Kajian Kriteria Panen dan Penundaan Pengeringan Terhadap Mutu Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L)

(1)

KAJIAN KRITERIA PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN

TERHADAP MUTU BIJI JARAK PAGAR (

Jatropha curcas

L)

KARDIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya

yang berjudul :

KAJIAN KRITERIA PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN TERHADAP MUTU BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L)

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan Komisi

pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah

diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat

diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2010

Kardiyono


(3)

ABSTRACT

KARDIYONO, Assesment of Harvesting Indecs and Postponemen of Draying for Physic Nut (jatropha curcas L) Quality. Under direction of USMAN AHMAD and SUTRISNO

Jatropha curcas is one of crop chosen as a source of biodiesel raw material. Some excellences of this crop among others are; it can grow well at marginal land, has high oil content (25 - 35 %), and not function as food crop. While weakness of this crop for example are fruits damage easily after harvesting and has high acidity level (free fatty acid). Because of its high fatty oil acidity, in biodiesel processing technology it should use two step processes, recognized as etherification of transesterification (estrans). Consequence of applied technology is requiring much high cost and long time. High free acid number or fatty acid in Jatropha curcas oil is technically due to inappropriate post-harvest handling. Objective for research are (1) to understand characteristics of fruit and kernel of jatropha, as well as their quality change during postharvest handling (2) to determine optimum harvesting time and method of jatropha fruits for good quality of its oil. The result show that harvesting indecs have diferent quality. Kernel from harvesting Indecs 3 and 4 have high quality beter than indecs 1, 2 and 5. Jatropha curcas kernel preservation for biodisel suggested used the harvesting indec 3 and 4. The delay of drying have significant affected on Jatropha curcas kernels. The drying delay of fruits form for 2 days cause decreased of Jatropha kernel quality. Contrary with the delay on fruit form relatively stable even delayed for 3 days. Desinfectan can used for to preserve the kernel quality as long as the drying delayed. The desinfectant can be used like smoke acid or Natrium Cloride.


(4)

RINGKASAN

KARDIYONO, Kajian Kriteria Panen dan Penundaan Pengeringan terhadap Mutu Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Dibimbing oleh USMAN AHMAD DAN SUTRISNO

Keunggulan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L) sebagai sumber bahan baku biodisel antara lain memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang pada lingkungan kurang menguntungkan, memiliki kandungan minyak yang tinggi (25–35%) dan tidak kompetitif dengan kebutuhan pangan. Sedangkan kelemahan tanaman ini antara lain buah mudah mengalami kerusakan setelah dipanen (peningkatan bilangan asam) dan tidak seragamnya tingkat kemasakan buah jarak dalam setiap tandan. Akibat tingginya keasaman minyak jarak pagar maka teknologi pengolahan biodiesel dengan esterifikasi transesterifikasi (estrans) dengan konsekuensi jumlah methanol dan katalis (KOH) menjadi meningkat. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa ekplorasi jarak pagar memiliki bilangan asam mencapai nilai 10 dan meningkat dengan cepat samapi 80 – 100 jika disimpan pada tempat yang tidak tepat. Tingginya bilangan asam tersebut selain karena faktor intristik (kandungan asam lemak oleat dan linoleat, enzimatik dan mikrobiologi) juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsin diantaranya teknis penanganan pasca panen kurang tepat.

Tujuan umum penelitian adalah menghasilkan biji jarak bermutu melalui metoda panen dan penanganan pasca panen. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah (1) menentukan kriteria panen untuk menghasilkan biji jarak pagar bermutu (2) menghasilkan metode penundaan penanganan pasca panen untuk mempertahankan mutu biji jarak pagar (3) mempelajari perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi akibat kriteria panen dan metode penundaan pengeringan.

Penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pertama penelitian untuk mengetahui hubungan warna buah dengan sifat kimia dan mikrobiologi biji jarak pagar. Kriteria warna buah yang dipanen yaitu hijau, hijau kekuningan, kuning, kuning kehitaman dan hitam. Pengamatan yang diamati adalah warna kulit buah dan biji, berat jenis biji, kadar air, asam lemak bebas, bilangan iod, kadar minyak dan TPC. Tahap kedua penelitian bertujuan untuk mendapatkan metode dan waktu penundaan pengeringan yang masih dapat ditoleransi. Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 2 faktor dan diulang sebanyak 3 kali. Faktor pertama bentuk penundaan yaitu bentuk biji dan buah. Faktor kedua adalah lama waktu penundaan (3 taraf ) yaitu 0, 1, 2 dan 3 hari. Parameter yang diamati : jumlah biji / buah, berat biji, kandungan kimia biji jarak (kadar air, asam lemak bebas, kadar minyak) dan tingkat serangan mikrobiologis (kapang). Tahap ketiga Penelitian bertujuan untuk pengaruh desinfectan terhadap mutu biji selama penundaan pengeringan. Sebagai perlakuan adalah jenis desinfektan terdiri dari asap cair (10%), Natrium hipoklorit (NaOCl 5%) dan kontrol. Penundaan pengeringan dilakukan selama 4 hari. Parameter yang diamati adalah : jumlah biji / buah, berat biji, kandungan kimia biji jarak (kadar air, asam lemak bebas, kadar minyak) dan tingkat serangan mikrobiologis (kapang).

Hasil penelitian yang diperoleh pada tahap pertama yaitu tingkat kemasakan buah saat panen sangat menentukan terhadap mutu biji jarak pagar. Tingkat kematangan yang diukur menggunakan indeks warna menunjukan bahwa biji jarak pagar yang baik untuk bahan baku biodiesel adalah buah yang dipanen ketika buah berwarna kuning (indeks 3) atau warna kuning kecoklatan (indeks 4). Sedangkan untuk buah yang berwarna hijau (indeks 1), hijau kekuningan (indeks 2) dan hitam (indeks 5) bermutu rendah karena


(5)

kandungan asam lemak bebas yang tinggi. Hasil penelitian tahap kedua karakterististik mutu biji jarak pagar dalam bentuk buah relatif stabil selama penundaan pengeringan. Meskipun secara fisik kulit buah telah berubah warnanya menjadi coklat / kehitaman dan ditumbuhi oleh kapang dan tekstur lunak. Sedangkan penundaan dalam bentuk biji dalam kurun waktu 2 dan 3 hari telah terjadi perubahan yang nyata terhadap mutu fisik, kimiawi dan mikrobiologi biji. Namun demikian mutu tersebut masih memenuhi standar mutu biji jarak pagar karena nilai asam lemak bebas (Alb) masih kurang dari 1%. Tahap ketiga perlakuan desinfektan dapat mempertahankan mutu biji jarak selama penundaan pengeringan. Jenis desinfektan Natrium hipoklorit (NaOCl 5%) memiliki kemampuan lebih tinggi dalam mengendalikan pengaruh mikroorganisme dan mempertahankan mutu biji jarak pagar selama penundaan pengeringan.


(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN KRITERIA PANEN DAN PENUNDAAN PENGERINGAN

TERHADAP MUTU BIJI JARAK PAGAR (

Jatropha curcas L

)

KARDIYONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Tesis : Kajian Kriteria Panen dan Penundaan Pengeringan Terhadap Mutu Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L)

Nama Mahasiswa : Kardiyono

NRP : F153070071

Program Studi : Teknologi Pascapanen

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan kemampuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul ”Kajian Kriteria Panen dan Penundaan Pengeringan Terhadap Mutu Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L)”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ketua Komisi Pembimbing Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr dan Dr. Ir. Sutrisno, MAgr selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dengan memberikan saran dan sumbangan pemikiran yang sangat membantu selama penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis disampaikan kepada Dr. Rokhani Hasbullah, Msi selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah memberi kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Dr. S Gatot Irianto (Kepala Badan Litbang Pertanian) yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Pascasarjana.

2. Dr. Haryono (Ketua Komisi Pembina Tenaga Badan Litbang ) berserta Tim Komisi yang telah memberikan kesempatan dan pembinaan melaksanakan tugas belajar. 3. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr selaku Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen dan

seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Teknologi Pascapanen.

4. Dr. Rohlini (Kepala Bagian Perencanaan) dan Dr. Mahendro (Kepala Bagian Kerjasama) Badan Litbang Pertanian yang telah membantu dan memberikan arahan dalam penelitian melalui program KKP3T.

5. Mitsubisi Corporation (Pak Willy dan Pak Adi) yang telah memberikan bantuan dana untuk menunjang penelitian.

6. Prof. Dr. Tineke Mandang dan Staf Creata yang telah memberikan informasi dan pengetahuan melalui training dan seminar.

7. Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana, MS, dan Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS atas arahan dan perhatiannya kepada penulis dari awal sampai akhir studi.

8. Dr. Ir Benny Rachman MS, Ir. Mewa Ariani, MS, sebagai Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten arahan dan dorongan dalam studi


(11)

9. Dr. Muhrizal Sarwani dan Drs. Pandoyo, MM selaku Kepala dan KTU Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian yang telah memberikan arahan dalam proses studi. 10.Ir. Djayeng Sumangat, MSc dan Tim Laboratorium Kimia Balai Besar Pasca Panen

yang telah membantu dalam analisis kimia dan interpretasinya.

11. Saudara-saudaraku terkasih (Mas Yoyok dan Mba Titi, Mba Juar, Mba Yati, Mas Naryo dan Mba Tarti, Bang Abu dan Mba Asih, Bang Suwandi dan Kak Teti, Nukman dan Mardiasih, cok dan It, Edi dan Emma, Hendra dan Iin, Rocky dan Ria, Ricca) atas doa dan dukungannya kepada penulis.

12. Teman-teman TPP angkatan 2007 ( Bambang, Vera, Agus, Eti, Ida, Ria, dan Yeni) atas kebersamaan di dalam suka dan duka selama perkuliahan.

13. Seluruh Staf Program Studi TPP (Pak Yaden, Mas Joko) yang selalu sabar dan penuh pengertian melayani penulis baik selama perkuliahan maupun penelitian

14.Teman- teman forum komunikasi petugas belajar litbang pertanian yang berjuang bersama-sama dalam suka dan duka (Iskandar, Yusuf, Rubio, Andriani, Aron, Budi , Bagus, Bariot , Suryadi, Suryana, Hidayanto, Yanto dkk lainnya)

15. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama studi.

Secara khusus dengan penuh rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Ibunda Hj. Karliyah dan Ayahanda Yasin (Alm) serta mertua Hj. Animar (Alm) dan M. Nur Dalimunthe (Alm) yang selalu berdoa untuk keberhasilan penulis, kepada istri tercinta ( Dewi Haryani) dan anak-anak terkasih (Fadhil, Tasya dan Ahmad Yunus) yang dengan cinta kasihnya dan segudang pengertian sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2010


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 12 Maret 1970 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara pasangan Yasin dan Karliyah. Penulis menyelesaikan pendidikan mulai dari pendidikan dasar tahun 1983 di SDN 2 Kesugihan, pendid ikan menengah pertama tahun 1986 di SMP 2 Maos, pendidikan menengah atas tahun 1989 di SMA Kristen Cilacap dan perguruan tinggi tahun 1995 di Institut Pertanian “Stiper” Yogyakarta Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau. Selanjutnya tahun 2004 penulis mutasi bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten. Pengalaman selama bekerja sebagai Kasubsi Informasi dan Kerjasama, asisten pimpinan proyek, Kepala Seksi Kerjasama dan Pelayanan Pengkajian. Pada tahun 2007 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi S-2 Program Studi Teknologi Pascapanen dengan sponsor Badan Litbang Pertanian.


(13)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Xiii xiv xvi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Manfaat Penelitian

1 1 2 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jarak Pagar 2.2 Minyak Jarak Pagar

2.3 Kerusakan biji dan Minyak Jarak Pagar 2.4 Tingkat kematangan dan pemanenan buah 2.5 Perubahan Fisik dan Kimia Pascapanen 2.5.1 Warna

2.5.2 Tekstur

2.5.3 Pemecahan Makromolekul Menjadi Mikromolekul 2.5.4 Respirasi

2.6 Penundaan Pengeringan 2.7 Desinfektan

2.7.1 Klorin 2.7.2 Asap cair 2.8 Pengringan

4 4 5 9 11 13 13 14 15 16 18 19 19 20 22

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan penelitian 3.4 Pengamatan dan Pengukuran

24 24 24 24 27

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Tanaman Jarak Pagar 4.2 Keragaman Tingkat Kemasakan Buah

4.3 Karakteristik Mutu Biji Jarak Berdasarkan Kriteria Panen 4.4 Penundaan Pengeringan Terhadap Mutu Biji Jarak Pagar 4.5 Pengaruh Desinfektan Terhadap Mutu Biji Jarak Pagar

32 32 33 36 50 57

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 5.2 Saran

63 63 63

DAFTAR PUSTAKA 64


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi buah jarak pagar 5

2. Kandungan asam lemak minyak jarak 7

3. Sifat fisik minyak jarak pagar 7

4. Standar mutu biji jarak 9

5. Hasil pengamatan karakteristik tanaman jarak 33

6. Karakteristik mutu biji jarak menurut indeks panen 36

7. Nilai warna buah dan biji menurut indeks panen 37

8. Kandungan pada ALB selama penyimpanan dalam bentuk buah dan biji

54


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Proses pengolahan jarak pagar menjadi biodiesel (estrans) 6

2 Perbedaan tingkat kemasakan buah jarak pagar 13

3 Diagram alir percobaan panen dan pascapanen biji jarak pagar 27

4 Munsell color chart 31

5 Sample keragaman buah per tandan 34

6 Proporsi buah per tandan berdasarkan indeks panen 35

7 Kriteria panen menurut indeks warna buah jarak pagar 37

8 Pengukuran warna dengan chromamater dan buah dan biji jarak yang akan diukur warnanya

37

9 Pengukuran kadar air menggunakan moisture tester 41

10 Kadar air biji jarak pagar pada berbagai indeks warna sebelum dan setelah dikeringkan

42

11 Berat jenis biji jarak pagar pada berbagai indeks warna 43

12 Pengepresan minyak jarak (a) alat pengepres minyak jarak dan (b) renedemn hasil pengepresan

44

13 Hubungan indeks panen dengan asam lemak bebas 46

14 Hubungan indeks panen dengan bilangan Iod 48

15 Hubungan indeks panen dengan TPC pada biji jarak 49

16 Perubahan warna buah selama penundaan pengeringan 0 – 3 hari 51

17 Rendemen hasil pengepresan setelah buah/biji mengalami penundaan 52

18 Kadar Minyak buah/biji dengan waktu penundaan pengeringan 52

19 Perubahan nilai ALB selama penundaan pengeringan 53

20 Perubahan nilai bilangan Iod selama penundaan pengeringan 55

21 Peningkatan aktivitas enzimatis selama penundaan pengeringan 55


(16)

23 Pengaruh desinfektan terhadap kadar dan rendeman minyak 58

24 Pengaruh desinfektan terhadap nilai ALB 60

25 Pengaruh desinfektan terhadap nilai Bil Iod 61


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Anova dan uji Lanjut Duncan berbagai indeks panen pada parameter kadar air awal pengeringan

68

2 Anova dan uji Lanjut Duncan berbagai indeks panen pada parameter kadar air akhir penger ingan

69

3 Anova dan uji Lanjut Duncan berbagai indeks panen pada parameter Bilangan iod

70

4 Anova dan uji Lanjut Duncan Berbagai indeks panen pada parameter kadar minyak

71

5 Anova dan uji Lanjut Duncan berbagai indek panen pada parameter Rendemen minyak

72

6 Anova dan uji Lanjut Duncan berbagai indek panen parameter Asam lemak bebas

73

7 Anova dan uji Lanjut Duncan pengaruh bentuk dan lama waktu penundaan pengeringan parameter Asam lemak bebas

74

8 Anova dan uji Lanjut Duncan pengaruh bentuk dan lama waktu penundaan pengeringan parameter bilangan iod

75

9 Anova dan uji Lanjut Duncan pengaruh desinfektan pada parameter Asam lemak bebas

76

10 Anova dan uji Lanjut Duncan pengaruh desinfektan pada parameter bilangan iod

77

11 Anova dan uji Lanjut Duncan pengaruh desinfektan pada parameter Rendemen minyak

78

12 Data pengamatan lingkungan (suhu dan kelembaban) selama penundaan pengeringan

79

13 Data pengamatan lingkungan (suhu dan kelembaban) selama penundaan pengeringan dengan perlakuan desinfektan.

80


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jarak pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman terpilih yang digunakan sebagai sumber bahan baku biodisel. Beberapa keunggulan jarak pagar untuk tujuan tersebut antara lain (1) tanaman ini dapat tumbuh dan beradaptasi luas, dapat dikembangkan di daerah lahan kering dan marginal, tidak memiskinkan unsur hara dan tidak menghabiskan air tanah, (2) minyak jarak tidak termasuk katagori minyak makan sehingga dalam penggunaanya tidak menimbulkan kompetisi dengan bahan pangan, (3) kemampuan produksi biji dapat mencapai 7,5 – 10 ton/ha/tahun tergantung dari kualitas benih, agroklimat, tingkat kesuburan tanah dan pemeliharaan dan (4) kandungan minyak cukup tinggi 25–35 % berat kering biji (Hambali et al., 2007).

Selain memiliki keunggulan untuk dijadikan biodiesel, jarak pagar memiliki kelemahan dilihat dari aspek penanganan pasca panen, antara lain (1) dalam satu tandan buah memiliki kemasakan tidak seragam dan (2) mudah mengalami kerusakan (tingkat keasaman atau Alb yang tinggi). Salah satu permasalahan dalam pengolahan biodiesel dengan bahan baku bjji jarak pagar adalah tingginya tingkat keasaman ( Alb) minyak jarak pagar. Sudrajat et al. 2006 menyatakan bahwa hasil ekplorasi minyak biji jarak pada beberapa tempat di Indonesia ditemukan rata-rata bilangan asam 10 ( Alb 5%), dimana bila penyimpanan tidak tepat bilangan asam akan terus meningkat mencapai 80 – 100. Tingginya nilai bilangan asam tersebut erat kaitannya dengan sifat fisik dan kimia biji jarak pagar serta teknis penanganan pasca panen yang belum tepat. Jika minyak jarak pagar memiliki bilangan asam yang tinggi maka akan mempengaruhi dalam proses pengolahan menjadi biodiesel. Goebitz et al. (1999) menyatakan bahwa minyak dengan tingkat keasaman tinggi (lebih dari 1) umumnya tidak dapat diolah menggunakan prosedur standar (transesterifikasi) sehingga harus dilakukan dengan dua tahap (esterifikasi transesterifikasi). Tingkat keasaman yang tinggi berhubungan erat dengan dengan tingginya jumlah asam lemak bebas. Asam lemak bebas yang tinggi dalam minyak akan menyebabkan terjadinya hambatan reaksi pembentukan metil ester (biodiesel)


(19)

yaitu dengan reaksi pembentukan sabun sehingga metanol tidak dapat bereaksi dengan trigliserida. Konsekuensi dari prosedur tersebut adalah terjadinya peningkatan kebutuhan metanol dan katalis serta terjadinya penurunan rendemen biodiesel.

Setiap tandan buah jarak pagar terdapat 10-20 buah dengan tingkat kemasakan atau keragaman warna yang berbeda-beda. Kandungan minyak buah jarak dengan warna hijau, hijau kekuningan, kuning, kuning kehitaman dan hitam masing-masing adalah 10,93; 26,98; 29,38; 22,83 dan 23,68% (Yeyen dan Joko, 2006). Waktu yang diperlukan untuk mencapai buah masak dihitung dari pembuahan adalah 40-50 hari. Keterlambatan panen (warna buah hitam) akan menyebabkan mutu biji menjadi sangat rendah, sebaliknya jika panen dilakukan belum mencapai masak fisiologis (warna buah hijau) rendemen minyak yang dih asilkan masih rendah. Hal lain yang menjadi faktor penyebab penurunan mutu biji jarak pagar adalah penundaan pengeringan yang disebabkan oleh cuaca (hujan) yang kurang mendukung, keterbatasan tenaga kerja dan keterbatasan sarana penunjang (alat pengering).

Informasi mengenai karakteristik mutu biji jarak belum banyak diketahui karena masih sedikit yang melakukan penelitian penanganan pasca panen biji jarak Atas dasar hal tersebut maka dilakukan penelitian metode kriteria panen dan penundaan pengeringan guna mendapatkan informasi karakteristik mutu biji jarak pagar.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah menghasilkan biji jarak bermutu melalui penentuan kr iteria panen dan penanganan pasca panen. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah (1) menentukan kriteria panen untuk menghasilkan biji jarak pagar bermutu (2) menghasilkan metode penundaan penanganan pasca panen untuk mempertahankan mutu biji jarak pagar dengan cara mempelajari perubahan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi akibat kriteria panen dan metode penundaan pengeringan dan (3) mengetahui pengaruh desinfektan selama penundaan pengeringan terhadap mutu biji jarak pagar


(20)

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai alternatif dalam memecahkan masalah rendahnya mutu biji jarak pagar untuk pemenuhan industri melalui introduksi penanganan biji jarak pagar sejak panen hingga penyimpanan .


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Jarak Pagar

Jarak pagar (Jatropha curcasL) merupakan salah satu tanaman prospektif sebagai sumber bahan baku biodiesel. Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah Indonesia. Tanaman ini tumbuh tersebar di beberapa daerah di Indonesia dan dikenal dengan nama berbeda-beda. Selama ini masyarakat hanya mengetahui manfaat tanaman jarak pagar sebagai tanaman obat tradisional dan sebagai pagar hidup, namun belum diketahui potensinya sebagai bahan baku biodiesel, sehingga penanamannya belum dilakukan secara komersial dalam skala besar (Hambali et al., 2007)

Tanaman jarak pagar termasuk dalam famili Euphorbiaceae, berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur, dan batangnya berkayu berbentuk silindris. Daun tanaman jarak tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5. Panjang daun berkisar antara 5-15 cm dengan tulang daun menjari. Buah tanaman jarak berupa buah berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm. Panjang buah 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah jarak terbagi menjadi tiga ruang, masing-masing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna cokelat kehitaman. Biji kandungan minyak dalam biji jarak pagar 30–50 % (Hambali et al., 2007).

Jarak pagar dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai ketinggian sekitar 1.000 m dpl. Curah hujan berkisar antara 300-2.380 mm/tahun, sedangkan suhu yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman jarak adalah 20-26 oC. Tanaman jarak memiliki sistem perakaran yang mampu menahan air sehingga tahan terhadap kekeringan. Tanaman ini dapat tumbuh di atas tanah berpasir, tanah berbatu, tanah lempung atau tanah liat. Tanaman ini juga dapat beradaptasi pada tanah yang kurang subur, memiliki drainase baik, tidak tergenang dan pH tanah 5,0 - 6,5.

Bila dipelihara dengan baik, tanaman jarak pagar dapat hidup lebih dari 20 tahun. Produktivitas tanaman jarak berkisar antara 2-4 kg biji/pohon/tahun. Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari 5 tahun. Dengan tingkat populasi tanaman 2.500 pohon/ha maka tingkat produktivitas antara 5-10 ton biji/ha. Biji jarak pagar merupakan bagian dari tanaman jarak yang memiliki arti


(22)

penting karena mengandung minyak jarak yang cukup tinggi. Jarak pagar terdiri dari 75% karnel dan 25% kulit. Kira-kira dua pertiga dari berat karnel terdiri dari minyak.

Tabel 1. Komposisi buah jarak pagar

Unsur Biji Kulit Daging

Bahan kering (%) 94,2 – 96,9 89,9 – 90,4 100

Protein kasar (%) 22,2 – 27,2 4,3 – 4,5 56,4 – 63,8

Lemak (%) 56,8 – 58,4 0,5 – 1,4 1 – 1,5

Abu (%) 3,6 – 4,3 2,8 – 6,1 9,6 – 10,4

Neutral detergent fiber (%) 3,5 – 3,8 83,9 – 89,4 8,1 – 9,1 Acid detergent fiber (%) 2,4 – 3,0 74,6 – 78,3 5,7 – 7,0 Acid detergent lignin (%) 0,0 – 0,2 45,1 – 47,5 0,1 – 0,4 Gross energi (MJ/kg) 30,5 – 31,1 19,3 – 19,5 18 – 18,3 Sumber : Gubitz et al. (1999)

Dari tabel diatas terlihat bahwa kandungan terbesar dari biji jarak adalah minyak, oleh karena itu tanaman ini berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber biodiesel. Bungkil biji hasil pengepresan pada saat mengambil minyak masih dapat dimanfaatkan menjadi biogas, pupuk kompos dan herbisida.

2.2. Minyak Jarak Pagar

Minyak jarak pagar dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pembuatan sabun, insektisida, obat-obatan tradisional, sumber bahan bakar dan kompor jarak dan jika diolah melalui proses estrans menjadi biodiesel. Minyak jarak dari biji jarak dapat diekstrak dengan cara mekanik ataupun ekstraksi dengan pelarut seperti heksan. Minyak jarak memiliki komposisi trigliserida yang mengandung asam lemak oleat dan linoleat. Ekstraksi minyak jarak dari inti buah dan cangkang dilakukan dengan menggunakan alat pengepresan tipe press hidrolik (hydraulic pressing) atau press tipe ulir (expeller pressing). Masing masing jenis press memiliki kelebihan dan kekurangan pada kapasitas, jumlah rendeman. Biji jarak yang telah kering dimasukkan kedalam mesin press sehingga dihasilkan minyak cair. Kemudian dilakukan penyaringan memisahkan minyak dan endapan. minyak mentah jarak pagar atau CJO (cruide jatropha oil) yang memiliki asam lemak bebas tinggi diolah menjadi biodiesel dengan proses sebagai berikut :


(23)

Gambar 1 Proses pengolahan jarak pagar menjadi biodiesel (estran).

Kandungan asam lemak minyak jarak pagar didominasi oleh asam lemak oleat (34,3-45,8 %), asam linoleat (29 – 44,2 %) dan palmitat (14,1 – 15,3 %) seperti pada tabel berikut :

Minyak jarak 100 gram

Pengadukan 400 rpm, 30/65 oC, 30 menit

Pengendapan 2 jam

Pemisahan metil ester

Pengendapan 12 jam Larutan

metanolik-KOH (50 %)

Pengadukan 400 rpm, pada 30 atau 65 oC, 90 menit

Penambahan gel silika Pencucian dengan air panas 50 °C

Filtrasi metil ester

Analisa metil ester Larutan


(24)

Tabel 2 Kandungan asam lemak minyak jarak

Asam lemak Komposisi (% berat)

Asam miristat (14:0) 0 – 0,1

Asam palmitat (16:0) 14,1 – 15,3

Asam palmitoleat (16:1) 0 – 1,3

Asam stearat (18:0) 3,7 – 9,8

Asam oleat (18:1) 34,3 – 45,8

Asam linoleat (18:2) 29,0 – 44,2

Asam linolenat (18:3) 0 – 0,3

Asam arakhidat (20:0) 0 – 0,3

Asam behenat (22:0) 0 – 0,2

Sumber : Gubitz et al. (1999).

Minyak jarak mengandung racun berupa phorbol ester dengan jumlah sekitar 0,03 – 3,4 % sehingga kurang cocok digunakan sebagai minyak makan. Oleh karena itu jika akan digunakan sebagai minyak makan,maka phorbol ester harus dihilangkan terlebih dahulu. Minyak jarak pagar memiliki sifat mudah larut dalam etil alkohol dan asam asetat glasial, namun kurang larut dalam petrolium karena adanya gugus hidroksil dalam asam oleat.

Tabel 3 Sifat fisik minyak jarak pagar

Sifat fisik Satuan Nilai

Titik pembakaran oC 236

Densitas pada 15oC g/cm3 0,9177

Viskositas pada 30oC Nm2/s 49,15

Sisa karbon %(m/m) 0,34

Kandungan abu sulfat %(m/m) 0,007

Titik tuang oC -2,5

Kadar air Ppm 935

Kadar sulfur Ppm < 1

Bilangan asam Mg KOH/g 4,75

Bilangan iod - 96,5

Sumber : Gubitz et al. (1999)

Menurut Sudrajat (2006) minyak jarak sebagai bahan baku pembuatan biodiesel umumnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi khususnya minyak jarak pagar yang diperoleh dari masyarakat Bogor, Lampung, Kebumen, Yogyakarta, NTT dan NTB dengan tingkat keasaman lebih dari 10 KOH / gr sample. Bila biodiesel dengan keasaman tinggi diaplikasikan ke mesin kendaraan dapat merusak mesin. Dengan demikian dalam pengolahannya perlu menerapkan


(25)

teknologi khusus esterifikasi transesterifikasi (estrans). Asam lemak bebas merupakan kunci utama dalam proses traneseterifikasi, sehingga dalam proses ini diperlukan nilai asam lemak bebas kurang dari 3 %.

Pada suasana asam akan menimbulkan proses yang kurang efisien dan dengan katalis yang tidak memenuhi standar akan menghasilkan sabun (Dolorado et al. 2002). Menurut Lepper dan Friesenhagen (1986) dalam Canakci dan Gerpen (2001) perlakuan pendahuluan terhadap minyak yang mengandung asam lemak tinggi melalui proses esterifikasi menggunakan metanol dan katalis asam dapat menghasilkan minyak dengan asam lemak bebas kurang dari 0,5% b/b sebelum dilakukan transesterifikasi basa. Gerpen et al. (2004) menambahkan bahwa esterifikasi dengan katalis asam terhadap minyak asam lemak bebas tinggi dan telah dikeringkan terlebih dahulu memerlukan alkohol dalam jumlah banyak (20:1). Selanjutnya Lee et al. (2002) menyatakan bahwa rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25 % menjadi 96% dengan menurunkan asam lemak bebas (pada minyak jelantah) dari 10% menjadi 0,23% dan menurunkan air dari 0,2 % menjadi 0,02 %.

Semakin rendah nilai asam lemak bebas mengindikasikan bahwa kebutuhan methanol dan asam sulfat untuk reaksi esterifikas i semakin rendah. Minyak jarak pagar hasil pengepresan umumnya mengandung asam lemak bebas yang tinggi karena tergolong minyak kasar dan belum mendapatkan perlakuan deguming dan netralisasi (Setyaningsih, 2007). Hal yang sama juga dilaporkan Gubitz et al. (1999) bahwa minyak jarak pagar memiliki tingkat keasaman yang tinggi sama seperti minyak kapuk dan kanola yang kurang sesuai jika langsung diproses secara transesterifikasi karena akan terjadi penyabunan. Terkait dengan proses produksi biodiesel maka dibuat standar mutu biji jarak (Tabel 4 ).

Tabel 4. Standar mutu biji jarak

Jenis uji Satuan Persyaratan

Biji rusak (b/b) % Maks 2,0

Biji jarak pecah (b/b) % Maks 4,0

Benda – benda asing (b/b) % Maks 0,5

Kadar air (b/b) % Maks 7,0

Bilangan asam - Maks 3,0


(26)

2.3. Kerusakan Biji dan Minyak Jarak Pagar

Kerusakan minyak jarak pagar yang ditandai dengan peningkatan nilai keasaman minyak diakibatkan oleh faktor internal yaitu kandungan asam lemak tidak jenuh dengan rantai rangkap, keberadaan enzim pemecah lemak seperti lipase, lipoksidase atau lipolitik serta keberadaan mikrobia alami dari jenis bakteria, jamur dan khamir yang semuanya bisa sendiri-sendiri atau saling berinteraksi. Ketika faktor internal bertemu dengan faktor eksternal seperti aerasi, pemanasan, air, kation logam atau bahan kimia, maka akan terjadi proses oksidasi. Proses oksidasi menghasilkan senyawa peroksida atau hidroperoksida yang kemudian memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol disertai gugus aldehid, keton dan hidrokarbon lain (tengik). Bahkan proses oksidasi bisa berlangsung secara berantai yaitu minyak yang tertinggal diperalatan mengandung asam menjadi stimulir atau sumber keasaman proses berikutnya (Sudrajat et al., 2006). Lemak akan mengalami penguraian menjadi asam lemak dan gliserol terutama jika temperature dan kadar air bahan tinggi. Sifat dan daya tahan minyak terhadap kerusakan terutama sangat tergantung dari kandungan asam lemak penyusunnya. Minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh cenderung mudah teroksidasi, sedangkan minyak dengan asam lemak jenuh lebih mudah terhidrolisis. Menurut Sudrajat et al. (2006) minyak jarak pagar yang didominasi asam lemak tidak jenuh oleat, linoleat, dan linolenat mudah mengalami oksidasi sehingga minyak menjadi asam. Penyimpanan pada suhu 27 oC selama 5 hari akan meningkatkan keasaman sebesar 15,52% (10,82 menjadi 12,5), sedangkan penyimpanan pada suhu 40oC meningkat 17,84% (12,5 menjadi 14,73). Hal tersebut berbeda dengan minyak kelapa sawit yang relative lambat mengalami kerusakan dengan peningkatan bilangan asam 2,46 % (0,406 menjadi 0,416) selama penyimpanan 5 hari. Kerusakan oksidasi disebabkan oleh penambahan molekul oksigen pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh membentuk peroksida dan hidroperoksida yang labil. Peroksida dan hidroperoksida ini akan berisomer dengan air yang kemudian memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol disertai terbentuknya gugus aldehid, keton dan hidrokarbon lain. Proses oksidasi dipengaruhi oleh udara, suhu, enzim, katalisator dan logam. Reaksi


(27)

oksidasi terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Menurut Min dan Smouse (1985) mekanisme oksidasi yang umum adalah sebagai berikut :

Inisiasi RH + O2 R * + * OOH (1a)

RH R * + H (1b)

Propagasi R* + O2 ROO * (2a)

ROO * + RH ROOH + R * (2b) Terminasi R * + R * (3ª)

R * + ROO* senyawa tdk stabil (3b)

ROO* + ROO * (3c)

Inisiasi merupakan reaksi pembentukan radikal bebas, propagasi merupakan perubahan radikal bebas menjadi radikal lain. Terminasi melibatkan kombinasi dua radikal untuk membentuk produk yang lebih labil (Gordon, 1990). Tahap inisiasi terjadi jika lemak kontak dengan panas, cahaya, ion metal atau oksigen maka akan terbentuk radikal bebas (R*). Reaksi ini terjadi pada group metilen yang berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C- (Buck, 1991). Reaksi antara R* dengan oksigen (2a) pada tahap propagasi akan mengahasilkan radikal peroksida (ROO*) yang akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh menjadi hidroperoks ida (ROOH). Selanjutnya reaaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga merupakan reaksi berantai. Hidroperoksida merupakan senyawa yang tidak stabil dan mudah terpecah menjadi senyawa aldehid, keton, alkohol dan asam lemak bebas.

Pada umumnya asam lemak jenuh dari minyak mempunyai rantai lurus monokarboksilat dengan jumlah atom karbon genap. Dalam reaksi hidrolisis minyak akan diubah menjadi asam- asam lemak bebas dan gliserol, dimana reaksi ini akan berlangsung dengan baik jika didalam minyak terdapat sejumlah air. Semakin lama reaksi berlangsung maka asam lemak yang dihasilkan semakin banyak, faktor yang menunjang dalam percepatan reaksi tersebut adalah panas, air, keasaman, dan enzim. Enzim lipase mampu menghidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas dan gliserol, namun enzim tersebut inaktif oleh panas. Selain


(28)

enzim lipase dapat juga dikombinasi oleh kontamiansi mikrobia dari kelompok bakteri (Staphylococus, Bacilus, Pseudomonas dan Achromobacter), Jamur (Aspergilius, Penicillium, Mucor, Rhizopus, Monila, Oidium, Cladosporium). Hidrolisis lemak tersebut dapat berlangsung dalam suasana aerobik dan anarobik. Menurut Ketaren (1986) reaksi hidrolisis yang terjadi pada trigliserida adalah sebagai berikut :

C3H5(OOCR)3 + 3 H2O C3H5(OH)3 + 3 HOOCR

Trigliserida air gliserol asam lemak

Reaksi hidrolisis terjadi secara bertahap dimulai dari penguraian trigiserida menjadi digliserida dan asam lemak. Kemudian dilanjutkan dari digliserida menjadi monogliserida dan asam lemak dan akhirnya monogliserida terurai menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi hidrolisis terjadi secara reversible. Apabila reaksi ini tidak dipisahkan maka akan terjadi secara berkesinambungan antar reaksi-reaksi tersebut. T ingkat kerusakan minyak dapat diukur dengan mengukur asam lemak bebas atau bilangan asam.yang terdapat dalam minyak.

2.4. Tingkat Kematangan dan Pemanenan Buah

Jarak pagar adalah tanaman monoecious, bunga berkelamin satu (uniseksual), jarang yang biseksual. Bunga tersusun dalam rangkaian (inflorescence), biasanya terdiri atas 100 bunga atau lebih, persentrase bunga betina 5-10%. Bunga memiliki 5 sepala dan 5 petala yang berwarna hijau kekuningan atau coklat kekuningan. Bunga jantan mempunyai 10 tangkai sari yang tersusun dalam dua lingkaran (whorl) masing-masing berisi lima tangkai sari yang menyatu berbentuk tabung; kepala sari pecah melintang (longitudinal), masa berbunga 1-2 hari. Bunga betina lebih besar dari bunga jantan terdiri atas ovari (bakal buah) yang beruang lima (5 locule) yang masing- masing berisi satu bakal biji (ovule). Tangkai putik lepas atau melekat pada pangkal, kepala putik terpecah tiga, berwarna coklat, masa berbunga 3-4 hari. Bunga betina membuka 1-2 hari sebelum bunga jantan. Lama pembungaan infloresen 10-15 hari. Bunga jarak pagar


(29)

menyerbuk dengan bantuan serangga; bunga menghasilkan nektar yang mudah terlihat (exposed) dan harum hingga dapat diakses oleh serangga-serangga seperti lalat dan serangga-serangga lain (Hasnam dan Mahmud, 2006). Bunga betina yang telah dibuahi akan terus membesar bakal buahnya, selanjutnya menggugurkan kelopak bunga dan tangkai putiknya.

Adikardasih dan Joko (2006) menyatakan bahwa dalam satu tandan bunga jarak pagar baik jantan maupun betina bersama-sama melainkan bertahap sesuai dengan pola yang tidak tentu. Bunga yang mekar pertama kali bisa berupa bunga jantan meupun betina Selanjutnya bunga jantan akan gugur meskipun bunga belum semua bunga jantan atau betina yang baru mulai mekar, hal ini yang menyebabkan terjadinya tingkat kemasakan yang berbeda-beda dalam satu tandan buah. Kapsul yang berukuran sangat kecil terbentuk pada hari ke-10 setelah anthesis (hsa). Biji mulai berkembang setelah 20 hsa. Kapsul berkembang dan mencapai fase matang sekitar 40 – 45 hsa, kemudian mencapai fase masak pada 55 hsa dan akhirnya memasuki sensen pada waktu 60 - 65 hsa ( Bambang, 2008). Selama proses pemasakan tersebut ditandai dengan perubahan warna dari hijau tua, hijau kekuningan, kuning, kuning kehitaman dan hitam.

Buah jarak pagar dipanen pada tingkat kemasakan tertentu sesuai dengan komposisi yang diinginkan, dimana warna kulit buah sebagai cerminan tingkat kemasakan buah. Menurut Syah (2006) panen optimal dilakukan setelah biji masak ditandai dengan kulit buah berwarna kuning kemudian menjadi hitam. Selanjutnya Yeyen dan Joko (2007) menyatakan hasil analisis kandungan minyak buah jarak buah berwarna hijau 10,93 %, warna buah hijau kekuningan 26,98 %, buah kuning 29,38 %, kuning kehitaman 22,83 % dan buah hitam 23,68 %. Warna hijau kekuningan hingga kuning biasanya berumur 45 hari setelah anthesis. Sehubungan dengan proses pematangan buah yang tidak serempak pada satu tandan maka panen dapat dilakukan beberapa kali untuk memilih buah yang berwarna kuning. Bambang (2008) menyatakan untuk ekotipe yang proses pematangan buah tidak serempak diperlukan waktu atau lama periode pematangan dari fase matang (hijau tua / mature) menjadi menjadi masak (kuning / ripe) dan dari masak menjadikering (over ripe) adalah 7,6 – 11,7 hari. Cara panen tersebut secara ekonomi kurang efisien karena tingginya biaya tenaga kerja untuk panen.


(30)

Gambar 2 Perbedaan tingkat kemasakan buah jarak pagar

2.5. Perubahan Fisik dan Kimia Pascapanen 2.5.1. Warna

Warna yang ada pada buah-buahan disebabkan oleh pigment yang dikandungnya. Pigment tersebut pada umumnya dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu klorofil, anthocianin, flavonoid dan karotenoid atau dapat dibagi menjadi dua kelompok lain yaitu yang bersifat polar (larut dalam air) dan non polar (tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik). Warna buah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan waktu panen dan indikator tingkat kemunduran bahan pertanian. Buah jarak pagar pada awalnya berwarna hijau selanjutnya berubah menjadi warna kuning, kuning kecoklatan, coklat dan hitam. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh perubahan pigmen yang terdapat dalam buah. Pada waktu masih muda umumnya buah-buahan mengandung klorofil yang jumlahnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan karotenoid atau pigmen-pigmen lainnya, sehingga buah tersebut berwarna hijau. Selama proses pematangan buah akan tejadi degradasi klorofil sehingga kandungan klorofil menjadi rendah dan muncul warna dari pigmen-pigmen lainnya, sehingga berubah warnanya menjadi kuning, oranye atau merah (Muchtadi, 1992).

Pembentukan warna menjadi kuning dalam pematangan (sintesis karotenoid) tersebut tidak terlepas dari adanya enzim ß karoten. Aktifitas enzim tersebut dipengaruhi oleh kandungan karoten, asam mevalonat bebas dan geraniol bebas yang merupakan prekusor terbentuknya karoten (Pantastico, 1989). Jumlah karoten yang terbentuk akan semakin meningkat seiring dengan lama waktu


(31)

pematangan, sehingga warna kuning atau jingga akan terbentuk pada seluruh bagian buah.

2.5.2. Tekstur

Tekstur buah–buahan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketengangan, ukuran, bentuk dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang dan susunan tanaman. Ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel dan konsentrasi zat-zat osmotik aktif dalam vakuola. Bagian permukaan buah secara kimiawi tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, zat pektin dan lignin. Zat pektin yang dilekatkan pada bagian dinding sel yang berfungsi sebagai bahan perekat. Zat pektin merupakan polimer dari asam galakturonat. Beberapa gula yang membentuk pektin antara lain rhaminosa, galaktosa dan xylosa. Gugus asam (karbonil) pada asam galaktoronat dapat membentuk ester dengan metanol atau etanol maupun garam dengan monovalen kation (Na+) dan divalen (Ca++). Menurut Winarno (2002), menyatakan bahwa pada buah sekitar 80 persen dari karbonil yang ada pada pektin termetilasi dan kira-kira dua persen teretilasi / banyaknya karboksil yang termetilasi akan banyak pengaruhnya terhadap daya larut serta kemampuan untuk menjadi jelly. Selanjutnya Zat pektin terbagi atas protopektin , asam pektinat, pektin, asam pektat .

Protopektin merupakan makromolekul yang memiliki berat molekul tinggi, terbentuk antara rantai molekul pektin satu sama lain atau dengan polimer lain. Protopektin tidak larut karena dalam bentuk garam kalsium – magnesium pektinat. Proses pelarutan protopektin menjadi pektin dapat terjadi karena adanya penggantian ion kalsium dan magnesium oleh ion hidrogen ataupun karena putusnya ikatan antara pektin dengan selulosa. Semakin tinggi ion hidrogen kemampuan untuk mengganti ion kalsium dan magnesium ataupun memutus ikatan dengan selulosa maka semakin tinggi pula pektin yang larut akan bertambah (Meyer, 1978).

Protopektin adalah bahan awal dari zat pektin yang tidak dapat larut dalam air, dan bila dihidrolisa akan membentuk asam pektinat, dimana pada kondisi tertentu akan membentuk jelly dengan asam dan gula. Jumlah zat - zat pektat bertambah selama perkembangan buah tetapi sebaliknya pada proses


(32)

pematangan mengalami penurunan. Selama proses pematangan zat-zat pektin terdegradasi, depolimerisasi dan deesterisifikasi atau penghilangan gugus metil dari polimernya. Perubahan komponen-komponen buah ini diatur oleh enzym-enzym antara lain enzym-enzym hidrolitik, poligalakturokinase, metil asetate, selullose (Pantastico, 1989). Zat-zat pektin yang larut dalam sel menimbulkan struktur serabut selulosa menjadi longgar sehingga menurunkan daya kohesi dinding sel yang mengikat sel yang satu dengan yang lain akibatnya kekerasan buah akan semakin menurun dan buah menjadi lunak.

2.5.3 Pemecahan Makromolekul Menjadi Mikromolekul

Pemecahan makromolekul menjadi mikromolekul tidak terlepas dari kerja enzim. Pada karbohidrat perubahan yang terjadi dari polisakarida menjadi disakarida (sukrosa, maltosa) atau monosakarida (glukosa, fruktosa) oleh enzim amilase. Monosakarida merupakan senyawa gula paling sederhana dan bila dipecah tidak lagi menjadi gula lagi. Glukosa mampu menyediakan sebagian besar energi dalam benda hidup dengan cara oksidasi glukosa yang terjadi selama proses respirasi, sehingga menghasilkan karbon dioksida dan air. Sementara itu karbohidrat struktural seperti selulosa dan zat pektin tidak mengalami penguraian dalam jumlah besar. Enzym yang berperan melakukan penguraian adalah enzim hidrolitik, poligalakturokinase, metil asetate, selullose. Zat pektin dan selulosa merupakan karbohidrat cadangan yang labil yang dapat juga berfungsi sebagai sumber potensial untuk asam, gula, dan zat- zat respiratorik lainnya selama pematangan.

Pada protein terjadi perombakan menjadi asam-asam amino. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah asam amino tertentu selama pematangan. Namun demikian beberapa asam amino mengalami peningkatan khususnya pada fase klimakterik selanjutnya akan mengalami penurunan kembali. Pada buah mangga, jenis asam amino tersebut antara lain asam glutamat, glutamin, leusin, dan arginin. Beberapa asam amino yang mengalami peningkatan selama pematangan adalah alanin, triptofan, isoleusin, falin, glisin dan serin. Beberapa asam amino dapat digunakan sebagai sumber energi pada siklus kreb seperti asam glutamat


(33)

dengan ditransaminasi oleh enzim selanjtnya masuk ke dalam siklus kreb pada fase a-ketoglutarat (Pantastico, 1989).

Fosfolipid terdapat dalam sitoplasma dan dalam banyak unit-unit struktural jaringan tanaman. Zat –zat ini mempengaruhi fisiologi yang lebih besar dari pada lipid netral yang terdapat pada makanan cadangan. Perubahan lemak menjadi asam lemak terjadi selama pematangan buah. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan jumlah asam lemak.

2.5.4. Respirasi

Laju respirasi merupakan petunjuk daya simpan hasil pertanian sesudah dipanen. Intensitas respirasi dapat dianggap sebagai ukuran jalannya metabolisme, karena itu intensitas respirasi sering dianggap sebagai potensi daya simpan. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai umur simpan yang pendek. Hal ini juga merupakan petunjuk laju kemunduran kualitas bahan makanan (Pantastico, 1989). Laju respirasi dapat diukur dengan mengukur perubahan kosentrasi O2 dan CO2 yang terjadi dalam ruang simpan selang waktu tertentu. Laju respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi protoplasma, suhu, subtrat untuk respirasi, kosentrasi O2 dan CO2, luka, sinar, efek mekanis serta komponen kimia tertentu seperti etilen. Selanjutnya Pantastico (1989) mengatakan bahwa faktor internal dan eksternal akan mempengaruhi laju respirasi. Faktor-fakror internal mencakup tingkat perkembangan, susunan kimiawi jaringan, ukuran produk, pelapis alami, dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal mencakup suhu, karondioksida, oksigen, zat pengatur pertumbuhan dan kerusakan buah.

Untuk mengevaluasi sifat respirasi digunakan konsep Quesien respirasi (RQ). Wills et al. (1989) menyatakan RQ didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah CO2 yang diproduksi terhadap O2 yang dikonsumsi. RQ berguna untuk mengetahui subtrat yang digunakan dalam respirasi, sejauh mana reaksi telah berlangsung dan sejauh mana proses tersebut bersifat aerobik atau anaerobik. Nilai RQ > 1 menandakan bahwa subtrat yang dirombak dalam proses respirasinya merupakan asam-asam organik dan bukan karbohidrat. Asam –asam organik yang dirombak kemungkinan asam malat. dimana karbondioksida yang dihasilkan lebih besar dari pada oksigen yang dipakai. Pantastico (1989)


(34)

menyatakan apabila subtratnya glukosa, maka RQ = 1. RQ > 1 apabila subtrat yang digunakan mengandung oksigen yaitu asam – asam organik. Respirasi senyawa ini memerlukan O2 lebih sedikit untuk menghasilkan CO2 yang sama .

2.6. Penundaan Pengeringan

Karakteristik biji jarak pagar yang mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan sehingga dalam penanganan pasca panen perlu adanya perlakuan khusus karena setiap tahapan penanganan pasca panen yang tidak tepat akan memberikan kontribusi terhadap penurunan mutu biji jarak pagar khususnya peningkatan kadar keasaman. Buah jarak pagar setelah dipanen hendaknya segera dilakukan pengupasan dan pengeringan serta disimpan pada tempat yang tepat. Sudrajat et al. (2006) menyatakan penyimpanan biji menggunakan karung plastik dan diletakkan bersentuhan dengan lantai gudang bisa menyebabkan peningkatan keasaman, biji berjamur dan penurunan rendemen minyak. Tantangan dalam penanganan pasca panen jarak pagar untuk mempertahankan mutu cukup berat karena agribisnis jarak pagar biasanya diusahakan pada areal terpencar-pencar dengan skala usaha yang kecil serta tidak tersedia pengering mekanis. Penundaan pengeringan akan terjadi pada musim hujan sehingga berakibat terhadap kerusakan biji jarak pagar.

Potensi terjadinya kerusakan biji oleh serangan cendawan sangat besar terkait dengan kadar air biji yang masih tinggi (15 - 20 %). Berdasarkan pada ekologinya, cendawan yang menyerang biji diklasifikasikan kedalam cendawan lapangan dan cendawan pasca panen. Cendawan akan menghasilkan enzim eksoseluler untuk menguraikan bahan-bahan cadangan biji (protein, lemak dan karbohidrat) menjadi bahan-bahan yang digunakan untuk pertumbuhannya. Cendawan pada biji yang berasal dari lapangan biasanya berlokasi di dalam jaringan biji.

Serangan cendawan ke dalam jaringan biji terjadi pada saat pembentukan biji yaitu pada saat fase penyerbukan, fase antara penyerbukan dengan pembuahan dan fase sesudah pembuahan (Neergaard, 1979). Apabila serangan cendawan pada akhir pembentukan biji, cendawan akan berada dipermukaan testa atau jaringan bagian luar seperti testa, permukaan kotiledon atau endosperm, tetapi apabila


(35)

serangan terjadi pada awal pembentukan biji, letak cendawan dapat lebih dalam lagi. Kulit biji secara fisik atau kimiawi merupakan pertahanan yang utama bagi biji untuk mencegah penetrasi cendawan. Retakan biji yang terjadi secara mekanis memberikan peluang bagi serangan cendawan ke dalam biji (Styer and Cantliffe, 1984). Serangan cendawan pada biji-bijian dapat menyebabkan penurunan daya kecambah, perubahan warna, bau apek, pembusukan, perubahan komposisi kimia, penguraian lemak sehingga meningkatkan kandungan asam lemak bebas dan penurunan nutrisi (Sauer et al. 1992).

Pertumbuhan cendawan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan tempat cendawan tumbuh. Ominski et al. (1994) mengemukakan bahwa beberapa kondisi lingkungan tersebut adalah nilai aktivitas air (aw ) dan kadar air, suhu, subtrat, O2 dan CO2, interaksi mikroba, kerusakan mekanis, infestasi serangga, jumlah spora dan lama penyimpanan. Jumlah air bebas yang dibutuhkan oleh cendawan untuk pertumbuhannya ditetapkan oleh akitivitas air (aw). Semua

cendawan mempunyai aw minimum, optimum dan maksimum untuk

pertumbuhannya. Akitivitas air 0.70 merupakan aw minimum pembentukan koloni semua spesies cendawan selama penyimpanan. Worang (2008) menyatakan bahwa berdasarkan hasil identifikasi biji jarak pagar yang terserang cendawan diperoleh 15 spesies cendawan yaitu Aspergillus flavus, A. niger, A. restrictus, A. tamari, Cladosporium sp., C. cladosporioides, Colletotrichum sp, Eurotium chevalieri, E rubrum, Fusarium semitectum, F. verticillioides, Lasiodiplodia sp, Libertella sp, Penicillium citrium, P. oxalicum dan 1 (satu) isolate yang belum dapat diidentifikasi. Cendawan yang selalu terisolasi pada setiap aktivitas air dan lama penyimpanan adalah Cladosporium sp., C. cladosporioides, Colletotrichum sp, F. verticillioides, dan Lasiodiplodia sp. Hanafi (2006) menyatakan berdasar hasil identifikasi cendawan yang terbawa benih ditemukan 4 jenis cendawan yaitu Chrysosporium sp (47 – 49 %), Fusarium solani (30 %), Aspergilus flavus (11-31 %) dan panicilium sp (2-6 %). Cendawan Chrysosporium sp bersifat saprofit sehingga cendawan cepat berkembang pada bagian kulit dan tidak berpotensi merusak struktur benih bagian dalam. Berbeda dengan cendawan Fusarium solani yang merupakan pathogen yang berbahaya karena dapat menyebabkan pembusukan pada radikula. Untuk cendawan Aspergilus flavus bersifat saprofit


(36)

dengan kemampuan adaptasi yang luas sehingga dapat perubahan kualitas fisik, perubahan warna dan penurunan kandungan nutrisi dalam benih.

2.7. Desinfektan

Desinfektan adalah senyawa kimia yang mampu membunuh bentuk-bentuk pertumbuhan. Tujuan penggunaan desinfektan adalah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme pathogen dan perusak di dalam makanan, pengolahan pangan, serta fasilitas dan perlengkapan makan (Jenie, 1988). Penggunaan bahan kimiawi seperti natrium hipoklorit, klorin dioksida, natrium bisulfit, sulfur dioksida, asam-asam organik, kalsium klorida dan ozon dilakukan untuk mengurangi populasi mikrobia pada buah ataupun sayuran (David et al. 1996).

2.7.1. Klorin

Klorin telah dikenal sejak dahulu sebagai desinfektan pada produk pertanian. Menurut Izumi (1999) 50 – 125 ppm larutan klorin dapat digunakan sebagai desinfektan untuk produk sayuran, buah bahkan susu olahan karena klorin pada kosentrasi tersebut dinilai tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. Penggunaan desinfektan sangat dipengaruhi oleh kosentrasi, pH, suhu, bahan – bahan organik, waktu penggunaan dan fase pertumbuhan dari mikroorganisme tersebut (Izumi, 1999). Penggunaan natrium hipoklorin sebagai desinfektan pada biji-bijian biasanya menggunakan dosis 1 % dengan cara dicelupkan selama 3 menit.

Penggunaan beberapa senyawa kimia dengan kosentrasi yang tidak sesuai dapat menimbulkan kontaminasi pada produk, baik dalam bentuk ataupun perubahan warna dari produk tersebut. Penggunaan klorin dengan kosentrasi cukup tinggi dapat menyebabkan timbulnya bau yang tidak menyenangkan pada produk (Marriot, 1997). Klorin digunakan sebagai desinfektan akan bereaksi dengan air membentuk asam hipoklorin. Asam hipoklorin ini diyakini bekerja aktif membunuh bakteri dengan cara oksidasi (Gamman dan Sherington, 1992). Reaksi klorin dengan air terjadi sebagai berikut :

Cl2 + H2O HCl + HOCl Klorin air asam klorida asam hipoklorit


(37)

Kosentrasi klorin yang lebih tinggi menyebabkan waktu pemusnahan mikroorganisme lebih cepat. Dari persamaan reaksi diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi pH air atau suatu bahan maka daya pemusnahan klorin tersebut akan berjalan semakin lambat (Winarno dan Laksmi, 1974). Hipoklorin merupakan agen mikrobial tertua dan paling banyak digunakan untuk sanitasi dan desinfeksi. Hipoklorin biasa dikenal dengan nama bleach dan banyak diaplikasikan pada penanganan air minum dan air limbah (Naidu dan Khanna, 2000). Klorin mampu menyebabkan reaksi mematikan pada membran sel dan dapat mempengaruhi DNA. Hipoklorit bereaksi dengan DNA sel hidup, menyebabkan mutasi oleh rekasi oksidasi basa purin dan pirimidin (Jenie, 1988).

2.7.2. Asap cair

Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses pembakaran / pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Asap cair mengandung sejumlah besar senyawa seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang yang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al., 2005).

Fungsi asap cair adalah sebagai bahan pengawet yang memiliki kandungan senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan (Darmadji, 2002). Zat- zat yang ada dalam asap cair berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, yang peranannya semakin meningkat bila kedua senyawa tersebut bersama-sama (Darmadji, 1995). Menurut Maga (1988) komposisi asap cair terdirin dari air 11 – 92 %, fenol 0,22 – 2,9 %, asam 2,8 – 4,5 %, karbonil 2,6 – 4,6 % dan tar 1-17 %. Perbedaan komposisi asap tergantung kepada jenis kayu yang dipakai dan kandungan air kayu asap (Rusz and Miler, 1976) sedangkan menurut Peszczola (1995) perbedaan komposisi asap cair berdasarkan species dari tanaman, umur dan kondisi pertumbuhan tanaman. Asap cair dari tempurung kelapa mempunyai 7 macam komponen yang dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2-metioksifenol, 2–metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6–dimetoksifenol dan 2,5 – dimetoksi benzil alkohol, yang kesemuanya larut dalam eter. Komponen utama yang terdapat dalam tar


(38)

adalah fenol dan turunannya seperti guaiacol; 4-propyl guaiacol; 2,6-xylenol; 3,5-xylenol; creosol; o-creosol; syringol; 4-et srigol; 4-allylsyringol yang digunakan sebagai insektisida (Yatagai, 1996). Penggunaan lain sejak tahun 1980 adalah sebagai bahan pengawet daging babi, industri makanan, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida, herbisida, desinfektan (Hendra, 1992).

Kualitas dan kuantitas unsur kimia pada umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan. Bahan pengasap yang digunakan seperti jenis kayu yang dibakar menentukan komposisi dari asap yang dihasilkan. Kayu keras seperti tempurung kelapa banyak terbentuk asap karena proses pembakarannya lambat. Penggunaan beberapa jenis kayu keras pada proses pengawetan dengan persyaratan memiliki beberapa fungsional, yaitu sifat antimikrobial dan antioksidan yang berbeda-beda tergantung pada kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin pada masing-masing kayu (Tranggono et al. 1996).

Dalam penelit ian Tranggono (1996) diketahui bahwa asap cair tempurung kelapa memiliki 7 komponen dominan yaitu fenol, 3-metil-1,siklopentadion, 2-metoksiphenol, 2-metoksi-4-metilphenol, 4-etil-2-metoksiphenol, 2,6-dimetoksiphenol, dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol, yang larut dalam eter. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia dalam asap cair yaitu fenol sebesar 5.5% methyl alkoholnya sebesar 0.37% dan total asam sebesar 7.1%. Yulistiani (1997) mendapatkan data bahwa kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 1.28% bahwa asap cair yang bersumber dari tempurung kelapa memiliki efek antimikrobia yang lebih tinggi dibandingkan sumber kayu lainnya. Hal tersebut terkait dengan pH asap cair dari tempurung kelapa memiliki (pH 2.05) paling rendah dibandingkan sumber jenis asap lain seperti: kayu jati, bangkirai, kruing, lamtoro, mahoni, kamfer dan glugu.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu perbandingan hasil pengukuran kandungan fenol asap cair tempurung kelapa berbeda-beda, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kadungan zat- zat yang mudah terbakar yang terdapat pada bahan baku tempurung kelapa seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, resin, protein dan abu (Daun, 1979). Secara khusus Daun (1979) menyebutkan bahwa perbedaan kandungan fenol sangat ditentukan oleh banyaknya lignin yang


(39)

terkandung dalam asap cair. Semakin tinggi kandungan lignin dalam bahan baku maka kandungan fenol dalam asap cair semakin besar.

2.8. Pengeringan

Pengeringan merupakan salah satu cara penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk menekan laju kerusakan produk akibat akitivitas biologi dan kimiawi. Air merupakan media penting dalam pertumbuhan mikroorganisme, pertumbuhan spora, dan berbagai reaksi kimia. Dalam lingkungan mikro kemampuan air untuk menjadi media bagi mikroorganisme ditentukan oleh tekanan uap relatif atau akitivitas air yang didefinisikan sebagai rasio tekanan uap air sistem terhadap tekanan uap air murni pada tempertarur yang sama (Fardiaz, 1996). Pengeringan secara alami dilakukan menggunakan dengan sinar matahari. Pengeringan ini memiliki beberapa kelemahan antara lain sangat tergantung dengan cuaca, memerlukan tempat yang luas dan kurang praktis. Cara pengeringan yang kurang tepat dapat menimbulkan reaksi oksidasi dan hidrolisis asam lemak sehingga akan terjadi peningkatan asam lemak bebas serta pertumbuhan mikrobia pada biji sehingga menimbulkan kerusakan semakin berat. Pengeringan adalah operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia yang pada gilirannya dapat menyebabkan perubahan mutu hasil maupun mekanisme perpindahan panas dan massa (Tambunan et al., 2001). Dasar proses pengeringan adalah terjadi penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban udara nisbi yang rendah, sehingga terjadi penguapan (Sinaga, 2006). Selama proses pengeringan terdapat dua proses perpindahan yang terjadi secara simultan yaitu perpindahan panas dan perpindahan massa. Perpindahan kalor dan perpindahan massa dalam bahan terjadi pada tingkat molekul. Perpindahan kalor ditentukan oleh konduktivitas kalor bahan sedangkan perpindahan massa akan proporsional dengan difusi molekul uap air dalam udara. Menurut Geankoplis (1993) perpindahan kalor yang terjadi selama pengeringan terjadi secara konduksi, konveksi dan radiasi. Dalam bahan yang bersifat mikroporous dimana ruang


(40)

kosong dalam bahan berisi cairan atau uap, perpindahan kalor secara konveksi terjadi antara fluida yang mengalir dengan permukaan bahan padat.

Pengeringan biji jarak pagar dilakukan hingga mencapai kadar air < 7 %. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan aw 0.64 yang setara dengan kadar air 7,61 % (Dirjenbun, 2006). Hasil penelitian Warsiki et al. (2007) yang melakukan penyimpanan biji jarak pagar pada berbagai tingkat kelembaban relatif, melaporkan bahwa kadar air biji yang dikemas dalam karung goni dan disimpan dengan kelembaban relatif 80 – 90 % (aw 0,8 – 0,9) menjadi 12 % dari kadar air awal 9 %, sedangkan kelembaban realtif 50 – 60 % (aw 0,5-0,6) kadar airnya menjadi 7 % pada penyimpanan selama 6 minggu.

Menurut Duckworth (1974) kurva sorbsi isotermik dapat dibagi menjadi beberapa bagian tergantung dari keadaan air dalam biji tersebut. Daerah yang menyatakan adsorpsi air bersifat satu lapis molekul air terdapat pada daerah monolayer yaitu pada kisaran aw 0 – 0,25. Air yang terkandung adalah air yang terikat pada permukaan (air adsorbsi) yang sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pada suhu berapapun. Daerah ini merupakan ambang batas ketengikan, sebab air yang ada sangat terbatas hanya cukup untuk melindungi produk dari senyawa O2. Selanjutnya Worang (2008) menyatakan daerah monolayer ini setara dengan kadar air biji jarak 2,68 %. Daerah yang menyatakan terjadinya penambahan lapisan- lapisan di atas satu lapis molekul air terdapat pada daerah multilayer yaitu kisaran aw yang disimpan dengan 0,25 – 0,70. Air yang terkandung pada daerah ini, kurang kuat terikat dibandingkan pada daerah monolayer. Daerah multilayer ini setara dengan kadar air biji 5,45 – 7,61 %. Daerah yang menyatakan kondensasi air pada pori-pori bahan terdapat pada daerah kondensas kapiler yaitu aw > 0,7. Daerah ini mengandung air bebas yang cukup banyak, sehingga sangat optimal bagi beberapa reaksi biokimia, mikrobia, dan reaksi fisik. Daerah kondensasi kapiler setara dengan kadar air biji jarak pagar 9,62 ; 12,56 dan 13.52 %.


(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2009. Tempat Penelitian dilakukan Kebun Jarak Pagar PT. Panjiwaringin Kec. Malimping Banten sebagai penyedia bahan buah jarak, Laboratorium lapang Teknik Pertanian Luw ikopo, Laboratorium Kimia Balai Besar Penelitian Teknologi Pasca Panen dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan terdiri dari buah jarak pagar, asap cair, Natrium Clorida (NaOCl), bahan kimia untuk analisis kimia alkohol netral 95 %, KOH 0,1 N, asam glasial, kloroform, KI, Na2S2O3 0,1 %, indikator kaji, indikator phenolpthalein, n-heksana, PCA, NaCl dan aquadest. Peralatan yang digunakan karung plastik, termometer, Color reader 10, peralatan analisis kimia berupa neraca analitik, cawan aluminium, oven, desikator, termohigrometer, homogenizer, pengepres hidrolik, alat ekstraksi soxhlet aparatus, mikroskop dan peralatan gelas.

3.3. Tahapan Penelitian

Tahap I

Penelitian pertama adalah mengetahui karakteristik buah jarak pagar yang dipanen dengan indikator warna buah. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor diulang 3 kali. Sebagai faktor adalah tingkat kemasakan buah yang akan di panen. Buah dipanen dikelompokan pada 5 (lima) kriteria berdasarkan warna buah yaitu hijau, hijau kekuningan, kuning, kuning kehitaman dan hitam. Data yang diamati adalah warna kulit buah dan biji, berat biji, kandungan kimia biji jarak (kadar air, jumlah biji / buah, berat biji, asam lemak bebas, dan kadar minyak ) dan mikrobiologi (TPC). Data yang terkumpul selanjutnya dilakukan analisis secara statistik (uji Fisher dan uji lanjut Duncan).


(42)

Tahap II

Penelitian tahap kedua yaitu bertujuan untuk mengetahui metode penundaan hasil panen dalam bentuk buah atau biji dan toleransi waktu yang masih memenuhi mutu. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial terdiri dari 2 faktor dan diulang sebanyak 3 kali. Sebagai faktor pertama bentuk penundaan terdiri dari 2 taraf yaitu bentuk buah dan bentuk biji. Faktor kedua adalah lama waktu penundaan 4 taraf : 0, 1, 2 dan 3 hari. Pengamatan yang dilakukan adalah jumlah biji / buah, berat biji, kandungan kimia biji jarak (kadar air, asam lemak bebas, kadar minyak) dan tingkat serangan mikrobiologis (kapang). Rancangan percobaan tersebut menurut Hicks (1982) dapat dibuatkan persamaan model linier seperti dibawah ini:

Y

ijk

=

µ+ a

i

+ b

j

+ ( ab)

ij

+ e

(ijk)

Yijk = nilai pengamatan ke i µ = nilai rata-rata umum ai = bentuk penundaan ke- i bj = perlakuan waktu penundaan

ab = pengaruh interaksi bentuk penundaan dan waktu penundaan pengeringan

eik = pengaruh variasi galat

Tahap III

Penelitian tahap ke tiga adalah mendapatkan metode perlakuan untuk penundaan pengeringan. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor diulang 3 kali. Jenis Desinfektan Natrium hipoklorit (NaOCl), Asap cair dan kontrol. Penundaan pengeringan dilakukan selama 4 hari. Hasil yang diperoleh diamati secara fisik, kimia dan mikrobiologi. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara statistik (uji Fisher dan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %).


(43)

Tahap I Tahap II Tahap III

Gambar 3. Diagram alir percobaan panen dan pasca panen biji jarak pagar

Pengupasan kulit

Pengamatan

• Kadar air

• Berat jenis biji

• Kadar minyak

• Asam lemak bebas

• Bilangan Iod

• Warna

• TPC

Tingkat ketuaan / kemasakan panen buah

• Warna hijau

• Hijau kekuningan

• Kuning

• Kuning kehitaman

• Hitam

Buah dari warna terpilih

• Buah

• Biji

Pengeringan

Pengeringan

Pengamatan

• Kadar air

• Kadar minyak

• Asam lemak bebas

• Bilangan iod

• Warna / chromameter

• TPC Biji jarak pagar kering

Biji jarak pagar kering

Buah dari warna terpilih

Perendaman desinfektan :

• Kontrol

• NaOCl 5 % (2 menit)

• Asap Cair 10 % (2 menit)

Penundaan pengeringan (4 hari )

Pengeringan

Biji jarak pagar kering

Pengamatan

• Kadar air

• Kadar minyak

• Asam lemak bebas

• Bilangan iod

• TPC Penundaan pengeringan

• 0 hari

• 1 hari

• 2 hari

• 3 hari


(44)

3.4. Pengamatan dan Pengukuran

Parameter yang diamati adalah jumlah buah per tandan, berat biji, kadar air, kadar minyak, bilangan asam dan kadar asam lemak bebas, bilangan iod, jumlah mikroorganisme dan warna. Sebelum perlakuan dilakukan pengamatan terhadap umur tanaman, kultur teknis budidaya, jumlah cabang, warna kulit buah, serangan hama dan penyakit.

a Analisis kadar air (AOAC, 1980) Prinsip

Penguapan air dengan pemanasan pada suhu 105 o C, selisih bobot yang hilang merupakan kadar air yang terdapat dalam sampel.

Prosedur :

Contoh ditimbang sebanyak 2 – 10 gram dan ditempatkan didalam cawan aluminium yang sudah diketahui bobotnya. Contoh dipanaskan di dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam (pengukuran 1 jam dimulai saat oven mencapai suhu 105 oC). Selanjutnya cawan didinginkan didalam desikator kurang lebh 15 menit dan kemudian ditimbang. Pemanasan diulang hingga dicapai berat yang tetap. Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan berat yang hilang sebagai air. Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air (%) = a

x b

a ) 100%

( −

Dimana

a = berat contoh sebelum pengeringan (gram) b = berat contoh setelah pengeringan (gram)

b. Kadar minyak

Sebanyak 2-3 gram contoh dimasukan kedalam pembungkus kertas saring yang terlebih dahulu ditimbang beratnya. Sampel tersebut selanjutnya ditempatkan pada seperangkat alat ekstraksi soxhlet dan tambahkan pelarut heksan secukupnya. Setelah peralatan dipasang selanjutnya hot plate dihidupkan atau dipanaskan dengan waktu 8 jam.. Contoh hasil ekstraksi kemudian diuapkan pelarutnya dengan cara diangin-anginkan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC sampai beratnya konstan. Kadar minyak contoh dihitung berdasarkan persamaan berikut:


(45)

Kadar minyak (%) = c

x a

b ) 100%

( −

Keterangan :

a = Berat labu kosong (gram)

b = Berat labu dan ekstrak minyak (gram) c = Berat contoh (gram)

c. Rendemen minyak

Rendemen minyak dihitung berdasarkan perbandingan antara minyak hasil pengepresan terhadap berat biji.

% 100 (%)

minyak

Rendemen x

b a

= Keterangan :

a = minyak hasil pengepresan (gram). b = berat biji (gram).

c. Bilangan asam dan kadar asam lemak bebas (SNI 01 – 3555-1998) Prinsip :

Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak.

Prosedur

Sebanyak ± 5 gram sampel minyak ditimbang dan dimasukan dalam erlenmyer 250 ml dan ditambahkan 50 ml alkohol netral 95 % dan dipanaskan sampai mendidih. Setelah ditambahkan dua tetes indikator phenolptalein, larutan dititras i dengan KOH 0,1 N sampai berwarna merah jambu yang tidak hilang selama beberapa detik.

Bilangan asam = b axNx56,1


(46)

Asam lemak bebas =

b x axNx

10 100 1 , 56

Dimana :

a = jumlah KOH untuk titrasi (ml) N = Normalitas larutan KOH

56,1 = bobot molekul KOH

b = bobot molekul asam lemak dominan (BM asam oleat = 282)

d. Bilangan Iod (SNI 01-3555-1989) Prinsip :

Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh akan bereaksi dengan iod dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh yang terdapat dalam minyak.

Prosedur :

Sebanyak 0,25 gram sampel dimasukan ke dalam erlemeyer 300 ml, kemudian ditambahkan 15 ml kloroform dan 25 ml larutan wijs dengan menggunakan pipet volumetrik. Erlemeyer kemudian ditutup dan disimpan ditempat gelap selama 2 jam. Ke dalam larutan kemudian ditambahkan 10 ml larutan KI 20 % dan 100 ml air suling. Kemudian erlemeyer segera ditutup. Larutan dikocok dan dititer dengan larutan Na2S2O3 0,1 N . Indikator yang digunakan adalah larutan kanji.

Perhitungan

Bilangan Iod =

m V Vo

xN( 1)

5 ,

12 −

Keterangan :

Vo = Volume Na2S2O3 0,1 N yang diperlukan untuk titrasi blangko (ml) V1 = Volume Na2S2O3 0,1 N yang diperlukan untuk titrasi sampel (ml) N = normalitas larutan Volume Na2S2O3 0,1 N


(47)

e. Penentuan populasi cendawan pada biji (Fardiaz, 1982)

Untuk menentukan populasi cendawan yang menyerang biji jarak pagar, dilakukan isolasi berdasarkan metode pengenceran berderet yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang pada media PCA (Plate Count Agar). Metode pengenceran berderet dilakukan dari pengenceran 1:10 (10-1) sampai dengan 1:10 (10-5). Sebanyak 1 g sampel biji jarak yang telah dihaluskan berasal dari setiap ulangan, ditempatkan di dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan NaCl 0.85 % steril, Dengan demikian diperoleh pengenceran 10-1. Tabung reaksi tersebut digoyang dengan mesin pengocok hingga suspensinya homogen dan selanjutnya dibiarkan hingga mengendap. Kemudian 1 ml suspensi diambil dengan menggunakan micropipet dan ditempatkan di dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan NaCl 0.85 % steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. selanjutnya dengan cara yang sama dibuat seri pengenceran sampai dengan 10-5. sebanyak 1 ml dari setiap faktor pengenceran dipindahkan dengan pipet ke setiap cawan petri (diameter 9 cm), kemudian dituangkan ± 15 ml media PCA (± 40oC). Setiap faktor pengenceran dibuat 2 cawan Petri (2 sub ulangan) dan diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu (± 30-32oC) selama 2-3 hari.

f. Warna

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Color reder 10 dengan metode hunter color. Pengukuran dimulai dengan menghidupkan alat tersebut pada posisi ON, selanjutnya buah / biji yang akan diamati pada tempatkan buah (sample) lubang yang berfungsi untuk deteksi warna. Ketika posisi dudah tepat selanjutnya tekan tombol start dan lakukan pencatatan nilai L a b. Penentuan warna buah jarak dilakukan dengan mengukur buah utuh pada bagian pangkal, tengah dan ujung yang dilakukan sebanyak 3 kali ulangan pada setiap pengamatan. Nilai hunter L menunjukan kecerahan (lightness) yang bergerak dari 0 – 100. Nilai hunter a menunjukan warna kromatik campuran merah hijau yang nilainya bergerak dari positif (0-100) untuk warna merah sampai dengan (0-80) untuk warna hijau. Nilai hunter b menunjukan warna kromatik campuran biru kuning yang nilainya bergerak dari positip


(48)

(0-70) untuk warna kuning sampai negatif (0-(0-70) untuk warna biru. Nilai hunter a dan b merupakan indikasi perubahan warna hijau ke merah / kuning. Nilai a negatif menunjukan warna hijau nilai a positif menunjukan warna kuning sedangkan nilai b negatif menunjukan warna biru. Munurut Mohsenin (1984) metode Munsell merupakan metode berdasarkan tiga notasi Munsell yaitu Hue (hijau, merah, biru dan kuning), value (nilai L atau kecerahan yang bergerak dari dark atau gelap sampai light/bright atau cerah) dan chroma (saturasi atau tingkat kandungan warna yang bergerak dari weak atau muda sampai vivid / strong atau tua). Nilai notasi tersebut selanjutnya diplotkan pada Munsell color chart (Gambar 4)


(49)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Tanaman Jarak Pagar

Tanaman jarak pagar yang digunakan untuk penelitian berumur 3 tahun. Tanaman dibudidayakan dengan pola monokulture dengan jarak tanam 2 x 2 m pada lahan berpasir karena berada dikawasan pantai (sekitar 0,5 km dari pantai), sedangkan curah hujan 2.500 – 3.000 mm/th. Tanaman dipelihara secara intensif hanya pada tahun pertama berupa pemupukan, penyiangan dan pemangkasan, sedangkan pada tahun ke-2 dan ke-3 tidak dipelihara secara intensif karena secara ekonomis kurang menguntungkan (pemasaran jarak pagar yang tidak jelas dan harga biji jarak yang sangat rendah (Rp.1.000 / kg). Meskipun tidak melalui pemelihraan yang intensif performansi tanaman jarak cukup baik. Hasil pengamatan terhadap 5 sample tanaman yang dilakukan secara acak terstruktur (menentukan titik tanaman secara diagonal pada areal kebun seluas 2 ha) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengamatan karakteristik tanaman jarak Sample

tanaman

Tinggi tanaman (m)

? cabang / tanaman

? bunga / tanaman

? tandan / tanaman

? buah / tandan

1 2.3 10 18 20 8.45

2 2.25 10 13 20 5.60

3 2.2 7 3 17 4.18

4 1.8 8 7 17 3.53

5 2 3 - 17 3.53

Rerata 2.11 7.60 10.25 18.20 5.06

Berdasarkan data performansi tanaman terlihat tinggi tanaman 2,11 m, jumlah cabang 7,6 buah, jumlah bunga (calon tandan buah) 10,25 buah, jumlah tandan 18,20, sedangkan jumlah buah per tandan (yang mulai masak / near ripe) sampai dengan (lewat masak / over riped) 5,06 buah. Jumlah cabang berperanan penting dalam menunjang produksi tanaman. Jumlah cabang rata-rata 7,6 buah sudah cukup memadai untuk menunjang produksi buah. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahmud (2006) dan Ginwal et al. (2004) yang menyatakan semakin banyak cabang produktif yang dihasilkan jarak pagar maka buah dan biji yang dihasilkan semakin banyak pula. Ferry (2006) menyatakan jumlah cabang yang


(50)

perlu dipelihara untuk mendukung produksi tinggi pada jarak pagar 3 – 5 cabang primer.

Hasil panen pada 5 (lima) sample tanaman diperoleh buah (kapsul) 472 buah atau rata-rata per tanaman sebanyak 94 buah. Dengan populasi tanaman 2500 pohon setiap ha maka akan diperoleh sebanyak 235.000 buah (kapsul) atau setara dengan 1.193,800 kg. Rendemen buah menjadi biji kering (kadar air 7%) setelah melalui pengupasan dan pengeringan adalah 14,85%. Dengan asumsi tersebut maka produktivitas tanaman per hektar mencapai 4.181 kg. Produktivitas tersebut dengan asumsi tidak terjadi fluktuas i hasil panen dan melakukan rotasi panen 15 hari. Pada kenyataannya di lapangan produktivitas jarak berfluktuasi tergantung dari curah hujan dan faktor pembatas lainnya. Jika produktivitas yang dicapai 50% dari nilai produktivitas maksimal maka nilai tersebut setara dengan 2.091 kg per ha. Produktivitas tersebut tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan yang dilaporkan Bambang (2009) pada ekotipe jarak pagar lombok barat dengan produktivitas 1,215 kg /ha. Namun masih dibawah produktivitas yang dilaporkan Henning (1996) dengan nilai 2,5 – 3,5 ton per ha. Saxena (2005) menyatakan bahwa jika tanaman jarak pagar di tanam di lahan dengan kondisi tanah baik akan diperoleh hasil biji 5 ton/ha/tahun.

4.2. Keragaman Tingkat Kemasakan Buah

Hasil pengamatan terhadap sample buah dijumpai keragaman mulai dari fase bunga, buah muda, sampai dengan buah lewat masak. Hal ini sejalan dengan pendapat Arivin et al. (2006) yang menyatakan bahwa di Desa Cikeuisik Malimping Banten dengan curah hujan 2.500-3.000 mm/th, umumnya ditemukan tanaman jarak yang memiliki bunga, buah muda, buah tua dan buah kering dalam satu tandan.

Keragaan indeks buah pada satu tandan dapat terlihat pada 20 sample tandan dari 5 (lima) tanaman yang berbeda (Gambar 5) dengan katagori umur buah lebih 40 hari setelah anthesis. Buah tersebut selanjutnya dikelompokan menjadi 5 indeks warna buah adalah sebagai berikut indeks 1 = warna hijau tua atau buah masak (45 hari setelah anthesis), 2 = warna hijau kekuningan (50 hari setelah anthesis), 3 = warna kuning (55 hari setelah anthesis), 4 = warna kuning


(51)

kehitaman (60 hari setelah anthesis) dan 5 = warna hitam (> 65 hari setelah anthesis) sebagai modifikasi dari indeks kematangan yang diusulkan oleh Bambang (2008).

Gambar 5. Sample keragaman buah per tandan

Berdasarkan pada Gambar 6 tampak bahwa dalam satu tandan dijumpai mulai dari warna buah hijau, kuning, kuning kecoklatan dan hitam. Dengan kata lain pada tiap tandan dijumpai semua indeks buah dengan proporsi yang berbeda. Hal tersebut mencerminkan tingkat kemasakan buah per tandan tidak seragam. Ketika buah pada indeks 3 (warna kuning) mencapai 40,65 % masih dijumpai indeks lain 1, 2, 3 dan 5 dengan proporsi masing-masing 27,64 %, 17,88 %, 4,06 % dan 9,76 %. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah karakteristik pembungaan dan penyerbukan. Adikardasih dan Joko (2006) menyatakan bahwa dalam satu tandan bunga jarak pagar baik jantan maupun betina tidak mekar bersamaan melainkan bertahap sesuai dengan pola yang tidak tentu. Hasnam (2006) menyatakan penyerbukan bunga jarak pagar dengan bantuan serangga. Dengan demikian jumlah dan aktivitas serangga dapat mempengaruhi proses penyerbukan dan pembentukan keseragaman dalam pemasakan buah.

Tahapan pertumbuhan dan perkembangan kapsul yang terbentuk sejak pentil (10 hari setelah anthesis). Biji mulai berkembang 20 hari setelah anthesis. Kapsul mulai berkembang dan mencapai fase matang sekitar 40 – 45 hari setelah anthesis, kemudian mencapai fase masak pada hari 55 hari setelah anthesis, dan akhirnya memasuki masa sensen pada 60 – 65 hari setelah anthesis. Pertumbuhan dan perkembangan kapsul memerlukan waktu 60 – 65 hari sejak anthesis


(1)

La mpi r a n 8. Anova da n u j i La nj ut Dunc a n pe nga r uh be nt uk da n l a ma

wa kt u pe nunda a n pe nge r i nga n pa r a me t e r bi l a nga n i od

Sour ce DF Type I SS Mean Squar e F Val ue Pr > F A 1 6. 00000000 6. 00000000 8. 56 0. 0099 B 3 76. 67723333 25. 55907778 36. 47 <. 0001 A*B 3 96. 35590000 32. 11863333 45. 83 <. 0001

Dunc a n' s Mul t i pl e Ra nge Te s t f or BI LOD

Number of Me a ns 2 3 4 5 6 7 8 Cr i t i c a l Ra nge 1. 449 1. 519 1. 564 1. 594 1. 616 1. 632 1. 644

Me a ns wi t h t he s a me l e t t e r a r e not s i gni f i c a nt l y di f f e r e nt . Dunca n Gr oupi ng Me a n N AB

A 55. 6867 3 A2B1 B 53. 9733 3 A2B2 C B 53. 0167 3 A1B2 C B D 52. 5033 3 A1B3 C D 52. 3800 3 A1B4 D 51. 3000 3 A1B1 E 49. 3200 3 A2B3 F 46. 2200 3 A2B4


(2)

76

La mpi r a n 9. Anova da n uj i La nj ut Dunc a n pe nga r uh de s i nf e kt a n pa da

pa r a me t e r As a m l e ma k be ba s

Sum of

Sour ce DF Squa r e s Me a n Squa r e F Va l ue Pr > F De s i nf e kt a n 2 2. 08615556 1. 04307778 481. 42 <. 0001 Er r or 6 0. 01300000 0. 00216667

Cor r ect ed Tot al 8 2. 09915556

R- Squar e Coef f Var Root MSE al b Mean 0. 993807 8. 655521 0. 046547 0. 537778

Dunc a n' s Mul t i pl e Ra nge Te s t f or a l b Numbe r of Me a ns 2 3 Cr i t i c a l Ra nge . 09300 . 09638

Me a ns wi t h t he s a me l e t t e r a r e not s i gni f i c a nt l y di f f e r e nt .

Duncan Gr oupi ng Mean N ds ds n A 1. 21667 3 A_1

B 0. 24333 3 A_2 B 0. 15333 3 A_3


(3)

La mpi r a n 10. Anova da n uj i La nj ut Dunc a n pe nga r uh de s i nf e kt a n pa da

pa r a me t e r bi l a nga n i od

Sum of

Sour c e DF Squa r e s Me a n Squa r e F Va l ue Pr > F Des i nf ekt an 2 190. 2200000 95. 1100000 199. 53 <. 0001 Er r or 6 2. 8600000 0. 4766667

Cor r e c t e d Tot a l 8 193. 0800000

R- Squa r e Coe f f Va r Root MSE bi l od Me a n 0. 985187 1. 331126 0. 690411 51. 86667 Dunc a n' s Mul t i pl e Ra nge Te s t f or bi l od Numbe r of Me a ns 2 3 Cr i t i cal Range 1. 379 1. 430

Me a ns wi t h t he s a me l e t t e r a r e not s i gni f i c a nt l y di f f e r e nt .

Duncan Gr oupi ng Mean N ds ds n A 56. 5000 3 A_3 B 53. 5000 3 A_2 C 45. 6000 3 A_1


(4)

78

La mpi r a n 11 . Anova da n uj i La nj ut Dunc a n pe nga r uh de s i nf e kt a n pa da

pa r a me t e r Re nde me n mi nya k

Sum of

Sour c e DF Squa r e s Me a n Squa r e F Va l ue Pr > F Mode l 2 0. 42956867 0. 21478433 0. 36 0. 7150 Er r or 6 3. 63005025 0. 60500838

Cor r e c t e d Tot a l 8 4. 05961892

R- Squa r e Coe f f Va r Root MSE r e ndm Me an 0. 105815 2. 908873 0. 777823 26. 73967

Duncan' s Mul t i pl e Range Tes t f or r endm

Number of Means 2 3 Cr i t i cal Range 1. 554 1. 611

Me a ns wi t h t he s a me l e t t e r a r e not s i gni f i c a nt l y di f f e r e nt .

Duncan Gr oupi ng Mean N ds ds n A 26. 9983 3 A_3 A

A 26. 7567 3 A_2 A


(5)

Lampiran 12. Data pengamatan lingkungan (suhu dan kelembaban) selama

penundaan pengeringan

Tanggal Har i ke W akt u/ jam suhu RH

01-Jun-09 1 9 28 88

12.3 29.5 87

17.1 28 88

02-Jun-09 2 9.2 28 88

12.15 30 87

17.15 28 88

03-Jun-09 3 9.2 28 88

12.25 29.5 87

17 28 88

04-Jun-09 4 9.15 28 88

12.3 29.5 87

17.2 28 88

05-Jun-09 5 9.2 28 88

12.13 30 87

17.11 28 88

06-Jun-09 6 9.22 28 88

12.3 30 87

17.05 28 88


(6)

80

Lampiran 13. Data pengamatan lingkungan (suhu dan kelembaban) selama

penundaan pengeringan dengan perlakuan desinfektan.

Tanggal Har i ke W akt u/ jam suhu RH

06-Jul -09 7 9.2 28 88

12.3 30 87

17 28 88

07-Jul -09 8 9.25 28 88

12.3 30 87

17.1 28 88

08-Jul -09 9 9.2 28 88

12.3 29.5 87

17 28 88

09-Jul -09 10 9 28 88

12.3 29.5 87

17 28 88

10-Jul -09 11 9.11 28 88

12.23 29.5 87

17.15 28 88

11-Jul -09 12 9.2 28 88

12.3 29.5 87

17.2 28 88