat dari anemia tersebut adalah kurangnya kemampuan darah dalam mengikat oksigen sehingga jaringan-jaringan yang memerlukan oksigen tidak dapat terpenuhi kebutuhannya. Akibat lain yang muncul adalah menurunnya viskositas darah yang pada akhirnya mempengaruhi kerja jantung.

Kelainan darah berupa jumlah eritrosit di atas normal disebut dengan polisitemia. Kondisi ini berlawanan dengan anemia. Polisitemia akan menyebabkan kenaikan viskositas darah dan kemudian mempengaruhi kecepatan aliran darah terutama pada pembuluh darah kapiler. Pada kondisi selanjutnya, viskositas darah yang meningkat tersebut akan memberatkan kerja jantung (Guyton dan Hall 1997).


(30)

2.7.Profil Ekstrak Temulawak yang diberikan

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman obat yang

termasuk dalam suku temu-temuan. Menurut klasifikasi ilmiah, temulawak masuk ke dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Liliopsida, dan ordo Zingiberales. Selanjutnya, temulawak termasuk dalam famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan memiliki nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza (Rukmana

1995). Gambar dari temulawak disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Temulawak atau Curcuma xanthorrhiza (Anonim 2010)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) mempunyai kandungan utama

protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin. Kurkumin mempunyai manfaat sebagai antiradang dan antihepatotoksik. Senyawa kurkumin memiliki sifat hepatoprotektif dan telah terbukti mampu memperbaiki fungsi hati yang sedang mengalami kerusakan (Marotta et al. 2003). Temulawak memiliki beberapa manfaat yang dapat

digunakan sebagai obat. Manfaat tersebut di antaranya sebagai hepatoprotektor, menurunkan kadar kolesterol, antiradang, laksansia (pencahar), diuretikum, dan menghilangkan nyeri sendi. Manfaat lainnya ialah dapat meningkatkan nafsu makan, melancarkan ASI, dan melancarkan peredaran darah.

Senyawa khusus yang telah berhasil diisolasi dari temulawak ialah xanthorizol. Senyawa ini mempunyai manfaat sebagai senyawa antibakteri alami. Beberapa jenis bakteri yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh senyawa ini di antaranya Bacillus cereus, Clostridium perfingens, Listeria monocytogenes,


(31)

Staphylococcus aureus, Salmonella typhimurium, dan Vibrio parahaemolyticus

(Lee et al. 2008). Senyawa xanthorizol yang dikenal dengan sesquiterpenoid

alami juga berpotensi sebagai senyawa antimetastasis tumor. Xanthorizol mampu menghambat pembentukan nodul tumor pada jaringan paru-paru dan tumor pada intraabdominal (Choi et al. 2004).

Beberapa jenis vitamin penting yang dibutuhkan oleh tubuh di antaranya vitamin A, vitamin B kompleks, dan vitamin D. Vitamin A memilki beberapa manfaat penting terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi. Manfaat tersebut di antaranya ialah sebagai komponen untuk menjaga fungsi reproduksi normal, mempengaruhi perkembangan normal fungsi ovarium dan plasenta, serta mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal embrio. Vitamin B kompleks, yang terdiri atas vitamin B1, B2, B6, dan B12, memiliki arti penting sebagai kofaktor berbagai enzim di dalam tubuh. Melalui peran pentingnya sebagai kofaktor tersebut, vitamin B kompleks memiliki fungsi sebagai bahan yang berperan dalam aktivasi berbagai enzim sehingga proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Vitamin D memiliki peran penting dalam proses penyerapan kalsium. Ketercukupan vitamin D akan membantu proses metabolisme kalsium di dalam tubuh menjadi lebih optimal. Kalsium memiliki arti yang sangat penting bagi tubuh karena kalsium berperan pada hampir seluruh proses metabolisme tubuh. Beberapa peran penting kalsium di antaranya sebagai

second messenger, berperan dalam kontraksi otot, berperan dalam impuls saraf,


(32)

III. METODE

3.1.Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Desember 2010. Penelitian dilakukan di kandang Mitra Maju yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No. 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2.Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuid, seperangkat alat ultrasonography (USG), tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip,

marker, kertas label, tabung kapiler, alat penghitung, adam mikrohematokrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang, dan mikroskop cahaya.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya 16 domba betina, hormon Prostaglandin (PGF2α), hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin

(PMSG) dan humanChorionic Gondadotropin (hCG), pengencer Hayem, alkohol

70%, antikoagulan Ethilen Diamine Tetraasetate (EDTA), kertas saring, sediaan

ekstrak temulawak plus (ekstrak temulawak, vitamin A, vitamin B kompleks, dan vitamin D), dan selang penanda.

3.3.Tahap Persiapan 3.3.1. Hewan Percobaan

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 16 domba betina lokal yang telah dewasa kelamin. Domba-domba tersebut berasal dari Priangan Timur dan memiliki kisaran bobot badan antara 20-25 kg.

3.3.2. Aklimatisasi Domba

Sebelum mendapat perlakuan, domba penelitian dipelihara selama dua minggu untuk diaklimatisasikan. Tujuan aklimatisasi ialah untuk memberikan kesempatan agar domba-domba tersebut menyesuaikan diri terhadap lingkungan.


(33)

Selama aklimatisasi, domba diberikan antibiotik, antelmintik, dan vitamin B kompleks. Pemberian antibiotik, antelmintik, dan vitamin bertujuan untuk mendapatkan kondisi domba yang sehat dan bebas dari penyakit.

3.3.3. Kandang, Pakan, dan Minum

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini ialah kandang kelompok

dengan konstruksi kandang panggung dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah. Pakan domba perlakuan yang diberikan terdiri atas hijauan dan singkong. Hijauan diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari diberikan singkong. Pemberian air minum dilakukan secara tidak terbatas atau ad libitum.

3.4. Tahap Pelaksanaan 3.4.1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2 x 2. Faktor pertama ialah superovulasi sedangkan faktor kedua ialah pemberian ekstrak temulawak plus. Selanjutnya, domba penelitian dibagi ke dalam empat kelompok perlakuan yang masing-masing kelompok terdiri atas empat ekor domba. Rancangan percobaan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pembagian kelompok domba perlakuan

Perlakuan Tidak disuperovulasi Disuperovulasi Tidak diberi ekstrak Kontrol (4 ulangan) SO (4 ulangan)

Diberi ekstrak TM (4 ulangan) SO dan TM (4 ulangan)

3.4.2. Superovulasi

Perlakuan superovulasi diawali dengan sinkronisasi estrus terlebih dahulu terhadap semua domba pada setiap kelompok perlakuan. Sinkronisasi estrus dilakukan dengan menyuntikkan hormon PGF2α (LutalyseTM) secara intramuskular sebanyak dua kali. Dosis PGF2α yang diberikan berkisar 5-15


(34)

mg/kg bobot . Penyuntikan PGF2α kedua dilakukan dengan selang waktu 11 hari dari penyuntikan pertama. Kelompok domba superovulasi (SO) dan kelompok domba yang dicekok ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (TM SO) mendapat perlakuan superovulasi dengan penyuntikan secara intramuskular menggunakan hormon PMSG dan hCG yang disuntikkan sesaat setelah penyuntikan PGF2α yang kedua.

Dua hari setelah penyuntikan PGF2α yang kedua, domba berada dalam kondisi estrus, semua kelompok perlakuan domba dicampur dengan domba pejantan yang telah dipilih. Pencampuran domba jantan dengan domba betina dilakukan selama dua hari. Pencampuran dengan pejantan dilakukan dengan membagi 16 domba menjadi dua kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 8 betina dan 1 jantan. Tiga puluh hari setelah pencampuran dengan pejantan, dilakukan pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG.

3.4.3. Pemberian Ekstrak Temulawak Plus

Kelompok yang mendapat perlakuan pencekokan ekstrak temulawak plus ialah kelompok domba yang hanya diberi ekstrak temulawak plus (TM) dan domba yang dicekok ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi (TM SO). Kelompok tersebut mulai mendapatkan perlakuan pencekokan setelah kebuntingan berumur satu bulan. Pencekokan dilakukan sekali seminggu dengan dosis 1 mg per kg bobot badan.

3.4.4. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel darah pertama dilakukan sebelum domba diberikan perlakuan. Setelah itu, sampel darah diambil kembali setiap bulan selama lima bulan. Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid sebanyak kurang lebih 5 ml kemudian langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah dilapis antikoagulan EDTA. Tabung tersebut kemudian langsung ditutup menggunakan sumbat dan diberi label sesuai kode perlakuan. Sampel darah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan darah.


(35)

3.4.5. Penghitungan Eritrosit, Hematokrit, dan Hemoglobin

Penghitungan eritrosit dilakukan secara manual dengan metode hemositometer. Metode ini diawali dengan menghisap darah menggunakan pipet eritrosit sampai skala 0,5. Kemudian, pipet dibersihkan dari noda darah yang menempel menggunakan tisu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer hayem dan menghisap larutan tersebut sampai batas tera 101.

Aspirator dilepas, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol, dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan membuat gerakan memutar angka 8. Setelah homogen, cairan tetesan pertama dan kedua dibuang. Selanjutnya, hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet eritrosit pada tepi kaca penutup. Kemudian, kamar hitung didiamkan beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar hitung. Langkah berikutnya, melihat kamar hitung di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 kali. Jumlah sel yang dihitung adalah di lima kotak, yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pokok kiri atas dan bawah, serta satu kotak yang tepat berada di tengah. Jumlah sel darah merah ialah jumlah dari penghitungan lima kotak tadi dikalikan dengan 10.000 per mm3.

Penghitungan nilai hematokrit atau Pack Cell Volume (PCV) dilakukan

menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan

adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain dikosongkan kira-kira 1 cm. Bagian ujung tabung disumbat. Setelah itu, tabung mikro yang berisi sampel darah tersebut disentrifuse selama 4-5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Hasil sentrifugasi dibaca menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader.

Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Sahli. Metode ini dilakukan dengan menambahkan HCl ke dalam tabung kemudian ditambahkan dengan sampel darah dan ditambahkan secara perlahan sejumlah aquades hingga warna yang terbentuk sama dengan kontrol. Kadar hemoglobin diperoleh dengan membaca skala yang tertera pada tabung Sahli.


(36)

3.5. Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas jumlah sel darah merah, nilai hematokrit (PCV), dan kadar hemoglobin.

3.6.Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis General Linear Model (GLM) multivariate untuk melihat interaksi dari masing-masing


(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sel Darah Merah

Hasil penghitungan jumlah sel darah merah setiap bulan selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 2. Pada bulan pertama kebuntingan, didapatkan jumlah sel darah merah yang beragam antarkelompok perlakuan meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata secara statistik. Jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) menunjukkan nilai jumlah sel darah merah yang paling tinggi dengan jumlah 14,83±0,87 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah terendah ada pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak plus (kontrol) dengan jumlah sel darah merah 11,50±1,50 x 106/mm3. Satu-satunya faktor yang secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut ialah faktor superovulasi (SO), sedangkan faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Tabel 2 Jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba bunting yang

disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan

Bulan Kontrol TM SO TM SO*TM

Kontrol SO Kontrol SO

1 11,50±1,50a 13,73±0,85 a 11,71±3,20a 14,83±0,87 a * - -

2 11,73±1,73a 14,85±0,72 ab 12,38±2,17a 15,68±0,96b * - -

3 11,55±1,90a 15,03±0,48 ab 13,05±1,58ab 16,08±0,51b * - - 4 11,40±1,60a 15,13±0,55 b 13,33±0,94ab 15,43±0,52b * * -

5 10,95±0,91a 14,88±0,46 c 13,40±0,77b 14,88±0,96c * * *

Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda

pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).

Pada kelompok domba yang disuperovulasi, domba induk memiliki jumlah fetus lebih banyak daripada kelompok perlakuan lainnya sehingga sangat mempengaruhi metabolisme induk domba tersebut. Perubahan metabolisme


(38)

tersebut disebabkan oleh lebih banyaknya sekresi hormon kebuntingan (Andriyanto dan Manalu 2011). Selain sekresi hormon kebuntingan yang meningkat, kondisi kebuntingan juga mempengaruhi sekresi hormon lain yang juga mempengaruhi proses metabolisme seperti hormon tiroid (Guyton dan Hall 1997). Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi ialah adanya peningkatan jumlah sel darah merah. Walaupun kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus, akan tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi peningkatan jumlah sel darah merah. Berdasarkan penghitungan statistik, faktor pemberian ekstrak temulawak plus (TM) dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) tidak mempengaruhi jumlah sel darah merah setiap kelompok perlakuan.

Pada bulan kedua, didapatkan jumlah sel darah merah tertinggi, yaitu pada kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus (TM SO) dengan jumlah 15,68±0,96 x 106/mm3 dan terendah pada kelompok kontrol dengan jumlah sel darah merah 11,73±1,73 x 106/mm3. Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan pertama. Peningkatan jumlah sel darah merah dari bulan pertama ke bulan kedua dari kelompok domba kontrol adalah sebesar 2%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi memiliki nilai peningkatan yang sama, yaitu sebesar 5,7%. Peningkatan jumlah sel darah merah terbesar ada pada kelompok domba yang disuperovulasi, yaitu sebesar 8,2%. Berdasarkan perhitungan statistik, pada bulan kedua mulai terlihat adanya nilai yang berbeda nyata pada kelompok perlakuan. Faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah pada bulan kedua ialah faktor superovulasi.

Pada bulan ketiga kebuntingan, kondisinya tidak berbeda jauh dengan bulan kedua maupun bulan pertama, yaitu kelompok domba yang disuperovulasi dan diberi ekstrak temulawak memiliki jumlah sel darah merah tertinggi, sedangkan pada kelompok domba yang tidak disuperovulasi dan tidak diberi ekstrak temulawak memiliki jumlah sel darah merah terendah. Perbedaan yang


(39)

muncul pada bulan ketiga dan bulan pertama hanya terdapat pada peningkatan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan. Namun, jika dibandingkan pada bulan kedua, hanya kelompok kontrol yang mengalami penurunan jumlah sel darah merah, yaitu sebesar 1,53%. Peningkatan jumlah sel darah merah dari kelompok perlakuan terjadi seiring dengan peningkatan umur kebuntingan.

Faktor pemberian ekstrak temulawak plus mulai memberikan pengaruh pada jumlah sel darah merah pada bulan keempat. Pada bulan keempat, selain faktor pemberian ekstrak temulawak plus, faktor superovulasi juga memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah pada kelompok domba perlakuan. Akan tetapi, faktor kombinasi antara superovulasi dengan pemberian ekstrak temulawak plus (SO*TM) belum memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah kelompok domba perlakuan. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak dan disuperovulasi memberikan jumlah tertinggi dibanding kelompok lainnya. Meskipun mempunyai nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain, kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi sekaligus mengalami penurunan jumlah sel darah merah sebesar 4% dibandingkan pada bulan ketiga.

Pada bulan kelima kebuntingan, faktor superovulasi, faktor pemberian ekstrak temulawak plus, dan faktor superovulasi sekaligus pemberian ekstrak temulawak plus secara signifikan telah memberikan pengaruh pada perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan bulan keempat, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok pada bulan kelima mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus. Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah yang tidak signifikan, yaitu sebesar 0,52%. Selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah, didapatkan jumlah sel darah merah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (TM SO) selalu memberikan jumlah sel darah merah tertinggi, sedangkan kelompok domba yang tidak diberi ekstrak temulawak plus dan tidak disuperovulasi (kontrol) selalu memberikan jumlah sel darah merah yang terendah. Selain itu, selama lima bulan pengamatan terhadap


(40)

jumlah sel darah merah didapatkan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dari kelompok kontrol maupun kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM). Kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) selalu memiliki nilai yang lebih rendah dibanding kelompok SO maupun kelompok TM dan SO, namun selalu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol selama lima bulan pengamatan jumlah sel darah merah. Pada bulan kelima kebuntingan, jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan mengalami penurunan kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) yang justru mengalami sedikit peningkatan.

Jumlah sel darah merah dalam sistem sirkulasi tubuh diatur secara terbatas sehingga memadai untuk selalu menyediakan oksigen bagi jaringan (Guyton dan Hall 1997). Sel darah merah mempunyai tiga fungsi penting yaitu transportasi oksigen ke jaringan, transportasi karbon dioksida ke paru-paru, dan sebagai penyangga atau buffer ion hidrogen (Meyer dan Harvey 2004).

Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan secara keseluruhan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987) didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 x 106/mm3. Nilai tersebut juga tidak berbeda jauh dari hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Kozat et al.

pada tahun 2003 yang melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba tidak bunting adalah sebesar 11,72±71 x 106/mm3. Pada tahun 2006, Kozat et al. juga

melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba bunting adalah sebesar 12,02±69 x 106/mm3 yang berarti bahwa jumlah sel darah merah pada domba bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting.

Selain peningkatan, penurunan jumlah sel darah merah juga terjadi pada setiap kelompok domba perlakuan. Penurunan jumlah sel darah merah terjadi menjelang kelahiran yang juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Maheshwari et al. (2001). Penurunan jumlah sel darah merah pada bulan kelima

terjadi karena peningkatan stres menjelang kelahiran. Pada masa menjelang kelahiran, terjadi peningkatan hormon-hormon stres yang mempengaruhi metabolisme tubuh (Guyton dan Hall 1997). Penurunan jumlah sel darah merah


(41)

menjelang kelahiran juga dilaporkan pada penelitian yang dilakukan Iriadam (2007). Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba pada pertengahan masa kebuntingan adalah 16,94±0,23 x 106/mm3 sedangkan pada akhir kebuntingan ialah 15,40±0,49 x 106/mm3.

Pengamatan jumlah sel darah merah tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Jumlah sel darah merah mengalami kenaikan sampai dengan bulan ketiga dan mengalami penurunan pada bulan keempat menuju bulan kelima. Pada kelompok kambing yang melahirkan anak kembar dan normal akan mengalami peningkatan jumlah sel darah merah sampai dengan usia kebuntingan 4,5 bulan (Maheshwari et al. 2001). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian

pada kelompok domba yang disuperovulasi (SO) yang sampai pada bulan keempat kebuntingan terus mengalami peningkatan jumlah sel darah merah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel darah merah akan mengalami peningkatan pada bulan-bulan awal kebuntingan.

Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah selama lima bulan dari setiap kelompok perlakuan ialah faktor superovulasi. Perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus dan perlakuan pemberian ekstrak temulawak plus sekaligus superovulasi tidak memberikan pengaruh sampai bulan ketiga. Pemberian ekstrak temulawak plus baru mempengaruhi jumlah sel darah merah pada masa menjelang kelahiran, yaitu bulan keempat dan kelima sedangkan interaksi antara faktor superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus dalam mempengaruhi jumlah sel darah merah baru terjadi pada bulan kelima. Menjelang kelahiran, terjadi peningkatan stres pada tubuh induk yang mempengaruhi level antioksidan alami tubuh. Jumlah antioksidan tersebut sangat berpengaruh pada umur sel darah merah (Kurata et al.

1993). Salah satu senyawa bermanfaat yang dimiliki temulawak ialah kurkuminoid. Kurkuminoid mampu memperbaiki level dari malonildialdehida (MDA), superoksida dismutase (SOD), dan glutation peroksidase (GSH-Px) (Kalpravidh et al. 2010). Ketiga senyawa tersebut merupakan antioksidan alami

yang ada di dalam tubuh yang dapat mengurangi kerusakan sel karena stress oksidatif.


(42)

Jumlah sel darah merah akan mengalami penurunan pada masa akhir kebuntingan atau menjelang kelahiran. Penurunan jumlah sel darah merah tersebut tidak hanya terjadi pada domba namun juga pada hewan bunting lainnya, seperti pada kuda, babi, dan anjing (Jain 1993; Vihan dan Rai 1987). Penurunan jumlah sel darah merah pada masa akhir kebuntingan menimbulkan efek hemodilusi atau pengenceran darah sebagai akibat dari meningkatkanya plasma darah. Kondisi tersebut juga telah diteliti pada kambing yang sedang bunting (Azab dan Maksoud 1999).

Mekanisme kenaikan dan penurunan jumlah sel darah merah selama kebuntingan sangat terkait dengan proses hormonal. Perlakuan superovulasi sebelum adanya perkawinan dapat meningkatkan jumlah korpus luteum, konsentrasi rata-rata hormon estrogen induk, konsentrasi hormon progesteron, jumlah litter size, rata-rata bobot lahir anak, dan produksi susu masing-masing

sebesar 112, 67, 42, 27, 32, dan 35% (Adriani et al. 2007). Selanjutnya, profil

kenaikan dan penurunan dari jumlah sel darah merah dari setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 1.

Grafik 1 Jumlah sel darah merah induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan.

Kenaikan kadar hormon estrogen dan progesteron memiliki hubungan yang erat dengan total bobot lahir anak. Semakin tinggi konsentrasi progesteron


(43)

dan estrogen selama kebuntingan maka bobot total lahir anak juga semakin tinggi (Sumaryadi 2004). Total bobot lahir anak menggambarkan proses pertumbuhan yang dialami fetus selama kebuntingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan hormon progesteron selama kebuntingan memberikan pengaruh besar pada pertumbuhan fetus (Manalu dan Sumaryadi 1998)

Kelompok perlakuan yang mendapatkan pencekokan ekstrak temulawak plus (TM dan TM SO) memiliki jumlah sel darah merah yang lebih tinggi dari kontrol. Kandungan vitamin A, D, dan B kompleks yang terdapat pada ekstrak temulawak plus diduga memiliki pengaruh pada peningkatan jumlah sel darah merah. Pada manusia, suplementasi vitamin A dilaporkan dapat menurunkan tingkat kematian pada anak yang baru lahir ketika ibunya menderita defisiensi vitamin A (Rotondi dan Khobzi 2010). Pemberian piridoksin (B6) mampu meningkatkan proliferasi sel diferensiasi neuroblast pada saraf (Yoo et al. 2011).

Vitamin D dan K secara sinergis memberikan manfaat pada tulang dan sistem kardiovaskular (Kidd dan Paris 2010). Pemberian suplementasi vitamin D pada induk babi selama kebuntingan dapat memberikan kecukupan kebutuhan mineralisasi tulang fetus (Witschi et al. 2011).

4.2. Hematokrit

Nilai hematokrit setiap kelompok perlakuan selama lima bulan dapat dilihat pada Tabel 3. Faktor yang memberikan pengaruh pada nilai hematokrit dari bulan pertama sampai dengan bulan kelima ialah faktor superovulasi. Faktor pemberian ekstrak temulawak plus dan kombinasi antara superovulasi dan pemberian ekstrak temulawak plus tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada perbedaan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan. Selama lima bulan pengamatan terhadap nilai hematokrit kelompok domba perlakuan selalu didapatkan nilai hematokrit tertinggi pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus dan disuperovulasi (TM SO), sedangkan nilai terendah ditemukan pada kelompok domba yang yang tidak diberi ekstrak temulawak plus dan tidak disuperovulasi (kontrol). Selain itu, nilai hematokrit dari kelompok domba yang disuperovulasi (SO) selalu lebih tinggi dibanding kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus (TM) dan kelompok domba kontrol. Nilai hematokrit dari


(44)

kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus selalu lebih tinggi dari kontrol namun lebih rendah dari kelompok domba yang disuperovulasi dan kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Perbedaan nilai hematokrit yang ada tersebut sejalan dengan perbedaan jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan.

Tabel 3 Nilai hematokrit (%) induk domba bunting yang disuperovulasi sebelum kawin dan diberi ekstrak temulawak plus selama kebuntingan

Bulan Kontrol TM SO TM SO*TM

Kontrol SO Kontrol SO

1 23,80±1,58a 26,85±1,30a 24,90±2,69a 26,85±1,30a * - - 2 24,15±1,52a 27,28±1,13ab 25,13±2,47ab 28,20±0,80b * - - 3 23,78±1,07a 27,00±1,14ab 24,90±1,79ab 28,20±0,80b * - -

4 23,43±0,99a 27,15±1,27b 24,55±0,55a 27,50±0,55b * - -

5 23,05±0,26a 26,80±0,43b 24,40±1,32a 27,00±0,66b * - -

Ket: SO: Superovulasi; TM: Ekstrak temulawak plus; SO*TM: Superovulasi sekaligus ekstrak temulawak plus; Tanda (*): Signifikan (P<0,05); Tanda (-): Tidak signifikan (p>0,05); Huruf superscript berbeda

pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05).

Nilai hematokrit bulan pertama dari kelompok yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus, yaitu 26,85±1,30%, memberikan nilai tertinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi sekaligus diberi ekstrak temulawak plus yang juga memiliki jumlah sel darah merah tertinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Nilai hematokrit pada bulan kedua dari setiap kelompok domba perlakuan mengalami kenaikan dengan pola perbandingan yang hampir sama kecuali pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi. Pada bulan kedua, nilai hematokrit tertinggi sebesar 28,20±0,80% ada pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus yang menunjukkan kenaikan nilai hematokrit sebesar 5% dibanding pada bulan pertama. Nilai hematokrit terendah pada bulan kedua sebesar 24,15±1,52% pada kelompok domba kontrol yang menunjukkan kenaikan sebesar 1,5%.

Hematokrit merupakan nilai yang menunjukkan fraksi sel darah merah di dalam darah (Cunningham 1997). Kenaikan nilai hematokrit pada domba


(45)

penelitian secara nyata hanya terjadi pada bulan kedua. Kenaikan nilai hematokrit pada bulan kedua sejalan dengan kenaikan jumlah sel darah merah pada bulan kedua pada setiap kelompok domba perlakuan. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting (1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang dilaporkan oleh Ginting adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat

et al. (2003) yang melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting

adalah 34±3% sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al.

2006). Kelompok domba perlakuan yang memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai tersebut ialah pada kelompok domba yang diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi.

Pengamatan nilai hematokrit tiap bulan menunjukkan adanya kenaikan dan penurunan. Profil kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada Grafik 2.

Grafik 2 Nilai hematokrit induk domba kontrol (♦), disuperovulasi (■), diberi ekstrak temulawak plus (▲), dan diberi ekstrak temulawak plus sekaligus disuperovulasi (●) selama lima bulan kebuntingan.

Pola kenaikan dan penurunan nilai hematokrit pada setiap kelompok perlakuan sama persis dengan pola kenaikan dan penurunan jumlah sel darah


(46)

merahnya. Hal tersebut terjadi karena nilai hematokrit memiliki hubungan yang erat dengan jumlah sel darah merah. Pola kenaikan nilai hematokrit terjadi pada bulan-bulan awal kebuntingan, sedangkan pada masa menjelang kelahiran mengalami penurunan karena jumlah sel darah merah juga mengalami penurunan. Penurunan nilai hematokrit juga akan terus terjadi sampai dengan periode setelah kelahiran (Azab dan Maksoud 1999).

Secara fisiologis, nilai hematokrit pada hewan bunting akan selalu lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ketika tidak bunting. Hal tersebut dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah. Selain volume plasma darah, total air tubuh juga meningkat termasuk air ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Kenaikan volume plasma darah pada

kebuntingan kembar jauh lebih tinggi dibandingkan pada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan plasma darah di dalam tubuh akan menyebabkan pengenceran darah atau dikenal dengan hemodilusi yang pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 1997). Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al. 2010).

Kondisi hemodilusi juga memperlancar aliran darah dalam pembuluh darah kapiler plasenta. Aliran pembuluh darah yang lancar pada plasenta akan meningkatkan proses difusi oksigen dan nutrisi pada fetus (Pere et al. 1996).

Kondisi hemodilusi pada akhir masa kebuntingan juga dilaporkan terjadi pada kambing Saanen (Biagi et al. 1988) dan pada kambing Danish landrace (Mbassa

dan Poulsen 1991).

4.3. Hemoglobin

Fungsi utama hemoglobin ialah untuk pengangkutan oksigen dan karbon dioksida di dalam darah (Cunningham 1997). Kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) yang melaporkan kadar hemoglobin pada


(1)

Total 14.6000 .70508 8

Total 1 13.2750 .82765 8

2 14.3875 .97605 8

Total 13.8312 1.04608 16

Multivariate Testsb

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

Intercept Pillai's Trace 1.000 7.506E3a 3.000 10.000 .000

Wilks' Lambda .000 7.506E3a 3.000 10.000 .000

Hotelling's Trace 2.252E3 7.506E3a 3.000 10.000 .000

Roy's Largest Root 2.252E3 7.506E3a 3.000 10.000 .000

F1 Pillai's Trace .912 34.749a 3.000 10.000 .000

Wilks' Lambda .088 34.749a 3.000 10.000 .000

Hotelling's Trace 10.425 34.749a 3.000 10.000 .000

Roy's Largest Root 10.425 34.749a 3.000 10.000 .000

F2 Pillai's Trace .789 12.472a 3.000 10.000 .001

Wilks' Lambda .211 12.472a 3.000 10.000 .001

Hotelling's Trace 3.741 12.472a 3.000 10.000 .001

Roy's Largest Root 3.741 12.472a 3.000 10.000 .001

F1 * F2 Pillai's Trace .560 4.243a 3.000 10.000 .035

Wilks' Lambda .440 4.243a 3.000 10.000 .035

Hotelling's Trace 1.273 4.243a 3.000 10.000 .035

Roy's Largest Root 1.273 4.243a 3.000 10.000 .035

a. Exact statistic

b. Design: Intercept + F1 + F2 + F1 * F2

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Depend ent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model rbcb5 41.165a 3 13.722 33.434 .000

pcvb5 44.048b 3 14.683 24.169 .000

hbb5 14.437c 3 4.812 29.202 .000

Intercept rbcb5 2926.810 1 2926.810 7.131E3 .000

pcvb5 10251.562 1 10251.562 1.687E4 .000

hbb5 3060.856 1 3060.856 1.857E4 .000

F1 rbcb5 29.160 1 29.160 71.050 .000

pcvb5 40.322 1 40.322 66.374 .000

hbb5 9.456 1 9.456 57.379 .000

F2 rbcb5 6.003 1 6.003 14.625 .002

pcvb5 2.402 1 2.402 3.955 .070

hbb5 4.951 1 4.951 30.042 .000

F1 * F2 rbcb5 6.002 1 6.002 14.625 .002

pcvb5 1.323 1 1.323 2.177 .166

hbb5 .031 1 .031 .186 .674


(2)

pcvb5 7.290 12 .608

hbb5 1.977 12 .165

Total rbcb5 2972.900 16

pcvb5 10302.900 16

hbb5 3077.270 16

Corrected Total rbcb5 46.090 15

pcvb5 51.338 15

hbb5 16.414 15

a. R Squared = .893 (Adjusted R Squared = .866) b. R Squared = .858 (Adjusted R Squared = .822) c. R Squared = .880 (Adjusted R Squared = .849)

GLM rbcb5 pcvb5 hbb5 BY F1 /METHOD=SSTYPE(3)

/INTERCEPT=INCLUDE /POSTHOC=F1(TUKEY) /PRINT=DESCRIPTIVE /CRITERIA=ALPHA(.05) /DESIGN= F1.

General Linear Model

[DataSet1] D: bulan5.sav

Between-Subjects Factors

N

F1 1 4

2 4

3 4

4 4

Descriptive Statistics

F1 Mean Std. Deviation N

rbcb5 1 10.9500 .91104 4

2 14.8750 .45735 4

3 13.4000 .77028 4

4 14.8750 .09574 4

Total 13.5250 1.75290 16

pcvb5 1 23.0500 .26458 4

2 26.8000 .43205 4

3 24.4000 1.31909 4

4 27.0000 .65828 4

Total 25.3125 1.85000 16


(3)

2 14.0000 .14142 4

3 13.5750 .53151 4

4 15.2000 .42426 4

Total 13.8312 1.04608 16

Multivariate Testsc

Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.

Intercept Pillai's Trace 1.000 7.506E3a 3.000 10.000 .000

Wilks' Lambda .000 7.506E3a 3.000 10.000 .000

Hotelling's Trace 2.252E3 7.506E3a 3.000 10.000 .000

Roy's Largest Root 2.252E3 7.506E3a 3.000 10.000 .000

F1 Pillai's Trace 1.788 5.897 9.000 36.000 .000

Wilks' Lambda .021 10.522 9.000 24.488 .000

Hotelling's Trace 15.439 14.867 9.000 26.000 .000

Roy's Largest Root 13.798 55.194b 3.000 12.000 .000

a. Exact statistic

b. The statistic is an upper bound on F that yields a lower bound on the significance level. c. Design: Intercept + F1

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Depend ent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model rbcb5 41.165a 3 13.722 33.434 .000

pcvb5 44.048b 3 14.683 24.169 .000

hbb5 14.437c 3 4.812 29.202 .000

Intercept rbcb5 2926.810 1 2926.810 7.131E3 .000

pcvb5 10251.562 1 10251.562 1.687E4 .000

hbb5 3060.856 1 3060.856 1.857E4 .000

F1 rbcb5 41.165 3 13.722 33.434 .000

pcvb5 44.047 3 14.682 24.169 .000

hbb5 14.437 3 4.812 29.202 .000

Error rbcb5 4.925 12 .410

pcvb5 7.290 12 .608

hbb5 1.977 12 .165

Total rbcb5 2972.900 16

pcvb5 10302.900 16

hbb5 3077.270 16

Corrected Total rbcb5 46.090 15

pcvb5 51.338 15

hbb5 16.414 15

a. R Squared = .893 (Adjusted R Squared = .866) b. R Squared = .858 (Adjusted R Squared = .822)


(4)

Tests of Between-Subjects Effects

Source

Depend ent Variable

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model rbcb5 41.165a 3 13.722 33.434 .000

pcvb5 44.048b 3 14.683 24.169 .000

hbb5 14.437c 3 4.812 29.202 .000

Intercept rbcb5 2926.810 1 2926.810 7.131E3 .000

pcvb5 10251.562 1 10251.562 1.687E4 .000

hbb5 3060.856 1 3060.856 1.857E4 .000

F1 rbcb5 41.165 3 13.722 33.434 .000

pcvb5 44.047 3 14.682 24.169 .000

hbb5 14.437 3 4.812 29.202 .000

Error rbcb5 4.925 12 .410

pcvb5 7.290 12 .608

hbb5 1.977 12 .165

Total rbcb5 2972.900 16

pcvb5 10302.900 16

hbb5 3077.270 16

Corrected Total rbcb5 46.090 15

pcvb5 51.338 15

hbb5 16.414 15

a. R Squared = .893 (Adjusted R Squared = .866) c. R Squared = .880 (Adjusted R Squared = .849)

Post Hoc Tests

F1

Multiple Comparisons

Tukey HSD Depend ent

Variable (I) F1 (J) F1

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

rbcb5 1 2 -3.9250* .45300 .000 -5.2699 -2.5801

3 -2.4500* .45300 .001 -3.7949 -1.1051

4 -3.9250* .45300 .000 -5.2699 -2.5801

2 1 3.9250* .45300 .000 2.5801 5.2699

3 1.4750* .45300 .030 .1301 2.8199

4 .0000 .45300 1.000 -1.3449 1.3449

3 1 2.4500* .45300 .001 1.1051 3.7949

2 -1.4750* .45300 .030 -2.8199 -.1301

4 -1.4750* .45300 .030 -2.8199 -.1301

4 1 3.9250* .45300 .000 2.5801 5.2699


(5)

3 1.4750* .45300 .030 .1301 2.8199

pcvb5 1 2 -3.7500* .55114 .000 -5.3863 -2.1137

3 -1.3500 .55114 .120 -2.9863 .2863

4 -3.9500* .55114 .000 -5.5863 -2.3137

2 1 3.7500* .55114 .000 2.1137 5.3863

3 2.4000* .55114 .004 .7637 4.0363

4 -.2000 .55114 .983 -1.8363 1.4363

3 1 1.3500 .55114 .120 -.2863 2.9863

2 -2.4000* .55114 .004 -4.0363 -.7637

4 -2.6000* .55114 .002 -4.2363 -.9637

4 1 3.9500* .55114 .000 2.3137 5.5863

2 .2000 .55114 .983 -1.4363 1.8363

3 2.6000* .55114 .002 .9637 4.2363

hbb5 1 2 -1.4500* .28705 .001 -2.3022 -.5978

3 -1.0250* .28705 .017 -1.8772 -.1728

4 -2.6500* .28705 .000 -3.5022 -1.7978

2 1 1.4500* .28705 .001 .5978 2.3022

3 .4250 .28705 .478 -.4272 1.2772

4 -1.2000* .28705 .006 -2.0522 -.3478

3 1 1.0250* .28705 .017 .1728 1.8772

2 -.4250 .28705 .478 -1.2772 .4272

4 -1.6250* .28705 .001 -2.4772 -.7728

4 1 2.6500* .28705 .000 1.7978 3.5022

2 1.2000* .28705 .006 .3478 2.0522

3 1.6250* .28705 .001 .7728 2.4772

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .165. *. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets

rbcb5

Tukey HSD

F1 N

Subset

1 2 3

1 4 10.9500

3 4 13.4000

2 4 14.8750

4 4 14.8750

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(6)

pcvb5

Tukey HSD

F1 N

Subset

1 2

1 4 23.0500

3 4 24.4000

2 4 26.8000

4 4 27.0000

Sig. .120 .983

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .608.

hbb5

Tukey HSD

F1 N

Subset

1 2 3

1 4 12.5500

3 4 13.5750

2 4 14.0000

4 4 15.2000

Sig. 1.000 .478 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.