Kajian Empiris TINJAUAN PUSTAKA

22 determinan pertumbuhan adalah: A A ..............................................................5 Residu ini sering disebut dengan residu Solow. Perubahan seringkali muncul karena berkembangnya ilmu pengetahuan tentang metode produksi dan sering digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi. Pendidikan dan Peraturan Pemerintah juga dapat mempengaruhi produktivitas faktor total. Produktivitas faktor total mencakup apapun yang mengubah hubungan antara input dan output.

2.3. Kajian Empiris

2.3.1. Studi Terkait dengan Pendidikan, Kesehatan dan Kemiskinan

Penurunan angka kematian adalah hal yang sangat diperlukan sebagai prasyarat untuk pertumbuhan ekonomi modern. Dua aspek penting dalam proses pertumbuhan ekonomi adalah menurunnya angka kematian dan peningkatan investasi human capital Kuznets, 1973. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ozcan et al. 2000 yang menjelaskan pengaruh turunnya tingkat kematian bayi akibat adanya investasi pendidikan dan kenaikan tingkat harapan hidup yang disebabkan adanya investasi human capital. Turunnya angka kematian bayi membuat kenaikan secara signifikan dalam pendidikan dan konsumsi. Jadi, turunnya angka kematian bayi dan naiknya investasi pendidikan merupakan dua aspek penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Studi yang memperlihatkan hubungan statistik antara pencapaian pendidikan dan pendapatan nasional per kapita dilakukan oleh Harbison dan Myers 1964 yang menyimpulkan adanya korelasi yang tinggi antara indeks 23 komposit pembangunan manusia dengan PDB per kapita sebesar 0.89. Namun demikian, studi ini tidak berhasil membuktikan hubungan kausalitas antara keduanya. Menurut Peaslee 1967, berdasarkan data historis memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi berkesinambungan tidak tercapai di beberapa negara sampel sebelum 10 persen penduduknya terdaftar di sekolah dasar. Demikian juga studi tentang pembangunan Amerika Latin, Ramos 1970 membuktikan bahwa pertumbuhan yang cepat dalam perusahaan industri dari tahun 1960 sampai 1970 disebabkan oleh perbaikan yang penting dalam kualitas angkatan kerja. Penurunan kesempatan kerja manufakturing yang bertumpu pada keterampilan tradisional tenaga kerja tidak terampil, serta kenaikan kesempatan kerja di sektor yang padat keterampilan. Pentingnya pendidikan dapat juga dibuktikan pada tingkat mikro dengan menganalisis perbedaan penghasilan. Menurut Hinchliffe 1975, penghasilan bertambah dengan cepat dengan meningkatnya tingkat pendidikan yang dicapai, terutama di negara-negara sedang berkembang. Penghasilan golongan berpendidikan lebih besar daripada penghasilan golongan tidak berpendidikan. Penelitian ini didukung oleh Mazumdar dan Ahmed 1978 dan Psacharopoulus 1977. Menurut Dore et al. 1976, terdapat kesenjangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja berpendidikan. Penyebab dari kesenjangan ini adalah besarnya laju pertumbuhan sektor modern, pertumbuhan penduduk, dan tingkat pendaftaran murid sekolah. Tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan berpendidikan di Sri Lanka dan Filipina, karena sangat rendahnya nilai nisbah 24 akomodasi. Nisbah akomodasi adalah banyaknya lowongan pekerjaan sektor modern dibanding dengan banyaknya tenaga kerja berpendidikan sekolah lanjutan atau tinggi yang memasuki pasar tenaga kerja. Sektor modern meliputi semua pekerjaan profesional, teknik, administratif dan manajerial semua pekerja gajian dan pekerja upahan di sektor non pertanian. Sebaliknya negara seperti Kuwait diperkirakan akan mengalami kekurangan pekerja berpendidikan, karena pertumbuhan yang luar biasa di sektor modern di saat sektor pendidikan relatif masih tertinggal. Di sisi lain Korea Selatan mencatat bahwa lapangan kerja sektor modern tumbuh dengan cepat dan sistem pendidikan berkembang dengan baik. Hasil penelitian Siregar 2007, dengan menggunakan analisis ekonometrika tentang dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan, menggunakan data panel, gabungan data series tahun 1995-2005 dan cross section 26 provinsi di Indonesia menyimpulkan bahwa: 1 pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude-nya relatif tidak besar, 2 inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh relatif kecil, 3 peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan, 4 variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa: 1 permasalahan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata dengan mengharapkan terjadinya efek menetes ke bawah trickle down effect , 2 pertumbuhan ekonomi memang merupakan syarat keharusan necessary condition untuk mengurangi kemiskinan. Syarat kecukupannya 25 sufficient condition, misalnya: laju inflasi serta laju populasi penduduk yang terkendali, industrialisasi pertanianperdesaan yang tepat, modal manusia yang relatif cepat harus dipenuhi Siregar, 2007. Variabel pendidikan berpengaruh negatif terhadap jumlah orang miskin. Dampak terbesar diperlihatkan oleh tingkat pendidikan sekolah menengah pertama SMP, lebih besar daripada dampak share sektor industri dalam menurunkan kemiskinan. Kebijakan pemerintah yang menetapkan wajib belajar sembilan tahun harus dilanjutkan dan diperluas cakupannya hingga menjangkau masyarakat miskin yang lebih luas terutama di perdesaan. Pendidikan SMA dan diploma juga memiliki besaran pengaruh yang relatif besar dalam mengurangi kemiskinan. Dummy krisis berpengaruh positif terhadap jumlah orang miskin. Terjadinya krisis memperlihatkan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jumlah orang miskin, karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Tingginya inflasi saat krisis berdampak menurunkan daya beli masyarakat. Besarnya magnitude pengaruh krisis terhadap kemiskinan yang bersifat persisten merupakan salah satu dampak buruk yang ditimbulkan. Kemiskinan berkorelasi negatif dan signifikan dengan keputusan keluarga untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah. Kebutuhan bersekolah merupakan cara yang efektif untuk mengurangi fenomena tenaga kerja anak Canagarajah dan Coulombe, 1997. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana kemiskinan merupakan alasan utama bagi anak-anak untuk keluar dari sekolah, seperti penelitian yang dilakukan oleh Suryahadi et al. 2005, bahwa sekitar 95 persen anak-anak yang keluar dari sekolah terjadi pada tingkat 26 pendidikan dasar. Dimana 50-80 persen anak yang keluar dari sekolah memiliki alasan biaya. Alasan lainnya adalah membantu orang tua bekerja, sebesar 8 sampai 17 persen. Ada kecenderungan bahwa keperluan untuk membantu orang tua bekerja lebih disebabkan karena parahnya kemiskinan. Suryahadi et al. 2005, menemukan bahwa terdapat hubungan antara tenaga kerja anak dan kemiskinan, seperti yang terjadi di negara-negara lain. Profil tenaga kerja anak mencerminkan profil kemiskinan, dan kemiskinan merupakan faktor penentu yang menyebabkan anak bekerja. Tenaga kerja anak maupun kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena yang banyak terjadi di perdesaan dan sektor pertanian, seperti terlihat dalam Tabel 6. Keduanya berhubungan erat dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga. Tabel 6. Kejadian dan Distribusi Anak Bekerja di Perdesaan dan Perkotaan Indonesia, Tahun 1998 dan 1999 1998 1999 Lokasi Distribusi tenaga kerja anak Distribusi tenaga kerja anak Perkotaan 8.84 6.80 Perdesaan 91.16 93.20 Jumlah 100.00 100.00 N orang 713 647 Keterangan: N dalam kolom kejadian tenaga kerja anak merupakan jumlah sampel anak-anak, sedangkan N dalam distribusi tenaga kerja anak menunjukkan jumlah anak-anak yang bekerja. Data ini merupakan hasil survei 100 desa Sumber: Suryahadi et al. 2005 Penemuan ini mendukung dugaan bahwa terdapat siklus yang buruk antara kemiskinan dan tenaga kerja anak. Bekerja merupakan penghambat bagi anak- anak untuk bersekolah, maka pekerja anak memiliki kemungkinan yang lebih tinggi menjadi individu yang tidak berpendidikan dan selanjutnya memiliki peluang yang lebih besar untuk tetap miskin dan pekerja anak laki-laki ternyata lebih besar dibanding pekerja anak perempuan. Setelah diketahui bahwa fenomena tenaga kerja anak berhubungan erat dengan kemiskinan, 27 kebijakan yang paling efektif untuk mengurangi tenaga kerja anak adalah melalui upaya pengurangan atau pengentasan kemiskinan. Menurut Pradhan et al. 2000, dibandingkan dengan sektor lain pertanian merupakan sektor yang menunjukkan tingkat kemiskinan tertinggi. Pada tahun 1999, kemiskinan di Indonesia banyak terjadi pada keluarga yang kepala rumahtangganya bekerja di sektor pertanian. Sekitar 60 persen dari keluarga miskin berasal dari keluarga yang kepala rumahtangganya bekerja di sektor pertanian. 2.3.2. Studi Terkait dengan Produktivitas Tenaga Kerja Layard dan Saigal 1966 menjelaskan hubungan antara produktivitas per pekerja dengan struktur pendidikan dan jenis pekerjaan dari angkatan kerja. Dari hasil regresi yang menghubungkan produktivitas per pekerja dengan tingkat pendidikan, menghasilkan elastisitas 0.9 bagi pendidikan tinggi dan sekolah lanjutan serta bagi pendidikan sekolah dasar 0.75. Regresi serupa menghubungkan produktivitas per pekerja dengan jenis pekerjaan menghasilkan elastisitas 0.5 bagi profesional dan tata usaha, 0.6 bagi jenis pekerjaan administrasi dan 0.2 bagi jenis pekerjaan penjualan. Layard dan Saigal 1966 menggolongkan negara-negara berproduktivitas tinggi produktivitas per tahun per pekerja lebih dari US 1 500 menurut harga- harga tahun 1960, lebih dari 90 persen angkatan kerjanya menamatkan pendidikan sekolah dasar dan hampir 10 persen tergolong profesional atau ahli tehnik. Negara yang berproduktivitas rendah produktivitas per tahun per pekerja kurang dari US 700 menurut harga-harga tahun 1960, kurang dari 25 persen angkatan kerjanya menamatkan pendidikan sekolah dasar dan kurang dari 3 28 persen tergolong profesional atau ahli teknik. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan struktur pendidikan dan struktur jenis pekerjaan angkatan kerja di sejumlah negara pada tahun 1960: Tabel 7. Struktur Pendidikan dan Struktur Jenis Pekerjaan Angkatan Kerja di Sejumlah Negara, Tahun 1960 Pendidikan dan jenis pekerjaan Produktivitas per pekerja per tahun dollar US, tahun 1960 Persentase dari angkatan kerja Lebih dari 1 500 700- 1 500 Kurang dari 700 Pendidikan a Tingkat gelar atau lebih 3.8 2.4 0.8 Tingkat sekolah lanjutan atau lebih 16.0 13.9 2.8 Tamat sekolah dasar atau lebih 90.5 51.2 23.6 Rata-rata tahun bersekolah tahun 9.0 5.7 2.9 Jenis pekerjaan b Profesional, ahli teknik 8.7 4.6 2.4 Administrasi, eksekutif dan manajerial 4.0 1.9 0.6 Tata usaha 9.8 6.3 2.4 Penjualan 8.5 8.1 6.9 Lain-lain 69.0 79.2 87.7 Sumber: Layard dan Saigal 1966 Tidak semua negara mengalami keadaan yang sama. Jepang termasuk golongan berproduktivitas menengah, tetapi dalam struktur pendidikan termasuk golongan berproduktivitas tinggi. Chili memperlihatkan kasus yang sebaliknya, karena termasuk negara berproduktivitas tinggi tetapi memiliki struktur pendidikan termasuk dalam golongan berproduktivitas menengah. Demikian juga negara-negara berproduktivitas rendah seperti Korea dan Filipina, seharusnya dimasukkan dalam golongan berproduktivitas menengah menurut struktur pendidikan mereka. Sedangkan Peru, walaupun dimasukkan dalam golongan berproduktivitas menengah, namun memiliki struktur pendidikan dengan karakteristik berproduktivitas rendah. Menurut World Bank 1978, perbedaan produktivitas sektoral di negara berpendapatan rendah pada umumnya lebih besar daripada negara berpendapatan 29 menengah dan sektor pertanian adalah sektor yang umumnya paling kurang produktif, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 8, sebagai berikut: Tabel 8. Tingkat dan Laju Pertumbuhan Produktivitas Menurut Sektor dan Wilayah di Berbagai Negara, Tahun 1960 - 1970 Penggolongan negara a Tingkat relatif 1970 b Laju pertumbuhan rata-rata per tahun 1960-1970 c Pert. Industri Jasa Pertanian Industri Jasa Berpendapatan rendah 0.60 2.11 2.24 0.950.62 3.630.38 3.320.44 Afrika 0.52 2.39 4.06 0.381.29 1.181.31 3.980.54 Asia 0.61 2.05 2.04 1.170.56 4.240.32 3.050.44 Berpendapatan menengah 0.34 1.90 1.55 2.570.11 4.160.47 2.680.61 Sub-Sahara Afrika 0.39 2.91 1.76 0.780.54 3.840.56 0.430.91 Timur Tengah dan Afrika Utara 0.28 2.44 1.25 2.070.23 5.110.48 3.470.45 Asia Timur dan Pasifik 0.45 1.90 1.68 3.660.19 5.380.52 3.390.58 Amerika Latin dan Karibia 0.34 1.73 1.29 2.580.17 2.950.51 2.220.65 Eropa Selatan 0.34 1.23 1.92 4.220.56 6.220.29 3.930.52 Keterangan: a. Penggolongan negara menurut nilai tambah dan angkatan kerja tidak begitu tepat untuk dibandingkan b. Produktivitas sektoral dibandingkan dengan produktivitas perekonomian c. Angka dalam tanda kurung adalah elastisitas kesempatan kerja. Elastisitas yang lebih besar dari 1 menunjukkan menurunnya produktivitas tenaga kerja; elastisitas yang lebih kecil dari 1 menunjukkan meningkatnya produktivitas tenaga kerja Sumber: World Bank 1978 Di semua golongan negara, kecuali negara-negara berpendapatan rendah di Afrika, industri merupakan sektor yang laju pertumbuhan produktivitasnya paling tinggi. Pertumbuhan produktivitas sektor pertanian dan industri di negara berpendapatan rendah selalu lebih rendah dari negara berpendapatan menengah, tetapi tidak demikian dengan sektor jasa. Kecenderungan PDB per kapita meningkat lebih cepat di negara berpendapatan menengah dibandingkan negara berpendapatan rendah. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan produktivitas sektoral. Elastisitas kesempatan kerja menampilkan pola yang pada hakekatnya 30 sama. Lebih rendahnya laju kenaikan produktivitas di negara berpendapatan rendah tercermin dalam elastisitas kesempatan kerja mereka yang lebih tinggi. Pada tahun 1960, negara-negara sedang berkembang mempunyai golongan penduduk di bawah umur 25 tahun sebanyak lebih dari 60 persen, sedangkan negara maju pada tahun 1900 kurang dari 50 persen. Hal ini membawa konsekuensi ekonomi, yaitu: pertama, nisbah tanggungan dependency ratio menjadi lebih besar. Tiap orang usia kerja di negara berkembang harus menghidupi 0.8 tanggungan dibandingkan dengan negara maju yang kurang dari 0.6, kedua, jumlah pendatang baru yang memasuki pasar tenaga kerja lebih besar di negara-negara sedang berkembang dibanding negara maju. Hal ini berarti bahwa perluasan kesempatan kerja di negara-negara sedang berkembang harus jauh lebih cepat dari pada negara maju Keyfitz dan Flieger, 1968. Easterly dan Levine 2000 mengelompokkan negara berdasarkan pertumbuhan pendapatan per kapita antara tahun 1980-1992, menunjukkan bahwa faktor residu pertumbuhan produktivitas yang berbeda antar negara, menjadi pemicu yang sangat signifikan dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Miller and Upadhyay 2000 menggunakan data panel terhadap 83 negara maju dan sedang berkembang, pada tahun 1960-1989, menyimpulkan bahwa pada negara yang berpenghasilan menengah, human capital berpengaruh positif terhadap total factor productivity TFP. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Benhabib dan Spiegel 1994 dan Islam 1995 yang menjelaskan bahwa human capital tidak berkontribusi secara signifikan dan mempunyai koefisien negatif terhadap output, tetapi mempunyai efek signifikan terhadap total factor productivity. Mereka menyimpulkan bahwa human capital 31 tidak dimasukkan dalam fungsi produksi sebagai input, tetapi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan melewati efek total factor productivity TFP. Jones 2001, dalam penelitiannya dengan menggunakan data panel 200 perusahaan industri di Ghana selama tahun 1992-1994, menggunakan persamaan ekonometrika simultan antara fungsi pendapatan dan fungsi produksi. Hasilnya disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan produktivitas. Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sarjana lebih produktif dari pada pekerja lulusan secondary schooling, pekerja lulusan secondary schooling lebih produktif dari pekerja lulusan pendidikan dasar dan pekerja yang lulus pendidikan dasar lebih produktif dari pekerja yang tidak mempunyai pendidikan formal. Perusahaan membayar pekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Jones menyimpulkan bahwa tenaga kerja terdidik ternyata bekerja lebih produktif dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak terdidik. Pekerja yang berpendidikan di Ghana mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari pekerja yang tidak berpendidikan dalam kontribusi mereka terhadap output perusahaan, sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja terdidik akan mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak terdidik. Brown dan Medoff 1978 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antar tingkat pendidikan dengan produktivitas pekerja. Hal ini senada dengan penelitian dari Mincer 1974 yang mendemonstrasikan bahwa ada hubungan positif antara lamanya sekolah pekerja dengan tingkat pendapatannya. Menurut Amri 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh investasi dan tenaga kerja. Hasil ini diperoleh berdasarkan 32 analisis data tahun 1969-1993 menggunakan model neo-klasik Solow dan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam persamaan regresi linear dan bersifat constant return to scale . Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia diantaranya dipengaruhi oleh adanya peningkatan investasi yang bersifat langsung. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang pertama disebabkan karena adanya peningkatan kuantitas investasi dan bukan karena peningkatan kualitas investasi seperti yang terjadi di banyak negara- negara maju. Peningkatan kuantitas investasi tidak banyak berperan dalam meningkatkan kapasitas ekonomi atau skala ekonomi economic of scale. Berdasarkan hasil perhitungan Hill 1996 terhadap beberapa indikator perkembangan teknologi, Indonesia tertinggal dibanding dengan India, Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand, seperti yang diperlihatkan dalam beberapa indikator perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa negara di Asia berikut ini: Tabel 9. Beberapa Indikator Perkembangan Iptek di Beberapa Negara Asia, Tahun 1990-an Indikator Indonesia India Malaysia Filipina Singapura Thailand Pengeluaran Litbang terhadap PNB 0.2 0.9 0.1 0.1 0.9 0.2 Pengeluaran Litbang per kapita US. 0.9 2.7 2.1 0.7 68.1 1.9 Pengeluaran Pemerintah untuk pendidikan terhadap PNB 1992 1.9 - 5.8 2.9 5.2 3.2 Pengeluaran Pemerintah untuk pendidikan sebagai dari total 9.8 - 19.6 15.0 22.9 21.1 Jumlah mahasiswa sebagai golongan pendidikan 1991 10.0 - 7.0 28.0 - 16.0 Sumber: Hill 1996 Rendahnya kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa teknologi di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan 33 dengan negara tetangga. Berbeda hasil penelitian Drysdale 1997 menyatakan bahwa kontribusi masing-masing faktor produksi tidak menunjukkan perbedaan yang besar kecuali untuk Malaysia dan Philipina, dimana total factor productivity- nya sangat rendah. Berikut ini adalah sumber pertumbuhan negara Asia Timur, tahun 1950-1990 menurut Drysdale 1997: Tabel 10. Sumber Pertumbuhan Negara Asia Timur, Tahun 1950-1990 Tahun Negara Periode Pertumbuhan GDP Modal Tenaga kerja TFP Hongkong 1960-1990 9.0 31.11 34.44 34.44 Korea 1953-1990 7.4 39.19 32.43 28.38 Taiwan 1950-1990 8.6 30.23 36.05 33.72 Singapura 1950-1990 7.7 50.65 38.96 10.38 Indonesia 1662-1990 6.7 38.81 29.85 31.34 Malaysia 1950-1990 6.0 60.00 48.33 -8.33 Philipina 1950-1990 4.9 48.98 46.94 4.08 Thailand 1950-1990 5.8 29.31 41.38 29.31 Sumber: Drysdale 1997 Penelitian serupa juga dilakukan di Asia Timur oleh beberapa peneliti seperti Bosworth et al. 1995 yang menunjukkan bahwa kontribusi TFP di Asia Timur selama periode 1960-1990 cukup tinggi. Berdasarkan studi empiris di lima negara maju, menunjukkan bahwa terdapat komplementaris yang kuat antara kemajuan teknologi technology progress dan pembentukan modal capital formation, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 11, mengenai sumber pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju menurut hasil penelitian Boskin dan Lau, 1992: Tabel 11. Sumber Pertumbuhan Ekonomi di Beberapa Negara Maju, Tahun 1992 Negara Modal Tenaga kerja Teknologi 34 Perancis 28 -4 76 Jerman Barat 32 -10 76 Jepang 40 5 55 Inggris 32 -5 73 Amerika Serikat 24 27 49 Sumber: Boskin dan Lau 1992 Dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa kontribusi terbesar pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju adalah pada kemajuan teknologi.

2.3.3. Studi Terkait dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi

Pendapatan Menurut Kuznets 1955, pertumbuhan ekonomi akan membawa realokasi aktivitas ekonomi secara bertahap mulai dari sektor tradisional yang mempunyai tingkat kesenjangan rendah menjadi perluasan terhadap sektor modern yang mempunyai tingkat kesenjangan relatif tinggi. Pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap berikutnya distribusi pendapatan akan membaik. Walaupun tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U terbalik inverted U shape, secara prinsip hipotesis ini konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Dampak pengayaan sektor tradisional dan modern terhadap ketimpangan pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga hasil nettonya pada ketimpangan bersifat mendua ambiguous Fields, 1980. Beberapa kasus seperti Taiwan, Korea Selatan, China, Costa Rika dan Sri Lanka menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan nasional dapat disertai dengan penurunan ketimpangan pendapatan. Hal ini tergantung pada karakter proses pembangunan yang dijalankan oleh masing-masing negara. Hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dengan ketimpangan distribusi pendapatan 35 diukur dengan tiga cara, yaitu: 1 sebagai persentase atau porsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk termiskin terhadap pendapatan nasional, 2 sebagai rasio porsi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk terkaya dibagi dengan porsi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin, dan 3 ukuran berdasarkan koefisien Gini. Hubungan ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita tidak selalu berkorelasi dengan ketiga ukuran ketimpangan distribusi pendapatan. Sebagai contoh, pendapatan per kapita Sri Lanka hanya 16 dari pendapatan per kapita Brasil, tetapi ketimpangan pendapatan di Brasil ternyata lebih buruk dari pada Sri Lanka. Angka koefisien Gini Srilanka 0.30, sedangkan Brasil 0.60 menunjukkan perbedaan ketimpangan pendapatan yang sangat besar. Demikian juga Paraguay dengan pendapatan per kapita 7 kali lipat lebih tinggi dari Bangladesh, memiliki tingkat ketimpangan yang lebih besar. Sebaliknya Malaysia dengan pendapatan per kapita tahun 1996 sebesar 65 persen lebih tinggi dari Costa Rika, memiliki ketimpangan pendapatan yang kurang lebih sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa di berbagai negara berkembang tidak terdapat hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Walaupun ketimpangan tidak mempunyai korelasi yang tinggi dengan pendapatan per kapita, namun masih terdapat kemungkinan korelasi non linier hipotesis U terbalik, jika negara- negara berpendapatan tinggi dimasukkan dalam pembahasan World Bank, 1998. Dalam penelitian cross section, validitas kurva Kuznets selalu diliputi kontroversi. Banyak negara berpendapatan menengah di Amerika Latin mempunyai ketimpangan pendapatan tinggi dan dapatkah kombinasi data cross section 35 negara dan time series membantu menjawab pertanyaan ini. 36 Berdasarkan data 5 negara sebagai sampel, yaitu Brasil, Costa Rika, Pakistan, Hongkong dan Singapura. Brasil menunjukkan dengan jelas pola U terbalik, sebaliknya Hongkong dan Singapura menunjukkan pola U. Namun jika pengalaman yang terpisah ini digabung akan salah menggambarkan pola U terbalik secara keseluruhan. Hal ini menandaskan pentingnya memahami penyebab pola statistik, seperti yang terlihat pada data dan bukan hanya mengambil data secara mentah Fields dan Jacobson, 1994. Studi secara longitudinal di negara berkembang menunjukkan pola yang sangat acak, Oshima 1991 tidak menemukan pola apapun pada kasus sejumlah negara di Asia. Dapat disimpulkan bahwa di negara sedang berkembang tidak mendukung pola U terbalik. Pada kasus negara-negara maju, Williamson dan Lindert 1980 dan Williamson 1985 mendukung pola U terbalik di Amerika Serikat dan Inggris pada beberapa dekade. Di sisi lain, pola U terbalik tidak sesuai di Jerman Dumke, 1991 dan Australia Thomas, 1991. Berdasarkan data time series empat tahun atau lebih untuk 48 negara berkembang dan negara maju dengan pendapatan per kapita di atas US 3 000 nilai dolar tahun 1995, Deininger dan Squire 1998 membahas hubungan antara kesenjangan distribusi pendapatan dan pendapatan per kapita. Hasilnya adalah hanya 10 persen negara mendukung pola kurva U terbalik, 10 persen mendukung pola kurva U dan sisanya 80 persen tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa hanya sedikit negara yang menggunakan data time series mendukung hipotesis U terbalik. 37 Hasil studi empiris menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan perubahan proporsi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin, atau perubahan proporsi penduduk perdesaan yang berada di bawah garis kemiskinan. Di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand, pertumbuhan yang tinggi dibarengi dengan penurunan yang tajam dari ketimpangan pendapatan. Hal ini berarti bahwa apabila proporsi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin naik, maka secara otomatis proporsi pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk yang berada di atasnya yang lebih kaya semakin kecil, berarti secara makro ketimpangan menurun. Demikian pula sebaliknya, jika proporsi pendapatan yang diterima kelompok miskin menurun, maka ketimpangan meningkat. Fenomena ini berarti bertentangan dengan hipotesa Kuznets. Di negara lain seperti Cina, Mesir dan Sri Lanka, pertumbuhan dibarengi dengan memburuknya kemiskinan di perdesaan dan diikuti oleh menurunnya proprosi pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk termiskin. Ketidak konsistenan ini juga sejalan dengan hasil penelitian Fields 1984, bahwa ada negara yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi, tetapi dibarengi dengan kemiskinan dan pemerataan yang semakin parah seperti yang terjadi di Philipina. Di Brazilia, pertumbuhan tinggi mampu menurunkan kemiskinan tetapi distribusi pendapatannya semakin timpang. Di India dan Sri Lanka, pertumbuhan yang rendah dibarengi dengan pemerataan yang semakin buruk. Sebaliknya Taiwan dan Costa Rica, pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya kemiskinan tetapi juga oleh membaiknya distribusi pendapatan. Jadi pertumbuhan 38 dan pemerataan dapat mempunyai arah perkembangan yang berbeda-beda, seperti diperlihatkan pada Tabel 12 dibawah ini: Tabel 12. Pertumbuhan, Kemiskinan, dan Pemerataan di Beberapa Negara Berkembang, Tahun 1984 Kriteria Pertumbuhan Tinggi Rendah Kemiskinan Naik Philipina India Turun Taiwan Costa Rica Brasilia Sri Lanka Pemerataan Membaik Costa Rica Taiwan Sri Lanka India Memburuk Philipina Brasilia - Sumber: Fields 1984 Pada banyak negara tidak ditemukan adanya kecenderungan ketimpangan pendapatan yang berubah selama proses pembangunan ekonomi. Ketimpangan tampaknya merupakan bagian yang stabil dari suatu negara, dan hanya berubah secara signifikan jika terdapat sebuah goncangan yang substansial. Asia Timur mencapai ketimpangan yang relatif rendah karena pengaruh kekuatan eksternal, seperti pendudukan Jepang oleh Amerika Serikat, pengambil alihan Taiwan oleh kaum nasionalis dan hengkangnya Jepang dari Korea Selatan. Ketimpangan pendapatan yang rendah di China merupakan akibat dari revolusi sosial ketika komunis mengambil alih pemerintahan tahun 1949. Titik balik yang memperlihatkan adanya hubungan positif antara pertumbuhan dan pemerataan menurut Fishlow 1996 dikemukakan oleh Persson dan Tabellini 1994 and Alesina dan Rodrik 1992 bahwa the effect of equality on growth are not only statistically significant but also quantitatively important that inequality is negatively related to growth . Dengan kata lain, terlihat adanya hubungan positif antara pemerataan dengan pertumbuhan, dan bukan hanya secara 39 statistik tetapi juga kuantitatif empiris. Proses perpaduan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan tersebut akan berlangsung dengan sendirinya melalui suatu pengaruh spread effect dan trickle down effect seperti yang dielaborasi oleh Kaldor Neo Keynesian.

2.3.4. Studi Terkait dengan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap

Perekonomian Pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi memiliki korelasi yang positif Gould, 1983. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran pemerintah akan menyebabkan semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi. Ram 1986 juga mengkaji hubungan antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah. Hasilnya adalah adanya korelasi yang positif antara peningkatan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini bertentangan dengan Saunders 1985 dan Smith 1985 yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara tingkat pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, dimana semakin tinggi tingkat pengeluaran pemerintah, maka akan semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Demikian juga Landau 1986 menemukan adanya pengaru negatif dan signifikan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Sementara pengaruh pengeluaran pendidikan adalah positif, namun tidak signifikan. Hasil penelitian Albanesi 2007 memberikan hasil tentang adanya hubungan positif antara inflasi dan ketimpangan pada data lintas negara. Sejumlah ukuran perbaikan kemakmuran penduduk miskin seperti penurunan 40 tingkat kemiskinan atau peningkatan proporsi pendapatan penduduk miskin menunjukkan hubungan yang negatif dengan inflasi Easterly dan Fischer, 2001. Menurut Sitepu 2007 yang menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia menggunakan model ekonomi keseimbangan umum menyimpulkan bahwa: 1 peningkatan investasi sumberdaya manusia secara langsung berdampak pada peningkatan produktivitas tenaga kerja yang mendorong pada peningkatan Produk Domestik Bruto riil yang ditunjukkan oleh peningkatan stok kapital, neraca perdagangan dan konsumsi rumahtangga. Investasi kesehatan dapat mengurangi kemiskinan dengan persentase yang lebih besar jika dibandingkan investasi pendidikan, 2 peningkatan investasi sumberdaya manusia berdampak pada penurunan harga-harga yang ditunjukan oleh penurunan indeks harga konsumen, sebaliknya transfer pendapatan menyebabkan tingkat inflasi yang semakin tinggi, 3 output di seluruh sektor meningkat sebagai akibat dari peningkatan investasi sumberdaya manusia. Secara umum, output yang meningkat paling besar adalah sektor industri, pertanian dan jasa, 4 peningkatan investasi sumberdaya manusia lebih efektif menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia dibandingkan dengan transfer pendapatan yang dilakukan pemerintah kepada kelompok rumahtangga perdesaan. Nanga 2006, dalam disertasinya tentang dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa: 1 transfer fiskal dalam berbagai bentuknya seperti bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak dan dana alokasi umum, memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia, 2 terdapat indikasi kuat bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuknya cenderung 41 lebih menguntungkan sektor non pertanian daripada sektor pertanian, 3 terdapat indikasi bahwa kemiskinan di daerah perdesaan semakin memburuk setelah kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan; sementara di daerah perkotaan me- nunjukkan keadaan yang sebaliknya, 4 peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan salah satu cara yang efektif dalam upaya untuk mengurangi ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, 5 peningkatan PDRB dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah pengangguran di berbagai daerah di Indonesia, 6 keefektifan pertumbuhan ekonomi peningkatan pendapatan per kapita dalam mengurangi kemiskinan, sangat dipengaruhi oleh derajat ketimpangan distribusi pendapatan. Hasil studi Yudhoyono 2004 yang menganalisis pembangunan pertanian dan perdesaan di Indonesia, menyimpulkan bahwa: 1 peningkatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja relatif terjadi lebih besar di sektor non-pertanian. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur juga dapat mengurangi kemiskinan, namun relatif masih kurang efektif jika dibandingkan dengan kemampuannya mengurangi pengangguran, 2 peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dan juga sektor non-pertanian. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan juga berpengaruh positif mengurangi kemiskinan, meskipun kurang efektif jika dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan untuk sektor pertanian. 42

III. KERANGKA TEORI

3.1. Modal Manusia

Investasi pendidikan dan kesehatan menyatu dalam pendekatan modal manusia. Nilai pendidikan merupakan aset moral dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan serta merupakan bentuk investasi non fisik yang sering disebut dengan modal manusia. Modal manusia human capital adalah istilah yang sering digunakan oleh ekonom untuk pendidikan, kesehatan dan kapasitas manusia yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal ini ditingkatkan. Pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal pokok untuk mencapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Keduanya adalah hal yang fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas, yang berada pada inti makna pembangunan Todaro dan Smith, 2003. Human capital didefinisikan sebagai kemampuan, keterampilan dan pengetahuan pekerja dalam memproduksi barang dan jasa. Hal ini membutuhkan proses sekolah formal, pelatihan maupun proses learning by doing Lucas, 1988. Melalui pendidikan, dapat menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dalam mengunakan teknologi baru yang berasal dari hasil penelitian dan pengembangan, baik domestik maupun hasil efek international spillover Frantzen, 2000. Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan sebagai proses budaya akan tumbuh dan berkembang nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia seperti keimanan dan ketakwaan, moral, disiplin dan etos kerja serta nilai-nilai instrumental seperti penguasaan iptek dan kemampuan berkomunikasi, yang merupakan unsur pembentuk kemajuan dan kemandirian