14
Apabila awan hujan memiliki melting layer,
maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan stratiform atau mixed
stratiformconvective, jika tidak ada turbulensi
di atas melting layer, awannya diklasifikasikan sebagai stratiform dan jika ada turbulensi di
atas melting layer, maka diklasifikasikan sebagai mixed stratiformconvective. Dan untuk
awan hujan yang tidak memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai
awan konvektif, apabila terdapat hidrometeor di atas melting layer maka diklasifikasikan
sebagai deep convective dan apabila tidak ada hidrometeor di atas melting layernya, maka
awan diklasifikasikan sebagai awan shallow convective
.
2.9 Disdrometer
Berbagai macam penelitian untuk mengukur distribusi butir hujan ini telah
dilakukan orang sejak dahulu. Beberapa metode dan alat penelitian telah dicoba, tetapi
yang paling populer adalah penelitian dengan menggunakan disdrometer yang ditemukan
oleh Joss dan Waldvogel 1967. Dengan alat ini, momentum dari butir hujan yang jatuh
mengenai sebuah sensor elektromekanis akan berubah menjadi sinyal listrik. Alat ini
kemudian disempurnakan oleh Sheppard 1990 yang sampai sekarang ini merupakan
alat standar untuk mengukur distribusi butir hujan.
Disdrometer yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe RD-80, yang
merupakan disdrometer dengan sensor elektromekanis yang menghantarkan
memontum butir hujan ke sinyal listrik. Alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur
diameter butir hujan antara 0.3 mm sampai 0.5 mm, yang dibagi dalam 20 kelas 19 kelas
tambah 1 kelas untuk data diatas 5.0 mm. Berdasarkan pembagian kelas ini masing-
masing jumlah butir hujan dapat dihitung. Pembagian kelas ini untuk masing-masing
ukuran butir hujan ditunjukkan pada lampiran 2
.
2.10 Osilasi Madden Julian
Pada tahun 1971, Roland Madden dan Paul Julian menemukan sebuah osilasi di daerah
tropis dengan periode 40-50 harian. Osilasi ini disebut dengan Osilasi Madden Julian Madden
Julian Oscillation . MJO dapat dianggap
sebagai pita skala yang mulai muncul di atas perairan Samudera Hindia dan bergerak ke arah
timur antara 10º LU dan 10º LS. Kehadiran MJO dicirikan oleh adanya
pertumbuhan gugus awan SCC: super cloud cluster
di atas samudera Hindia dan kemudian menjalar ke arah timur dengan kecepatan
sekitar 5 ms, penjalaran ini belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa selalu
muncul tekanan rendah di sebelah timur SCC.
Gambar 4. Hirarki MJO Nakazawa, 1988 Menurut Nakazawa 1988, munculnya
MJO dicirikan dengan adanya Super Cloud Cluster
SCC, SCC adalah kumpulan awan dengan skala 1000-2000 km yang bergerak ke
arah timur. SCC terdiri dari Cloud Cluster CC yang mempunyai skala 100 km. sel-sel
awan CC ini akan bergerak ke arah barat sambil tumbuh dan berkembang matang
kemudian mati dan seterusnya dalam waktu kurang lebih dua hari, sehingga dapat
disimpulkan bahwa timbulnya MJO dicirikan dengan adanya CC dan terjadinya gugus ini
dalam rentang waktu 30-60 hari.
Selama perjalanan ke arah timur MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika
matahari berada di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sedangkan ketika matahari
berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan
ekuator yang dikenal sebagai penjalaran selatan-timur south-eastern propagation.
Ketika posisi matahari berada di sebelah utara ekuator, maka penjalaran MJO agak bergeser
ke arah utara ekuator, yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur north-eastern
propagation
Rui and Wang 1990 dalam Sartika 2005.
2.11 Angin Atmosfer selalu ada dalam keadaan
bergerak. Gerak atmosfer ada dua jenis, yaitu gerak nisbi terhadap permukaan bumi, yang
dinamakan angin, dan gerak bersama-sama dengan bumi yang berotasi terhadap sumbunya.
Jenis gerak terakhir ini berpengaruh terhadap arah angin nisbi terhadap permukaan bumi.
Gerak atmosfer terhadap permukaan bumi
15
mempunyai dua arah, ialah arah horizontal dan arah vertikal.
Menurut Holton 1992, komponen angin horizontal terbagi menjadi dua komponen,
yaitu: 1. Komponen angin Timur-Barat angin
zonal disebut juga kompenen angin U. 2. Komponen angin Utara-selatan angin
meridional disebut juga kompenen angin V.
III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknik Hujan Buatan UPTHB
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT Jakarta pada bulan April sampai Juli
2006. 3.2
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software
Microsoft Office, dan compiler Fortran dan XYGRAPH
yang dioperasikan pada sistem UNIX.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data EAR Equatorial Atmosphere Radar berupa angin zonal, angin meridional dan
angin vertikal. 2. Data BLR dari beam vertikal yang terdiri
dari 3 parameter yaitu pantulan radar Echo Power, kecepatan Doppler
Doppler Shift dan lebar spektrum Spectral Width. Dengan resolusi
pengukuran 100 m dan resolusi waktu kurang dari 1 menit.
3. Data radar X-Band untuk melihat pergerakan awan, karakteristik awan dan
besarnya awan secara spasial. 4. Data Permukaan
Data permukaan digunakan sebagai pembanding dengan data radar dan citra
satelit dalam penelitian ini. Data pembandingnya adalah data curah hujan
yang diukur dengan distrometer dalam bentuk menit. Data curah hujan yang
digunakan adalah data bulan April sampai Mei 2004.
5. Citra satelit GOES 9-IR Citra satelit GOES 9-IR wilayah
Kototabang 10 April 2004-11 Mei 2004.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.3.1 Identifikasi Kemunculan Awan
dengan Menggunakan Data Satelit GOES 9-IR.
Pada penelitian ini data GOES yang diambil adalah data GOES 9-IR yang berada
pada lintang 0.2ºS tanggal 10 April 2004-11 Mei 2004 yang kemudian dirata-ratakan untuk
melihat keawanan secara global yang masuk ke Kototabang dan tutupan awan di atas
Kototabang. Hasil olahan Data GOES 9 ini berupa temperatur radiasi benda hitam yang
dipancarkan oleh puncak awan dan hasilnya diplot berupa bujur sumbu x dan penampang
waktu sumbu y.
3.3.2 Identifikasi Karakteristik Awan
Hujan
Untuk melihat karakteristik awan hujan digunakan data BLR dan XDR. BLR
digunakan untuk menentukan jenis awan hujan berdasarkan ketiga paramater yang diperoleh
dari beam vertikal BLR, yaitu pantulan radar, kecepatan doppler dan lebar spektrum dengan
menggunakan metode William, et al 1995, sehingga dapat ditentukan jenis awan yang
terpantau adalah awan jenis stratiform, deep convective
, campuran dari keduanya Mix stratiformconvective
atau shallow convective. Pengolahan data BLR menggunakan perangkat
lunak Fortran dan hasilnya diplot dengan menggunakan excel. Hasil olahan data BLR
berupa penampang waktu sumbu x dan frekuensi kemunculan awan hujan sumbu y.
Sedangkan XDR digunakan untuk melihat pertumbuhan, pergerakan dan tutupan awan
secara spasial. Pengolahan data XDR dengan menggunakan perangkat lunak Fortran dan
memplot hasilnya dengan menggunakan XY- Graph
dan hasilnya berupa grafik reflektivitas radar yang menunjukkan aktivitas awan hujan
dimana sumbu x adalah penampang waktu dan sumbu y adalah bujur.
3.3.3 Analisis Kejadian Hujan Saat
Kemunculan Awan Hujan .
Analisis awan hujan dilakukan dengan menggunakan data disdrometer. Untuk
menghitung jumlah curah hujan yang turun ke permukaan digunakan persamaan sebagai
berikut:
∑
=
× ×
× ×
=
20 1
3 3
1 10
6 .
3 6
i i
i
D n
t F
R π
3600 t
R RA
× =
Dimana: t =
Selang waktu Pengukuran t=60 detik