13
Gambar 3. Diagram alir algoritma klasifikasi awan William et al, 1995 Yes
Yes
Yes No
No
No Dimana Vd adalah perhitungan untuk
kecepatan Doppler nilai positif mengidentifikasikan kecepatan ke arah atas, w
untuk kecepatan vertikal udara positif ke atas dan Vt adalah kecepatan jatuh hidrometeor
positif ke bawah. Kecepatan Doppler vertikal adalah cara yang kuat untuk membedakan
antara udara cerah dengan echo hujan dalam wind profiler UHF.
2.6.3 Lebar spektrum
Lebar spektrum secara langsung berhubungan dengan turbulensi dan distribusi
ukuran hidrometeor pada volume resolusi radar.
2.7 Pertumbuhan Awan
Awan merupakan hasil kondensasi dari uap air yang bergerak naik bersama kantong
udara. Karena sifatnya yang memantulkan dan menyerap radiasi bumi maka awan juga ikut
menentukan pemanasan dan pendinginan bumi.
Konvektif merupakan salah satu faktor yang penting dalam pertumbuhan awan yang
terjadi karena kenaikan udara di atas permukaan yang relatif panas. Jika kita
mengamati atmosfer daerah tropis, maka akan terlihat bahwa keadaan awan tidak sama dari
hari ke hari. Ketinggian, ketebalan dan jenis awan kumulus berubah setiap hari bergantung
pada kondisi meteorologi.
Awan konvektif dan awan kumulus terbentuk karena adanya pemanasan radiasi
dari permukaan tanah. Pertumbuhan selanjutnya disebabkan adanya pelepasan panas
laten kondensasi yang merupakan sumber enegi yang cukup besar untuk menggiatkan awan
kumulus. Karena pemanasannya di permukaan, maka udara di atasnya menjadi tidak stabil
sehingga parsel udara naik ke atas hingga mencapai level kondensasi.
Menurut Tjasyono 1981 karena penyerapan energi matahari oleh permukaan
tanah tidak uniform daerah berbukit, daerah tumbuh-tumbuhan dan macam-macam jenis
tanah, maka pertumbuhan awan konvektif cenderung pada daerah dengan pemanasan
paling kuat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan awan kumulus di daerah tropis
adalah konvergensi horizontal, tebal lapisan lembab, stabilitas vertikal dan orografik.
Selanjutnya Tjasyono 1981 mengatakan lapisan inversi merupakan hambatan bagi
pertumbuhan awan konvektif karena lapisan ini adalah stabil. Hanya dengan updraft yang kuat
lapisan ini dapat tembus oleh awan. Karena adanya lapisan inversi ini, maka bentuk awan
konvektif menjadi berubah, pada saat tertentu seperti cerobong atau balok. Apabila terdapat
lapisan inversi, maka kemungkinan untuk turun hujan hampir tidak ada.
2.8 Klasifikasi Awan Hujan
Secara umum awan hujan terdiri dari dua jenis yaitu awan hujan stratiform dan awan
hujan konvektif. Awan hujan stratiform yang menghasilkan hujan, terbentuk dari awan
nimbostratus, sedangkan awan konvektif terbentuk dari awan cumulus dan
cumulonimbus.
Pengklasifikasian awan dan perkiraan struktur awan hujan berdasarkan struktur
vertikal parameter-parameter yang dihasilkan dari radar pantulan radar, kecepatan doppler
dan lebar spektrum, yaitu menjadi 4 tipe awan yang terdiri dari awan stratiform, mixed
stratiformconvective, deep convective dan shallow convective
. Pengklasifikasian awan hujan dilakukan dengan metode William et al
1995 yaitu dengan menggunakan tiga kriteria sebagai berikut:
a. Adanya melting layer b. Adanya turbulensi di atas melting layer
c. Adanya hydrometeor di atas melting layer
Apakah terlihat adanya Melting Layer
Apakah ada Hidrometeor di atas
Melting Layer Apakah ada
turbulensi di atas Melting Layer
Mixed StratiformConvective
Stratiform
Shallow Convective Deep Convective
14
Apabila awan hujan memiliki melting layer,
maka awan hujan diklasifikasikan sebagai awan stratiform atau mixed
stratiformconvective, jika tidak ada turbulensi
di atas melting layer, awannya diklasifikasikan sebagai stratiform dan jika ada turbulensi di
atas melting layer, maka diklasifikasikan sebagai mixed stratiformconvective. Dan untuk
awan hujan yang tidak memiliki melting layer, maka awan hujan diklasifikasikan sebagai
awan konvektif, apabila terdapat hidrometeor di atas melting layer maka diklasifikasikan
sebagai deep convective dan apabila tidak ada hidrometeor di atas melting layernya, maka
awan diklasifikasikan sebagai awan shallow convective
.
2.9 Disdrometer
Berbagai macam penelitian untuk mengukur distribusi butir hujan ini telah
dilakukan orang sejak dahulu. Beberapa metode dan alat penelitian telah dicoba, tetapi
yang paling populer adalah penelitian dengan menggunakan disdrometer yang ditemukan
oleh Joss dan Waldvogel 1967. Dengan alat ini, momentum dari butir hujan yang jatuh
mengenai sebuah sensor elektromekanis akan berubah menjadi sinyal listrik. Alat ini
kemudian disempurnakan oleh Sheppard 1990 yang sampai sekarang ini merupakan
alat standar untuk mengukur distribusi butir hujan.
Disdrometer yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe RD-80, yang
merupakan disdrometer dengan sensor elektromekanis yang menghantarkan
memontum butir hujan ke sinyal listrik. Alat ini mempunyai kemampuan untuk mengukur
diameter butir hujan antara 0.3 mm sampai 0.5 mm, yang dibagi dalam 20 kelas 19 kelas
tambah 1 kelas untuk data diatas 5.0 mm. Berdasarkan pembagian kelas ini masing-
masing jumlah butir hujan dapat dihitung. Pembagian kelas ini untuk masing-masing
ukuran butir hujan ditunjukkan pada lampiran 2
.
2.10 Osilasi Madden Julian