1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah sebagai ruang yang mempunyai kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administrasi danatau fungsional sebagaimana didefinisikan dalam Undang- Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selaras dengan itu, Murty
2000 menyatakan wilayah tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, politik, sosial administrasi, iklim
hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Kemudian Rustiadi et al 2011, mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografis dengan
batas-batas spesifik tertentu yang komponen-komponen di dalamnya sub wilayah satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Definisi-definisi
tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik luasan suatu wilayah.
Pembangunan wilayah lebih fleksibel dan tidak terbatas pada wilayah administratif, tetapi berdasarkan tipologi wilayah. Secara umum tipologi wilayah
dikategorikan menjadi: wilayah homogen, wilayah fungsional nodal, wilayah perencanaan. Wilayah perencanaan umumnya berbasis administrasi, seperti:
negara, provinsi, kabupaten dan desa. Wilayah perencanaan juga merupakan wilayah yang ditetapkan pemerintah karena pertimbangan tertentu, seperti:
kawasan pengembangan ekonomi terpadu KAPET dan kawasan perbatasan.
Terdapat 10 negara di dunia yang berbatasan dengan Indonesia, yakni: Australia, Papua Nugini, Timor Leste, Palau, Filipina, Malaysia, Vietnam,
Thailand, Singapura, India. Terdapat 3 tiga negara diantaranya yang berbatasan darat, yakni: Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan, Indonesia dengan Papua
Nugini di Papua, dan Indonesia dengan Timor Leste di Timor. Ilustrasi perbatasan Negara Indonesia dengan negara lain sebagaimana ditampilkan Gambar 1.
Perbatasan darat Indonesia dengan Timor Leste merupakan wilayah perbatasan yang unik karena terdapat wilayah Timor Leste yang enclave District
Oecussi, sehingga perbatasan darat berada pada dua bagian, yakni bagian Timur dan bagian Barat. Perbatasan pada bagian Barat antara Kabupaten Belu dan
Kabupaten Malaka dengan District Covalima dan District Maliana. Perbatasan pada bagian Timur antara Kabupaten Timor Tengah Utara TTU dan Kabupaten
Kupang dengan Enclave District Oecussi. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.
Perbatasan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia UU RI No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan kawasan perbatasan adalah wilayah kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara lain. Terdapat 18 Kecamatan di
Indonesia yang berbatasan darat dengan Timor Leste, dengan rincian 8 delapan kecamatan di Kabupaten Belu, 8 delapan kecamatan di Kabupaten TTU, 1
kecamatan di Kabupaten Kupang, dan 1 kecamatan di Kabupaten Malaka.
Gambar 1. Perbatasan Negara Indonesia dengan Negara Lain Sumber: BNPP, 2011
PERBATASAN INDONESIA DENGAN 10 NEGARA TETANGGA DARAT DAN LAUT
RI-MAL
RI-SIN RI-MAL
Batas Laut Teritorial Batas Landas Kontinen
Batas Zona Ekonomi Eksklusif
RI-PHIL RI-PALAU
RI-SING
RI-RDTLLESTE
2
Gambar 2. Peta Perbatasan Darat Indonesia dengan Timor Leste 3
Pembangunan kawasan perbatasan negara didasarkan pada grand design pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan negara 2011-2025. Visi
pengelolaan perbatasan negara yakni terwujudnya perbatasan negara sebagai wilayah yang aman,
tertib, dan maju”. Penjabaran visi melalui misi berikut: i Mewujudkan perbatasan negara yang aman melalui peningkatan kondisi
pertahanan dan keamanan yang kondusif bagi berbagai kegiatan ekonomi, sosial dan budaya serta meningkatkan sistem pertahanan perbatasan darat dan laut. ii
Mewujudkan perbatasan negara yang tertib melalui peningkatan kerjasama internasional, penegakan hukum, kesadaran politik serta penegasan dan penetapan
tata batas Negara. iii Mewujudkan perbatasan negara yang maju melalui peningkatan kegiatan ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana, peningkatan
kualitas sumberdaya manusia, dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Pembangunan kawasan perbatasan berbasis administrasi kecamatan bias karena sebagian sumberdaya di perbatasan negara bersifat fungsional, misalnya
daerah aliran sungai DAS. Rustiadi et al 2011 menyatakan pembangunan wilayah didasarkan beberapa aspek, misalnya: homogenitas, keterkaitan antar
wilayah, wilayah sistem ekonomi, wilayah sistem sosial, wilayah sistem ekologi. Selengkapnya mengenai konsep wilayah ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Berbagai Konsep Wilayah, Tujuan dan Contoh Penggunaan
No Wilayah
Tujuan Contoh
1 Homogen
Penyederhanaan dan pendeskripsian wilayah, zonasi kawasan fungsional
Pola penggunaan lahan, pewilayahan komoditas
2 Nodal
Deskripsi hubungan nodalitas, identifikasi daerah pelayanan, penyusunan hierarki
pelayanan Keterkaitan CBD dan
daerah pelayanannya, central place dan
periphery, sistemordo
3 Sistem ekologi
Pengelolaan wilayah sumber daya berkelanjutan, identifikasi carrying
capacity kawasan, siklus alam aliran sumber daya, biomasa energi, limbah, dan
lain-lain Pengelolaan DAS, cagar
alam, ekosistem mangrove
4 Sistem ekonomi
Percepatan pertumbuhan wilayah, produktifitas dan mobilisasi sumber daya,
efisiensi Wilayah pembangunan,
kawasan andalan, KAPET, kawasan
agropolitan, kawasan cepat tumbuh
5 Sistem sosial
Pewilayahan menurut sistem budaya, optimalisasi interaksi sosial, community
development, keberimbangan, pemerataan dan keadilan, distribusi penguasaan
sumber daya, pengelolaan konflik Kawasan adat,
perlindunganpelestarian budaya, pengelolaan
kawasan publik kota
6 Politik
Menjaga keutuhan dan integritas wilayah teritorial, menjaga pengaruhkekuasaan
teritorial, menjaga pemerataanequity antar sub wilayah
negara, provinsi, kabupaten, desa
7 Administratif
Optimalisasi fungsi-fungsi administrasi dan pelayanan publik pemerintahan
negara, provinsi, kabupaten, desa
Sumber : Rustiadi et al 2011
Daerah Aliran Sungai DAS merupakan suatu sistem ekologi yang mencakup wilayah yang sangat luas dan memiliki keterkaitan ekologi hulu,
tengah dan hilir beserta sumberdaya terkait sosial dan ekonomi. Terdapat 10 DAS di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. DAS-DAS ini
berada pada 2 dua wilayah sungai WS yakni: WS Benenain dan WS Noelmina Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Wilayah
Sungai. DAS sebagai sumberdaya pembangunan perbatasan negara berbeda secara administrasi dengan definisi kawasan perbatasan negara, sehingga
penelitian ini menggunakan istilah “wilayah perbatasan negara”. DAS merupakan suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan
dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara
alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 37 tahun 2012. Selanjutnya dinyatakan juga DAS merupakan kesatuan ekosistem alami yang utuh dari hulu hingga hilir beserta
kekayaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang wajib dikembangkan dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan melalui upaya pengelolaan
DAS.
BP DAS Benain-Noelmina melakukan pengelolaan terhadap DAS Ekat dan DAS Banain yang berada di Indonesia Perpres No. 179 tahun 2014. DAS
Ekat dan DAS Banain sesungguhnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari DAS Tono numenklatur ini lebih dikenal di Timor Leste. Secara administrasi,
DAS Tono berada di Sub District Passabe, Nitibe, Oesilo, dan Pante Makasar di District Oecussi Timor Leste. Wilayah Indonesia yang termasuk dalam DAS
Tono adalah Kecamatan Musi, Bikomi Nilulat, Bikomi Tengah, Bikomi Utara, Miomafo Timur, dan Naibenu di Kabupaten TTU Indonesia. Adapun luas DAS
Tono adalah 53.464 ha yang terdistribusi menjadi 27,43 berada di Kabupaten TTU, dan 72,57 berada di Enclave District Oecussi. Selengkapnya ditampilkan
Tabel 2, sedangkan Gambar 3. menunjukkan pengelompokkan DAS Tono berdasarkan wilayah ekologi 72 merupakan bagian hulu, sedangkan 17
bagian tengah dan 11 merupakan bagian hilir DAS Tono.
Tabel 2. Luas DAS Tono dan DAS Tono Menurut Wilayah Administrasi
Negara Kabupaten
District Luas
DAS ha
Persentase KecamatanSub
District di DAS Tono
Indonesia TTU
14.665 27,43
Musi, Bikomi
Ni’lulat, Bikomi Tengah, Bikomi
Utara, Naibenu, Miomafo Timur
Timor Leste Oecussi
38.799 72,57
Pasabe, Nitibe, Oesilo,
Pante Makasar
Total 53.464
100,00 10 Kecamatan
Gambar 3. Peta DAS Tono di Wilayah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste 6
Pengelolaan DAS menjadi penting untuk mempertemukan kepentingan wilayah administrasi dan wilayah fungsional ekologi pada DAS Tono yang berada
di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Pengelolaan DAS yang dimaksud sesuai PP RI No. 37 tahun 2012 adalah upaya manusia dalam mengatur
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
Permasalahan
Kebijakan pembangunan wilayah perbatasan negara dilakukan secara parsial, diindikasikan oleh pembangunan pada masing-masing wilayah
administratif tanpa mempertimbangkan dampak terhadap negara lain. Pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia di perbatasan negara
Indonesia dan Timor Leste, meliputi: pembangunan jalan, pemberdayaan masyarakat, pembukaan sawah baru, perluasan pemukiman, pemekaran
kecamatan dan pembangunan infrastruktur pendukung. Pembangunan yang sama juga dilaksanakan oleh pemerintah Timor Leste di wilayah perbatasan negara
dengan prioritas yang berbeda. Pembangunan yang dilakukan pada masing- masing wilayah kecamatan di Indonesia dan sub district di Timor Leste
menentukan hirarki suatu wilayah.
Pencapaian tujuan pembangunan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak yang dimaksud adalah terjadi konversi lahan yang
sebelumnya merupakan lahan konservasi menjadi lahan budidaya pemukiman, pertanian lahan kering campur dan sawah. Pembangunan meningkatkan akses
terhadap pendidikan dan kesehatan, sehingga meningkatkan pertumbuhan penduduk. Peningkatan pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan
terhadap pangan yang diperoleh dari pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering, yang merupakan sistem livelihood penduduk di wilayah perbatasan negara.
Sistem livelihood penduduk di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste umumnya bertani dan didominasi oleh usaha pertanian lahan kering.
Data BPS TTU menyatakan 57 penduduk TTU bekerja pada sektor pertanian. Pekerja pada sektor pertanian umumnya tidak berpendidikan danatau
berpendidikan rendah. Terdapat 72,30 tidak sekolahtidak tamat SDtamat SD sehingga inovasi pada sektor pertanian masih tergolong rendah, sehingga
mengandalkan ekstensifikasi pertanian.
Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan sistem tebas-bakar. Luas pertanian lahan kering meningkat dari 2.842 ha pada tahun 2000 menjadi 5.383 ha
pada tahun 2014. Adapun pertanian lahan kering campur meningkat dari 17.102 ha pada tahun 2000 menjadi 22.662 ha pada tahun 2014. Peningkatan luas
pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur merupakan konversi dari lahan semak belukar yang lebih berfungsi konservasi. Akumulasinya dengan
perubahan curah hujan dan temperatur berdampak terhadap terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Banjir dan kekeringan sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan petani dan akumulasinya dengan faktor yang dikendalikan petani berdampak
terhadap rendahnya produksi dan efisiensi usahatani. Adapun faktor produksi yang dapat dikendalikan petani benih, pupuk, peralatan, tenaga kerja, pola
tanam. Banjir dan kekeringan merupakan eksternalitas negatif dari pembangunan,
yang menyebabkan adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat Coase, 1960 karena hilangnya sebagian pendapatan petani.
Kondisi ini juga mengindikasikan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara belum terkoordinasi dengan baik karena property right yang tidak
sempurna Demsetz, 1967; Allen, 2002. Property right terhadap DAS wilayah perbatasan tidak sempurna karena kepemilikan berada pada pemerintah 2 negara
Indonesia dan Timor Leste, individu 2 negara Indonesia dan Timor Leste dan kepemilikan lahan di DAS yang bersifat komunal. Implikasinya pengelolaan
dilakukan secara terpisah oleh masing-masing kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan
masyarakat, kelembagaan unilateral, dan kelembagaan bilateral.
Kelembagaan masyarakat yang ada di wilayah perbatasan dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS adalah melakukan pemanfaatan dan perlindungan
terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya air. Kelembagaan masyarakat sulit dibatasi oleh wilayah administrasi kenegaraan karena itu, masyarakat ke-2 negara
tidak jarang melakukan aksi-aksi pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam secara bersama.
Kelembagaan unilateral merupakan kelembagaan yang dikembangkan oleh institusi masing-masing negara. Kebijakan-kebijakan pembangunan Indonesia dan
Timor Leste memperlakukan wilayah perbatasan sebagai wilayah administratif, dan kurang perspektif wilayah fungsional ekologi. Ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai pembangunan wilayah perbatasan negara dan pengelolaan DAS tidak sinkron secara spatial pada beberapa wilayah. Selain itu, lemahnya
koordinasi antar lembaga-lembaga formal yang memiliki kewenangan perencanaan dan pengelolaan DAS, dan pembangunan di wilayah perbatasan
negara menjadi penyebab munculnya eksternalitas negatif.
Perubahan kerangka kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan meliputi komponen sosial,
ekonomi, dan ekologi. Demikian pula mazhab pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebelumnya masih berorientasi pada pertumbuhan dan
pemerataan pembangunan, mengalami perubahan menjadi berorientasi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Sesuai Deklarasi Rio+20 tahun 2012 dalam dokumen the future we want, yang menyatakan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai melalui: ekonomi
hijau, perubahan kerangka kelembagaan, aksi bersama. Pengembangan kelembagaan bilateral pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor
Leste merupakan salah satu upaya implementasi Deklarasi Rio, yang menjadi wadah untuk melakukan aksi bersama para pemangku kepentingan Indonesia dan
Timor Leste.
Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim menjadi salah satu solusi guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Pengalaman beberapa negara di dunia dalam melakukan pengelolaan DAS lintas negara dapat dijadikan rujukan. Kartodihardjo
et al 2004 menyatakan bentuk kelembagaan DAS lintas negara di dunia dikategorikan menjadi perjanjian kerjasama, komisiforum, badan otonom.
Rinciannya sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kelembagaan DAS Lintas Negara di Dunia
Sungai Negara Yang Dilintasi
Kelembagaan
Senegal Mali, Mauritania, Senegal,
Guinea, Niger, Nigeria, cameroon The Senegal River Basin Authority,
1972; Navigasi, Irigasi Niger
Guinea, Mali, Niger, Nigeria, Algeria, Cameroon, Bukina Fasso,
Benin, Cote- d’lvloire, Chad
Niger River Authority, 1980; Perencanaan Koordinasi Navigasi,
Populasi dan Hidropower Danube
Romania, Croatia, Serbia- Montenegro, Hungary, Austria,
Slovakia, germany, Bulgaria, Ukraina, Moldova
Perjanjian navigasi dan program institusi lingkungan; polusi, kualitas
air dan ekologi
Elbe Germany, Rep. Ceko, Austria,
Poland Perjanjian mengenai masalah polusi
Indus India, Pakistan, Afganistan, China Perjanjian Indus, 1960
Ganges- Brahmaputra
Nepal, Bangladesh, India, Bhutan, China
Perjanjian antara India dan Bangladesh, sharing sungai Gangga
Mekong Laos, Nyanmar, China,
Cambodia, Thailand, Vietnam The Mekong Committee, 1957;
Mekong Commision 1995 navigasi, hydropower
Sumber: Kartodihardjo et al 2004
Kelembagaan-kelembagaan yang dibentuk secara bilateral dan multilateral oleh negara-negara dimaksud, didasarkan pada beberapa indikator, diantaranya:
i tingginya pertumbuhan penduduk dan permintaan air di DAS Ganges- Brahmaputra dan Mekong, ii gap pembangunan dan konflik antar sektor industri
dan pertanian pada negara-negara di Eropa. Dibutuhkan disain kelembagaan bilateral pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yang
didasarkan pada permasalahan perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan. Berdasarkan permasalahan-
permasalahan yang telah dikemukakan, ada 4 empat pertanyaan penelitian berikut:
1. Bagaimana hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara dengan
penggunaan lahan di DAS Tono? 2.
Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan
efisiensi usahatani di DAS Tono? 3.
Mengapa kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan yang ada saat ini tidak mampu mengatasi externality?
4. Bagaimana disain model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan?
Tujuan dan Manfaat Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan
iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Tujuan umum penelitian tersebut dijabarkan ke dalam beberapa tujuan berikut:
1. Analisis hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara terhadap
penggunaan lahan di DAS Tono
2. Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim
terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan efisiensi usahatani di DAS Tono
3. Evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
4. Disain model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah: 1.
Rujukan bagi pemangku kepentingan dalam merumuskan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap
perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. 2.
Rujukan dalam merumuskan instrumen dan rencana aksi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan
3. Rujukan bagi petani dalam melakukan aktivitas usahatani di DAS Tono,
yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
4. Rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Novelty Keterbaruan
Penelitian ini didasarkan pada teori Coase 1960 mengenai social cost yang harus ditanggung oleh masyarakat karena adanya eksternalitas negatif dari
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam wilayah perbatasan negara didasarkan pada regulasi masing-masing negara dan
property right terhadap sumberdaya alam sebagaimana dikemukakan
Demtesz 1967 dalam
new institutional economic yang mensyaratkan diperlukannya institutional environment dan institutional arrangement.
Penelitian yang berhubungan dengan kelembagaan pengelolaan DAS yang selama ini dilakukan di Indonesia umumnya terbatas pada pengelolaan lintas
kabupaten dan lintas provinsi, sebagaimana penelitian Dasanto et al 2010; Saridewi 2015. Penelitian DAS lintas negara di Indonesia merupakan
keterbaharuan dari penelitian ini. Penelitian ini mendukung kajian Lusiana et al 2008, Drestha dan Opang 2009 yang melakukan penelitian DAS wilayah
perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Lusiana et al 2008 melakukan kajian fisik wilayah di DAS Talau yang merupakan DAS wilayah perbatasan
Indonesia dan Timor Leste, namun perspektif khusus wilayah DAS Talau yang berada di Indonesia. Kajian Drestha et al 2009 di DAS Tono merupakan kajian
fisik khusus wilayah DAS yang berada di Timor Leste.
Penelitian ini mendalami DAS secara utuh Indonesia dan Timor Leste, kerangka yang dibangun adalah kelembagaan pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara. Pembangunan wilayah perbatasan selama ini lebih perspektif wilayah administrasi, dan kurang perspektif wilayah ekologi. Penelitian ini
mendalami dampak yang ditimbulkan dan memberikan solusi terhadap perubahan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kelembagaan
pengelolaan selama ini bersifat parsial menjadi lebih terpadu dan terintegrasi akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Kelembagaan pengelolaan DAS
dilakukan oleh masyarakat adat terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan pada DAS. Kelembagaan unilateral masing-masing negara melakukan
pengelolaan DAS pada wilayah administrasinya masing-masing. Dibutuhkan kelembagaan bilateral pengelolaan DAS yang dapat mengkoordinir kelembagaan
masyarakat dan kelembagaan masing-masing negara unilateral.
Kelembagaan DAS wilayah perbatasan negara yang telah dilakukan pada beberapa negara di dunia dalam bentuk kerjasama, forumkomisi DAS, badan
pengelola DAS. Pembentukan kelembagaan ini didasarkan pada tingginya pertumbuhan populasi dan permintaan air, adanya kesenjangan pembangunan
antar wilayah
Kartodihardjo et al. 2004
. Lautze et al 2005 menyatakan distribusi air menjadi landasan dilakukan kerjasama di Afrika. Demikian pula Wondwosen
2008 yang menyatakan kerjasama pengelolaan DAS Nil didasarkan pada distribusi air dan pembagian keuntungan. Mckee 2010 menyatakan pengelolaan
DAS Jordan lebih didasarkan pada persoalan politik dan keamanan. Penelitian ini mendukung penelitian-penelitian terdahulu yang menjadikan distribusi air sebagai
landasan kerjasama antar negara dalam pengelolaan DAS lintas negara. Kekhasan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor-
Leste adalah sebagai salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim.
Adaptasi dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan besarnya perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim yang merupakan wujud dari
kondisi masyarakat dalam pembangunan. Tahapan kelembagaan pengelolaan DAS di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste meliputi: kerjasama,
pembentukan forum DAS dan pembentukan badan pengelola DAS. Penelitian ini lebih mengoperasionalkan temuan Mumme 2010 yang menyatakan kelembagaan
DAS lintas negara disesuaikan dengan kondisi masyarakat, tahapan pembangunan dan kondisi lingkungan.
Dibutuhkan adanya reformulasi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pembangunan wilayah perbatasan negara dengan memasukkan interaksi
socio-spatial dan ketergantungan spatial-ecology dalam penataan ruang wilayah perbatasan negara juga merupakan temuan yang menarik dalam penelitian ini.
Mengingat penataan ruang wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste, yang telah dilakukan Indonesia sesuai Perpres RI No.179 Tahun 2014 perspektif
administrasi dan dilakukan secara unilateral. Penelitian ini mendukung Scellato et al 2011 yang menyatakan penataan ruang seharusnya memasukkan interaksi
socio-spatial dan ketergantungan spatial-ecology. Penataan ruang dengan perspektif
ketergantungan spatial-ecology
dan interaksi
socio-spatial membutuhkan kesepakatan bersama Indonesia dan Timor-Leste.
Kerangka Pemikiran Pembangunan wilayah perbatasan merupakan upaya untuk melakukan
perubahan menjadi lebih baik di wilayah perbatasan. Todaro et al 2011 menyatakan bahwa pembangunan merupakan proses yang meningkatkan kualitas
kehidupan dan kemampuan umat manusia dengan cara menaikkan standar kehidupan, harga diri, dan kebebasan individu.
Pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia didasarkan pada UU No. 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Penjabaran pelaksanaan
pembangunan dilakukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan BNPP yang
menetapkan kecamatan-kecamatan perbatasan dan ibu kota kabupaten perbatasan negara sebagai prioritas pembangunan wilayah perbatasan. UU No. 43 tahun 2008
tentang Wilayah Negara menyatakan, wilayah yang dikategorikan ke dalam kawasan perbatasan negara adalah kecamatan-kecamatan yang berbatasan
langsung dengan negara lain. Implikasinya pembangunan yang fokus pada kawasan perbatasan bias adminitrasi, sebab sebagian sumberdaya memiliki
keterkaitan fungsional ekologi misalnya: DAS.
Penelitian ini menggunakan istilah wilayah perbatasan karena terdapat 1 satu kecamatan yang tidak termasuk kawasan perbatasan, namun termasuk
dalam daerah aliran sungai DAS Tono yang berada di perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Wilayah perbatasan memiliki definisi yang lebih luas
karena tidak terbatas pada administrasi tertentu, yang berarti mengakomodir tipologi wilayah fungsional, homogen dan perencanaan. DAS merupakan salah
satu bentuk wilayah fungsional karena memiliki keterkaitan fungsional antara bagian hulu, tengah dan hilir. Secara ekologi, aktivitas penduduk di hulu DAS
berpengaruh terhadap bagian tengah dan hilir. Demikian pula aktivitas penduduk di bagian tengah DAS berpengaruh terhadap hilir.
Pembangunan wilayah
yang berbasis
administrasi dan
teritori menggunakan sumberdaya yang kadang lintas negara. Pembangunan wilayah
perbatasan menentukan centre-hinterland dan hirarki suatu wilayah. Hirarki suatu wilayah ditentukan berdasarkan sumberdaya manusia jumlah penduduk,
sumberdaya sosial jumlah kelembagaan dan kebijakan pembangunan wilayah pada masing-masing kecamatan, ketersediaan sumberdaya buatan, dan
ketersediaan sumberdaya alam. Pengembangan terhadap sumberdaya-sumberdaya pembangunan tersebut berdampak terhadap kelestarian DAS Tono.
Peningkatan jumlah penduduk pada DAS meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan lahan untuk pemukiman. Penduduk di
DAS Tono memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lahan karena mata pencaharian utama adalah petani. Petani pada bagian hulu dan tengah DAS
umumnya melakukan aktivitas pertanian lahan kering dan sebagian kecil yang melakukan usahatani lahan basah. Adapun aktivitas usahatani lahan kering dan
lahan basah pada bagian hilir DAS cukup berimbang.
Budidaya pertanian lahan kering dilakukan dengan sistem tebas-bakar, akibatnya terjadi degradasi lahan. Kondisi ini terjadi karena aktivitas pertanian
lahan kering mengubah semak belukar yang lebih berfungsi konservasi dengan tutupan lahan budidaya tanaman pangan. Akibatnya terjadi perubahan unsur-unsur
iklim seperti: curah hujan dan temperatur, sehingga menyebabkan terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Dampaknya
terjadi loss economic karena produksi dan efisiensi pertanian menjadi rendah, atau dengan kata lain terdapat biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat
Coase, 1960.
Implikasinya diperlukan pembangunan wilayah perbatasan negara yang mengakomodasi pengelolaan DAS. Deklarasi Rio+20 tahun 2012 dalam dokumen
the future we want merekomendasikan 3 tiga hal yang perlu dilakukan guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yakni: ekonomi hijau, perbaikan
kerangka kelembagaan, dan aksi bersama. Penelitian-penelitian tentang ekonomi hijau telah dilaksanakan hingga menerbitkan PDRB Hijau sebagai indikator
mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Penelitian kelembagaan, terutama kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan guna mewujudkan
pembangunan berkelanjutan belum banyak dilaksanakan. Kelembagaan yang ada saat ini belum mampu mewujudkan pembangunan berkelanjutan di wilayah
perbatasan negara. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni: sosial, ekonomi dan ekologi menjadi dasar dalam disain kelembagaan.
Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, dibutuhkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, karena akan ada
kesadaran untuk melakukan aksi bersama antara Indonesia dan Timor Leste dalam pengelolaan DAS Tono. Komponen ekologi DAS Tono berbasis analisis dampak
perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Komponen ekonomi, dengan memperhatikan analisis efisiensi usahatani; sedangkan komponen sosial
memasukkan evaluasi kelembagaan sebagai dasar untuk mendesain model kelembagaan yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Kelembagaan yang baik membentuk pola perilaku masyarakat, menciptakan tatanan yang baik dan mengurangi ketidakpastian. North 1990
menyatakan institusi memiliki peran yang sentral dalam pembangunan, karena di dalamnya mencakup tradisi sosial, budaya, politik, hukum, dan ideologi. Negara-
negara dengan institusi yang baik, mampu mengalokasikan sumberdaya menjadi lebih efisien sehingga perekonomian menjadi lebih efisien, sebaliknya institusi
yang buruk akan menjadi penghalang berkembangnya suatu wilayah.
Negara-negara lain di dunia telah melakukan kerjasama pengelolaan DAS lintas negara. Indikator yang digunakan sebagai dasar pengelolaan meliputi:
pertumbuhan penduduk sosial, kesenjangan pembangunan ekonomi, dan polusi air ekologi. Kartodihardo et al 2004 menyatakan negara-negara yang berada di
DAS Mekong membentuk komisi DAS. Pembentukan komisi didasarkan pada peningkatan populasi dan meningkatnya permintaan terhadap air. Perjanjian
kerjasama dilakukan oleh negara-negara yang dilintasi sungai Elbe dan Danube di Eropa, didasarkan pada fakta adanya kesenjangan pembangunan dan polusi.
Negara-negara di Afrika memilih membentuk badan otonom, didasarkan pada faktor ekonomi yakni permintaan air yang tinggi untuk irigasi.
Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, yang adaptif terhadap perubahan iklim mengurangi externality, sebagaimana dikemukakan de
Jong 2008 bahwa pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan mengurangi eksternalitas negatif lintas negara. Kelembagaan sebagai adaptasi terhadap
perubahan iklim merupakan pengembangan dari ekonomi kelembagaan baru new institutional economic yang mengindikasikan perlunya pengaturan terhadap
property right, eksternalitas, mengurangi biaya sosial dan biaya transaksi. Aksi- aksi yang dilakukan untuk mengurangi externality dengan alternatif berikut: i
mitigasi dan adaptasi bersama, ii penguatan kapasitas masyarakat lokal dan pemerintah daerah, iii mengembangkan suatu usaha bersama yang saling terkait,
iv adanya mekanisme pembayaran jasa lingkungan hidup. Secara ringkas, kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kebijakan pembangunan wilayah
Manfaat ekologi,
ekonomi, sosial
Perubahan temperatur
Efisiensi usahatani
Model kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah
perbatasan negara yang
adaptif thd perubahan
iklim
Disain kelembagaan
Perbatasan negara
Wilayah fungsional
ekologi DAS Perubahan land use
Pembangunan wilayah
perbatasan negara
Pembangunan berkelanjutan di
wilayah perbatasan
Yield Income
Administratif: Kabupaten
TTU Indonesia,
District Oecussi TL
2 4
Perubahan curah hujan
Perubahan iklim
Peluang banjir dan
kekeringan Aktor Indonesia
dan Timor- Leste
Pemukiman, Pertanian lahan kering campur,
hutan, sawah Pemb. infrastruktur
Pengelolaan DAS Pengelolaan
DAS wily. perbatasan
negara
Faktor internal eksternal
Perubahan strategi pengembangan kelembagaan
3
1
Centre-Hinterland Pertumbuhan
penduduk Hirarki wilayah
Ketergantungan terhadap lahan
14
Sistematika Tulisan
Disertasi ini disusun dalam 7 bab yang merupakan satu-kesatuan. Bab-bab tersebut adalah:
Bab 1. Pendahuluan menjelaskan latar belakang, permasalahan, tujuan dan kerangka pikir penelitian
Bab 2. Hubungan pembangunan wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste terhadap penggunaan lahan. Analisis menggunakan metode
skalogram untuk ketersediaan infrastruktur yang dilengkapi dengan analisis deskriptif. Dilanjutkan analisis regresi multivariat dan spatial
durbin model guna menjawab permasalahan penelitian pertama.
Bab 3. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya terhadap produksi dan efisiensi
usahatani di Daerah Aliran Sungai Tono. Analisis ini menggunakan analisis logit untuk menganalisis peluang terjadinya banjir dan
kekeringan. Dilanjutkan dengan analisis regresi multivariat untuk mengetahui dampak banjir dan kekeringan terhadap produksi usahatani
lahan kering, dan analisis Cob Douglass produksi usahatani lahan basah. Analisis dilanjutan dengan frontier analysis untuk menganalisis efisiensi
usahatani. Analisis logit, regresi multivariat, Cobb Douglass, dan analisis frontier digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian kedua.
Bab 4. Evaluasi kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara menggunakan analisis deskriptif dan SWOT berbobot. Hasil analisis pada
Bab 4 untuk menjawab permasalahan penelitian ketiga. Bab 5. Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang
adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Analisis yang digunakan adalah analisis hierarki proses
AHP. Analisis ini didukung dengan hasil analisis pada Bab 2, Bab 3 dan Bab 4 disertasi ini. Hasil analisis pada Bab 5 untuk menjawab
permasalahan penelitian keempat.
Bab 6. Arahan kebijakan kelembagaan pengelolaan daerah aliran sungai wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim dalam
pembangunan berkelanjutan. Pembahasan Bab 6 didukung hasil analisis pada Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5.
Bab 7. Simpulan umum dan saran, merupakan rangkuman dari simpulan masing- masing analisis dan saran.
Tulisan pada Bab 2, Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 memiliki pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan, simpulan menyesuaikan dengan sistematika penulisan pada
jurnal ilmiah dan sebagai salah satu alternatif sistematika penulisan disertasi pada Institut Pertanian Bogor.
2. HUBUNGAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERBATASAN NEGARA DENGAN PENGGUNAAN LAHAN DAS TONO