172
Fhit = 33.03 ProbF = 0.0001 Dw = 1.545224 R
2
= 0.60020
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi dipengaruhi secara
signifikan oleh suku bunga, PDRB, pengeluaran infrastruktur, dummy kabupatenkota, dan trend waktu, dengan tanda yang sesuai dengan hipotesis.
Peningkatan sukubunga berpengaruh negatif terhadap investasi daerah, dengan magnitude
yang cukup besar. Setiap peningkatan suku bunga sebesar 10 persen akan menurunkan investasi sebesar 39.56 persen. Hasil ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan 2006 dan Astuti 2007. Peningkatan PDRB berpengaruh positif dalam meningkatkan investasi,
dengan magnitude yang relatif kecil. Setiap peningkatan PDRB sebesar 10 persen akan meningkatkan investasi sebesar 1.73 persen. Peningkatan PDRB diharapkan
dapat memacu investasi, meningkatkan kesempatan kerja, dan mengurangi pengangguran Jhingan 2004. Pertumbuhan ekonomi harus diarahkan pada
penyediaan overhead sosial dan ekonomi, yang notabene akan lebih banyak menciptakan pekerjaan dan menaikkan efisiensi produktif perekonomian jangka
panjang. Infrastruktur daerah, yang diukur dari pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur berpengaruh positif dan signifikan dalam meningkatkan investasi daerah. Setiap peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 10 persen akan
meningkatkan investasi sebesar 4.49 persen. Dari hasil penelitian ini menunjukkan tentang pentingnya infrastruktur yang baik dalam mendorong
investor melakukan penanaman modal.
6.7. Blok Kesejahteraan Masyarakat
173 Masalah pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari distribusi
pendapatan dan ketenagakerjaan employment, karena tujuan pembangunan selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Blok kesejahteraan masyarakat terdiri dari 2 persamaan struktural yaitu distribusi pendapatan dan kemiskinan, serta 2 persamaan identitas
yaitu pengeluaran penduduk per kapita dan pengangguran.
6.7.1. Distribusi Pendapatan
Hasil persamaan distribusi pendapatan menunjukkan bahwa koefisien determinasi R
2
adalah sebesar 29.765 persen. Variabel endogen dalam persamaan distribusi pendapatan dipengaruhi secara signifikan oleh variabel-
variabel penjelas secara bersama-sama yang ditunjukkan oleh statistik F pada taraf signifikan
0.01 dengan nilai 9.32. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dipengaruhi secara signifikan oleh PDRB per kapita,
pengangguran, inflasi, dummy kabupaten kota, dan distribusi pendapatan tahun lalu, dengan tanda yang sesuai dengan hipotesis. Hasil persamaan distribusi
pendapatan selengkapnya adalah sebagai berikut: Tabel 48. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Distribusi Pendapatan
Variabel Parameter
Prob |t| Elastisitas
Elastisitas dugaan
jk pendek jk panjang
INTERSEP 0.137737
0.0001 YCAP Pendapatan per kapita
-1.37819 0.2096
-0.0234 -0.0360
UNEMP Pengangguran 1.517E-7
0.1481 0.0269
0.0413 INF Inflasi
0.002196 0.0002
0.0788 0.1212
DKK Dummy kabupaten kota 0.029412
0.0003 TREND Trend waktu
-0.00222 0.3499
LGINI Lag indeks Gini 0.349224
0.0001 Fhit = 9.32 ProbF = 0.0001 Dw = 2.061441 R
2
= 0.29765
174 Peningkatan PDRB per kapita berpotensi menurunkan ketimpangan
pendapatan Gini rasio, dengan magnitude yang relatif kecil. Setiap peningkatan PDRB per kapita sebesar 10 persen akan menurunkan ketimpangan
pendapatan sebesar 0.234 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan PDRB per kapita dapat menimbulkan efek memeratakan equalizing. Hal ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Alesina dan Rodrik 1992, Persson dan Tabellini 1994 dan Fishllow 1996. Secara umum dapat dikemukakan
bahwa perlunya pendapatan yang tinggi untuk dapat mencapai tingkat kesejahteraan, untuk itu variabel kualitas modal manusia perlu dimasukkan dalam
model. Dalam lingkup nasional hasil ini berbeda dengan penemuan Nanga 2006, bahwa peningkatan PDRB per kapita menyebabkan semakin timpangnya
distribusi pendapatan masyarakat. Di berbagai negara berkembang ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang kuat antara tingkat pendapatan per kapita
dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan World Bank, 1998. Pertumbuhan dan pemerataan dapat mempunyai arah perkembangan yang
berbeda-beda Fields, 1984. Tampaknya hal ini tergantung pada karakter proses pembangunan yang dijalankan oleh masing-masing negara atau wilayah.
Pertumbuhan ekonomi tidak selalu memperburuk distribusi pendapatan. Karakter pertumbuhan ekonomi, yaitu bagaimana cara mencapainya, siapa yang
berperan serta, sektor-sektor mana saja yang mendapat prioritas, lembaga- lembaga apa yang menyusun, mengatur dan sebagainya akan menentukan apakah
pertumbuhan ekonomi mempengaruhi perbaikan taraf hidup masyarakat miskin atau tidak. Oleh karenanya pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak dengan
sendirinya akan diikuti oleh perbaikan dalam distribusi pendapatan.
175 Menurunnya jumlah pengangguran memberi efek positif dalam
menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan, dengan magnitude relatif tidak besar. Setiap penurunan pengangguran sebesar 10 persen akan menurunkan
ketimpangan pendapatan sebesar 0.269 persen. Semakin banyak orang bekerja, semakin banyak masyarakat yang mempunyai penghasilan dan dampak
selanjutnya adalah menurunnya ketimpangan pendapatan. Peningkatan inflasi berpotensi meningkatkan ketimpangan pendapatan,
dengan magnitude relatif kecil. Peningkatan inflasi sebesar 10 persen dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.788 persen. Inflasi tinggi dapat
menurunkan daya beli masyarakat. Hasil ini mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Arif 1978, bahwa inflasi merupakan salah satu penyebab
meningkatnya ketimpangan pendapatan. Inflasi menyebabkan kenaikan harga-harga barang, dan menyebabkan
daya beli masyarakat menurun. Semakin banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, semakin memperlebar jurang ketimpangan
pendapatan antara orang kaya dan orang miskin. Inflasi yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan ketimpangan pendapatan. Korelasi positif ini disebabkan
oleh kerapuhan golongan berpendapatan rendah terhadap inflasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi seharusnya
tidak hanya dipandang untuk menjaga kestabilan ekonomi makro atau moneter, tetapi juga untuk menjaga daya beli masyarakatnya khususnya masyarakat
miskin. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Albanesi 2007. Dummy kabupaten kota mempunyai tanda positif dan signifikan
terhadap distribusi pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan
176 pendapatan lebih banyak terjadi di perkotaan dibanding kabupaten. Hal ini terjadi
karena karakteristik pendapatan masyarakat perkotaan di Indonesia biasanya lebih bersifat heterogen, dibanding masyarakat perdesaan yang relatif homogen.
Tingkat pendapatan yang heterogen, biasanya identik dengan adanya ketimpangan pendapatan. Sumber-sumber pemerataan pendapatan dipandang sebagai akibat
terdapatnya kemajuan dalam umur, pendidikan, lapangan pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya Esmara, 1988.
6.7.2. Kemiskinan
Hasil persamaan kemiskinan menunjukkan bahwa koefisien determinasi R
2
adalah sebesar 88.773 persen. Variabel endogen dalam persamaan kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh variabel-variabel penjelas secara
bersama-sama yang ditunjukkan oleh statistik F pada taraf signifikan 0.01
dengan nilai 128.5. Hasil persamaan kemiskinan selengkapnya adalah sebagai berikut:
Tabel 49. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan
Variabel Parameter
Prob |t| Elastisitas
Elastisitas dugaan
jk pendek jk panjang
INTERSEP -25106.1
0.7262 PCAP Pengeluaran per kapita
-3.433E8 0.0001
-1.595 -2.361
GINI Indeks Gini 342415.2
0.0716 0.422
0.625 PL Garis kemiskinan
2499804 0.0001
1.147 1.699
POP Jumlah penduduk 0.173885
0.0001 0.826
1.223 STKA Share tenaga kerja pertanian
877.5121 0.0094
0.158 0.233
DKK Dummy kabupaten kota 109214.9
0.0001 TREND Trend waktu
-19791.3 0.0001
LPOV Lag kemiskinan 0.324639
0.0001 Fhit = 128.50 ProbF = 0.0001 Dw = 1.37782 R
2
= 0.88773
Penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan dipengaruhi secara signifikan oleh pengeluaran per kapita, distribusi pendapatan, poverty line, populasi
177 penduduk, share tenaga kerja pertanian, dummy kabupaten kota, trend
waktu, dan kemiskinan tahun lalu, dengan tanda yang sesuai dengan hipotesis. Peningkatan pengeluaran per kapita sebagai indikator pendapatan masyarakat
berpengaruh nyata dalam mengurangi kemiskinan dengan magnitude yang relatif besar. Setiap peningkatan pengeluaran per kapita sebesar 10 persen akan
menurunkan kemiskinan sebesar 15.95 persen. Dalam lingkup nasional, hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Nanga 2006.
Penurunan ketimpangan pendapatan indeks Gini berpengaruh nyata dalam mengurangi kemiskinan, dengan magnitude relatif tidak besar. Setiap
penurunan indeks Gini sebesar 10 persen akan menurunkan kemiskinan sebesar 4.22 persen. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Nanga 2006.
Diperlukan kebijakan pemerintah yang tepat dalam mengalokasikan pengeluaran belanja daerahnya terutama pada peningkatan kualitas SDM dan pada sektor-
sektor unggulan, agar dapat memberi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Karena peningkatan output daerah akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja,
mengurangi pengangguran dan akhirnya mengurangi kemiskinan. Inflasi menyebabkan meningkatnya angka garis kemiskinan poverty
line. Peningkatan garis kemiskinan poverty line, cukup responsif dalam
meningkatkan kemiskinan. Setiap peningkatan poverty line sebesar 10 persen akan meningkatkan kemiskinan sebesar 11.47 persen. Hal ini cukup logis karena
peningkatan garis kemiskinan yang tidak disertai dengan peningkatan pendapatan menyebabkan penduduk yang semula hidup di sekitar garis kemiskinan,
pendapatan riilnya menjadi menurun, sehingga menyebabkan kemiskinan meningkat.
178 Peningkatan populasi penduduk dapat meningkatkan kemiskinan di Jawa
Tengah, dengan magnitude yang relatif kecil. Peningkatan jumlah penduduk masih menjadi beban dan belum menjadi asset bagi pembangunan di Jawa
Tengah. Kondisi ini sekaligus menjawab permasalahan yang dihadapi Jawa Tengah, yaitu rendahnya kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk Jawa Tengah sebesar 10 persen akan meningkatkan kemiskinan sebesar 8.26 persen. Hasil ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Rindayati 2008 kasus di Jawa Barat dan Siregar 2007 dalam skala nasional. Mengurangi laju pertumbuhan penduduk
merupakan kebijakan yang tepat untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara revitalisasi program Keluarga Berencana KB. Memberi
akses seluas-luasnya terhadap pelaksanaan program KB, terutama bagi keluarga tidak mampu. Berbagai cara dapat dilakukan dalam mensukseskan program KB,
diantaranya adalah menunda usia pernikahan, memberi jarak yang cukup untuk kelahiran, membatasi jumlah anak, kesetaraan gender dan sebagainya.
Peningkatan share tenaga kerja pertanian berpengaruh nyata dalam meningkatkan jumlah penduduk miskin. Setiap peningkatan share tenaga kerja
pertanian sebesar 10 persen akan meningkatkan kemiskinan sebesar 1.63 persen. Hasil ini mengisyaratkan bahwa peningkatan jumlah orang yang bekerja di sektor
pertanian, justru akan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Cukup ironis, mengingat Indonesia adalah negara yang terkenal kaya akan sumberdaya alam,
dimana penduduknya banyak bekerja dan mengandalkan sektor pertanian tetapi justru sektor ini yang paling mengalami ketertinggalan. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat produktivitas tenaga kerjanya dimana dibanding dengan sektor lain,
179 pertanian mempunyai tingkat produktivitas tenaga kerja yang paling rendah.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan
oleh Pradhan et al. 2000. Dummy kabupaten kota menunjukkan tanda positif dan signifikan
terhadap kemiskinan, menandakan bahwa rata-rata jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah lebih banyak terdapat di perkotaan dibanding kabupaten. Semenjak
terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, lebih banyak memberi dampak negatif pada sektor non pertanian, yang notabene banyak terdapat di daerah perkotaan.
Keadaan ini menyebabkan jumlah penduduk menganggur di perkotaan menjadi semakin banyak dan kemiskinan bertambah.
Mengatasi kemiskinan dan pengangguran, setidaknya memerlukan beberapa hal. Pertama, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kedua,
melakukan perluasan dan pengembangan kesempatan kerja. Ketiga, peningkatan pelayanan bagi penduduk miskin, terutama masyarakat terpencil. Keempat,
peningkatan kualitas SDM dengan membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi masyarakat agar mampu mengelola SDA yang ada. Kelima, membuka akses
ekonomi secara luas baik di tingkat regional maupun global. Pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan adalah pertumbuhan yang tidak
hanya sekedar dapat meningkatkan output semata, tetapi pertumbuhan yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan melakukan
investasi SDM maka tujuan ini dapat tercapai secara bersamaan simultan. Untuk mengurangi kemiskinan perlu digiatkan program-program yang dapat
meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa
180 peningkatan dalam kualitas SDM dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pendidikan formal, non-formal maupun in-formal terutama bagi masyarakat miskin sangat dibutuhkan dalam rangka
memutus lingkaran setan kemiskinan. Menurut Duff 1997, selain mewujudkan efisiensi ekonomi dan efisiensi administrasi, pemerintah mempunyai peran dan
tugas dalam mewujudkan keadilan equity objective yang meliputi penghapusan kemiskinan, pengurangan kesenjangan pendapatan, kesejahteraan, persamaan
akses, pemenuhan sandang, pangan, perumahan, kesehatan serta pendidikan. Untuk itu diperlukan peran aktif pemerintah pusat dan daerah untuk saling bekerja
sama dalam mengatasi kemiskinan melalui pengembangan SDM yang berpihak pada masyarakat miskin pro poor.
Jawa Tengah adalah daerah yang kaya akan SDM dan SDA. Apabila sumberdaya tersebut dimanfaatkan dan diorganisasikan secara profesional, maka
akan berdampak positif bagi pembangunan daerah. Persoalan mendasar yang dialami oleh sebagian besar negara berkembang adalah kurangnya SDM yang
berkualitas. Meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan adalah langkah yang tepat dalam meningkatkan kualitas SDM. Kualitas SDM
yang unggul akan memberi keuntungan bagi pembangunan daerah, seperti yang dikemukakan oleh Hess dan Ross 1997.
Titik tolak pemikiran mengenai orientasi pendidikan nasional adalah 1 mencerdaskan kehidupan bangsa, 2 mempersiapkan SDM yang berkualitas,
terampil, dan ahli yang diperlukan dalam proses memasuki era globalisasi dan otonomi daerah, dan 3 membina dan mengembangkan penguasaan berbagai
cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi Sanusi, 1998. Ada dua sisi
181 yang perlu dilihat secara lebih spesifik yang terjadi di Indonesia, yaitu
peningkatan kualitas SDM di era globalisasi dan peningkatan kualitas SDM di era otonomi daerah. Abad silam merupakan abad kualitas produkjasa, sedangkan
masa yang akan datang merupakan abad kualitas SDM. SDM yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan lagi merupakan isu atau tema-tema
retorik, melainkan taruhan atau andalan serta ujian setiap individu, kelompok, golongan masyarakat dan bangsa. Sudah saatnya sistem pendidikan di Indonesia
dilaksanakan dengan berorientasi membekali masyarakat dengan life skill, sehingga bagaimanapun sulitnya permasalahan, akan dapat diatasi dengan baik.
Hal ini sangat diperlukan bagi bangsa yang sedang berhadapan dengan krisis multidimensi yang berkepanjangan.
182
VII. SIMULASI DAMPAK INVESTASI SUMBERDAYA MANUSIA TERHADAP PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN