ARAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP

Simpulan Model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan disesuaikan dengan tahapan pembangunan, karakteristik masyarakat, dan perubahan iklim dilakukan melalui tahapan: i perjanjian kerjasama Indonesia dan Timor Leste dilakukan saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 28.000 ha, ii forum DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dibentuk saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 30.000 ha, iii badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dibentuk saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 30.000 ha. Strategi yang dilakukan melalui: penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal, mitigasi dan adaptasi bersama Indonesia dan Timor-Leste, regulasi mengenai private property dan common property, perlindungan terhadap sumberdaya air yang dilakukan dengan cara banultarabandu.

6. ARAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pembangunan wilayah perbatasan negara berbasis wilayah administrasi melalui penetapan lokasi prioritas dengan kriteria: i kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, ii ibu kota kabupaten yang berbatasan dengan negara tetangga. Pembangunan di wilayah perbatasan ditujukan untuk menjaga kedaulatan wilayah negara kesatuan republik Indonesia dengan cara: meningkatkan pertahanan dan keamanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melakukan pengelolaan sumberdaya alam wilayah perbatasan secara berkeadilan. Prioritas pembangunan di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste tahun 2000 hingga 2009 lebih prioritas pada aspek pertahanan dan keamanan, sejak tahun 2009 hingga kini prioritas pembangunan lebih menekankan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan cara: i pembangunan infrastruktur jalan, listrik, telekomunikasi, ii membuka pasar perbatasan negara, iii pemberlakukan pas lintas batas bagi penduduk yang berada di desa-desa yang berbatasan langsung. Pembangunan pasar dan pemberlakukan PLB sebagai bentuk implementasi kesepakatan Joint Border Committe JBC Indonesia dan Timor Leste. Orientasi pembangunan untuk meningkatkan akses dan mengurangi keterisolasian, tetapi belum prioritas terhadap pengelolaan sumberdaya alam wilayah perbatasan negara. Pembangunan yang dilakukan di wilayah perbatasan negara berbasis administrasi dan homogenitas wilayah perbatasan negara, namun kurang memperhatikan wilayah fungsional ekologis. Rustiadi et al 2011 menyatakan pembangunan diarahkan agar tidak hanya berbasis administrasi, tetapi juga berbasis wilayah fungsional ekologi, ekonomi, sosial. Dampak dari orientasi pembangunan seperti ini, menimbulkan eksternalitas negatif terhadap wilayah lain di perbatasan negara. Eksternalitas negatif menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat Coase, 1960. Kondisi ini terjadi karena tidak sempurnanya property right Allen, 2002 pada sumberdaya alam lintas negara. Kepemilikan sumberdaya alam sebagian oleh Indonesia dan sebagian lagi oleh Timor Leste. Dibutuhkan arahan kebijakan yang sebelumnya lebih berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan menjadi pembangunan yang berimbang dan berkelanjutan. Syaratnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam lintas negara direkonstruksi agar lebih koordinatif antara kelembagaan masyarakat, kelembagaan unilateral dan kelembagaan bilateral. North 1990 menyatakan kelembagaan dikategorikan menjadi kelembagaan formal dan informal. Ostrom 1990 mengelompokkan kelembagaan menjadi kelembagaan internal dan kelembagaan eksternal. Kelembagaan mengalami perubahan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sebagaimana dikemukakan Williamson 2000. Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Pembangunan diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan yakni: growth pertumbuhan, efisiensi dan produktifitas, equity pemerataan, keadilan dan keberimbangan, dan keberlanjutan. Orientasi pembangunan selama ini dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan pada pusat-pusat pertumbuhan, mulai mengalami pergeseran menjadi lebih berorientasi pada pemerataan pembangunan. Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah perbatasan nasional sebagai prioritas nasional sejak tahun tahun 2004 tertuang dalam RPJMN tahun 2004- 2009. Pemerintahan saat ini melanjutkannya dengan agenda pembangunan: membangun Indonesia dari pinggiran Nawa Cita ke-3. Pembangunan dengan perspektif pemerataan termasuk di wilayah perbatasan negara mulai membuka keterisolasian, meningkatkan akses dan interaksi dengan wilayah lain. Pembangunan jalan-jalan di wilayah perbatasan membuka akses masyarakat sehingga lebih mudah melakukan interaksi di dalam negeri juga dengan negara lain dalam posisi yang lebih setara. Pembangunan infrastruktur sosial termasuk sekolah dan perguruan tinggi memudahkan akses terhadap pendidikan. Pembangunan sarana ekonomi di wilayah perbatasan meningkatkan transaksi ekonomi. Pembangunan di wilayah perbatasan ini mengurangi ketimpangan wilayah dan ketimpangan dalam masyarakat. Program-program pembangunan umumnya berorietasi pada pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Rincian program-program pembangunan di wilayah perbatasan negara oleh pemerintah Indonesia pusat dan daerah dan Timor Leste pusat dan daerah yang telah dilakukan di wilayah perbatasan. Pemerintah Indonesia 1. Pemerintah Pusat - Pembangunan jalan - Penegerian Universitas Timor sebagai universitas di perbatasan negara - Pelatihan dan bantuan tekhnologi pertanian di kawasan perbatasan - Pengaktifan pasar perbatasan dan pemberlakuan pas lintas batas - Pengalokasian dana untuk otonomi desa termasuk desa-desa di perbatasan negara 2. Pemerintah Provinsi - Melaksanakan program anggur merah anggaran untuk rakyat menuju sejahtera, termasuk pada kecamatan-kecamatan wilayah perbatasan - Menetapkan kawasan strategis, pada segitiga antara Kabupaten TTU, TTS dan kupang, yang salah satu pertimbangannya karena berada pada wilayah perbatasan negara 3. Pemerintah Kabupaten - Melakukan pemekaran kecamatan, sehingga kecamatan perbatasan yang semula hanya 3 kecamatan menjadi 8 kecamatan di Kabupaten TTU - Melaksanakan program sari tani desa mandiri cinta petani - Melaksanakan program padat karya pangan - Menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis daerah Pemerintah Timor Leste 1. Pemerintah Pusat - Menetapkan District Oecussi sebagai district khusus karena letaknya yang enclave di wilayah indonesia - Melakukan percepatan pembangunan di Oecussi dengan program JEMS pembangunan pelabuhan, bandara, jalan, listrik dan infrastruktur pariwisata - Melakukan pembangunan bendungan dan irigasi - Kebijakan tidak adanya ekspor kayu dari Timor Leste 2. Pemerintah Daerah - Menetapkan rencana pembangunan jangka menengah District Oecussi Tahun 2014-2018 - Melakukan pemekaran desa Pembangunan ini telah meningkatkan growth dan mulai menciptakan pemerataan, namun pembangunan berkelanjutan belum tercapai. Temuan sebelumnya menunjukkan pembangunan wilayah perbatasan menimbulkan eksternalitas negatif terhadap bagian tengah dan hilir DAS. Pembangunan di wilayah perbatasan diarahkan selain berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan juga berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana dinyatakan Rees 1996 mengenai perencanaan pembangunan yang diarahkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara diarahkan untuk mengubah aktivitas usahatani masyarakat yang cenderung eksploitatif menjadi lebih ramah lingkungan. Caranya usahatani tebas-bakar dengan konversi lahan semak belukar diarahkan menjadi usahatani dengan sistem agroforestry. Perlindungan terhadap sumberdaya alam air dan hutan yang selama ini telah dilakukan oleh masyarakat adat dipertahankan dan ditingkatkan dengan memberikan insentif. Insentif dilakukan dengan cara bantuan bibit untuk melakukan penghijauan pada kawasan lindung adat. Selain itu, pemerintah daerah dapat melegalkan kawasan-kawasan adat yang dimanfaatkan sebagai perlindungan sumberdaya air dan sumberdaya hutan menjadi kawasan lindung dari sisi budaya dan lingkungan. Sesuai dengan North 1990 yang menyatakan kelembagaan formal dapat melegalkan kelembagaan informal yang berkembang di masyarakat. Pembangunan kawasan perbatasan juga diarahkan pada pembangunan wilayah perbatasan yang lebih perspektif fungsional ekologi, ekonomi, sosial dibanding administrasi. Pembangunan juga diarahkan untuk tidak hanya mengakomodir interaksi sosial, budaya dan ekonomi penduduk; tetapi juga ketergantungan spasial-ekologi dan heterogenitas ekologi. Terdapat 10 DAS di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Implikasinya dibutuhkan rekonstruksi kerangka kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam wilayah perbatasan negara. Kelembagaan yang melakukan pengelolaan secara parsial diarahkan untuk melakukan pengelolaan yang lebih koordinatif dan memasukkan aspek tahapan pembangunan, sosial, dan lingkungan Mumme, 2010 dalam pengelolaan DAS. Perubahan kerangka kelembagaan ini mendukung kesepakatan KTT Rio+20 tahun 2012, yang menyatakan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai dengan cara: ekonomi hijau, perubahan kerangka kelembagaan, dan aksi bersama. Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara dan Kelembagaan yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim Daerah aliran sungai di wilayah perbatasan negara dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pertanian secara ekstensif sehingga cenderung eksploitatif, sehingga menyebabkan perubahan penggunaan lahan konservasi menjadi lahan budidaya. Pengelolaan DAS secara co-management dibutuhkan untuk sharing power antara pemerintah dan masyarakat di wilayah perbatasan negara. Darmawan et al 2005 menyatakan co-management dikategorikan menjadi 3 model yakni: i model Ostrom yang memasukkan common property ke dalam sistem kepemilikan formal, ii model Vertical Harvard Poncas yang mendistribusikan hak kepemilikan pada hirarki pemerintahan, iii co-existence yang menganjurkan adanya wilayah administrasi sesuai dengan batas ekologis. Pengelolaan DAS di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste merupakan modifikasi dari model Ostrom, Vertical Harvard Poncas, dan co- Existence. Pengelolaan DAS diarahkan untuk memformalkan lokasi-lokasi kawasan perlindungan sumberdaya air dan hutan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat sehingga membutuhkan koordinasi yang lebih baik. Koordinasi akan lebih mudah bila pembangunan wilayah perbatasan negara tidak hanya perspektif administrasi, tetapi juga fungsional sebagaimana model co-existence. Kodoatie et al 2010 menyatakan pengelolaan DAS mencakup beberapa aspek, yakni: i aspek teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan, ii keterpaduan antar sektor, iii kelembagaan. Kartodihardjo et al. 2004 menyatakan pengelolaan DAS sebagai suatu sistem sumberdaya ekologis, satuan pengembangan sosial ekonomi, dan satuan pengaturan tata ruang wilayah yang mengisyaratkan keterpaduan dan keseimbangan antara prinsip produktifitas dan konservasi sumberdaya alam. Pengelolaan DAS diarahkan untuk mempertahankan kualitas air, mengendalikan banjir, meningkatkan penangkapan air hujan sehingga dimanfaatkan pada musim kemarau, meningkatkan produktivitas usahatani. Kerr 2007 menyatakan secara umum pengelolaan DAS memiliki tiga tujuan utama, yakni: i melestarikan dan memperkuat basis sumberdaya alam dengan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya untuk konservasi, ii meningkatkan produktivitas pertanian dan sumberdaya alam lainnya termasuk tanah, air, padang gembalaan, irigasi, produksi biomassa, iii mendukung mata pencaharian pedesaan untuk mengurangi danatau mengentaskan kemiskinan. Perubahan pengelolaan DAS diharapkan dapat meningkatkan daya dukung lingkungan untuk menyediakan sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan pada bagian hulu, tengah dan hilir DAS. Perubahan pengelolaan DAS diarahkan untuk mengubah perspektif produksi dan konsumsi menjadi peningkatan daya dukung lingkungan, tentunya disertai dengan upaya-upaya yang lebih komprehensif. Arahan kebijakan yang lebih komprehensif adalah perubahan kelembagaan menjadi lebih kontinyu sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan Williamson, 2000. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Kelembagaan ini membutuhkan adaptasi terhadap kelembagaan masyarakat, kelembagaan unilateral dan kelembagaan bilateral. Kelembagaan bilateral berperan memformalkan kerjasama pengelolaan DAS dalam JBC Indonesia dan Timor Leste. Kelembagaan unilateral diarahkan untuk menyiapkan regulasi-regulasi yang berhubungan dengan pengelolaan DAS lintas negara, sehingga pengelolaan menjadi lebih terpadu dan terintegrasi. Pengelolaan DAS wilayah perbatasan secara terpadu meliputi: keterpaduan wilayah fungsional hulu, tengah, hilir, keberlanjutan pembangunan sosial, ekonomi, ekologi, keterpaduan antar pemangku kepentingan masyarakat, pemerhati DAS, pemerintah. Pengeloaan DAS wilayah perbatasan secara terintegrasi meliputi wilayah administrasi Indonesia dan Timor Leste. Pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dimungkinkan karena adanya agenda lingkungan internasional yang dituangkan dalam millenium development goals εDG’s, dan telah di-update menjadi sustainable development goal,s SDG ’s. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste diarahkan untuk dilakukan dengan cara reformulasi regulasi. Ostrom 1990 menyatakan reformulasi regulasi juga dilakukan pada level constitutional rule. Pemerintah Indonesia menetapkan pembangunan wilayah perbatasan dengan perspektif keterkaitan spasial-ekologi, selain perspektif administrasi, sosial budaya dan ekonomi. Pemerintah Timor Leste menyiapkan regulasi mengenai pembangunan wilayah perbatasan, pengelolaan sumberdaya alam, dan penataan ruang. Arahan kebijakan juga untuk menentukan kewenangan dan koordinasi antar kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, sebagaimana Ostrom 1990 menyatakan mengenai collective choice rule. Kementerian dalam negeri, kementerian PUPR, kementerian perdagangan dan industri, kementerian kehutanan dan lingkungan hidup yang berada dalam joint border committee Indonesia dan Timor-Leste melakukan koordinasi di dalam negeri, sebelum melakukan koordinasi dengan kementerian terkait dari Timor Leste dalam JBC. Reformulasi regulasi pada tataran operasional sebagaimana dinyatakan Ostrom 1990, dengan mengarahkan pemerintah daerah menetapkan kawasan perlindungan sumberdaya air dan sumberdaya hutan pada rencana tata ruang wilayah RTRW kabupaten. Pemerintah pusat juga menetapkannya dalam peraturan presiden mengenai penataan ruang kawasan strategis nasional. Penataan ruang menjadi pedoman bagi masing-masing lembaga dalam melakukan perencanaan pembangunan. BNPP juga dapat mereformulasi grand design pengelolaan wilayah perbatasan negara dengan memasukkan ketergantungan spasial-ekologi. Rincian stakeholder dan kelembagaan yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara ditampilkan Tabel 56. Tabel 56. Stakeholder dan Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara Stakeholder Lembaga Peran Pemerintah RI-RDTL Joint Border Committee JBC RI-RDTL Kerjasama antara RI dan RDTL Pemerintah Pusat BNPP Koordinasi pembangunan wilayah perbatasan BP-DAS Mengelola DAS lintas provinsi dan lintas negara Pemerintah Provinsi BNPP Provinsi Mengelola pembangunan di wilayah perbatasan yang menjadi urusan pusat melalui tugas perbantuan dan dekonsentrasi BP-DAS Benain- Noelmina Mengelola DAS lintas kabupaten Pemerintah Kabupaten BNPP Kabupaten Mengelola pembangunan wilayah perbatasan yang menjadi kewenangan daerah Masyarakat Masyarakat Adat Melakukan pemeliharaan terhadap DAS Forum DAS NTT Melakukan fungsi koordinasi antar stakeholder dalam pengelolaan DAS di NTT NGO Lokal dan internasional Mendorong pembangunan yang berwawasan lingkungan PBB UN, UNDP, World Bank, Development Bank Menjembatani dialog antar negara, dan mendorong terwujudnya kerjasama bilateral Sumber: Grand Design Pengelolaan Perbatasan RI 2012, PP RI tentang Pengelolaan DAS 2012, Kartodihardjo et al. 2004 Implikasi Penataan Ruang Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Interaksi sosial dan interaksi spatial berimplikasi pada penataan ruang di wilayah perbatasan. Penataan ruang terdiri atas: perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Penataan ruang mengarahkan pemangku kepentingan dalam melakukan aktivitas di dalam ruang pemanfaatan ruang, dan menjadi dasar bagi pemerintah dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Perencanaan Ruang di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste Pemerintah Indonesia menetapkan wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam RTRWN. Implikasinya disusun rencana rinci tata ruang sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perencanaan ruang pada wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste diatur dalam Perpres No. 179 Tahun 2014 tentang Penataan Ruang Wilayah Perbatasan Negara Indonesia di Provinsi NTT. Perencanaan ruang dilakukan di Indonesia, sedangkan pemerintah Timor Leste belum memiliki perencanaan ruang. Penataan ruang khusus untuk wilayah Indonesia dan tidak ada komunikasi antar pemaku kepentingan kedua negara. Perencanaan ruang sebagaimana diamanatkan perspektif administrasi dan kurang perspektif interaksi sosial dan ketergantungan ekologi. Secara skematis perencanaan ruang yang tertuang dalam Perpres No. 179 tahun 2014 di wilayah perbatasan Indonesia di Provinsi NTT ditampilkan Gambar 32. Perencanaan ruang dengan skema seperti ini menunjukkan adanya interaksi sosial dan spatial antar kecamatan-kecamatan perbatasan, dan kecamatan perbatasan dengan dengan Kota Atambua dan Kota Kefamenanu sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional PKSN. Perencanaan ruang ini kurang perspektif wilayah ekologi, sedangkan terdapat sumberdaya alam yang lintas negara. Dibutuhkan penataan ruang yang mengakomodir wilayah ekologi dan administrasi sebagaimana juga dikemukakan Sirojuzilam 2007. Implikasi adanya interaksi sosial dan interaksi spatial pada wilayah ekologi dan wilayah administrasi seyogyanya memperoleh perhatian dalam proporsi yang sama dalam perencanaan ruang wilayah perbatasan negara. Aminah 2012 menyatakan pendekatan socio-spatial digunakan untuk merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan politik dalam penataan ruang. Secara skematis perencanaan ruang wilayah perbatasan perspektif wilayah administrasi dan ekologi ditampilkan Gambar 33. Pemerintah Kabupaten TTU juga menetapkan kawasan perbatasan negara dengan enclave District Oecusi sebagai kawasan strategis daerah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Perda Kabupaten TTU No. 8 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten TTU tahun 2008-2028. Kawasan hutan pada wilayah perbatasan yang termasuk dalam DAS Tono seluas 1.352 ha yang berada di Desa Nainaban, Inbate, Banain, Bitefa, Kaenbaun, Bokon, Fatusene. Selebihnya 13.313 ha merupakan lahan di DAS Tono yang direncanakan dengan fungsi budidaya pertanian, pemukiman, padang penggembalaan, lahan terbuka. Kendalanya, perencanaan ruang oleh pemerintah Indonesia dilakukan pada wilayah Indonesia tanpa koordinasi dengan pemerintah Timor Leste sehingga kurang perspektif interaksi sosial dan ketergantungan ekologi antar negara. Perencanaan ruang pada wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tingkat pusat dan daerah, sedangkan pemerintah Timor Leste belum melakukan perencanaan ruang baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah. Arahan kebijakan pada wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste pada perencanaan ruang adalah: - perencanaan ruang wilayah perbatasan pada wilayah Indonesia direvisi dengan memasukkan perspektif wilayah fungsional ekologi DAS perbatasan negara, yang dilakukan dalam tahap kerjasama pengelolaan DAS lintas negara. - perencanaan ruang penting dilakukan di wilayah Timor Leste oleh pemerintah Timor Leste, yang dilakukan dalam tahap kerjasama pengelolaan DAS lintas negara - koordinasi perencanaan ruang antara pemerintah Indonesia dan Timor Leste dalam perencanaan ruang wilayah perbatasan negara, yang dilakukan oleh forum DAS dalam tahap pengelolaan DAS lintas negara - konektivitas perencanaan raung Indonesia dan Timor Leste pada kawasan perbatasan, yang dilakukan oleh badan pengelola DAS dalam tahap pengelolaan DAS lintas negara Koordinasi hingga tercapainya konektivitas perencanaan ruang Indonesia dan Timor Leste pada wilayah perbatasan menjadi landasan pemanfaatan dan pengendalian ruang oleh pemangku kepentingan di Indonesia dan Timor Leste. Gambar 32. Peta Ilustrasi Skema Penataan Ruang Wilayah Perbatasan Negara Indonesia di NTT 120 Gambar 33. Peta Ilustrasi Skema Desain Penataan Ruang Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dan Timor Leste 121 Perencanaan ruang wilayah perbatasan negara perlu perspektif ekologi dengan memasukkan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara sebagai salah satu sumberdaya pembangunan. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dapat memulai dari pengelolaan DAS Tono sebagai model, dan memperluas wilayah pengelolaan untuk DAS yang lebih luas wilayahnya. Sebagai gambaran DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste secara administrasi meliputi: i Kabupaten TTU dengan District Oecussi, ii Kabupaten TTU, TTS, Kupang, dan District Oecussi, iii Kabupaten TTS, TTU, Malaka, District Kovalima iv Kabupaten Malaka, Belu, District Kovaliva. Kabupaten TTS merupakan kabupaten di Pulau Timor yang tidak berbatasan langsung dengan Timor-Leste, namun umumnya merupakan hulu DAS besar di Pulau Timor. Pemanfaatan Ruang di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor-Leste Pemanfaatan ruang di Indonesia pada DAS Tono tidak konsisten dengan perencanaan ruang karena luas hutan direncanakan seluas 1.320 ha, namun penggunaan lahan hutan yang ada hanya seluas 589 ha selisih 731 ha. Konversi lahan hutan menjadi lahan semak belukar dan lahan pertanian rentan terjadi karena terdapat beberapa desa yang enclave pada kawasan hutan. Perbandingan konsistensi perencanaan ruang dengan pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan pada DAS Tono-RI ditampilkan Gambar 34. Pemanfaatan ruang dengan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya pertanian lahan kering dengan sistem tebas-bakar menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan petani lahan kering 36 dan petani lahan basah 66 karena terjadi banjir dan kekeringan sebagaimana hasil analisis pada Bab 3. Arahan kebijakannya adalah konsistensi pemanfaatan ruang di Indonesia diharapkan dapat mengurangi terjadinya banjir dan kekeringan karena infiltrasi yang tinggi. Demikian pula perencanaan dan pemanfaatan ruang di Timor Leste yang lebih berfungsi konservasi terutama pada wilayah dengan kemiringan 40 akan mengurangi terjadinya banjir dan kekeringan pada DAS Tono. Arahan kebijakan lainnya adalah pemanfaatan ruang pada kawasan hutan dengan fungsi budidaya dapat diperbolehkan kepada masyarakat, namun dengan sistem agroforestry sehingga tetap berfungsi konservasi. Konservasi dan budidaya secara bersamaan pada sistem agroforestry diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani karena berkurangnya banjir dan kekeringan di DAS Tono. Pemanfaatan ruang dengan perspektif yang sama juga dilakukan di wilayah perbatasan Timor Leste sehingga turut menjamin pembangunan berkelanjutan. Suweda 2011 menyatakan pemanfaatan ruang dengan memperhatikan interaksi komponen sosial politik, ekonomi dan lingkungan hidup dapat menjamin kehidupan manusia yang hidup pada masa kini dan masa mendatang, asalkan pembangunan sosial ekonomi tidak melampaui ambang batas lingkungan. Pemanfaataan ruang dengan perspektif administrasi dan ekologi membutuhkan komunikasi antar pemangku kepentingan Indonesia dan Timor Leste; sebab mengakibatkan berkurangnya fungsi hidrologi. Komunikasi dapat dilakukan dalam forum-forum Joint Border Comitte JBC Indonesia dan Timor Leste. Gambar 34. Peta Pola Ruang dan Penggunaan Lahan di DAS Tono RI 123 Pengendalian Ruang di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste Mekanisme pengendalian ruang sesuai UU Penataan Ruang yang dijabarkan dalam dokumen perencanaan ruang Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Negara dan RTRW Kabupaten adalah pemberian insentif dan disinsentif. Insentif bagi pihak-pihak yang memanfaatkan ruang sesuai dengan perencanaan ruang, sedangkan disinsentif bagi pihak-pihak yang tidak memanfaatkan ruang sesuai peruntukannya. Pengendalian ruang sebagaimana dimaksud belum dilakukan sehingga terjadi inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan perencanaan ruang. Arahan kebijakannya adalah sosialisasi dan konsisten dalam implementasi rencana tata ruang wilayah termasuk rencana pengendaliannya guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Tukidi et al 2007 menyatakan pemberian insentif dan disinsentif merupakan kebijakan penataan ruang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah, sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktual pembangunan. Arahan kebijakan penataan ruang wilayah perbatasan secara umum adalah dibutuhkannya revisi penataan ruang perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian dengan memasukkan DAS sebagai wilayah fungsional ekologi, sehingga lebih menjamin pembangunan berkelanjutan. Revisi penataan ruang juga memperhatikan kesepakatan-kesepakatan Indonesia dan Timor Leste mengenai pengelolaan sumberdaya alam lintas negara. Kesepakatan RI-RDTL mengenai penataan ruang wilayah perbatasan dengan cara menentukan pola ruang dan struktur ruang. Pola ruang berhubungan dengan kawasan budidaya dan kawasan lindung, sedangkan struktur ruang berhubungan dengan penempatan pusat-pusat aktivitas dan jaringan interaksi antara masing-masing pusat aktivitas. Pola ruang yang ditata sesuai dengan property right karena DAS lintas negara dimiliki secara bersama property right tidak sempurna karena dimiliki Indonesia dan Timor Leste. Pola ruang dengan peruntukan lahan hutan, diarahkan untuk direhabilitasi kembali hingga mencapai lebih dari 30 persen luas DAS atau 16.040 ha lahan hutan dari 53.464 ha luas DAS Tono. Distribusinya, luas hutan pada DAS Tono di Indonesia 4.430 ha dari 14.763 ha dan Timor-Leste 11.610 ha dari 38.701 ha. Bandingkan dengan luas hutan saat ini di DAS Tono adalah 675 ha 589 ha di Indonesia dan 86 ha di Timor Leste. Kondisi saat ini luas lahan DAS Tono di Indonesia yang dapat dikonversi menjadi lahan hutan seluas 1.352 ha. Lahan seluas 1.352 ha merupakan lahan milik negara state property. Luas hutan di Indonesia setelah direhabilitasi belum mencapai luas hutan minimal 4.430 ha. Dibutuhkan lahan milik individu individual property dan komunal common property untuk dikonversi. Konversi dimaksud adalah pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur sistem tebas-bakar menjadi sistem agroforestry seluas 2.748 ha. Total luas lahan hutan dan agroforestry DAS Tono di Indonesia setelah direhabilitasi seluas 4.838 ha atau luasannya lebih 408 ha. Lahan hutan dan agroforestry seluas 4.838 ha seluruhnya berada pada bagian hulu dan tengah DAS Tono. Lokasi rehabilitasi lahan secara spatial ditampilkan Gambar 34. Topografinya pada daerah ketinggian dengan kemiringan 40 sehingga akan mengurangi aliran permukaan, erosi, banjir. Peningkatan luas hutan dan agroforestry juga akan meningkatkan curah hujan karena tingginya evapotranspirasi sehingga dalam jangka panjang akan mengurangi kekeringan. Penataan ruang berimplikasi terhadap pelaksanaan program-program pembangunan berkelanjutan disesuaikan dengan kondisi ekologi, sosial, dan ekonomi. Arahan kebijakan penataan ruang dalam pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara pada tiap tahapan kelembagaan sebagai berikut: - Kerjasama pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara: meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal mengenai keterkaitan ekologi DAS hulu, tengah, dan hilir meskipun DAS berada pada wilayah administrasi yang berbeda, meningkatkan pemahaman mengenai terwujudnya pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu tujuan pembangunan selain growth dan equity. - Forum DAS wilayah perbatasan negara: mitigasi dan adaptasi bersama, kajian-kajian untuk memastikan fungsi hidrologi DAS wilayah perbatasan. Perhitungan-perhitungan fungsi hidrologi karena adanya perlindungan terhadap lahan konservasi, dan rehabilitasi lahan yang diperlukan untuk menjaga kelestarian fungsi hidrologi. - Badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara: menggunakan kajian yang telah dilakukan forum DAS untuk melaksanakan willingness to pay dan willingness to accept, pengelolaan usaha bersama secara terintegrasi, pemberian insentif bagi pihak-pihak yang menjaga kelestarian sumberdaya alam, usahatani lahan kering dengan sistem agroforestry, penguatan kelembagaan adat untuk melakukan perlindungan terhadap sumberdaya air dan hutan, pembangunan stasiun agroklimat dan sistem informasi yang dapat diakses oleh kedua negara, sistem tata air dan alokasi penggunaan air, pembangunan infrastruktur seperti: bendungan, embung-embung, jaringan irigasi. Penataan ruang yang dalam pelaksanaannya berbeda antar tahapan kelembagaan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Salah satu kelemahan dari kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan adalah terbatasnya kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten serta pemerintah desa dalam melakukan perencanaan pembangunan pada wilayahnya secara otonom. Meskipun otonomi daerah telah diterapkan sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan otonomi desa sesuai UU No. 6 tahun 2014 tetang Desa. Penataan ruang pada wilayah perbatasan sifatnya mengikat antar kedua negara, sehingga mengurangi kebebasan individu, pemerintah desa dan pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan pada wilayah perbatasan. Solusinya dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang baik antar kelembagaan masyarakat, unilateral, bilateral akan memudahkan implementasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim ini dilakukan secara terintegrasi dengan program untuk meningkatkan ketahanan recilience ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berarti selaras dengan upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

7. SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan Umum