Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet Dari Serangan Rayap Tanah

(1)

ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA

SEBAGAI BAHAN PENGAWET KAYU KARET DARI

SERANGAN RAYAP TANAH

(

Coptotermes curvignathus

Holmgren)

AGUS SURYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet dari Serangan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) ” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

Agus Suryono F153070021


(3)

ABSTRACT

AGUS SURYONO. “The Liquid Smoke of Coconut Shell as Rubber Wood Preservative from the attack of Soil Termite (Coptotermes curvignathus Holm). Supervised by ROKHANI HASBULLAH and NARESWORO NUGROHO.

The use of wood preservative not only brings benefits but also has the potential to contaminate the environment. Therefore, it is necessary to find a preservative alternative which is safe for both man and the environment. The objective of this research was to identify chemical components of the liquid smoke of coconut shell and to study the effects of the preservative concentration on water content, retention, mortality, weight loss and protection degree. The concentrations used were liquid smoke (10%, 20%, 30%) and borax (2%, 4%, 6%) through the cold soaking process for 24 hours. The compounds identified were alkyl aril eter, acetate acid, phenol, carbonyl, hydrocarbon, and keton. A chemical analysis of acidity content of 21.68% and phenol content of 4.54 % was conducted. The higher the content of phenol and acid was, the greater the smoke ability to minimize the growth of destructive pests of wood would be. The research result showed that the higher the smoke retention that entered the wood, the more durable the wood would be, and the smaller weight loss and the termite death rate on test samples of rubber wood. Therefore, the addition of liquid smoke in test samples was able to give a better protection from soil termite attack.


(4)

RINGKASAN

AGUS SURYONO. ”Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet dari Serangan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan NARESWORO NUGROHO.

Kebutuhan kayu sebagian besar berasal dari hutan alam, karena kecepatan antara pemanenan dan penanaman tidak seimbang, menyebabkan pasokan kayu dari hutan alam semakin menurun baik volume maupun mutunya yang mengakibatkan harga kayu menjadi relatif mahal. Untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan menggunakan jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat atau hutan tanaman. Salah satu sifat yang kurang menguntungkan pada kayu dari hutan rakyat adalah keawetannya rendah dan hadirnya berbagai jenis organisme perusak kayu salah satunya adalah rayap tanah Coptotermes curvignathus. Salah satu langkah yang dapat diterapkan adalah penerapan teknologi pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami yang tidak membahayakan lingkungan dan aman bagi manusia dan bersifat racun bagi hama perusak kayu. Alternatif yang dilakukan adalah dengan menggunakan asap cair yang berasal dari kondensasi asap pada proses pengarangan.

Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi komponen kimia asap cair tempurung kelapa dengan menggunakan Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS) dan mempelajari pengaruh konsentrasi bahan pengawet terhadap kadar air, retensi, mortalitas, kehilangan berat dan derajat proteksi. Hipotesis yang akan dibuktikan adalah kandungan senyawa fenol dan asam di dalam asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengawet kayu karet. Semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet asap cair yang masuk ke dalam kayu maka kayu semakin beracun dan kematian rayap pada kayu karet semakin besar. Semakin besar retensi asap cair yang masuk ke dalam kayu maka kayu semakin awet.

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juli 2009 di Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH) Bogor dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSDHB) IPB. Bahan baku yang digunakan adalah kayu karet ukuran 2.5 x 2.5 x 0.5 cm dengan umur tebang 25 tahun. Bahan pengawet yang digunakan adalah asap cair dari industri kecil arang tempurung kelapa di Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea-Bogor. Organisme penguji adalah rayap tanah dari kasta pekerja dan prajurit yang diperoleh dari PPSDHB IPB. Peralatan yang digunakan adalah GCMS, penggaris, gergaji, timbangan digital, oven, botol uji, tabung erlenmeyer, alumunium foil dan gelas ukur.

Penelitian tahap pertama, identifikasi komponen asap cair dengan menggunakan analisis GCMS untuk mengetahui senyawa aktif di dalam asap cair seperti kadar asiditas dan kadar fenol yang berperan sebagai zat anti rayap. Penelitian tahap kedua, mempelajari pengaruh konsentrasi bahan pengawet terhadap kadar air, retensi, mortalitas, penurunan berat dan derajat proteksi. Tahap ini meliputi pembuatan contoh uji kayu karet dengan ukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 0.5 cm selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengukur kadar air contoh uji. Pengawetan kayu dilakukan dengan cara merendam contoh uji ke dalam larutan bahan pengawet selama 24 jam. Konsentrasi bahan pengawet yang digunakan adalah asap cair 10%, 20%, 30% dan borax 2%, 4%, 6%. Contoh uji yang telah diawetkan


(5)

dimasukkan ke dalam botol uji bersama dengan penambahan pasir, pemasukan rayap 220 ekor, penutupan dan di inkubasi selama 3 minggu di ruang yang gelap.

Hasil analisis GCMS menunjukkan bahwa senyawa-senyawa di dalam asap cair tempurung kelapa terdiri dari senyawa-senyawa alkil aril eter, asam asetat, fenol, karbonil, hydrocarbon, dan keton. Besaran total asiditas (keasaman potensial) pada penelitian ini sebesar 21.68% dan kadar fenol sebesar 4.54%. Semakin tinggi kadar fenol dan asam maka kemampuan untuk menekan pertumbuhan hama perusak kayu semakin besar. Hal ini dilakukan karena senyawa-senyawa tersebut memiliki peranan paling besar sebagai zat antirayap.

Proses perlakuan pengawetan akibat pemberian borax, asap cair dan interaksi keduanya sebagai pengawet kayu secara nyata dapat meningkatkan retensi, mortalitas dan derajat proteksi. Namun pemberian konsentrasi borax, asap cair dan interaksi keduanya secara nyata mampu menurunkan kehilangan berat pada contoh uji kayu karet. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata kadar air contoh uji setelah pengawetan bervariasi antara 12.15% sampai 15.64% tidak menunjukkan pengaruh yang beda nyata. Dengan demikian nilai rata-rata kadar air pada contoh uji kayu karet masih memenuhi standar kadar air yang disyaratkan sebesar 10-18%.

Perlakuan asap cair sebagai pengawet kayu dengan metode kombinasi lebih efektif dalam mencegah serangan rayap tanah. Semakin besar retensi asap cair yang masuk ke dalam kayu maka kayu semakin awet dengan rata-rata retensi tertinggi terdapat pada penambahan borax 6% asap cair 30% sebesar 27.68 kg/m³. Pada uji mortalitas terhadap rayap tanah penambahan borax 2% asap cair 20% menunjukkan tingkat mortalitas sebesar 100% dengan demikian penambahan asap cair pada contoh uji mampu memberikan perlindungan yang baik dari serangan rayap tanah. Semakin besar konsentrasi asap cair yang masuk ke dalam kayu maka kehilangan berat semakin menurun. Hal ini disebabkan karena senyawa asam dan fenol terpenetrasi sepenuhnya ke dalam tubuh rayap. Kehilangan berat tertinggi terdapat pada uji kontrol yaitu sebesar 8.91% hal ini karena perlakuan kontrol tidak mendapat perlakuan bahan pengawet. Sedangkan kehilangan berat terendah terdapat pada penambahan borax 6% asap cair 30% yaitu sebesar 0.52%. Semakin besar mortalitas rayap tanah maka semakin kecil kehilangan berat pada contoh uji. Kehilangan berat contoh uji merupakan salah satu indikator untuk menentukan keawetan suatu jenis kayu. Semakin tinggi kehilangan berat kayu berarti kayu semakin tidak awet begitu juga sebaliknya. Perlakuan pengawetan dengan menggunakan asap cair sebagai bahan pengawet kayu dapat meningkatkan kelas awet V menjadi kelas awet II pada konsentrasi borax 2% dan asap cair 10%, termasuk kategori tahan (resistant). Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi asap cair kehilangan berat (mg) contoh uji semakin menurun. Apabila konsentrasi asap cair ditingkatkan dengan pencampuran borax 4% asap cair 20%, kelas awet V meningkat menjadi kelas awet I termasuk kategori sangat tahan (Highly resistant). Pada kayu karet yang diawetkan dengan menggunakan borax 2% asap cair 30% menunjukkan rata-rata derajat proteksi yang efektif dan maksimal yaitu sebesar 100. Semakin tinggi rata-rata derajat proteksi, semakin baik pula kemampuan bahan pengawet tersebut mencegah serangan rayap tanah.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi udang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Mengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(7)

ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA

SEBAGAI BAHAN PENGAWET KAYU KARET DARI

SERANGAN RAYAP TANAH

(

Coptotermes curvignathus

Holmgren)

AGUS SURYONO

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Judul Tesis : Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet dari Serangan Rayap Tanah

(Coptotermes curvignathus Holmgren)

Nama : Agus Suryono

NRP : F153070021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi Ketua

Diketahui

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MSi Anggota

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Dr. Ir. Wayan Budiastra, M.Agr

An. Dekan Sekolah Pascasarjana Sekertaris Program Magíster,

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MSi


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirrohim. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasullullah SAW, semoga kita termasuk umat yang akan mendapat syafaat dan perlindungan di yaumul akhir. Tesis ini berjudul Asap Cair Tempurung Kelapa Sebagai Bahan Pengawet Kayu Karet dari Serangan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren).

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu sejak penyiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MSi sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan semangat, arahan, koreksi dan masukan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian serta penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Wayan Budiastra, M.Agr, selaku ketua program studi Teknologi Pascapanen dan Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Sharif, Msc sebagai penguji luar komisi, serta seluruh staf pengajar di program studi Teknologi Pascapanen, yang telah mengajar dan mendidik penulis selama perkuliahan.

3. Kedua orang tua tercinta, mama yang terus memberikan semangat serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

4. Istri dan ke dua buah hati kami yang telah memberikan inspirasi, dukungan, kasih dan sayang selama penulis memulai studi sampai dengan selesai.

5. Teman-teman angkatan 2007 atas bantuan dan kerjasamanya serta semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu saran dan masukan sangat diharapkan. Namun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Bogor, 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 04 April 1975 sebagai putra kedua dari dua bersaudara pasangan ayahanda Taryono dan Sri Andadari. Tahun 1994 penulis lulus SMAN 2 Pandan-Banyuwangi.

Tahun 1998 penulis mengikuti pendidikan Jagawana di Pekan Baru yang kemudian bekerja pada Dinas Kelautan dan Pertanian bidang Kehutanan Propinsi DKI Jakarta sebagai Polisi Kehutanan sampai sekarang. Tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Manajemen Agribisnis, Universitas Mercu Buana, Jakarta dan mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Agribisnis pada tahun 2005. Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) di SECAPA, Sukabumi. Pada tahun 2007 penulis memenangi Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam dan mendapatkan penghargaan sebagai peserta Terbaik I Tingkat Propinsi dari Menteri Kehutanan. Pada tahun sama penulis memperoleh kesempatan tugas belajar dari Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Pascapanen, Fakultas Teknologi Pertanian.


(11)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Hipotesis ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asap Cair ... 4

2.1.1. Karateristik asap cair ... 4

2.1.2. Komponen asap cair ... 6

2.1.3. Bahan baku asap cair ... 10

2.2. Kayu dan Pengawetan Kayu ... 11

2.2.1. Kayu karet ... 11

2.2.2. Sifat-sifat kayu ... 13

2.2.3. Keawetan kayu ... 15

2.2.4. Pengawetan kayu ... 16

2.2.5. Bahan pengawet ... 19

2.2.6. Borax ... 20

2.3. Rayap ... 22

2.3.1. Sifat umum rayap ... 22

2.3.2. Rayap tanah ... 25

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ... 28


(12)

ii

3.3. Metode Penelitian ... 28

3.3.1. Tahap I: Identifikasi komponen asap cair ... 28

3.3.2. Tahap II: Pengaruh konsentrasi bahan pengawet. ... 31

3.4. Pengamatan dan Pengukuran ... 35

3.5. Rancangan Percobaan ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Identifikasi Koponen Asap Cair ... 39

4.1.1. Kadar asiditas. ... 40

4.1.2. Kadar fenol. ... 42

4.2. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengawet ... 43

4.2.1. Kadar air kayu. ... 43

4.2.2. Retensi bahan pengawet . ... 46

4.2.3. Mortalitas rayap tanah. ... 49

4.2.4. Kehilangan berat contoh uji. ... 54

4.2.5. Derajat proteksi. ... 58

V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 63

5.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(13)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komponen volatil asap cair tempurung kelapa ... 7

2. Karakteristik senyawa fenol ... 9

3. Komposisi kimia tempurung kelapa ... 11

4. Kelas berat kayu berdasarkan berat jenis ... 14

5. Penggolongan kelas awet kayu menurut umur pakai kayu ... 15

6. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan penurunan berat ... 16

7. Golongan bahan pengawet ... 22

8. Golongan dan komposisi bahan pengawet yang diizinkan ... 22

9. Derajat proteksi contoh uji kayu ... 37

10. Penambahan konsentrasi bahan pengawet ... 38

11. Komponen-komponen kimia asap cair tempurung kelapa ... 39

12. Rata-rata kadar air pada contoh uji kayu karet ... 44

13. Rata-rata retensi borax dan asap cair pada contoh uji kayu karet ... 46

14. Rata-rata mortalitas rayap tanah pada contoh uji kayu karet ... 49

15. Rata-rata kehilangan berat pada contoh uji kayu karet ... 54

16. Rata-rata kehilangan berat dan kelas awet kayu pada contoh uji kayu karet .... 57


(14)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur anatomi kayu karet ... 12

2. Serangan rayap tanah pada pohon yang masih hidup ... 26

3. Siklus hidup rayap ... 27

4. Diagram alir identifikasi komponen kimia asap cair ... 30

5. Diagram alir penelitian ... 34

6. Grafik rata-rata kadar air terhadap konsentrasi asap cair ... 45

7. Grafik rata-rata retensi terhadap konsentrasi asap cair ... 47

8. Grafik rata-rata mortalitas terhadap konsentrasi asap cair ... 52

9. Grafik rata-rata kehilangan berat terhadap konsentrasi asap cair ... 56

10. Penambahan borax 0% ... 59

11. Penambahan borax 2% ... 59

12. Penambahan borax 4% ... 60

13. Penambahan borax 6% ... 60

14. Grafik rata-rata derajat proteksi terhadap konsentrasi asap cair ... 60

15. Serangan rayap hari ke-3 ... 61


(15)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa menggunakan GCMS 69

2. Data pengukuran kadar air pada contoh uji kayu karet ... 76

3. Data pengukuran retensi pada contoh uji kayu karet ... 77

4. Data pengukuran mortalitas pada contoh uji kayu karet ... 78

5. Data pengukuran kehilangan berat pada contoh uji kayu karet ... 79

6. Data pengukuran derajat proteksi pada contoh uji kayu karet ... 80

7. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi kedua nya terhadap kadar air pada contoh uji kayu karet ... 81

8. Uji jarak berganda Duncan pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi keduanya terhadap kadar air pada contoh uji kayu karet ... 82

9. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi kedua nya terhadap retensi pada contoh uji kayu karet ... 83

10. Uji jarak berganda Duncan pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi keduanya terhadap retensi pada contoh uji kayu karet ... 84

11. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi kedua nya terhadap mortalitas pada contoh uji kayu karet ... 85

12. Uji jarak berganda Duncan pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi keduanya terhadap mortalitas pada contoh uji kayu karet ... 86

13. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi kedua nya terhadap kehilangan berat pada contoh uji kayu karet ... 87

14. Uji jarak berganda Duncan pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi keduanya terhadap kehilangan berat pada contoh uji kayu karet ... 88

15. Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi kedua nya terhadap derajat proteksi pada contoh uji kayu karet ... 89

16. Uji jarak berganda Duncan pengaruh konsentrasi borax, asap cair dan interaksi keduanya terhadap derajat proteksi pada contoh uji kayu karet ... 90


(16)

vi

17. Perhitungan kadar asiditas dan fenol ... 91 18. Kebutuhan bahan pengawet, larutan yang diperlukan dan penyerapan bahan


(17)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kayu adalah salah satu sumberdaya alam yang pemanfaatannya sangat penting bagi kehidupan manusia. Sejak jaman dahulu manusia menggunakan kayu untuk berbagai kepentingan sebelum orang mengenal beton dan baja. Kebutuhan akan kayu cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan industri perkayuan dan berkembangnya ilmu tentang kayu menjadikan kayu lebih memungkinkan untuk dimanfaatkan secara luas sebagai bahan baku kertas, papan partikel, sumber zat kimia dan lainnya. Kebutuhan kayu sebagian besar berasal dari hutan alam, karena kecepatan antara pemanenan dan penanaman tidak seimbang, menyebabkan pasokan kayu dari hutan alam semakin menurun baik volume maupun mutunya yang mengakibatkan harga kayu menjadi relatif mahal (Abdurachman dan Hadjib, 2006).

Berbagai upaya telah dilakukan dalam mengatasi keterbatasan jumlah pasokan kayu hutan alam antara lain dengan mengalihkan perhatian kepada jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat atau hutan tanaman sebagai bahan baku industri pengolahan kayu, baik yang berskala kecil maupun besar. Kayu yang berasal dari hutan rakyat umumya berdiameter kecil dan mempunyai sifat yang lebih rendah dibandingkan kayu hutan alam (Martawijaya dan Kartasudjana, 1996). Salah satu sifat yang kurang menguntungkan pada kayu dari hutan rakyat adalah keawetannya rendah dan belum lagi ditunjang oleh letak geografis di khatulistiwa dengan iklim tropisnya yang memungkinkan hadirnya berbagai jenis organisme perusak kayu yang merupakan ancaman kerusakan terbesar di Indonesia.

Rayap tanah Coptotermes curvignathus merupakan organisme yang cukup penting sebagai perusak kayu dan bangunan di Indonesia. Spesies ini memiliki penyebaran yang luas dan kasus serangannya terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kerusakan bangunan dan komponen kayu akibat serangan rayap telah menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Kerusakan tersebut terjadi pada pohon yang masih berdiri, kayu gergajian, dan produk kayu lain dalam penyimpanan dan pemakaian (Nandika, 1983). Pada Tahun 1996 kerugian ekonomis akibat serangan


(18)

2 rayap pada bangunan perumahan di Indonesia mencapai 1,67 triliun rupiah, belum termasuk kerugian pada gedung perkantoran, fasilitas industri dan fasilitas sosial lainnya (Rakhmawati, 1996).

Menurut Martawijaya (1996) diperkirakan terdapat 4000 jenis kayu di Indonesia, dari 4000 jenis tersebut diperkirakan hanya 14.3 % saja yang termasuk kelas awet I dan II selebihnya termasuk kelas awet III, IV, dan V. Penggunaan kayu awet yang secara alamiah dapat menahan serangan hama perusak kayu sampai saat belum banyak diketahui, karena selain jumlahnya terbatas dan cenderung langka, juga harganya relatif mahal. Oleh karena itu langkah-langkah pengawetan terhadap kayu yang kurang dan tidak awet jumlahnya relatif banyak dan merupakan salah satu usaha dalam rangka pencegahan serangan hama perusak kayu. Melalui usaha ini diharapkan umur pakai kayu bertambah menjadi beberapa kali lipat dan secara ekonomis menguntungkan.

Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan masa pakai kayu. Salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan adalah penerapan teknologi pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami sesuai dengan standar teknis yang berlaku. Hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah mencari alternatif bahan pengawet yang tidak membahayakan lingkungan dan aman bagi manusia dan bersifat racun bagi hama perusak kayu. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan asap cair yang berasal dari kondensasi dari produk bahan baku tempurung kelapa melalui proses karbonisasi dengan cara destilasi kering, sehingga dimungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengawet kayu (Jasni dan Pari, 1999).

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet kayu karet dari serangan rayap tanah, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Identifikasi komponen kimia asap cair tempurung kelapa dengan menggunakan Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS).


(19)

3 2. Mempelajari pengaruh konsentrasi bahan pengawet terhadap kadar air, retensi,

mortalitas, kehilangan berat dan derajat proteksi.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif baru dengan memanfaatkan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet alami (natural

preservative) untuk mengendalikan hama perusak kayu khususnya rayap tanah.

Dengan demikian diharapkan akan ada usaha baru dalam memanfaatkan asap cair tempurung kelapa yang berkualitas secara berkelanjutan, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan dan kesejahteraan baru bagi masyarakat.

1.3. Hipotesis

1. Kandungan bahan aktif asap cair adalah senyawa fenol dan asam yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet kayu karet dari serangan rayap tanah.

2. Semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet asap cair yang masuk ke dalam kayu maka kayu semakin beracun bagi hama perusak kayu dan kematian rayap pada kayu karet semakin besar.

3. Semakin besar retensi asap cair yang masuk ke dalam kayu maka kayu semakin awet.


(20)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asap Cair

2.1.1. Karateristik asap cair

Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses pembakaran/pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Asap cair dihasilkan dari proses kondensasi asap baik berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang yang menghasilkan arang (karbon) dan asap (Paris and Zikler, 2005).

Menurut Demirbas (2005) proses pirolisis dapat berlangsung pada suhu diatas 300 oC dalam waktu 4-7 jam. Proses pirolisis melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisis kayu adalah hilangnya air dalam kayu pada suhu 120-150 oC, pirolisis hemiselulosa pada suhu 200-250 oC, pirolisis selulosa pada suhu 280-320 oC, pirolisis lignin pada suhu 400 oC dan pada suhu yang lebih tinggi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hydrokarbon polisiklis aromatis (Girrar, 1992).

Menurut Maga (1988) komposisi kimia asap cair adalah sebagai berikut: air 11-92%, fenol 0.22-2.99%, asam 2.8-4.5%, karbonil 2.6-4.6% dan tar 1-17%. Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisis paling awal menghasilkan furfural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun atas pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C5H10O5) dan rata-rata proporsi ini tergantung pada jenis kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, furan dan turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya. Pirolisis lignin menghasilkan senyawa fenol dan eter fenolik seperti guaiakol (2-metoksiphenol) bersama dengan homolognya. Pirolisis selulosa menghasilkan asam asetat dan senyawa karbonil seperti asetaldehid, glikosal, dan akreolin.

Fungsi asap cair adalah sebagai bahan pengawet yang memiliki kandungan senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan


(21)

5 (Darmadji, 2002). Zat-zat yang ada di dalam asap cair berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, yang peranannya semakin meningkat bila kedua senyawa tersebut bersama-sama (Darmadji, 1995). Pszczola (1995) menyatakan bahwa dua senyawa utama dalam asap cair yang diketahui mempunyai efek bakterisidal/bakteriostatik adalah fenol dan asam-asam organik.

Asap cair diproduksi dengan cara tempurung kelapa dibakar dalam suatu wadah yang tahan terhadap tekanan. Media pendingin yang digunakan pada kondensor adalah air yang dialirkan melalui pipa inlet yang keluar dari hasil pembakaran tidak sempurna kemudian dialirkan melewati kondensor dan dikondensasikan menjadi asap cair.

Perbedaan jumlah rendemen asap cair disebabkan tingginya kandungan air dalam bahan baku dan panjangnya kondensor yang digunakan. Semakin tinggi kandungan kadar air dalam bahan baku maka semakin tinggi pula jumlah rendemen asap cair yang dihasilkan dan semakin panjang kondensor maka kemungkinan mengkondensikan asap akan lebih optimal. Hal ini dikarenakan asap bergerak lebih lama dalam kondensor dan asap hasil pembakaran bahan baku mengalami proses kondensasi sehingga rendemen asap cair yang dihasilkan juga semakin banyak (Henendyo, 2005).

Asap cair merupakan suatu campuran yang sangat komplek terdiri dari senyawa-senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa yang mengandung hidrogen dan karbon, berupa cairan kental berwarna coklat tua sampai hitam dan memiliki berat jenis lebih besar dari pada air. Adapun senyawa-senyawa yang terkandung dalam asap cair dalam jumlah besar antara lain adalah asam asetat, asam format, metil alkohol, aseton dan metil asetat dan fenol (Hartoyo dan Nurhayati, 1977). Adanya senyawa asam-asam kayu dan senyawa fenol asap cair dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelunak (softener), campuran pembuatan ban, disinfektan, sebagai bahan perekat dan lebih lanjut dapat digunakan sebagai bahan pengawet kayu. Penggunaan lain asap cair sebagai bahan pengawet sejak tahun 1980 adalah sebagai bahan pengawet daging babi, industri makanan, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida, herbisida, disinfektan (Hendra, 1992).


(22)

6 2.1.2. Komponen asap cair

Hasil dari pengolahan kelapa akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan jika tidak ditangani dengan baik. Timbulnya asap dari pengolahan kelapa dapat diminimalisasi dengan memanfaatkan bahan baku asap dari tempurung kelapa untuk menghasilkan asap cair sehingga dalam produksi pembuatan arang tidak ada limbah yang dihasilkan (zero waste).

Gani (2007) mengidentifiksi komponen asap cair dari asap sampah organik dengan ekstraksi bertahap diperoleh 61 senyawa dengan dua senyawa dominan yaitu 1,1-dimetyl hidrasin (8.98%) dan 2,6-dimethoxyphenol (8.68%). Diantara 61 senyawa yang teridentifikasi terdapat 17 senyawa (27.9%) golongan keton, 14 senyawa (23%) golongan fenolik, 8 senyawa (13%) golongan asam karboksilat, 7 senyawa (11.5%) golongan alkohol, 4 senyawa (6.6%) golongan ester, 3 senyawa (4.9%) golongan aldehid dan senyawa lainnya (1.6%). Dari data hasil tersebut terlihat bahwa senyawa utama asap cair terdiri dari golongan fenolik dan asam.

Kualitas dan kuantitas unsur kimia pada umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan. Bahan pengasap yang digunakan seperti jenis kayu yang dibakar menentukan komposisi dari asap yang dihasilkan. Kayu keras seperti tempurung kelapa banyak terbentuk asap karena proses pembakarannya lambat. Penggunaan beberapa jenis kayu keras pada proses pengawetan dengan persyaratan memiliki beberapa fungsional, yaitu sifat antimikrobial dan antioksidan yang berbeda-beda tergantung pada kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin pada masing-masing kayu (Tranggono et al. 1996).

Dalam penelitian Tranggono (1996) diketahui bahwa asap cair tempurung kelapa memiliki 7 komponen dominan yaitu fenol, 3-metil-1,siklopentadion, 2-metoksiphenol, 2-metoksi-4-metilphenol, 4-etil-2-2-metoksiphenol, 2,6-dimetoksiphenol, dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol, yang larut dalam eter. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia dalam asap cair yaitu fenol sebesar 5.5% methyl alkoholnya sebesar 0.37% dan total asam sebesar 7.1%. Yulistiani (1997) mendapatkan data bahwa kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 1.28% bahwa asap cair yang bersumber dari tempurung


(23)

7 kelapa memiliki efek antimikrobia yang lebih tinggi dibandingkan sumber kayu lainnya. Hal tersebut terkait dengan pH asap cair dari tempurung kelapa memiliki (pH 2.05) paling rendah dibandingkan sumber jenis asap lain seperti: kayu jati, bangkirai, kruing, lamtoro, mahoni, kamfer dan glugu.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu perbandingan hasil pengukuran kandungan fenol asap cair tempurung kelapa berbeda-beda, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kadungan zat-zat yang mudah terbakar yang terdapat pada bahan baku tempurung kelapa seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, resin, protein dan abu (Daun, 1979). Secara khusus Daun (1979) menyebutkan bahwa perbedaan kandungan fenol sangat ditentukan oleh banyaknya lignin yang terkandung dalam asap cair. Semakin tinggi kandungan lignin dalam bahan baku maka kandungan fenol dalam asap cair semakin besar.

Menurut Slamet et al. (2007) komponen volatil asap cair tempurung kelapa dengan menggunakan GCMS tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen volatil asap cair tempurung kelapa

Komponen kimia asap cair Jumlah (%)

Pyrogallol 1,3-dimethl ether 15.64

2-Methoxy-p-cresol 11.53

Pyrogallol trimethyl ether 8.65

p-Ethylguaicol 6.58

3,4,5-Trimethoxyloluene 5.60

2-Propanone, 1-(4-hdroxy-3-methoxyphenyl) 4.55

Desaspidiol, 4.25

3-Methoxy-pyrocatechol, 3.86

Methylparaben 3.49

Guaethol 3.34

Acetovanillone 2.66

4-Ethoxy-3-metoxytoluene 1.90

Vanillin 1.71


(24)

8 Lanjutan tabel 1.

Komponen kimia asap cair Jumlah (%)

m-Xylenol 1.50

p-Ethylphenol 1.36

Syringilaldehyde 1.34

Hydrangine 1.32

2,4-Hexadienediocic acid, 3-methyl-4-prophyl-dimethyl ester

1.28

3-Ethyl-2-hydroxy-2-cyclopenten-1-one 1.27

Acetosyringone 1.27

3,4-dihydroxy-L-Phenylalanine 1.19

P-Anisic acid 1.16

2-Ethyl phenol 1.60

Metyl p-hydroxybenzoate 0.95

p-Metoxycinnamic acid 0.90

Propano 3-methoxy-4-hydroxypenone 0.93

o-Acetylphenol 0.92

Methoxyeugenol 0.91

4-Methoxy-3-methylphenol 0.84

Paraben 0.76

2,3-Dimethoxytoluene 0.75

Homovanillic acid 0.70

n-Hexatriacontane 0.66

p-Xylenol 0.65

rans-Isoeugenol 0.62

2,6-dimethoxyphenol 0.58

1,3,5-Xylenol 0.52

Benzoic acid 0.35

2-Cyclopentene-1-one 0.33

Asarone 0.30

o-Guaiacol 0.24


(25)

9 Dari hasil spektra kromatografi gas, senyawa dominan dari asap cair tempurung kelapa adalah senyawa-senyawa fenolik. Senyawa fenolik termasuk di dalam grup hidroksil yang gugus fungsinya dihubungkan dengan cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenol lebih bersifat asam dari alkali karena gugus fenol bersifat menarik elektron sehingga banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan makanan karena aktifitas biologi yang dimilikinya sebagai antioksidan, antimikroba dan antimutagenesis (Asikin et al. 1986).

Menurut Ahmad et al. (1980) Senyawa fenol mempunyai sifat dapat mematikan semua jenis sel, oleh karena itu sering digunakan sebagai desinfektan. Sebagai antimikrobia dapat dimanfaatkan sebagai senyawa yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang bersifat patogen. Sebagai antioksidan, senyawa fenol (polifenol) berperan dalam manangkap radikal bebas penyebab peroksidasi lipid dalam bahan pangan. Karakteristik senyawa fenol disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik senyawa fenol

Karakteristik Nilai

Berat molekul 94.11

Kerapatan (g/ml) 1.0576

Indeks refraksi 1.5418

Titik cair (ºC) 40.9

Titik didih (ºC) 181.8

Titik asap (ºC) 79.0

Sumber: Dean (1987)

Fenol memilki sifat mudah larut dalam air karena paling sering berada dalam bentuk senyawa glukosida yang terdapat dalam rongga sel, alkohol, benzena, nafthalena, dan berbagai pelarut organik. Senyawa fenol dengan titik didih tinggi disebabkan karena gugus hidroksil dari fenolik berperan dalam ikatan hidrogen antar molekul yang dapat digunakan sebagai pengawet. Senyawa ini dapat larut sempurna dalam alkohol, ester, gliserol, kloroform dan pelarut organik.


(26)

10 Alkohol dan asam-asam yang terdapat pada struktur kayu berasal dari dekomposisi selulosa, hemiselulosa pada temperatur yang lebih rendah dari pada lignin. Dekomposisi lignin terjadi pada temperatur 300 oC sampai suhu 450 oC dan menghasilkan substansi fenolik dan tar (Girrard, 1992). Komponen utama yang terdapat dalam tar adalah fenol dan turunannya seperti guaiacol, 4-propyl guaiacol; 2,6-xylenol; 3,5-xylenol; creosol; o-creosol; syringol; 4-et srigol; 4-allylsyringol yang digunakan sebagai insektisida (Yatagai et al. 1996). Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa senyawa-senyawa yang terdapat dalam asap seperti formaldehid, aseton dan fenol yang mempunyai sifat bakteriosidal, sedangkan asam yang mudah menguap dalam asap akan menurunkan pH, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme.

2.1.3. Bahan baku asap cair

Bahan baku yang umum digunakan dalam pembuatan asap cair adalah bahan yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. Penelitian terdahulu pembuatan asap cair berasal dari kayu keras seperti kayu jati, kayu mangium, kayu tusam dan kayu sengon. Namun, disisi lain harga kayu yang relatif mahal dan ketersediaan kayu yang terbatas menyebabkan biaya produksi pembuatan asap cair menjadi lebih tinggi. Adanya kendala-kendala tersebut maka perlu dilakukan alternatif penggunaan bahan baku asap cair seperti tempurung kelapa.

Buah kelapa (Cocus nucifera) termasuk famili Palmae yang diduga berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut kelapa 35%, tempurung kelapa 12%, daging kelapa 28% dan air kelapa 25%. Tanaman ini mulai berbuah pada umur 5 tahun hingga 7 tahun, sedangkan pada beberapa daerah sudah mulai berbuah pada umur 5 tahun tergantung dari kesuburan tanah dan tempat dimana tanaman tumbuh. Tempurung kelapa merupakan lapisan keras dengan ketebalan 3-5mm. Sifat kerasnya disebabkan oleh banyaknya kandungan silikat (SiO2) di tempurung tersebut, selain itu tempurung kelapa juga banyak mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin. Namun jumlah kandungan kimia tempurung kelapa bervariasi tergantung lingkungan tumbuhnya. Komposisi kimia tempurung kelapa terlihat pada Tabel 3.


(27)

11 Tabel 3. Komposisi kimia tempurung kelapa

Komposisi kimia Tempurung kelapa (berat kering) Pektin

Hemiselulosa Lignin

Selulosa Mineral

Komponen tidak larut air Komponen yang larut air

15.07 8.8 35.02 19.24 7.1 20.1

6.4 (Sumber: Hanendyo, 2005)

2.2. Kayu dan Pengawetan Kayu

2.2.1. Kayu karet

Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell) termasuk famili Euphorbiaceae sering disebut juga balam perak dan kayu karet termasuk kayu daun lebar yang dapat tumbuh pada ketinggian 1-2000 meter dari permukaan laut. Kayu ini banyak ditemukan pada perkebunan-perkebunan besar dan perkebunan rakyat Sumatra, Jawa, dan Kalimantan untuk diambil getahnya. Kayu karet mulai disadap pada umur 5-6 tahun (diameter batang ± 30 cm) tergantung kesuburan lahan. Penyadapan dilakukan dengan menyayat atau mengiris kulit batang. Setelah berumur 25-30 tahun pohon karet tidak disadap lagi (Setyahamidjaja, 1993).

Komposisi kayu karet adalah selulosa 48.6%, lignin 30.6%, pentosan 17.8%, abu 1.3% dan silika 0.5%. Kayu karet termasuk kelas awet V dengan klasifikasi sangat tidak awet dengan umur pakai kurang dari 1.5 tahun (Martawijaya et al. 1989). Kayu karet ini banyak digunakan untuk perabot rumah tangga, selain itu digunakan untuk kayu bentukan, misalnya panel dinding, bingkai gambar, lantai parket, palet, peti jenasah, tangga, kerangka pintu dan jendela (Mandang dan Pandit, 1997).

Kondisi kayu yang paling aman untuk dipergunakan adalah kondisi kayu kering udara, karena pada kondisi ini dimensi kayu sudah stabil dan tahan terhadap perusak biologis. Di Indonesia kadar air kayu kondisi kering udara antara 10-18%


(28)

12 (Kadir, 1973). Kayu karet penanganannya mudah dikerjakan terutama dibelah, dapat digergaji tanpa menimbulkan kesulitan dan mudah diserut sampai licin tetapi mempunyai kecenderungan untuk pecah jika dipaku (Burgess, 1966 dalam Martawijaya, 1971). Sifat-sifat kayu karet sebagai berikut (Martawijaya et al. 1989). a. Kayu teras yang masih segar berwarna keputihan dan lama kelamaan berubah

menjadi coklat muda, sedangkan kayu gubal berwarna putih, batas kayu gubal dan kayu teras tidak terlihat jelas.

b. Serat Lurus, tekstur agak kasar dan rata.

c. Lingkaran tumbuh jelas, kayu awal lebih terang warnanya dari kayu akhir.

d. Pori-pori kayu terlihat jelas dengan mata biasa dalam bentuk soliter atau berkelompok dalam deret radial 2-4 dan tersebar merata.

e. Jari-jari halus atau lebar.

Kayu karet

Penampang transversal (27x) (Sumber: Martawijaya et al. 1989) Gambar 1. Struktur anatomi kayu karet

Kayu berasal dari hutan rakyat umumnya berdiameter kecil antara 30-40 cm, dan mempunyai sifat kurang menguntungkan karena keawetannya rendah dibandingkan kayu hutan alam (Martawijaya et al. 1989). Salah satu sifat pengawetan kayu adalah suatu proses memasukkan bahan pengawet dengan metode tertentu sampai mencapai retensi dan penetrasi masing-masing kayu. Umur pakai kayu yang diawetkan umumnya dapat berumur lebih dari 15 tahun, sedangkan yang tidak diawetkan kurang dari 5 tahun.


(29)

13 2.2.2. Sifat-sifat kayu

Kayu berasal dari berbagai jenis pohon memiliki sifat yang berbeda-beda. Sifat yang dimaksud antara lain sifat-sifat anatomi kayu, sifat-sifat fisik ataupun sifat-sifat kimianya. Dari sekian banyak sifat-sifat kayu, ada beberapa sifat umum yang terdapat pada semua kayu yaitu:

a. Kayu tersusun dari sel-sel yang terdiri dari senyawa-senyawa kimia seperti selulosa, hemiselulosa (unsur karbohidrat) serta lignin (non-karbohidrat).

b. Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat belainan menurut tiga arah utamanya (longitudinal, tangensial dan radial). Hal ini disebabkan oleh struktur selulosa dalam dinding sel, bentuk memanjang sel-sel kayu dan pengaturan sel terhadap sumbu vertikal dan horisontal pada batang pohon.

c. Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopik, yaitu dapat kehilangan atau bertambah kelembabanya akibat perubahan suhu udara di sekitarnya.

d. Kayu dapat diserang mahluk hidup perusak kayu, dapat terbakar, terutama jika kayu dalam keadaan kering.

Beberapa hal yang tergolong dalam sifat-sifat fisik kayu adalah: berat jenis, keawetan alami kayu, higroskopik, dan berat kayu.

a. Berat jenis

Kayu memiliki berat jenis yang berbeda-beda, berkisar antara (0.20 sampai dengan 1.28). Berat jenis merupakan petunjuk penting bagi bermacam-macam sifat kayu. Semakin tinggi berat jenis kayu umumnya semakin kuat pula kayunya sebaliknya jika semakin rendah berat jenis kayu maka akan berkurang kekuatannya. Berat jenis ditentukan antara lain oleh tebalnya dinding sel dan kecilnya rongga sel yang membentuk pori-pori. Berat jenis diperoleh dari perbandingan antara berat volume kayu dengan volume air yang sama pada suhu standar. Umumnya berat jenis kayu ditentukan berdasarkan berat kayu kering tanur atau kering udara dan volume kayu pada posisi kadar air tersebut.

b. Keawetan alami kayu

Keawetan alami kayu adalah ketahanan kayu terhadap serangan dari unsur-unsur perusak kayu dari faktor biologis yang diukur dengan jangka waktu tahunan.


(30)

14 Keawetan kayu disebabkan oleh adanya suatu zat di dalam kayu (zat estraktif) yang merupakan sebagian unsur racun bagi perusak kayu sehingga perusak tersebut tidak sampai masuk dan tinggal di dalamnya. Zat estraktif pada kayu terbentuk disaat kayu gubal berubah menjadi kayu teras. Oleh karena itu kayu teras pada semua jenis kayu umumnya lebih awet dibandingkan kayu gubalnya. Selain itu kayu gubal sel-selnya masih hidup dan sebagai tempat cadangan bahan makanan serta kayunya lunak, sehingga perusak kayu lebih mudah menembus dan merusak kayu tersebut.

c. Higroskopik

Kayu memiliki sifat higroskopik, yaitu mampu menyerap atau melepaskan uap air. Kadar air kayu sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara pada saat tertentu. Semakin lembab udara semakin tinggi pula kadar air kayu sampai tercapai kesetimbangan dengan lingkungannya, kandungan air pada kayu tersebut dinamakan kadar air kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content). Masuknya air ke dalam kayu maka berat kayu akan bertambah yang menyebabkan kayu itu basah atau kering, akibatnya kayu tersebut akan mengembang atau menyusut.

d. Berat kayu

Berat suatu jenis kayu tergantung dari jumlah zat kayu yang tersusun, rongga-rongga sel atau jumlah pori-pori, kadar air yang dikandung dan zat estraktif di dalamnya. Berat jenis kayu ditujukkan dengan besarnya berat jenis kayu yang bersangkutan, dan dipakai sebagai patokan berat kayu. Berdasarkan berat jenisnya, kelas berat kayu digolongkan kedalam kelas-kelas tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelas berat kayu berdasarkan berat jenis Kelas Kelas berat Berat jenis

I II III IV V

Sangat berat Berat Agak berat

Ringan Sangat ringan

> 0.90 0.60-0.90 0.40-0.59 0.30-0.39 < 0.30 (Sumber: Martawijaya et al. 1989)


(31)

15 2.2.3. Keawetan kayu

Menurut Martawijaya (1996), yang dimaksud dengan keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu, tetapi umumnya yang dimaksud adalah daya tahan terhadap faktor perusak biologis yang disebabkan oleh makhluk hidup perusak kayu seperti jamur, serangga dan binatang laut. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 03-5010.1-1999/ Revisi SNI 03-3528-1994. Kelas awet kayu dibagi menjadi 5 tingkatan yaitu dari kelas I (paling awet) sampai kelas V (tidak awet). Penggolongan kelas awet kayu menurut umur pakai kayu tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5. Penggolongan kelas awet kayu menurut umur pakai kayu Kelas awet Umur pakai (Tahun) Keawetan

I II III IV V

> 8 5-8 3-5 1.5-3 < 1.5

Sangat awet Awet Kurang awet

Tidak awet Sangat tidak Awet (Sumber: Martawijaya et al. 1989)

Keterangan:

Penggolongan ini hanya berlaku untuk dataran rendah tropik, dan tidak termasuk ketahanan terhadap organisme penggerek laut.

Keawetan suatu jenis kayu dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti kandungan zat ekstraktif di dalam kayu, berat jenis kayu, umur pohon, bagian kayu dalam batang (gubal dan teras), kecepatan tumbuh pohon, asal pohon (hutan alam atau hutan tanaman), tempat dimana kayu itu dipakai. Kayugubal adalah bagian kayu antara kulit dan kayu teras, pada umumnya berwarna lebih terang dari kayu teras serta mudah terserang organisme perusak kayu. Sedangkan kayu teras adalah bagian kayu yang terletak antara hati (empulur) umumnya lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu dibanding dengan kayu gubal (Martawijaya, 1996). Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan penurunan berat tersaji pada Tabel 6.


(32)

16 Tabel 6. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan

penurunan berat

Kelas Ketahanan Penurunan berat (mg)

I II III IV V

Sangat tahan Tahan Sedang

Buruk Sangat buruk

0-25 26-50 51-75 76-100

> 100 (Sumber: Martawijaya et al.1989)

2.2.4. Pengawetan kayu

Pengawetan kayu merupakan suatu usaha untuk menambah daya tahan kayu terhadap faktor perusak dengan tujuan agar umur pemakaian kayu dapat bertambah menjadi beberapa kali lipat dan secara ekonomis menguntungkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan kayu tidak awet tindakan pengawetan kayu sangat diperlukan (Supriana dan Martawijaya, 1996).

Menurut Hunt dan Garratt (1986) pengawetan kayu adalah proses kimia atau perlakuan fisik terhadap kayu untuk memperbesar masa pakai kayu, dengan demikian mengurangi biaya akhir dari produk itu dan menghindari penggantian yang terlalu sering dalam konstruksi permanen dan semi permanen. Secara garis besar tujuan pengawetan dapat dibedakan menjadi dua yaitu mempertahankan mutu kayu sebagai bahan baku dan untuk mempertinggi mutu hasil produksi, sehingga umur pakai kayu lebih lama serta dapat memenuhi persyaratan untuk penggunaan tertentu yang lebih berarti (Padlinurjaji, 1980)

Supriana dan Martawijaya (1996) manfaat pengawetan adalah: (a) jenis kayu kurang awet atau kurang dipakai dapat digunakan dengan baik, berarti memanfaatkan sumber daya alam secara efesien, (b) memperpanjang umur pakai kayu berarti penghematan, (c) kayu yang telah diawetkan dapat menggantikan jenis kayu yang bernilai ekspor dan (d) dengan adanya industri pengawetan kayu memungkinkan kesempatan kerja, sehingga mencegah masalah pengangguran. Kayu karet yang sangat tidak awet dengan umur rata-rata 0.8 tahun dapat mencapai umur


(33)

17 rata-rata lebih dari dua puluh kali lipat jika diawetkan, kenyataan kayu jati sendiri rata-rata hanya berumur 7 tahun saja. Secara jelas bahwa dengan pengawetan yang baik, umur pakai kayu yang tidak awet dapat jauh melebihi umur kayu yang terkenal awet. Pernyataan tersebut didukung oleh Martawijaya (1972) dalam Adelina (1987) mengemukakan bahwa dengan pengawetan yang baik, maka keawetan kayu karet dapat diperpanjang hingga dapat melebihi keawetan kayu jati, bahkan dapat melebihi keawetan kayu kelas I. Metode pengawetan kayu dibedakan menjadi dua yaitu: a. Pengawetan kayu sederhana, meliputi: pelaburan dan penyemprotan, pencelupan,

rendaman (panas, panas dingin, dan dingin) atau difussi.

b. Pengawetan kayu khusus, meliputi: proses sel penuh (full cell process), proses sel kosong (empty cell process) dan proses tekanan uap.

Sedangkan menurut Tobing (1977) menggolongkan cara pengawetan atas empat golongan besar, yaitu:

a. Metode pengawetan tanpa tekanan, dimana kayu-kayu diawetkan secara pelaburan atau penyemprotan, pencelupan, rendaman panas, rendaman dingin dan rendaman panas dingin.

b. Metode pengawetan dengan tekanan, dimana kayu-kayu diawetkan dalam silinder tertutup dan diberi tekanan.

c. Metode diffusi, dimana kayu-kayu basah atau kayu segar diawetkan dengan bahan-bahan pengawet yang berkonsentrasi tinggi.

d. Metode cairan pengganti (sap replacement method), cara ini digunakan hanya untuk balok yang baru ditebang.

Metode pelaburan atau penyemprotan dilakukan dengan melaburkan atau menyemprotkan bahan pengawet kepermukaan kayu yang telah dikeringkan dan didiamkan dalam beberapa waktu. Pelaburan bahan pengawet dapat dilakukan dalam dua kali, akan tetapi pelaburan kedua dilakukan apabila pelaburan pertama telah mengering. Pelaburan atau penyemprotan akan lebih efektif apabila dilakukan pada permukaan tegak lurus serat kayu karena bahan pengawet akan meresap jauh lebih cepat dalam arah serat (longitudinal) dari pada melintang serat (radial atau tangensial) bahan pengawet yang digunakan umum digunakan adalah bahan pengawet larut minyak, kreosot dan ter-batubara.


(34)

18 Metode pencelupan dilakukan dengan mencelupkan kayu-kayu ke dalam larutan bahan pengawet selama beberapa menit, agar hasil lebih baik sebaiknya kayu-kayu tersebut dikeringkan terlebih dahulu. Cara ini lebih menguntungkan dari cara pelaburan karena penetrasinya lebih baik serta waktu kontak dengan bahan pengawet lebih lama. Berdasarkan syarat dari National Woodwork Manufactures Association, waktu yang diperlukan dalam pencelupan tidak kurang dari 3 menit.

Metode rendaman dilakukan dengan cara merendam kayu-kayu dalam tanki yang berisi bahan pengawet selama beberapa hari atau beberapa minggu. Umumnya lama perendaman maksimum 2 minggu. Absorbsi yang cepat terjadi dalam 2-3 hari pertama, setelah itu absorbsi berjalan sangat lambat. Karena absorbsi rendah maka konsentrasi bahan pengawet harus lebih tinggi dibanding untuk proses tekanan.

Metode rendaman dingin dilakukan dengan cara merendam kayu-kayu ke dalam larutan bahan pengawet selama beberapa hari atau beberapa minggu. Lebih dari separuh absorbsi terjadi pada hari pertama (24 jam pertama). Hasil percobaan terdahulu menunjukkan bahwa keberhasilan pengawetan ditentukan oleh retensi dan penetrasi bahan pengawet. Pada penelitian ini penembusan bahan pengawet (penetrasi) pada kayu karet diabaikan karena contoh uji kayu relatif kecil.Tata cara pengujian retensi dan penetrasi diatur sesuai dengan SNI-03-3233-1992 tentang tata cara pengawetan kayu dengan cara pemulasan, pencelupan dan rendaman. Retensi yang dipersyaratkan 8,4 kg/m³ (dibawah atap) dengan tingkat penetrasi 5 mm yang harus dipenuhi.

Metode rendaman panas dan dingin dikenal dengan nama thermal process dilakukan dengan cara kayu yang telah dikeringkan direndam dalam bahan pengawet panas, kemudian dilanjutkan ke dalam rendaman bahan pengawet dingin. Dalam melaksanakan proses ini ada beberapa cara, yaitu:

a. Memindahkan kayu-kayu yang telah direndam ke dalam bahan pengawet yang telah dipanaskan dalam tangki, dimana bahan pengawet relatif dingin.

b. Membuang bahan pengawet panas dan mengganti dengan bahan pengawet dingin c. Dengan menghentikan pemanasan dan membiarkan kayu serta bahan pengawet


(35)

19 Pemanasan berfungsi mengeluarkan udara dan air dari permukaan kayu sedang pendinginan menyebabkan udara dan uap air pada lapisan luar kayu menjadi mengkerut dengan sendirinya (semacam vakum). Hal ini disebabkan karena tekanan udara cenderung menekan bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Cara ini sebaiknya digunakan bahan pengawet larut minyak, karena suhu sangat berpengaruh terhadap penetrasi dan absorbsi.

Metode pengawetan dengan tekanan umumnya dilakukan dalam sebuah tabung silinder tertutup. Keuntungan dibandingkan dengan metode lain adalah:

a. Proses pengawetan dapat diatur dan dikontrol sehingga penetrasi dapat diatur sesuai keinginan sehingga penggunaan bahan pengawet lebih efesien.

b. Proses pengawetan relatif lebih cepat.

c. Retensi lebih besar serta penetrasi lebih dalam dan merata.

Kelemahan dari metode ini adalah memerlukan alat khusus, harganya relatif mahal sehingga investasinyapun relatif tinggi.

2.2.5. Bahan pengawet

Menurut Hunt dan Garratt (1986), bahan pengawet kayu adalah bahan-bahan dari persenyawaan kimia yang mempunyai daya racun terhadap jasad perusak kayu yang disebabkan faktor biologis. Sifat bahan pengawet adalah mudah tidaknya kayu dimasuki zat cair dan menjadikan kayu beracun terhadap organisme yang menyerangnya. Bahan-bahan pengawet ini dapat berupa senyawa kimia murni atau campuran dari senyawa-senyawa lain yang dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu: a. Bahan pengawet berupa minyak seperti kreosot, karbilineum.

b. Bahan pengawet larut minyak seperti pentachlorophenol, coppernathenate. c. Bahan pengawet larut air seperti asam borat dan garam-garam wolmanit.

Tobing (1977) menyatakan bahwa bahan pengawet dapat berupa senyawa tunggal ataupun ganda yang bersifat racun dan mempunyai sifat sebagai berikut: b. Bersifat racun terhadap organisme perusak kayu dan tidak bersifat korosif. c. Permanen dan tersedia dalam jumlah banyak.

d. Mempunyai daya penetrasi tinggi dan mudah dikontrol. e. Aman dalam pengangkutan dan penggunaan.


(36)

20 Oetomo (1980) dalam Sudharto (1983) menyatakan bahwa berdasarkan prinsip kerjanya, insektisida dapat digolongkan atas:

a. Racun perut (stomach poison), merusak bagian dalam tubuh serangga setelah masuk melalui mulut dan saluran makanannya, menembus dinding alat pencernaan. Misalnya senyawa arsenicum dan senyawa flour.

b. Racun kontak (contact poison), dapat membunuh serangga secara kontak langsung atau bersentuhan pada bagian luar dari salah satu bagian badan serangga. Bahan kimia yang termasuk golongan ini umumnya bekerja sebagai racun perut, kebanyakan berasal dari bahan organik, misalnya pyretrum (organik alami dari tumbuhan), DDT (organik sintetis) dan diazinon.

c. Racun nafas (fumigant), berupa gas atau uap yang bertindak sebagai racun yang masuk melalui lubang-lubang pernapasan, kemudian dinding-dindingnya menembus ke dalam jaringan badan. Misalnya gas asam cyanida (HCN), metil bromida, karbon sulfida, naphtalena (kapur barus) dan grammexane.

d. Bahan penolak (repellent), berupa bahan yang dapat mencegah atau menahan serangan terhadap tanaman, baunya menolak serangga. Misalnya bordoeux, minyak citrollena dan indalone.

e. Bahan pembujuk (attractant), merupakan bahan kimia yang dapat membangkitkan tanggapan positif sehingga serangga berusaha mendekati perangkap. Misalnya minyak esensial dan asam amino.

Hasan (1986) menyatakan bahwa dalam penanggulangan dan pencegahan rayap diperlukan insektisida yang mempunyai daya bunuh tinggi serta daya residu yang relatif lama, karena kekhususannya beberapa kalangan memberikan nama termitisida (termiticides) yang dipakai dalam pengendalian rayap. Selanjutnya dikatakan bahwa termitisida yang ideal dalam penanggulangan dan pencegahan rayap adalah: (a) efektif terhadap rayap dalam segala bentuknya, (b) racunnya bekerja sebagai racun kontak, racun lambung maupun racun pernapasan, (c) mempunyai daya residu tinggi, (d) tidak berbau dan harganya relatif murah.

2.2.6. Borax

Borax merupakan senyawa boron yang dapat digunakan sebagai herbisida, fungisida dan pengawet kayu, bentuk boron dalam air adalah asam borat. Sebagai


(37)

21 herbisida, asam borat akan mengganggu proses fotosintesis tumbuhan. Sebagai insektisida, asam borat merupakan racun perut serangga yang terdaftar tahun 1983 sebagai anti serangga. Senyawa borat dan asam borat merupakan golongan pengawet kayu yang dapat digunakan secara terpisah atau bersama-sama dengan unsur lain, bahan pengawet ini umumnya untuk pengawetan kayu dalam mengendalikan rayap kayu kering, rayap tanah, bubuk kayu kering dan pelapuk kayu.

Beberapa sifat menguntungkan dari bahan pengawet ini adalah: (a) berbentuk kristal dan mudah larut dalam air, tidak berbau sehingga aman dalam penggunaannya (b) formulasi dapat diatur dan bersifat racun bagi hama perusak kayu (c) kayu yang sudah diawetkan dapat difinishing dan kayu tetap bersih. Kelemahan dari senyawa borat dan asam borat sebagai bahan pengawet kayu adalah kurang tahan terhadap pelunturan, sehingga harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya dan tidak dianjurkan terhadap kayu yang berhubungan langsung dengan tanah, kondisi lembab atau basah (Primanto, 1992).

Sebelum digunakan bahan pengawet ini diformulasikan terlebih dahulu. Selanjutnya melarutkan bahan pengawet ke dalam air pada suhu 20 °C. Pelarutan dengan air panas dapat mempercepat proses ini, tetapi suhu air diatur tidak melebihi 62 °C untuk menghindari degradasi bahan aktif. Penggunaan air sebagai pelarut sangat menguntungkan karena hasil akhir kayu tetap bersih, mudah dalam penanganan, penggunaan dan pelaksanaan. Kayu yang sudah diawetkan masih dapat di finishing setelah kayu tersebut dikeringkan terlebih dahulu.

Jenis bahan pengawet yang dapat digunakan adalah bahan pengawet yang oleh Komisi Pestisida, Departemen Pertanian sudah diizinkan untuk diedarkan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 326/KPTS.270/4/94 tanggal 28 April 1994, perihal pencabutan pendaftaran dan izin pestisida yang berbahaya yang mengandung kaftofol atau senyawa arsen. Pelarangan ini dilakukan karena adanya pembuangan sisa arsenic dari kayu yang diproses dengan pengawetan yang berdampak pada gangguan kesehatan manusia. Contoh persyaratan bahan pengawet yang akan digunakan harus memenuhi salah satu komposisi bahan aktif yang diizinkan, tersaji dalam Tabel 7 dan 8.


(38)

22 Tabel 7. Golongan bahan pengawet

Golongan bahan pengawet Nama Sifat Keterangan Tembaga-Chrom-Arsen Tembaga-Chrom-Boron Boron-Flour-Crom-Arsen CCA CCB BFCA

J, S, TL J, S, AL J, S, AL

Tidak boleh digunakan Boleh digunakan Tidak boleh digunakan (Sumber: Barly dan Abdurrochim, 1996).

Keterangan:

J = Dapat menahan jamur TL = Tahan pelunturan S = Dapat mencegah serangga AL = Agak tahan pelunturan

Tabel 8. Golongan dan komposisi bahan pengawet yang diizinkan Golongan Komposisi bahan aktif (%) Bentuk/formulasi

CCB CuSO4.5H2O K2Cr2O7 H3BO3 33 37 25 Bubuk,

95% bahan aktif garam

(Sumber: Barly dan Abdurrochim, 1996)

2.3. Rayap

2.3.1. Sifat umum rayap

Findlay (1962) dalam Simanjutak (1991), menyatakan bahwa rayap hidup dengan mengambil makanan atau selulosa yang dicerna dengan pertolongan protozoa yang hidup dalam usus rayap. Selulosa yang dimakan merupakan hasil perombakan cendawan yang dipeliharanya. Menurut Supriana (1983) rayap tidak dapat hidup normal bila hanya tersedia selulosa murni sebagai makanan meskipun makanan utama rayap adalah selulosa. Serangga juga butuh gula, protein, vitamin A, B, C dan D dengan proses penghancuran makanan yang terjadi di usus belakang rayap. Menurut Nandika (1983), rayap mempunyai beberapa sifat penting dalam hidupnya yaitu:

a. Sifat trophalaksis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat dan mengadakan pertukaran bahan makanan.

b. Sifat kanibalisme, yaitu sifat rayap memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini terlihat bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.


(39)

23 c. Sifat cryptobiotik, yaitu sifat rayap menjahui cahaya, sifat ini tidak berlaku pada

rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama pereode yang pendek didalam hidupnya memerlukan cahaya.

d. Sifat necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.

Menurut Supriana (1983a), rayap memiliki kemampuan sangat terbatas untuk bertahan ditempat-tempat kering. Rayap mampu mengatur kondisi tubuhnya bila berada dalam lingkungan dengan kelembaban normal, sehingga rayap mampu bergerak jauh dari lingkungan dalam jangka waktu relatif lama.

Daya tahan terhadap kelembaban ini berbeda-beda menurut kasta rayap. Kasta pekerja lebih tahan dari pada kasta prajurit. Hal ini dapat dipahami bahwa rayap kasta prajurit hanya dapat hidup bila ada rayap pekerja yang menyediakan makanan. Sedangkan rayap pekerja dapat bertahan lebih lama karena mampu menyediakan makanan sebagai sumber energi bagi kehidupannya.

Keturunan rayap selalu hidup dalam satu kelompok yang disebut koloni dengan pola hidup sosial. Satu koloni terbentuk dari sepasang laron (alates) betina dan jantan yang memperoleh habitat dari bahan yang berselulosa untuk membentuk sarang utama. Bahkan lebih dari itu dengan ukuran dan populasinya yang sangat pesat rayap mampu menjangkau dan merusak beraneka ragam bahan yang menjadi kepentingan manusia seperti karton, kertas, kain dan plastik. Aktifitas jelajah merupakan bagian dari perilaku rayap untuk mencari sumber makanannya. Pada ruang terbuka aktifitas tersebut ditandai oleh pembentukan liang kembara rayap untuk melindungi aktifitasnya dari cahaya langsung.

Dalam setiap koloni rayap umumnya terdapat tiga kasta yang diberi nama menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta reproduktif (raja dan ratu), kasta prajurit dan kasta pekerja. Tarumingkeng (2000), menyatakan bahwa setiap koloni rayap terdapat tiga kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu:

a. Kasta reproduktif

Kasta reproduktif terdiri dari reproduktif primer dan sekunder. Kasta reproduktif primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya bertugas menghasilkan telur. Apabila rayap kasta reproduktif mati, sepasang rayap


(40)

24 kasta reproduktif sekunder akan menggantikannya. Pada masa persilangan (swarming), rayap kasta reproduktif akan terbang keluar sarang dalam jumlah besar yang merupakan. Masa persilangan merupakan masa perkawinan sepasang imago bertemu menanggalkan sayapnya kemudian mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni.

b. Kasta prajurit

Rayap dari kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang besar dan mempunyai mandibel yang kuat. Dalam koloni, rayap kasta prajurit bertugas untuk melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul selama siklus hidup koloni. Rayap kasta prajurit menyerang musuhnya dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Selain menggunakan mandibel untuk menyerang musuh, juga mengeluarkan cairan hasil sekresi kelenjar frontal atau kelenjar saliva melalui mulut.

c. Kasta pekerja

Rayap kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Setiap populasi dalam koloni rayap tidak kurang dari 80% populasi merupakan kelompok kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa. Kasta pekerja antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.

Aktifitas makan rayap pada suatu jenis kayu tergantung faktor luar yaitu jenis kayu. Pada tahap awal, komponen kimia kayu merangsang syaraf perasa olfactory rayap. Tahap berikutnya yang berperan adalah syaraf gustatory rayap yaitu, pada waktu rayap mulai makan. Kedua adalah tingkat ambang rasa rayap itu sendiri. Dengan demikian tingkat kesukaan makan rayap pada beberapa jenis kayu tergantung jenis-jenis kayu dan dan jenis rayap itu sendiri. Perbedaan sifat kayu dan ambang rasa rayap menimbulkan perbedaan aktifitas makan setiap jenis rayap pada berbagai jenis kayu (Supriana, 1983b).

Menurut Tarumingkeng (2000), kemampuan mendeteksi makanan dimungkinkan karena rayap dapat menerima setiap bau yang esensial bagi


(41)

25 kehidupannya melalui lubang-lubang tertentu yang terdapat pada rambut-rambut yang tumbuh diantenanya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi feromon itu sendiri. Feromon dapat menyebar ke luar tubuh dengan mempengaruhi individu lain yang sejenis.

Perilaku makan rayap di laboratorium dihadapkan pada satu pilihan atau keadaan tunggal (terpaksa). Pada tahap awal, rayap akan melakukan penyesuaian dengan lingkungan hidup yang disediakan. Pada tahap ini aktifitas rayap masih rendah. Rayap yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Rayap yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan yang disediakan akan melakukan orientasi makanan. Orientasi semacam ini dapat berlangsung secara acak atau karena pengaruh tertentu, misalnya jenis bau yang berasal dari makanan yang diberikan. Selanjutnya rayap akan mencoba mencicipi makanan yang diberikan dengan jalan menggigit bagian permukaan makanan, bila bagian tersebut tidak cocok rayap akan beralih ke bagian lain sampai ditemukan bagian yang sesuai dan memenuhi syarat sebagai makanan. Jika makanan sesuai, rayap akan meneruskan proses makannya, sebaliknya jika makanan tidak sesuai rayap akan meninggalkan makanannya dan memilih berpuasa (Supriana, 1983c).

2.3.2. Rayap tanah

Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren merupakan hama penting dan menyebabkan kerugian pada beberapa jenis kayu, khususnya kayu-kayu bangunan yang terpasang. Dari berbagai laporan menyebutkan bahwa jenis rayap C.

Curvignathus ini merupakan jenis rayap yang paling ganas dan paling luas

serangannya di berbagai daerah di Indonesia (Nandika, 1983). Adapun klasifikasi jenis rayap ini adalah sebagai berikut:

Kelas : Insecta

Ordo : Isoptera

Famili : Rhinotermitidae

Sub Famili : Coptotermitinae

Genus : Coptotermes.


(42)

26 Harris (1971) menyatakan bahwa rayap dari genus Coptotermes ditemukan sekitar 45 spesies menyerang perkebunan karet yang sehat dan jika dibiarkan dapat mengakibatkan kerusakan yang fatal dalam 3-4 minggu. Nilai kerugian akibat serangan rayap pada tanaman karet belum diketahui, tetapi cukup banyak menyebabkan kematian terutama pada tanaman karet yang masih muda yang berumur satu sampai dua tahun. Menurut Ronwall (1978) C. curvignathus merupakan satu-satunya spesies rayap yang menyerang tanaman karet yang masih hidup di Indonesia dan Malaysia. Selain itu rayap menyerang tanaman buah jeruk serangannya tidak hanya menyerang kayu bangunan, tetapi menyerang pohon yang masih hidup (Gambar 2).

Gambar 2. Serangan rayap tanah pada pohon yang masih hidup

Rayap tanah merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Hal tersebut dikaitkan dengan aktifitas makan rayap yang memiliki daya cerna selulosa yang cukup tinggi diimbangi dengan tingginya populasi flagelata di usus dengan rata-rata 4.682 ekor flagelata per rayap dengan jarak jelajah yang dapat ditempuh oleh rayap tanah dalam mencari makanannya sampai 480 meter (Nandika dan Adijuwana, 1995).

Menurut Kalshoven (1960) dalam Rudi (1999), Coptotermes termasuk jenis rayap yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap keadaan berbeda dengan habitat sebelumnya. Bila habitat aslinya diganggu karena diubah menjadi hutan tanaman, maka koloni-koloni rayap akan mempertahankan hidupnya dengan mempergunakan sisa-sisa kayu sebagai makanannya. Bahkan rayap ini dapat berubah menjadi rayap rumah bila wilayah jelajahnya diubah menjadi pemukiman.


(43)

27 Rayap pekerja dan rayap prajurit berbeda dengan ratu yang berfungsi sebagai penghasil keturunan, rayap pekerja dan prajurit tidak menghasilkan keturunan. Keduanya mencapai dewasa dalam kurun waktu setahun dan mampu hidup selama lebih kurang 5 tahun. Secara khusus apabila dibandingkan dengan rayap prajurit, rayap pekerja lebih membutuhkan kelembaban tertentu untuk dapat terus survive selama hidupnya (Tarumingkeng, 1992 dan Pearce, 1997).

Sebanyak kurang lebih 300 spesies rayap dari seluruh spesies rayap yang tersebar di dunia sebagai hama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai spesies tanaman perkebunan, kehutanan dan pertanian. Di Indonesia sendiri diduga terdapat 20 spesies rayap yang dikenal sebagai hama penting pada tanaman perkebunan dan kehutanan. Nandika (1996) menyatakan terjadinya serangan rayap pada bangunan gedung sangat dipengaruhi oleh kondisi bio-fisik pada bangunan itu sendiri. Hal ini jelas terkait dengan keragaman jenis dan kerentanan (succeptability) bangunan, baik dari segi desain, maupun pemeliharaannya.

Menurut Dizon (1983) terdapat tiga jalan utama, sehingga rayap dapat masuk ke dalam rumah yaitu: (1) menyerang langsung kayu yang berhubungan dengan tanah, (2) melaui retakan-retakan dan celah-celah plesteran, pondasi dinding tembok, dan (3) membangun pipa-pipa perlindungan di atas bahan-bahan yang tidak dapat ditembus untuk mencapai sasaran. Menurut Pearce (1997) pada berbagai jenis tanaman, rayap tanah menyerang dengan cara, (1) masuk melalui akar dan pangkal batang tanaman, (2) masuk melalui polong di dalam tanah pada tanaman kacang-kacangan, dan (3) masuk melalui akar-akar pada tanaman ubi jalar. Siklus hidup rayap tersaji pada Gambar 3.

(Sumber: Nandika et al. 1996) Gambar 3. Siklus hidup rayap


(44)

28

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2009 sampai dengan bulan Juli 2009. Laboratorium Pengujian Hasil Hutan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor) untuk pengujian asap cair. Laboratorium Biomaterial dan Biodeteriorasi Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSDHB) IPB untuk pengujian rayap tanah Coptotermes curvignathus.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan adalah kayu karet yang berasal dari Subang-Jawa Barat dengan diameter kayu rata-rata 30-40 cm dengan umur tebang 25 tahun. Kayu tersebut dipotong-potong menjadi bagian kecil dengan ukuran 2.5 x 2.5 x 0.5 cm yang diambil secara acak dari seluruh batang. Bahan pengawet yang digunakan adalah asap cair tempurung kelapa yang diperoleh dari industri kecil arang tempurung kelapa di Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea-Bogor.

Bahan kimia yang digunakan adalah asap cair, aquadest, NaOH 1%, NaOH 0.2 N, Phenol Phthalien (PP), Sindur Methyl (SM), H2SO4 0.2 N, bromat bromida 0.2 N, asam klorida (HCL), Kalium Iodida (KI) 15%, Thiosulfat Na2S2O3 0.1 N, Asam asetat. Organisme penguji yang digunakan adalah rayap tanah dari kasta pekerja, dalam kondisi aktif dan sehat diperoleh dari (PPSDHB) IPB.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Gas

Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS) Shimadzu QP2010, penggaris,

gergaji, timbangan digital, oven, botol uji, tabung erlenmeyer, alumunium foil dan gelas ukur.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Tahap I: Identifikasi komponen asap cair

Asap cair diperoleh dari industri kecil arang tempurung kelapa di desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea Bogor. Bahan baku tempurung kelapa diperoleh dari pedagang kelapa dibeberapa pasar di wilayah Bogor. Asap cair


(45)

29 dihasilkan dari proses kondensasi asap pada proses pengarangan. Metode kondensasi ini dilakukan dengan menggunakan drum pembakaran yang berfungsi sebagai tempat pembakaran tempurung kelapa untuk menghasilkan asap. Asap ini ditangkap oleh sungkup dari alat penyuling untuk selanjutnya disalurkan melalui kondensor. Kemudian asap ini dikondensasikan pada kondensor dengan menggunakan media pendingin air. Selanjutnya dari proses tersebut keluar cairan berwarna coklat tua sampai hitam yang disebut asap cair (liquid smoke).

Asap cair yang dihasilkan selanjutnya diidentifikasi komponen-komponen kimianya dengan menggunakan alat GCMS untuk mengetahui senyawa aktif di dalam asap cair seperti kadar asiditas dan kadar fenol. Salah satu komponen asap cair adalah asam organik yang mudah menguap akan mempengaruhi komponen kimia yang dihasilkan. Bila penyimpanan kurang baik, kadarnya cepat berkurang sehingga bila akan digunakan harus ditentukan kadarnya. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian penggunaan asap cair sebagai bahan pengawet kayu diambil pada hari pertama setelah keluarnya asap cair.

Komponen-komponen kimia asap cair memiliki senyawa toksik yang didifinisikan sebagai efek beracun yang ditimbulkan oleh suatu zat pada organisme yang menjadi sasaran. Informasi yang didapat dipergunakan untuk mengetahui kemampuan asap cair dalam menghambat perkembangan hama perusak kayu.

Preparasi sampel (analisis GCMS)

Asap cair sebanyak 30 ml dimasukkan dalam labu terpisah, kemudian ditambahkan 10 ml dichloromethane lalu dikocok sebentar. Sampel didiamkan selama 1 jam dan diambil fraksi bagian bawah ke dalam erlenmeyer. Tambahkan lagi 10 ml dichloromethane lalu dikocok dan didiamkan selama 1 jam. Selanjutnya diambil fraksi bagian bawah dan ditambahkan dengan yang pertama. Saring dengan kertas Whatman 42 dengan ditambahkan Na2SO4 hasil saringan siap diinjeksikan. Kondisi Pengoperasian GCMS (QP2010)

GCMS-QP2010 dioptimalkan pada suhu oven 100 ºC yang dipertahankan selama 2 menit, suhu kemudian ditingkatkan menjadi 200 ºC dengan kenaikan 30


(46)

30 ºC/menit dan dipertahankan selama 2 menit, suhu ditingkatkan lagi menjadi 300 ºC dengan kenaikan suhu 20 ºC/menit dan dipertahankan selama 20 menit. Suhu pada sumber ion disetel pada 230 ºC sedangkan suhu injector diset pada 260 ºC. Pada analisa ini digunakan gas helium yang memiliki kemurnian 99.99% dengan tekanan gas 75.0 kPa. Sampel diinjeksikan dalam kromatografi gas sebanyak 1 µL, dianalisis dari berat molekul 50.00 sampai 500.00 dalam waktu 3 sampai 32.33 menit (Modifikasi dari Guillen and Ibargoita, 1999). Diagram alir identifikasi komponen kimia asap cair tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4.Diagram alir identifikasi komponen kimia asap cair a. Kadar asiditas–Metode (AOAC, 1990).

Prinsip: Penentuan keasaman didasarkan atas titrasi contoh dengan larutan standar basa kuat dengan adanya Phenol Phthalien (PP)

Cara kerja:

Sampel cair (asap cair), dipipet 50 ml contoh ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 500 ml aquadest lalu dikocok hingga homogen, kemudian tambahkan 3 tetes indikator Phenol Phthalien (PP). Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0.02 N sampai berwarna merah muda.

Identifikasi komponen kimia (kadar asiditas dan kadar fenol)

Tempurung kelapa

Pembakaran/pirolisis

Asap

Kondensasi

Asap cair


(47)

31 ppm asiditas = Volume x N NaOH x bobot setara CH3COOH x 1000 x Fp

ml contoh Dimana: Bobot setara CH3COOH = 60

Fp = Faktor pengenceran b. Kadar fenol-Metode (AOAC, 1990).

Prinsip: Penetapan kadar fenol total yang terdapat dalam asap cair dioksidasi oleh bromat bromida dan selanjutnya dititrasidengan Na2S2O3 (Thio).

Cara kerja:

Timbang sebanyak 0.5-0.6 gram sampel, lalu dimasukkan dalam labu (ukuran 250 ml). Kemudian tambahkan 5 ml larutan NaOH 0.2 N, dan encerkan dengan 30 ml aquadest sampai tanda tera. Dari larutan tersebut dipipet 25 ml dan masukkan ke dalam erlenmeyer (ukuran 300 ml), lalu ditambah (pipet) 25 ml bromat bromida 0.2 N, 50 ml aquadest; 5 ml HCL pekat, (goyang 1 menit) agar homogen. Tambahkan 5 ml larutan Kalium Iodida 15% (goyang 1 menit) dan 5 tetes amilum (indikator) goyang 1 menit. Selanjutnya titrasi dengan larutan (Na2S2O3) 0.1 N (a ml) sebagai indikator, sampai terjadi perubahan warna menjadi bening. Dilakukan juga terhadap blanko, yaitu dengan menggunakan prosedur diatas tetapi tidak menggunakan sampel (b ml) titrasi sampai bening.

Kadar fenol = [(b-a) x N Thio x BM Fenol/Fp 6 x 1000] 0.1 x berat contoh

Dimana: a = ml Thio 0.1 N untuk titrasi contoh b = ml Thio 0.1 N untuk titrasi blanko BM fenol = 94

Fp = Faktor pengenceran

6 = Jumlah atom brom yang dipakai pada proses bromisasi 5-30 menit

3.3.2. Tahap II: Pengaruh konsentrasi bahan pengawet

Pada tahap ini dilakukanpembuatan contoh uji kayu karet dengan ukuran 2.5 cm x 2.5 cm x 0.5 cm (Komisi Pestisida Departemen Pertanian, 1995). Kayu yang


(48)

32 akan diawetkan harus dalam keadaan kering udara, yaitu kadar air maksimal 15% untuk proses rendaman dingin. Kayu yang akan diawetkan dimasukkan ke dalam botol gelas yang berisi bahan pengawet dan palang penahan agar supaya contoh uji tidak terapung. Contoh uji yang akan diawetkan dipilih 3 sampel kayu yang mewakili seluruh contoh uji untuk mengukur kadar air kayu. Pengukuran kadar air menggunakan oven (metode gravimetri) pada metode ini contoh uji kayu yang telah dibuat ditimbang dan kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 100±3 ºC sampai mencapai berat konstan. Kadar air kayu dihitung berdasarkan selisih berat kayu awal dan akhir sesudah kering oven.

Pengawetan kayu dilakukan dengan cara merendam contoh uji kayu ke dalam larutan bahan pengawet pada konsentrasi yang telah ditetapkan selama 24 jam. Perpanjangan pereode rendaman dingin satu sampai tujuh hari pada pengawetan kayu sengon dengan menggunakan asam borat tidak menyebabkan kenaikan jumlah retensi (Martawijaya dan Barley, 1982). Pencampuran borax dan asam borat dengan perbandingan 1.54 bagian borax dan 1 bagian asam borat. Konsentrasi larutan dinyatakan dalam satuan persentase berdasarkan perhitungan berat bahan aktif dibagi berat larutan. Seperti contoh bila berat bahan pengawet borax 4% sama dengan 4 gram bahan untuk 100 gram larutan atau setiap 4 gram bahan ditambahkan 96 ml air. Penentuan konsentrasi ini berdasarkan (Petunjuk Teknis Pengawetan Kayu, 1996).

Contoh uji tersebut dibuat perlakuan bahan pengawet dengan konsentrasi asap cair 10%, 20%, 30% dan bahan pengawet borax 2%, 4% dan 6%. Selain itu ada kontrol untuk mengetahui respon bahan pengawet tanpa perlakuan. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Kebutuhan bahan pengawet yang diperlukan untuk membuat zat terlarut pada asap cair sebesar 720 ml dan bahan pengawet borax sebesar 144 gram pada berbagai konsentrasi perlakuan bahan pengawet. Pelarut yang digunakan untuk membuat konsentrasi larutan adalah aquades sebesar 1.312 ml. Konsentrasi larutan (bahan pengawet), yang telah disiapkan digunakan untuk merendam contoh uji kayu karet sebanyak 48 buah.

Setelah diawetkan contoh uji yang telah diberi perlakuan tersebut dikering-anginkan pada suhu ruang sampai mencapai berat konstan. Untuk mencapai berat


(1)

57 kehilangan beratnya, maka semakin rendah ketahanan kayu. Rata-rata kehilangan berat dan kelas awet kayu pada contoh uji kayu karet tersaji pada Tabel 16.

Tabel 16. Rata-rata kehilangan berat dan kelas awet kayu pada contoh uji kayu karet

Borax

B1(0%) B2(10%) B3(20%) B4(30%) KB (mg) KA KB (mg) KA KB (mg) KA KB (mg) KA 0% 170.83±16.86 V 121.36±13.07 V 94.00±13.55 IV 74.40± 18.36 III 2% 63.86±20.57 III 50.30±3.10 II 40.86±1.52 II 37.10 ± 0.20 II 4% 32.40±7.43 II 29.73±0.31 II 25.06±5.82 I 20.26 ± 2.25 I 6% 22.83±1.70 I 20.40±1.15 I 15.33±2.56 I 10.30 ± 2.35 I Keterangan: KB = Kehilangan berat

KA = Kelas awet

Hasil pengukuran dan pengamatan pada akhir pengujian contoh uji kayu pada penambahan borax 0% asap cair B1(0%) dan B2(10%) tidak menujukkan adanya perubahan kelas awet karena rata-rata kehilangan berat contoh uji lebih dari 100 mg yang termasuk kategori sangat tidak awet. Menurut Martawijaya et al. (1989) kayu karet termasuk kelas awet V yang menurut umur pakai dapat digunakan < 1.5 tahun. Sedangkan pada asap cair B3(20%) dan B4(30%) menunjukkan peningkatan rata-rata kehilangan berat sebesar 94.00 mg untuk kelas awet IV dan 74.40 mg kelas awet III.

Pada penambahan borax 2% asap cair B1(0%) tidak menunjukkan adanya perubahan kelas awet, namun pada penambahan asap cair B2(10%), B3(20%) dan B4(30%) kelas awet III meningkat menjadi kelas II (awet). Berdasarkan klasifikasi ketahanan kayu termasuk kategori tahan (resistant) dapat bertahan 5-8 tahun.

Pada penambahan borax 4% asap cair B1(0%) dan B2(10%) terlihat tidak menunjukkan adanya perbedaan kelas awet tetapi apabila konsentrasi asap cair ditingkatkan menjadi B3(20%) dan B4(30%) kelas awet meningkat dari kelas II. menjadi kelas I termasuk kategori sangat tahan (Highly resistant). Kelas ketahanan kayu terus meningkat seiring dengan penurunan kehilangan berat contoh uji kayu yang dapat dilihat pada konsentrasi borax 6% dengan berbagai kombinasi perlakuan


(2)

58 bahan pengawet. Ternyata penggunaan asap cair mampu meningkatkan daya efektifitas yang tinggi dari kelas awet V (kontrol) menjadi kelas I (sangat awet). 4.2.5. Derajat proteksi

Kemampuan bahan pengawet asap cair untuk mencegah serangan rayap tanah dapat dinyatakan dalam nilai derajat proteksi. Rata-rata derajat proteksi contoh uji kayu karet dapat dilihat pada Tabel 17. Semakin tinggi rata-rata derajat proteksi, semakin baik kemampuan bahan pengawet tersebut mencegah serangan rayap tanah. Penilaian derajat proteksi menggunakan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida (1995) dengan pemberian nilai skor 0 sampai 100. Data pengukuran derajat proteksi pada contoh uji kayu karet disajikan pada Lampiran 6.

Perhitungan sidik ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa rata-rata derajat proteksi akibat kombinasi antara konsentrasi asap cair dan borax menunjukkan adanya beda yang nyata. Interaksi antara borax dan asap cair memberikan pengaruh nyata terhadap derajat proteksi. Untuk melihat kombinasi perlakuan mana saja yang menunjukkan beda yang nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji berganda Duncan (Lampiran 16).

Tabel 17. Rata-rata derajat proteksi pada contoh uji kayu karet

Borax

Rata-rata derajat proteksi pada berbagai konsentrasi asap cair B1(0%) B2(10%) B3(20%) B4(30%) 0% 40 ± 0.00 c 70 ± 0.00 b 83.3 ± 11.55 a 90 ± 0.00 a 2% 90 ± 0.00 b 90 ± 0.00 b 93.3 ± 5.77 ab 100 ± 0.00 a 4% 100 ± 0.00 a 100 ± 0.00 a 100 ± 0.00 a 100 ± 0.00 a 6% 100 ± 0.00 a 100 ± 0.00 a 100 ± 0.00 a 100 ± 0.00 a

Keterangan: huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 17 penambahan borax sebesar 0% rata-rata derajat proteksi terlihat bahwa asap cair B4(30%) menunjukkan rata-rata derajat proteksi tertinggi sebesar 90 dan asap cair B1(0%) menunjukkan rata-rata derajat proteksi terendah sebesar 40. Dengan menggunakan uji Duncan, rata-rata derajat proteksi untuk asap


(3)

59 cair B4(30%) tidak menunjukkan beda yang nyata dengan asap cair B3(20%) tetapi berbeda nyata dengan asap cair B2(10%) dan B1(0%). Semakin tinggi konsentrasi asap cair maka rata-rata derajat proteksi semakin besar sehingga kemampuan rayap untuk mengkonsumsi contoh uji semakin berkurang. Kerusakan contoh uji terbesar ditandai dengan adanya serangan berupa saluran-saluran yang dalam dan lebar dengan nilai rata-rata derajat proteksi sebesar 40 dengan nilai terkecil. Sedangkan kerusakan contoh uji terkecil ditandai dengan adanya serangan sedikit nyata dipermukaan berupa saluran-saluran tidak dalam dan tidak lebar dengan nilai rata-rata derajat proteksi sebesar 90 dengan nilai terbesar. Semakin tinggi nilai derajat proteksi semakin baik ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah. Kerusakan contoh uji pada penambahan borax 0% tersaji pada Gambar 10.

Pada penambahan borax sebesar 2% rata-rata derajat proteksi akibat pemberian asap cair dengan berbagai konsentrasi terlihat bahwa asap cair B4(30%) menunjukkan derajat proteksi tertinggi sebesar 100 dan asap cair B1(0%) dan B2(10%) menunjukkan derajat proteksi terendah sebesar 90. Dengan menggunakan uji Duncan, rata-rata derajat proteksi B4(30%) tidak menunjukkan adanya beda yang nyata terhadap perlakuan asap cair B3(20%) tetapi menunjukkan beda yang nyata terhadap asap cair B1(0%) maupun B2(10%). Ternyata kombinasi perlakuan asap cair B4(30%) telah menunjukkan rata-rata derajat proteksi paling baik sebesar 100 dibanding dengan tiga perlakuan lainnya sehingga kerusakan kayu yang diakibatkan oleh rayap juga semakin ringan. Kerusakan contoh uji pada penambahan borax 2% tersaji padaGambar 11.


(4)

60 Pada penambahan borax sebesar 4% atau 6% rata-rata derajat proteksi yang disebabkan oleh pemberian asap cair dengan berbagai konsentrasi menunjukkan kinerja yang efektif dan maksimal yaitu 100. Berapapun konsentrasi asap cair yang diberikan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap derajat proteksi yang ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13 (contoh uji tidak terdapat kerusakan).

Gambar 12. Penambahan borax 4% Gambar 13. Penambahan borax 6% Pada Gambar 12 dan 13 tampak bahwa perlakuan kombinasi bahan pengawet asap cair dan borax dapat meningkatkan derajat proteksi paling baik yang merupakan parameter mutu pada suatu jenis kayu. Rata-rata derajat proteksi terhadap konsentrasi asap cair tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14. Grafik rata-rata derajat proteksi terhadap konsentrasi asap cair

Derajat p

ro

tek

si

0 20 40 60 80 100

B1(0%) B2(10%) B3(20%) B4(30%)

Konsentrasi asap cair

Borax 0% Borax 2% Borax 4% Borax 6%


(5)

61 Berdasarkan Grafik 14 penambahan borax 0% pada berbagai konsentrasi memiliki rata-rata derajat proteksi terendah dengan kerusakan tertinggi apabila dibanding dengan penambahan borax 2%, 4% dan 6%. Namun apabila dilihat lagi secara jelas penggunaan asap cair pada berbagai konsentrasi menunjukkan adanya peningkatan rata-rata derajat proteksi secara signifikan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi asap cair. Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi asap cair yang diberikan maka semakin ringan serangannya dan semakin sedikit pula kehilangan berat yang membuat keadaan kayu semakin awet.

Semua jenis rayap makan kayu dengan bahan berselulosa, tetapi perilaku makan (feeding behavior) jenis rayap bermacam-macam. Hampir semua jenis kayu potensial untuk dimakan rayap, dan rayap hanya bisa hidup jika mereka berada dalam masyarakatnya (koloninya) karena di dalam koloninya terdapat bahan-bahan dan proses-proses yang dapat menjamin kelanjutan hidupnya. Hasil pengamatan di laboratorium kerusakan contoh uji kayu karet banyak ditemukan pada bagian dasar kayu. Sifat ini dimiliki rayap untuk melindungi diri dengan menjahui cahaya pada pola aktifitas makannya. Daya tarik rayap terhadap contoh uji yang telah dipaparkan menunjukkan adanya serangan rayap tanah terjadi pada hari ke-tiga setelah pemaparan yang ditandai dengan adanya bekas gigitan pada bagian tengah contoh uji (Gambar 15). Serangan semakin hebat memasuki minggu ke-dua, dimana sebagian besar contoh uji telah tertutup tanah (Gambar 16). Sampai minggu ke-tiga pada sebagian rayap masih menunjukkan aktifitas makan yang terlihat adanya gigitan berupa tunel-tunel kayu yang menyebar pada seluruh permukaan contoh uji.


(6)

62 Contoh uji yang telah diberi perlakuan asap cair memiliki sifat racun yang bekerja lambat sehingga rayap yang mengkonsumsinya tidak langsung menunjukkan gejala kematian. Namun apabila racun ini masuk ke dalam tubuh rayap akan mengganggu proses metabolisme pada sel-sel yang berada pada tubuh rayap dengan demikian secara perlahan-lahan rayap akan mengalami kematian. Melihat hasil pengamatan yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa asap cair efektif dalam pencegah serangan rayap tanah yang ramah lingkungan (biodegradable) karena bahan bakunya berasal dari limbah sumber daya lokal (local content) menggantikan bahan kimia yang selama ini umum digunakan. Formasi dari kedua bahan pengawet tersebut akan dapat menyumbangkan teknik yang sangat baik untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap rayap tanah.