DISAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP

5. DISAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP

PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pendahuluan Latar Belakang Daerah aliran sungai DAS merupakan wilayah fungsional secara ekologis, batasnya tidak selalu sama dengan wilayah administrasi tertentu. DAS Tono berada di perbatasan negara Indonesia dan Timor-Leste. Kebijakan- kebijakan pembangunan masing-masing negara berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan di DAS Tono. Kebijakan pembangunan yang parsial dan pengelolaan DAS tidak terpadu mengakibatkan terjadinya loss economic dan kerentanan pangan di DAS Tono. Perspektif pembangunan wilayah perbatasan negara RI dan RDTL secara spatial tidak memperhitungkan keterkaitan ekologi DAS dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Kebijakan pembangunan lembaga-lembaga terkait pembangunan wilayah perbatasan dan pengelolaan DAS lebih perspektif administrasi dibanding wilayah fungsional ekologi. Akibatnya individu dan common di DAS Tono bertindak untuk memperoleh keuntungan produksi tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Akumulasinya dengan kebijakan pembangunan parsial pada masing-masing lembaga di setiap negara menyebabkan terjadinya eksternalitas. Eksternalitas negatif menimbulkan biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat Coase, 1960. Konferensi Rio+20 tahun 2012 menyatakan eksternalitas negatif pembangunan dapat diatasi dengan perpektif pembangunan berkelanjutan yang dapat dicapai melalui: ekonomi hijau, kerangka kelembagaan untuk pembangunan berkelanjutan, dan aksi bersama. Kajian-kajian tentang ekonomi hijau telah banyak dilakukan, tetapi kajian kelembagaan sebagai tools untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terutama di wilayah perbatasan negara belum banyak dilakukan. Evaluasi terhadap kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara menjadi dasar untuk mendisain model kelembagaan yang adaptif terhadap perubahan iklim untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan terdiri atas 3 tiga dimensi yakni: ekologi, ekonomi dan sosial. Masing-masing dimensi dapat dirinci sesuai dengan kekhasan DAS Tono yang berada di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Keberhasilan beberapa negara di dunia yang telah memiliki kelembagaan pengelolaan DAS lintas negara dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menentukan prioritas disain model kelembagaan pengelolaan DAS di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste. Lautze et al 2005 menyatakan pembentukan badan pengelola air pada Sungai Senegal meliputi: Mali, Mauritania, Senegal, Guine, Niger, Nigeria, Cameroon dipengaruhi oleh faktor intenal dan eksternal. Faktor internal meliputi: pengelolaan bersama, pelestarian air, dan pembagian air. Faktor eksternal, meliputi: geopolitik, ikatan budaya, agenda lingkungan internasional, dan keprihatinan global mengenai konflik air. Negara-negara di Eropa lebih memilih membuat perjanjian antar negara dalam pengelolaan DAS lintas negara. Faktor pendorongnya adalah kesenjangan pembangunan antara negara. Negara-negara di Asia Laos, Nyanmar, Kamboja, China, Thailand, Vietnam yang berada di DAS Mekong memilih membentuk badan pengelola DAS Mekong. Faktor yang mendorong terbentuknya, adalah peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan permintaan terhadap air. Kelembagaan pengelolaan DAS yang telah dibentuk pada negara-negara dimaksud didasarkan pada salah satu dari 3 dimensi pembangunan berkelanjutan ekologi, sosial dan ekonomi DAS. Penelitian ini mengkaji 3 tiga dimensi pembangunan berkelanjutan secara bersamaan. Dimensi ekologi memasukkan perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekologi, sosial dan ekonomi. Dimensi- dimensi pembangunan berkelanjutan menjadi landasan dalam kerjasama pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim. Setiap model kelembagaan menerapkan strategi yang berbeda, seperti: penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal, mitigasi dan adaptasi bersama, pembayaran jasa lingkungan, usaha bersama yang terintegrasi hulu, tengah dan hilir. Fauzi 2010 menyatakan strategi mengatasi eksternalitas pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan cara: internalisasi usaha bersama, koreksi dengan pajak, memfungsikan pasar. Strategi lain dikemukakan Rosa et al 2004 menegani pengalaman di Benua Amerika yang menerapkan compensation for ecosystem services. Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan, muncul pertanyaan penelitian berikut: bagaimana persepsi stakeholder mengenai model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan? Tujuan Tujuan penelitian adalah: untuk menganalisis persepsi stakeholder mengenai model kelembagaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Metode Penelitian Hipotesis Hipotesis penelitian adalah: diduga stakeholder memiliki kesamaan persepsi mengenai model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Metode Pengambilan Data Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pemangku kepentingan sebagai key person. Key person ditentukan secara purposive sampling dengan mempertimbangkan keterwakilan pemerintahan Indonesia dan Timor Leste, masyarakat lokal Indonesia dan Timor Leste, dan pemerhati DAS Indonesia dan Timor Leste yang mengetahui tentang lokasi penelitian. Pemerhati DAS merupakan NGOLSM, perguruan tinggi dan tokoh agama. Jumlah key person sebanyak 30 orang, dengan rincian 15 responden Indonesia dan 15 responden Timor-Leste. Metode Analisis Data Pengolahan data dilakukan dalam bentuk tabulasi data, analisis data, interpretasi data, dan sintesa hasil penelitian. Analisis data menggunakan Analisis Hirarki Proses AHP untuk mendisain model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Hasil AHP dilengkapi dengan analisis deskriptif. Saaty 1994 menyatakan penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hierarki dilakukan dengan judgement dari narasumber yang memahami permasalahan. Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen secara komparasi berpasangan yang dimulai dari tingkat yang paling tinggi sampai dengan yang terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgement narasumber berdasarkan skala komparasi 1-9. Nilai skala komparasi digunakan untuk mengkuatitatifkan data yang bersifat kualitatif. Skala yang digunakan tergantung dari pandangan responden sebagaimana tertera pada Tabel 48. Tabel 48. System Urutan Saaty dalam Hierarchy Process Tingkat Kepentingan Definisi 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Perbedaan penting yang lemah antara yang satu dengan lainnya 5 Sifat lebih penting dari salah satu elemen kuat 7 Menunjukkan sifat sangat penting yang menonjol dari salah satu elemen 9 Salah satu elemen penting absolute terhadap elemen lainnya 2,4,6,8 Nilai tengah diantara nilai di atasdi bawahnya Sumber: Saaty, 1994 AHP untuk mengetahui persepsi pemangku kepentingan mengenai model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Tahapan analisisnya sebagai berikut: a Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan Hasil identifikasi faktor internal dan faktor eksternal menjadi dasar dalam menentukan solusi, sebagaimana dinyatakan dalam kuadran III diagram Cartesius. Secara ringkas, permasalahan pembangunan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor-Leste berbasis administrasi termasuk pengelolaan DAS Tono. Akibatnya menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan karena terjadi banjir dan kekeringan, sehingga menyebabkan penurunan produksi dan efisiensi ekonomi usahatani. Solusinya diperlukan rekonstruksi kerangka kelembagaan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. b Membuat struktur hirarki Struktur hirarki analisis kelembagaan meliputi: fokus, faktor, aktor, dan tujuan. Faktor dirinci menjadi sub-sub faktor, sedangkan tujuan diuraikan menjadi model kelembagaan dan strategi. Struktur hirarki selengkapnya ditampilkan Gambar 28. Gambar 28. Struktur Hirarki AHP Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara dalam Pembangunan Berkelanjutan Hirarki pertama, penentuan fokus yakni: kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Level ke-2 merumuskan prioritas faktor yakni: faktor ekologi, sosial, dan ekonomis DAS Tono sebagai komponen pembangunan berkelanjutan. Masing-masing faktor dirinci menjadi sub-sub faktor, dengan memasukkan unsur-unsur iklim. Faktor ekologi meliputi: penggunaan lahan, hidrologi, keanekaragaman hayati, suhu dan curah hujan UNDP, 2004. Faktor sosial meliputi: ketergantungan Strategi Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan Fokus Alternatif Ekologi s Ekonomi s Sosial Faktor Aktor Peningkatan kapasitas pemerintah dan masy.lokal Pembayaran jasa lingk. Mitigasi dan adaptasi bersama Pengembangan usaha bersama Pemerintah RI Pusat Daerah Pemerintah RDTL Pusat Daerah Masy. RI Masy. TL Tujuan Perjanjian kerjasama bilateral pengelolaan DAS bersama Pembentukan forum DAS Tono Pembentukan badan pengelola DAS lintas negara Land Use Ketahanan pangan Tekanan penduduk Culture Biodiversity Suhu Rainfall Pendapatan masy.wil. Pengeluaran masyarakat pemerintah Ketergantungan masy.thd DAS Property right aturan formal Aksespotensi konflik pemanfaatan DAS Hidrologi Pemerhati DAS Tono Jasa LH penduduk terhadap lahan, tekanan penduduk, berkembangnya kebudayaan penduduk lokal, berkembangnya aturan formal pengeloaan DAS, akses dan potensi konflik yang bersumber dari pemanfaatan DAS Tono. Adapun faktor ekonomi meliputi sub faktor: ketahanan pangan, pendapatan masyarakat dan pendapatan wilayah yang berumber dari DAS Tono, pengeluaran masyarakat dan pemerintah dalam rangka melestarikan DAS Tono, nilai jasa lingkungan hidup DAS. Hirarki berikutnya, menentukan prioritas aktor yang memperoleh manfaat, dan berperan dalam setiap model kelembagaan pengelolaan DAS Tono. Masing- masing aktor mewakili masing-masing negara yang berasal dari unsur pemerintahan, masyarakat dan pemerhati DAS. Hirarki berikutnya, tujuan dari model-model kelembagaan yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Model kelembagaan yang dimaksud adalah: badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara, forumkomisi DAS wilayah perbatasan negara, perjanjian kerjasama pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Pencapaian tujuan melalui alternatif strategi berikut: pengembangan usaha bersama, pembayaran jasa lingkungan hidup, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal kedua negara, melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara bersama. c Membuat matriks dan nilai perbandingan berpasangan Pembuatan matriks dan nilai perbandingan berpasangan dimaksudkan untuk menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing kriteria yang setingkat di atasnya. Matriks perbandingan ditampilkan pada Tabel 49. Jika vektor pembobotan elemen –elemen kegiatan A 1 , A 2 , ...A n dinyatakan sebagai vektor W=W 1 , W 2 ,...W n , maka intensitas kepentingan elemen kegiatan A 1 dibandingkan dengan A 2 dinyatakan sebagai perbandingan bobot elemen kegiatan A 1 terhadap A 2 . Nilai perbandingan elemen kegiatan A 1 terhadap A 2 adalah 1 dibagi dengan nilai perbandingan elemen kegiatan A 2 terhadap A 1. Tabel 49. Matriks Perbandingan Berpasangan A 1 A 2 A 3 ... A n A 1 W 1 W 1 W 1 W 2 W 1 W 3 ... W 1 W n A 2 W 2 W 1 W 2 W 2 W 2 W 3 ... W 2 W n A 3 W 3 W 1 W 3 W 2 W 3 W 3 ... W 3 W n . . . . . . . . . . . . . . . . . . A n W n W 1 W n W 2 W n W 3 ... W n W n Sumber: Saaty, 1994 d Penentuan prioritas dan konsistensi logis Setelah setiap kriteria dan alternatif ditetapkan, selanjutnya dilakukan perbandingan berpasangan pair wise comparisons. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Perhitungan bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Penentuan konsistensi pendapat menggunakan software expert choice 2000. Hasil Dan Pembahasan Kelembagaan pengelola DAS wilayah perbatasan negara yang adaptif terhadap perubahan iklim sebagai salah satu upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Williamson 1975 menyatakan new institutional economic merupakan kombinasi dari ilmu sosial, ekonomi, lingkungan dan politik sebagai upaya untuk meningkatkan kehidupan manusia. Kartodihadjo at al 2000 mengartikan kelembagaan sebagai inovasi manusia untuk mengontrol interdependensi antar manusia terhadap kondisi atau situasi tertentu melalui inovasi hak kepemilikan atau batas yuridiksi. Setiap model kelembagaan memiliki seperangkat ketentuan yang mengatur pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan sebagai aktor. Sebagaimana dikatakan Soekanto 1999, kelembagaan berfungsi sebagai: pedoman bagi masyarakat dalam bertingkah laku, kontrol sosial, untuk menjaga keutuhan masyarakat. Disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste yang adaptif terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan, didasarkan pada prioritas faktor yang dirumuskan dalam analisis hirarki proses. Hasil analisis prioritas faktor, aktor, tujuan dan strategi. Analisis prioritas dilanjutkan dengan analisis deskriptif disesuaikan dengan hasil simulasi perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim, sebab kelembagaan ini merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Prioritas Faktor Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara Tiga dimensi pembangunan berkelanjutan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana dinyatakan oleh World Commission on Environment and Development 1987. DAS Tono lebih bermanfaat secara sosial 63,50 dibanding ekologi 22,40 dan ekonomi 14,10. Hasil analisis AHP faktor menggunakan software expert choice 2000 ditampilkan Gambar 29. Analisis dilanjutkan untuk mengetahui sub faktor yang dominan dari masing-masing faktor. Analisis prioritas sub-sub faktor dari setiap faktor ditampilkan pada Tabel 50. Gambar 29. Hasil Pembobotan Faktor Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan Tabel 50. Hasil Pembobotan Masing-Masing Sub Faktor Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan Uraian Factor Bobot Prioritas Sosial Tekanan penduduk 0,358 2 Ketergantungan penduduk terhadap lahan 0,380 1 Berkembangnya kebudayaan masyarakat 0,128 3 Berkembangnya aturan formal pengelolaan DAS 0,082 4 Akses dan potensi konflik pemanfaatan DAS 0,051 5 Ekologi Hidrologi 0,429 1 Penggunaan lahan 0,394 2 Keanekaragaman hayati 0,093 3 Suhu dan curah hujan 0,084 4 Ekonomi Ketahanan pangan 0,504 1 Peningkatan pendapatan masyarakatwilayah 0,323 2 Pengeluaran masyarakatpemerintah untuk pemeliharaan DAS 0,087 3 Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,086 4 Faktor Sosial Penduduk di DAS Tono memiliki ketergantungan terhadap lahan dan air di DAS Tono. Pengelolaan terhadap sumberdaya lahan dan air menumbuh- kembangkan budaya masyarakat dan aturan-aturan formal pengelolaan DAS. Paimin et al 2012 menyatakan DAS berfungsi secara sosial, seperti: ketergantungan penduduk terhadap lahan untuk pertanian, pemukiman, berkembangnya kebudayaan masyarakat, berkembangnya aturan formal, akses dan potensi konflik pemanfaatan sumberdaya. Prioritas pertama faktor sosial adalah DAS Tono menyediakan lahan untuk penduduk setempat. Data penggunaan lahan menunjukkan penduduk setempat 0.635 0.224 0.141 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Sosial Ekologi Ekonomi memiliki ketergantungan terhadap lahan di DAS Tono, terdapat 66,59 lahan yang difungsikan untuk pertanian dan peternakan. Rinciannya: 52,23 lahan di DAS Tono dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur, 2,38 untuk lahan sawah dan 11,98 sebagai lahan penggembalaan ternak savana. Kondisi lahan DAS yang terjal dan berbukit-bukit menjadi faktor pembatas pemanfaatan lahan untuk pemukiman dibanding pertanian, sehingga tekanan penduduk terhadap lahan sebagai prioritas ke-2. Peningkatan jumlah penduduk di DAS Tono menyebabkan tekanan penduduk makin tinggi terhadap DAS Tono. Luas pemukiman makin meningkat yakni 262 ha pada tahun 2000 menjadi 550 ha pada tahun 2014. Prawiranegara 2014 menyatakan banjir di DAS Marikina-Filipina disebabkan oleh: pembentukan kota-kota baru sebagai konversi lahan hutan, pemukiman ilegal di konservasi area, penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan di bagian hilir, konflik pada wilayah perbatasan, dan isu hak kepemilikan lahan. Interaksi penduduk dengan lahan dan sumberdaya lain di DAS Tono membentuk budaya masyarakat. Berkembangnya budaya penduduk lokal sebagai prioritas ke-3. Koentjaraningrat 2009 mendefinisikan budaya sebagai ide, sistem, aksi, dan produksi kreatif oleh penduduk sebagai hasil dari proses belajar. Budaya yang berkembang adalah: banulbanut RI dan tarabandu RDTL untuk melestarikan hutan dan sumberdaya air. Budaya melestarikan sumberdaya air juga dilakukan oleh setiap suku pada oekanaf air pemali. Oekanaf juga berperan sebagai pemersatu bagi anggota-anggota tiap suku yang tersebar di RI dan RDTL karena penyelenggaraan acara adat di oekanaf melibatkan anggota masing-masing suku tanpa memandang batas wilayah administrasi dan teritori negara. Oii et al 2010, menyatakan komponen sosial dan budaya memiliki norma yang mengikat setiap orang dalam institusinya. Berkembangnya norma sosial dan budaya membentuk aturan formal yang menentukan property right sebagai prioritas ke-4. Hutan di DAS Tono seluas 675 ha merupakan hak milik negara. Pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, dan pemukiman merupakan hak milik individu. Adapun savana, semak belukar, lahan terbuka merupakan hak milik komunal. Hak kepemilikan di hulu DAS Tono didominasi oleh tipe individual and common property. Implikasinya, negara memiliki akses yang terbatas untuk melakukan pengelolaan terhadap DAS Sudarmalik et al. 2014, pemerintah juga memiliki keterbatasan pengawasan terhadap hutan yang dikelola oleh industri dan masyarakat. Rustiadi et al 2011 menyatakan hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya dikategorikan menjadi: i state property, klaim kepemilikan berada di tangan pemerintah, ii private property, klaim kepemilikan berada pada individu, iii commom property atau communal property, kelompok individu memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Perbedaan tipe property right berimplikasi terhadap akses dan memiliki potensi konflik dalam pemanfaatannya, yang merupakan prioritas ke-5. Kombinasi hak kepemilikan dan akses di wilayah perbatasan negara berpotensi untuk menimbulkan konflik sebagai prioritas terakhir dari sub faktor sosial. Terdapat beberapa lokasi masih disengketakan oleh Indonesia dan Timor-Leste di Suni, Pistana, Fautben Sub DAS Ekat dan Nelu-Laokfoan Sub DAS Banain. Sengketa terjadi karena kepemilikan lahan dibatasi oleh state property, namun akses terhadap lahan savana masih terbuka. Fauzi 2010 menyatakan secara umum ada empat kemungkinan kombinasi hak kepemilikan dan akses, yakni: - Tipe pertama: hak kepemilikan berada pada negara atau komunal dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini, memungkinkan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari. - Tipe kedua: hak kepemilikan berada pada individu dengan akses yang terbatas. Kekhasan tipe ini adalah karakteristik hak kepemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan dapat dihindari. - Tipe ketiga: kombinasi antara kepemilikan komunal dan akses terbuka. Tipe ini dalam perspektif Hardin 1968 menyebabkan “tragedy of the common”. Tragedi terjadi karena hasil sumberdaya dalam jangka panjang tidak sebanding dengan pemanfaatan. - Tipe keempat: sumberdaya dimiliki individu, namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak bertahan lama karena rentan terhadap pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumberdaya akan cepat habis terkuras. Faktor Ekologi Faktor ekologi terdiri atas: hidrologi, penggunaan lahan, keanekaragaman hayati, suhu dan curah hujan UNDP, 2004. DAS Tono bermanfaat secara ekologi karena DAS merupakan ekosistem yang tidak terpisahkan dari hulu, tengah dan hilir yang berarti aktivitas di hulu berpengaruh terhadap bagian tengah dan hilir DAS. Terdapat 1,26 penggunaan lahan di DAS Tono merupakan hutan yang diharapkan turut menjaga keseimbangan ekologi. Analisis prioritas sub factor ekologi dengan AHP menunjukkan sub factor ekologi yang paling prioritas adalah DAS menyediakan air bagi aktivitas rumahtangga, pertanian dan peternakan. Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang langka di wilayah perbatasan negara RI dan RDTL sehingga air lebih menjadi prioritas dibanding land use, biodiversity, suhu dan curah hujan. Penduduk di DAS Tono memanfaatkan air di DAS Tono untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, kebutuhan pertanian dan peternakan. Bagian hilir DAS Tono memperoleh akumulasi air dalam debit yang lebih tinggi dibanding bagian tengah dan hilir karena memperoleh air dari bagian tengah dan hulu yang berada pada beberapa sub DAS. Pemanfaatan lahan di hulu sungai berdampak terhadap ketersediaan air di hulu, tengah dan hilir DAS Tono. Data sumber mata air di DAS Tono yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan ditampilkan pada Tabel 51. Prioritas ke-2 sub factor ekologi adalah penggunaan lahan. Berkurangnya jumlah sumber mata air dan penurunan debit air pada sumber-sumber mata air, diakibatkan oleh meningkatnya permintaan lahan untuk pemukiman, dan pertanian sehingga sebagian hutan desa dikonversi. Penggunaan lahan dengan tanaman yang berfungsi konservasi dibutuhkan dalam DAS agar terjadi peningkatan tutupan sehingga meningkatkan kesersediaan air sehingga produksi pertanian turut meningkat Keller et al. 1998. Prioritas ke-3 adalah keanekaragaman hayati. Hutan yang semakin gundul dan terdapatnya tanaman tertentu yang tidak dapat dibudidayakan lagi seperti: apel menjadi prioritas dalam pengelolaan DAS Tono. Consens 2010 menyatakan sistem ekologi yang resilience terhadap perubahan lingkungan dapat ditingkatkan melalui pengurangan pengelolaan parsial dan meningkatkan kerjasama pengelolaan lintas negara. Pemerintah Canada dan Amerika Serikat melakukan perjanjian kerjasama untuk mengurangi persaingan pemanfaatan air dan mengurangi dampak negatif pengelolaan DAS lintas negara. Prioritas ke-4 adalah suhu dan curah hujan. Perubahan penggunaan lahan untuk konservasi juga berdampak terhadap perubahan suhu udara dan curah hujan. Akibatnnya terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan, sehingga berdampak terhadap penurunan produksi pertanian. Debit air pada sumber-sumber mata air pun berkurang hingga sebagian kering data sumber mata ait ditampilkan pada Tabel 51. Schernewski et al 2010 menyatakan perubahan iklim dan interaksinya dengan faktor lain meningkatkan resiko banjir, dan penurunan biodiversity, sehingga Jerman dan Polandia melakukan kerjasama pengelolaan DAS. Tabel 51. Data Sumber Mata Air pada Desa-Desa di DAS Tono Kecamatan Desa Nama Sumber Mata Air Miomafo Timur Amol 5 Sumber Mata Air: Oel Atois Bani, Oel Kaemobu, Oelnitebe, Oelmanu, Oel Bonak Bokon 6 Sumber εata Air: Oel Punu, Oel δelo, Oel Bo’es, Oel Nuban, Oel Auspaan, Oel Mat Ibu Kaenbaun 8 Sumber Mata Air: Oel Mabaki, Oel Lauklete, Oel Tulu, Oel Tali, Oel Taneseb, Oe Boen, Oe Tueneb, Oel Letkase Bitefa 19 Sumber Mata Air: Oel Sene, Oel Tasona, Oel Punu, Tolkae, Boi Maunleu, Paumbam, Luman, Insae, Oe Hala, Oel Neonpen, Oel Manu, Oel Kiak, Oel Nail, Oe Poitnan, Oe Nekneo, Oe Nomese, Oe Miomafo dan Oel Paifala Bikomi Utara Banain B 7 Sumber Mata Air: Oelsusi, Oeltaupi, Oel Suakabun, Oekolo, Oefeot, Oekaem, Oe’tolo’. Tes 4 Sumber εata Air: Oeana, Oenaek, Oel pa’un, Oepaha Napan 7 Sumber Mata Air: Oelmasi, Bibona, Oe beu, Oelme, Oe Kona, Oelfaub, Oeltafelok. Baas 4 Sumber Mata Air: Oel Tilmat, Oel Ob, Oel Teno dan Oel Feun Haumeni 8 Sumber Mata Air: Oel Apot, Oel Talile, Oemenu, Oel Umeke, Oelbetas, Oehak dan satu sumur pompa. Bikomi Tengah Oelbonak 3 Sumber Mata Air: Oel Meokona, Oel Sikan, Oel Kolo Buk 4 Sumber Mata Air: Oebikase, Oelbuk, Oel Sono dan Oelola Nimasi 2 Sumber Mata Air: Oel Ekam dan Oel Noah Bikomi Nilulat Inbate 5 Sumber εata Air: Oelbate, Oel’laun, Oelliso, A’oe, Oelben’non Nainaban 5 Sumber Mata Air: Oe Luan, Oe Menu, Oe Apot, Oe Poej dan Oel Bisone Sunkaen 2 Sumber Mata Air: Oel Ekam dan Oel Faot Pe Sumber: Profil Lingkungan Kabupaten TTU, 2000 Faktor Ekonomi Pengelolaan DAS meningkatkan ketahanan pangan, pendapatan masyarakat, pembangunan wilayah UNDP, 2004, dan pembayaran jasa lingkungan Rosa et al. 2004. Hasil analisis prioritas sub-sub faktor ekonomi DAS Tono menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas pertama. DAS Tono secara ekologi menyediakan lahan dan air, yang secara sosial dimanfaatkan penduduk setempat untuk usahatani guna meningkatkan ketahanan pangan penduduk di DAS Tono. Sebagian hasil pertanian dipasarkan untuk memperoleh peningkatan pendapatan penduduk dan pendapatan wilayah, yang merupakan prioritas ke-2. Peningkatan aktivitas usahatani lahan kering dan lahan basah turut meningkatkan transaksi ekonomi sehingga menggerakkan perekonomian secara keseluruhan di DAS Tono. Backward linkages dan forward linkages dari usahatani di DAS Tono. Perdagangan input pertanian dan output pertanian membutuhkan fasilitas penunjang, yang berarti diperlukan pengeluaran pemerintah dan masyarakat sebagai prioritas ke-3. Fasilitas penunjang seperti: pasar perbatasan, bendungan, irigasi, tembok penahan, bronjong, pembukaan sawah baru, dan jalan. Pengeluaran pemerintah untuk melakukan pemeliharaan mengurangi kerusakan terhadap sumberdaya alam Santoso et al. 2014. Prioritas ke-4 adalah pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan membutuhkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan hidup. Kebijakan dan aktivitas pembangunan pada bagian tertentu dari DAS menimbulkan eksternalitas bagi wilayah lain sehingga perlu mekanisme pembayaran jasa lingkungan sebagai reward dan punishment bagi stakeholder pada masing-masing wilayah. Kebijakan economic services juga menimbulkan beberapa permasalahan seperti dikemukakan Wondwosen 2008 berdasarkan hasil kajian di DAS Nil. Permasalahan yang dimaksud adalah: tidak ada kepercayaan antar negara untuk distribusi air, terdapat permasalahan politik diantara negara-negara yang melakukan kerjasama, ketidakpercayaan antar wilayah hilir sebagai penerima air dengan wilayah hulu dengan penjaga kelestarian sumberdaya hutan pada DAS. Wondwosen 2008 menambahkan, dibutuhkan pengembangan kerjasama berbasis pembagian keuntungan bukan distribusi air. Analisis Prioritas Pemangku Kepentingan Aktor Persepsi pemangku kepentingan mengenai pemangku kepentingan yang paling memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan ekologi DAS Tono menjadi dasar kebijakan kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Datta et al 2015 menyatakan kelompok masyarakat pengguna dan masyarakat yang mengetahui tentang DAS merupakan kelompok yang penting untuk dilibatkan dalam penentuan prioritas kelembagaan. Pemangku kepentingan aktor dikelompokkan menjadi: i masyarakat Indonesia dan Timor Leste, i pemerintah Indonesia dan Timor Leste, iii pemerhati DAS. Hasil AHP dengan menggunakan expert choice 2000 ditampilkan Tabel 52. Faktor sosial DAS Tono lebih dominan untuk masyarakat di Oecussi. Ketergantungan penduduk Oecussi terhadap lahan di DAS Tono cukup tinggi karena 47,47 persen wilayah District Oecussi berada di DAS Tono dibanding wilayah TTU di DAS Tono 10 persen. Faktor ekologi DAS Tono lebih prioritas terhadap masyarakat di Kabupaten TTU. Terdapat keanekaragaman hayati yang hilang di Kabupaten TTU yakni: apel. Datta et al 2015 menjelaskan banyak orang yang kurang paham mengenai pentingnya pengelolaan ekosistem untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. Adapun faktor ekonomi DAS Tono lebih dominan bagi wilayah Oecussi dibanding Kabupaten TTU. DAS Tono merupakan “lumbung padi” di Oecussi. Luas sawah di Oecussi yang memanfaatkan DAS Tono 1.300 ha dengan produksi rata-rata 2-3 ton per ha, dibanding 95 ha lahan sawah di Kabupaten TTU. Tabel 52. Hasil Pembobotan Manfaat yang Diterima Pemangku Kepentingan dari DAS Tono Manfaat Bobot Prioritas Sosial Masyarakat RI 0,369 2 Masyarakat RDTL 0,386 1 Pemerintah RI 0,112 3 Pemerintah RDTL 0,079 4 Pemerhati DAS 0,054 5 Ekologi Masyarakat RI 0,410 1 Masyarakat RDTL 0,343 2 Pemerintah RI 0,123 3 Pemerintah RDTL 0,066 4 Pemerhati DAS 0,058 5 Ekonomi Masyarakat RI 0,352 2 Masyarakat RDTL 0,390 1 Pemerintah RI 0,106 3 Pemerintah RDTL 0,097 4 Pemerhati DAS 0,055 5 Persepsi pemangku kepentingan turut menentukan peran masing-masing pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS. Pemerintah mendominasi dalam kerjasama pengelolaan DAS, dibanding pembentukan forum DAS dan pembentukan badan pengelola DAS yang membutuhkan peran lebih seimbang antara pemerintah, masyarakat dan pemerhati DAS. Sriburi 2008 menyatakan setiap aktor wajib berperan aktif dan memiliki komitmen yang kuat. Komitmen masing-masing pemangku kepentingan Indonesia dan Timor Leste memudahkan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kesepakatan- kesepakatan pembangunan dan aktivitas masyarakat pada zona-zona yang berfungsi budidaya pemukiman, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, savana dan berfungsi lindung akan mengikat pemangku kepentingan pada masing-masing negara. Pemerintah berwenang menerbitkan aturan-aturan, membentuk lembaga yang berkewajiban melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian terhadap DAS wilayah perbatasan negara guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Perguruan tinggi melakukan kajian-kajian untuk dikembangkan oleh pemerintah dan LSM. Koordinasi antar level pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan sektor-sektor terkait sangat membantu dalam implementasi program pembangunan. Implementasi program pembangunan yang diperoleh dari kajian yang baik oleh masyarakat lokal akan berguna dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di wilayah perbatasan negara. Dunia usaha membangun kemitraan yang strategis dengan masyarakat yang melakukan pengelolaan secara individu dan komunal. Rincian peran masing-masing stakeholder ditampilkan Tabel 53. Tabel 53. Peran Masing-Masing Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan DAS No Stakeholder Keterangan 1 Pemerintah Pusat Melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan DAS 2 Pemerintah Provinsi Memfasilitasi pelaksanaan pembinaan, monitoring, pengawasan dan pengendalian pengelolaan DAS 3 Pemerintah Kabupaten Menjabarkan rencana makro DAS yang dibuat oleh pemerintah pusat ke dalam perencanaan kabupaten, memfasilitasi pemerintah desa menjabarkan perencanaan pengelolaan DAS kabupaten dalam perencanaan desa; mengawasi dan mengkoordinasikan pengelolaan unit-unit lahan building block yang dilakukan kelembagaan desa; membuat petunjuk teknis dan aturan-aturan sistem pengelolaan DAS dan aturan-aturan hubungan antar desa di wilayah kabupaten, Mengembangkan kelembagaan adat; melakukan pembinaan, monitoring, pengawasan dan pengendalian pelaku usaha di catchment area DAS. 4 Pemerintah Desa Menjabarkan perencanaan kabupaten dalam perencanaan desa; melaksanakan pengelolaan unit-unit lahan building block di desa; pemerintah desa membuat aturan mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha di catchment area DAS 5 LSM Mengembangkan kapasitas masyarakat; memperkuat kelembagaan lokal masyarakat; memfasilitasi terjalinnya komunikasi yang intensif dan produktif antara masyarakat dengan pihak-pihak terkait; melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat 6 Perguruan Tinggi Melakukan kajian-kajian ilmiah sebagai dasar pertimbangan terhadap pengelolaan DAS 7 Swasta Membina masyarakat dalam nuansa kemitraan usaha yang mendukung sustainability 8 Masyarakat Setempat Mengelola lahan pada DAS secara individu atau kelompok dengan tetap memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan; berpartisipasi dalam pengelolaan DAS; kerjasama dengan kelembagaan terkait dengan pengelolaan DAS Sumber: Supratman, 2008 Analisis Prioritas Model dan Strategi Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim Hasil analisis prioritas model kelembagaan menunjukkan 53,60 menyatakan prioritas pada perjanjian kerjasama pengelolaan DAS Tono. Pembentukan forum DAS lintas negara sebesar 35,20, dan pembentukan badan pengelola DAS lintas negara sebersar 8,50. Kelembagaan ini juga akan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan khususnya: perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim yang berdampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di DAS Tono. Selengkapnya ditampilkan Gambar 30. Gambar 30. Hasil Pembobotan Prioritas Model Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan Perjanjian Kerjasama Bilateral Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara Perjanjian kerjasama bilateral Indonesia dan Timor Leste dilakukan oleh Joint Border Committe RI-RDTL setelah direkonstruksi dengan memasukkan aspek pengelolaan DAS bukan hanya pengelolaan sungai. Mengingat pengelolaan DAS lintas negara belum dilakukan, sedangkan bidang-bidang lain telah dikerjasamakan. Kerjasama Indonesia dan Timor-Leste dalam pengelolaan DAS menunjukkan pemahaman yang sama mengenai keterkaitan ekologi hulu, tengah dan hilir DAS. Pemangku kepentingan paham mengenai aktivitas yang cenderung eksploitatif pada bagian hulu akan menyebabkan eksternalitas negatif pada bagian hilir. Demikian pula sebaliknya, bila aktivitas penduduk pada bagian hulu DAS lebih ramah lingkungan akan berdampak baik terhadap bagian hilir DAS, yang secara administrasi berada pada negara lain. Kerjasama pengelolaan DAS lintas negara diimplementasikan dengan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal agar memiliki pemahaman yang sama mengenai keterkaitan ekologis dimaksud. Dilanjutkan dengan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi pada masing-masing wilayah. Upaya mitigasi dilakukan oleh masing-masing negara dengan cara menyiapkan regulasi- regulasi penunjang. Adaptasi dilakukan dengan pembangunan embung-embung, bendungan, bronjong, dan saluran air. Pembentukan Forum DAS Wilayah Perbatasan Negara RI-RDTL Perjanjian kerjasama pengelolaan DAS ditindaklanjuti dengan pembentukan forum komisi DAS wilayah perbatasan negara. Pembentukan forum DAS diperlukan agar pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara menjadi lebih bersifat operasional dan teknis. Forum DAS merupakan organisasi multipihak yang saling berkoordinasi dalam pengelolaan DAS. Forum DAS beranggotakan pemerintah Indonesia dan Timor Leste pusat dan daerah, masyarakat lokal Indonesia dan Timor Leste, pemerhati DAS. Masyarakat lokal yang terlibat dalam forum DAS adalah masyarakat adat yang tersebar di Indonesia dan Timor Leste. Masyarakat adat yang melakukan pengelolaan dan pemanfaatan terhadap DAS. Sebagaimana diketahui, masyarakat 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 Perjanjian Kerjasama Pengelolaan DAS Pembentukan Forum DAS Lintas Negara Pembentukan Badan Pengelola DAS Lintas Negara 0.563 0.352 0.085 lokal melakukan usahatani secara eksploitatif, namun di lain sisi memiliki budaya perlindungan terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan di DAS Tono. Prioritas strategi yang dilaksanakan adalah mitigasi dan adaptasi dilakukan secara bersama. Mitigasi dilakukan dengan kajian-kajian yang implementatif untuk melaksanakan aksi-aksi sesuai dengan regulasi yang telah disiapkan pada tahap sebelumnya kerjasama. Adaptasi dilakukan dengan rehabilitasi hutan dan usahatani dengan sistem agroforestry. Kendalanya, forum DAS bersifat koordinatif dan tidak memiliki memiliki kewenangan. McKee 2010 menunjukkan pengalaman di DAS Jordan yang pengelolaannya didasarkan pada isu keamanan dan politik. Pembentukan Badan Pengelola DAS Wilayah Perbatasan Negara RI-RDTL Kelembagaan yang memiliki kewenangan adalah pembentukan badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara yang diberikan otonomi oleh pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk melakukan pengelolaan DAS. Prioritas strategi yang dilakukan adalah mitigasi dan adaptasi bersama hasil pembobotan strategi ditampilkan Tabel 54. Bentuk mitigasi dan adaptasi dilakukan dengan cara menyiapkan regulasi untuk menunjang integrasi usaha bersama hulu, tengah, hilir DAS danatau mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Regulasi yang disiapkan mengikat pemangku kepentingan pada kedua negara karena kesepakatan penggunaan lahan merupakan kesepakatan bersama pemangku kepentingan Indonesia dan Timor Leste. Badan pengelola DAS berwenang untuk melakukan penjajakan pengelolaan dengan badan-badan lingkungan hidup internasional. Wondwosen 2008 menyatakan negara-negara di DAS Nil membentuk badan pengelola DAS Nil pada tahun 1999, dan memperoleh legitimasi internasional pada tahun 2003. Pengambilan keputusan oleh dewan menteri setelah memperoleh pertimbangan dari 2 dua tenaga ahli dari tiap negara. Tabel 54. Hasil Pembobotan Strategi Pengelolaan DAS Tono Model Bobot Prioritas Perjanjian kerjasama pengelolaan DAS Mitigasi dan adaptasi bersama 0,390 2 Penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat 0,420 1 Pengelolaan usaha secara bersama di perbatasan 0,118 3 Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,072 4 Pembentukan forum DAS lintas negara Mitigasi dan adaptasi bersama 0,489 1 Penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat 0,328 2 Pengelolaan usaha secara bersama di perbatasan 0,119 3 Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,063 4 Pembentukan Badan Pengelola DAS Lintas Negara Mitigasi dan adaptasi bersama 0,534 1 Penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah setempat 0,194 3 Pengelolaan usaha secara bersama di perbatasan 0,209 2 Pembayaran jasa lingkungan hidup 0,064 4 Road Map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim Prioritas model dan strategi kelembagaan pengelolaan DAS Tono menunjukkan kecenderungan sesuai tahapan pembangunan, perkembangan masyarakat, dan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Selaras dengan itu, Mumme 2010 menyatakan kelembagaan pengelolaan DAS disesuaikan dengan tahapan pembangunan, karakteristik masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dibutuhkan perhitungan kebutuhan air dan upaya konservasi. Pengelolaan DAS Rio Grande USA dan Mexico didasarkan pada 4 empat tahapan pembangunan yakni: pembangunan dan pertumbuhan, pembangunan berkelanjutan, perlindungan terhadap keberlanjutan sumberdaya air, pembangunan berkelanjutan yang memberikan kesejahteraan dan kenyamanan. Road map kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara terdiri atas: posisi kelembagaan, pemangku kepentingan yang terlibat, aksi-aksi yang akan dilaksanakan, pembiayaan, hasil yang dicapai. Road map kelembagaan ditampilkan Tabel 55 dan Gambar 31. Tabel 55. Road map Kelembagaan Pengelolaan DAS Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dan Timor Leste Komponen Kerjasama Forum DAS Badan Pengelola DAS Posisi kelembagaan Kementerian kehutanan masing- masing negara Lembaga independen yang dibentuk oleh kedua negara Badan otonom yang dibentuk oleh kedua negara Stakeholder yang terlibat Dominasi Pemerintah RI dan RDTL Keseimbangan peran pemerintah, masyarakat, dan pemerhati DAS Keseimbangan peran pemerintah, masyarakat, dan pemerhati DAS Perubahan penggunaan lahan Luas pertanian lahan kering campur 28.000 ha Luas pertanian lahan kering campur 30.000 ha Luas pertanian lahan kering campur 30.000 ha Aksi-aksi Penguatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat lokal Mitigasi dan adaptasi bersama Mitigasi dan adaptasi bersama, pengelolaan usaha secara bersama terintegrasi hulu, tengah dan hilir Pembiayaan Pemerintah RI di wilayah RI dan pemerintah RDTL di wilayah RDTL Pembiyaan bersama Pemerintah RI dan Pemerintah RDTL Pembiayaan bersama Pemerintah RI dan RDTL, lembaga donatur internasional Hasil yang dicapai MoU dan dokumen rencana pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Pengawasan trhadap pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka pemb. berkelanjutan Kewenangan penuh pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara dalam kerangka pembangunan berkelanjutan Institusi yang berwenang melakukan pengelolaan Kementrian kehutanan masing- masing negara dan dibahas dalam JBC JBC RI-RDTL JBC RI-RDTL dan lembaga donatur internasional Target waktu Tahun ke-1,2 Tahun ke-3,4,5 Tahun ke-6-10, dst Gambar 31. Kerangka Road Map Kelembagaan DAS Wilayah Perbatasan Negara dalam Pembangunan Berkelanjutan Jumlah penduduk + Pembangunan infrastruktur + Penggunaan Lahan DAS {semak belukar -, hutan -, PLK +, PLKC +} Iklim: curah hujan ±, suhu + Banjir + Kering + Input lain faktor produksi Produksi - Income - efisiensi ekonomi usahatani - Kelembagaan yang adaptif terhadap perubakan iklim Harga Pengelolaan DAS lintas negara Indonesia dan TL belum terpaduterintegrasi Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara Indonesia dan TL Ekologi: PLKCC 28.000 ha, chsuhu stabil, Peluang banjir 0,85, kering 0,85. Sosial: orientasi pertumbuhan, sanksi adat. Ekonomi: produksi 1,40 tonha PLK, 1,70 tonha sawah Ekologi: PLKCC 30.000 ha, chsuhu stabil, Peluang banjir 0,92, kering 0,90. Sosial: pemb.berkelanjutan, penguatan lembaga adat. Ekonomi: produksi 1,30 tonha PLK, 1,55 tonha sawah Ekologi: PLKCC 30.000 ha, chsuhu fluktuatif, Peluang banjir 0,98, kering 0,97. Sosial: pemb.berkelanjutan, insentif. Ekonomi: produksi 1,25 tonha PLK, 1,40 tonha sawah Kerjasama Forum DAS Badan Pengelola DAS Perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Timor Leste mewajibkan masing-masing negara menyiapkan anggaran pengelolaan pada masing-masing wilayah secara independen. Aktor pada perjanjian kerjasama didominasi oleh pemerintah kedua negara, dan menjadi lebih berimbang antara pemerintah, masyarakat, dan pemerhati DAS pada forum DAS. Pembentukan forum DAS oleh JBC, yang penganggarannya di-share oleh masing-masing negara. Forum DAS menjadi cikal-bakal dibentuknya badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara. Wondwosen 2008 menyatakan badan pengelola DAS Nil memperoleh status internasional pada tahun 2003 setelah melalui proses panjang. Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dalam bentuk road map sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Diawali dengan perjanjian kerjasama, pembentukan forum DAS, hingga membentuk badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara. Prioritas kelembagaan ini disesuaikan dengan tahapan pembangunan, karakteristik masyarakat, dan kondisi lingkungan Mumme, 2010. Tahapan pembangunan di wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste meliputi: orientasi pertahanan dan keamanan, peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan, pembangunan yang berimbang dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Pembangunan wilayah perbatasan yang direpresentasikan oleh penetapan wilayah centre-hinterland, pembangunan infrastruktur meningkatkan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk meningkatkan permintaan terhadap lahan pemukiman dan pemenuhan kebutuhan pangan yang diperoleh dari lahan pertanian sehingga meningkatkan luas pertanian lahan kering campur. Akibatnya terjadi konversi lahan yang berfungsi konservasi hutan dan semak belukar menjadi lahan budidaya. Adapun kondisi lingkungan yang dimaksud adalah perubahan penggunaan lahan, perubahan iklim, dan ekternalitas yang ditimbulkan. Perjanjian kerjasama dilakukaan saat ini, pada kondisi pertanian lahan kering campur seluas 28.000 ha, suhu rata-rata saat kekeringan 26 o C, dan rata-rata curah hujan bulanan saat kekeringan 50 mm. Adapun suhu udara rata-rata saat banjir 24 o C dan curah hujan rata-rata saat banjir 250 mm, dengan luas pertanian lahan kering campur 28.000 ha. Forum DAS dibentuk saat luas pertanian lahan kering campur mencapai ≥ 29.000 ha dan ≤ 30.000 ha. Rata-rata kisaran curah hujan minimal 250 mm s.d 350 mm saat banjir dan 50 mm saat kering. Temperatur minimal saat kekeringan berkisar 26-27 o C, dan 23-24 o C saat hujan. Pembentukan badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara dilakukan saat luas pertanian lahan kering campur mencapai 30.000 ha. Rata-rata kisaran curah hujan minimal saat banjir 250-450 mm dan 50 mm saat kekeringan. Rata-rata temperatur bulanan saat kering 26- 28 o C dan 22-24 o C saat hujan. Perubahan penggunaan lahan, perubahan iklim, banjir dan kekeringan merupakan faktor ekologi yang merupakan salah satu faktor yang menjadi dasar dalam disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Produksi pertanian dan ketahanan pangan, pendapatan, efisiensi usahatani dan interaksi spatial pendapatan merupakan faktor ekonomi yang juga menjadi dasar untuk disain kelembagaan pengelolaan DAS. North 1990 dan Williamson 2000 menyatakan efisiensi ekonomi tercapai bila kelembagaan berfungsi dengan baik dalam mengurangi eksternalitas negatif. Faktor lainnya yang turut menjadi landasan dalam disain kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara adalah fakor sosial yang terdiri atas: hubungan kekerabatan yang kuat antar penduduk di wilayah perbatasan yang meningkatkan interaksi spatial, budaya perlindungan terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya hutan di DAS Tono. Karakteristik masyarakat yang dimaksud adalah adanya hubungan kekerabatan dan interaksi sosial, ekonomi dan budaya yang kuat antar kedua negara. Masyarakat adat di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor-Leste memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal dalam pengelolaan DAS dalam bentuk perlindungan terhadap sumberdaya air dan sumberdaya hutan, yang dikenal dengan banultarabandu. Masyarakat lokal juga memiliki kearifan lokal dalam mengelola pertanian lahan kering campur. Kearifan-kearifan lokal ini dapat diakomodir dalam kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Perubahan kelembagaan formal yang mengakomodir kelembagaan informal sebagaimana dikemukakan North 1990; Ostrom 1990; dan Williamson 2000. Kerjasama pengelolaan DAS melibatkan masyarakat lokal dengan cara meningkatkan kapasitas masyarakat agar paham mengenai keterkaitan ekologi hulu, tengah, hilir DAS meskipun secara teritori berbeda. Pembentukan forum DAS akan melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan rehabilitas hutan dan sistem usahatani secara agroforestry. Badan pengelola DAS berwenang memberikan insentif terhadap pihak-pihak termasuk masyarakat adat yang melakukan upaya-upaya pemeliharaan DAS, dan juga memberikan disinsentif terhadap pihak-pihak yang tidak memanfaatkan DAS sesuai kesepakatan. Faktor ekologi, ekonomi, dan sosial merupakan tiga dimensi dalam pembangunan berkelanjutan. Setiap model kelembagaan melakukan strategi dan program aksi yang berbeda untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Strategi-strategi yang dilakukan terdiri atas: penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal, mitigasi dan adaptasi bersama, pengembangan mekanisme aksi bersama lainnya pemberian insentif dan economic services. Sebagaimana telah dilakukan oleh USA dan Mexico dalam melakukan pengelolaan DAS Rio Grande Parcher et al. 2010. Kajian-kajian juga diperlukan untuk melakukan pembaharuan terhadap pengelolaan DAS, sebagaimana direkomendasikan McKee 2010 mengenai kajian-kajian di DAS Jordan yang meliputi: ekonomi, politik, lingkungan, kelembagaan, distribusi air untuk pertanian dan perkotaan. Kelembagaan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan mendukung teori ekaternalitas dan social cost Coase, 1960, property rights dan regulasi Demsetz, 1967; Allen, 2002, transaction cost Allen, 1991 yang merupakan bagian dari teori new institutional economic sebagaimana dikemukakan Williamson 2000. Kelembagaan bilateral pengelolaan DAS Indonesia dan Timor Leste untuk mengatasi eksternalitas dan biaya sosial Coase, 1960 yang ditanggung akibat terjadinya banjir dan kekeringan di DAS. Kelembagaan ini membutuhkan pengaturan terhadap property right Demsetz, 1967; Allen, 2002 di DAS Tono yang terdistribusi dalam state property Indonesia dan Timor Leste, common property masyarakat adat di Indonedia dan Timor Leste, dan individu property Indonesia dan Timor Leste. Simpulan Model kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan disesuaikan dengan tahapan pembangunan, karakteristik masyarakat, dan perubahan iklim dilakukan melalui tahapan: i perjanjian kerjasama Indonesia dan Timor Leste dilakukan saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 28.000 ha, ii forum DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dibentuk saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 30.000 ha, iii badan pengelola DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste dibentuk saat luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur 30.000 ha. Strategi yang dilakukan melalui: penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat lokal, mitigasi dan adaptasi bersama Indonesia dan Timor-Leste, regulasi mengenai private property dan common property, perlindungan terhadap sumberdaya air yang dilakukan dengan cara banultarabandu.

6. ARAHAN KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAS WILAYAH PERBATASAN NEGARA YANG ADAPTIF TERHADAP