Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Jepang dikenal akan budaya kerja keras, disiplin dan loyalitas tinggi terhadap perusahaan tempat mereka bekerja. Sejak berakhirnya masa perang dunia kedua, Jepang yang pada awalnya mengalami kekalahan dan krisis disegala bidang termasuk diantaranya meliputi bidang perekonomian, dapat kembali bangkit secara cepat menjadi sebuah bangsa yang maju dan unggul. Hal ini tidak lepas dari peran masyarakatnya yang memiliki kemauan dan komitmen tinggi untuk kembali membangkitkan Jepang dari jurang keterpurukan. Segala kenikmatan dan keberhasilan Jepang sebagai negara maju tidak didapat dengan mudah, melainkan melalui kerja keras, usaha tidak kenal lelah, disiplin dan loyalitas yang dimiliki dari setiap orang Jepang. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang sulit untuk menerima kekalahan, tidak ada kata menyerah bagi bangsa Jepang. Kekalahan bukan berarti mati, mereka berusaha bangkit kembali dan mencari kemenangan dibidang lain. Mereka tidak menerima kekalahan yang dapat merendahkan harga diri. Masyarakat Jepang tidak dapat menanggung malu jika mengalami kegagalan, mereka lebih memilih mati dari pada harus menanggung malu bila mengalami kegagalan Ann Wan Seng, 2007:8. Disiplin dalam setiap kegiatan pekerjaan bagi masyarakat Jepang merupakan suatu keharusan. Disiplin dikaitkan dengan harga diri, jika mereka mengalami kegagalan maka pekerja atau individu tersebut yang akan menanggung Universitas Sumatera Utara malu, bukan perusahaan atau organisasi tempat mereka bernaung Ann Wan Seng, 2007:38. Mereka selalu berusaha keras demi perusahaannya, mereka sampai rela meluangkan waktu penuh, hingga meninggalkan keluarga demi memajukan perusahaan. Pekerja Jepang juga memiliki rasa kesetiaan yang kuat pada perusahaannya. Rasa ini timbul bukan semata-mata dari jumlah upah yang mereka terima, melainkan adanya rasa kebersamaan yang tumbuh dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Mereka bekerja sama, saling menutupi kekurangan layaknya sebuah keluarga. Seperti dikutip dari Moer dan Kawanishi dalam buku A Sociology of Work in Japan 2005:58: Work wa s conceived a s pa rt of a living socia l community which linked the shop floor a nd fa mily life. Terjemahan : Pekerjaan dipahami sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial yang hidup yang menghubungkan dasar perusahaan dan kehidupan keluarga. Hal inilah yang menumbuhkan sikap kekeluargaan bagi para pekerja Jepang, komunitas dalam perusahaan dianggap seperti sebuah keluarga, maka pola pikir yang muncul adalah bagaimana memajukan perusahaan agar tidak kalah bersaing dengan perusahaan lain atau bahkan runtuh layaknya mempertahankan keluarga. Bila perusahaan tersebut runtuh maka semua pekerja merasa bertangung jawab untuk mengembalikan kejayaan perusahaan, tidak meninggalkannya begitu saja. Disinilah letak kesetiaan pekerja Jepang terhadap perusahaan tempat mereka mengabdi. Universitas Sumatera Utara Bagi masyarakat Jepang bekerja penuh totalitas bagi sebuah perusahaan merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Maka tidak heran jika muncul ungkapan “work is life” bekerja adalah kehidupan bagi kalangan pekerja jepang Blyton, Blunsdon, Reed, Dastmalchian, 2010:140. Hal ini dilakukan demi memajukan perusahaan, hingga mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, sampai menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut dengan karoshi, yaitu kelebihan bekerja hingga menyebabkan kematian Pujiastuti 2007:42. Permasalahan ini muncul karena para pekerja tersebut dituntut untuk bekerja semaksimal mungkin bagi perusahaannya, mereka bekerja setiap hari tanpa libur, bahkan mereka bekerja melebihi batas waktu normal bekerja 8 jam sampai 12 jam dalam sehari. Selain tekanan dalam pekerjaan, mereka juga di gaji rendah. Inilah yang membuat tekanan mental memuncak sampai menyebabkan kematian Pujiastuti 2007:42. Sebagai sebuah negara yang berhasil maju pada dekade 1950 hingga 1970an, Jepang tidak luput dari berbagai permasalahan. Mulai dari masalah perekonomian diakhir tahun 1980an, yang ditandai dengan munculnya fenomena gelembung ekonomi, yaitu sebuah istilah dalam siklus ekonomi yang ditandai dengan ekspansi yang cepat diikuti oleh kontraksi, dan sering kali dengan cara yang dramatis http:adioksbgt.wordpress.com20101228economic-bubble. Munculnya gelembung ekonomi di Jepang, mengakibatkan kekhawatiran berlebihan pada masyarakat Jepang yang mengakibatkan deflasi. Perputaran jumlah uang tertahan pada masyarakat dalam bentuk tabungan dan bunga deposito. Sebagai akibat dari sikap yang terlalu kapitalistik itu, membuat lapangan kerja di Jepang menjadi semakin sempit dan Jumlah pengangguran pun Universitas Sumatera Utara kian bertambah http:michaelorstedsatahi. wordpress.com20110825resesi-di- jepang. Memasuki awal tahun 1990an, Jepang mulai mengalami resesi, yang diakibatkan dari gelembung ekonomi. Berbagai fenomena seputar permasalahan ekonomi bermunculan. Diantaranya pasar tenaka kerja yang mengalami perubahan secara signifikan akibat dari pengurangan jumlah tenaga kerja untuk memotong biaya operasional oleh perusahaan. Seperti yang dikutip dari buku Socia l Cla ss in Contempora ry ja pa n 2010:90 oleh Ishida dan Slater : Pa rtly beca use of the economic recession of the 1990s a nd pa rtly beca use of pressures to cut la bor costs, the job ma rket for new gra dua tes and young people dra ma tica lly cha nged during the 1990s a nd ea rly 2000s. The number of pa rt-time jobs increa sed, job turnover ra tes increa sed, a nd the lifelong employment system wa s no longer a ssumed to function for young workers. Terjemahan : Sebagian karena resesi ekonomi ditahun 1990-an dan sebagian karena tekanan untuk memotong biaya tenaga kerja, pasar kerja bagi lulusan baru dan orang muda secara dramatis berubah selama 1990-an dan awal 2000- an. Jumlah pekerjaan paruh waktu meningkat, tingkat putar balik pekerjaan meningkat, dan sistem seumur hidup bekerja diasumsikan tidak lagi berfungsi bagi para pekerja muda. Saat resesi di Jepang berlangsung, tren pasar tenaga kerjapun berubah, banyaknya lowongan pekerjaan sebagai pekerja paruh waktu meningkat. Banyak kaum muda Jepang akhirnya beralih sebagai pekerja paruh waktu. Mereka bekerja tidak menetap dalam satu perusahaan, terkadang berpindah-pindah pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Para pekerja seperti ini disebut sebagai Universitas Sumatera Utara freeter . Freeter merupakan sebuah neologisme dari kontraksi kata bahasa Inggris free bebas dan kata bahasa Jerman arbeiter pekerja, yang kemudian diartikan sebagai karyawan sementara atau pekerja paruh waktu. Dalam pengertian ini, golongan pelajar dan ibu rumahtangga tidak termasuk kedalam golongan freeter Ishida, Slater, 2010:91. Istilah freeter digunakan untuk menggambarkan kaum muda Jepang berusia antara 15 hingga 34 tahun yang mengisi waktu luang mereka dengan bekerja paruh waktu OECD 2009:18, misalnya di restoran cepat saji atau supermarket. Kelompok masyarakat muda Jepang lebih memilih menjadi freeter daripada pekerja tetap dalam suatu perusahaan dengan alasan yang beragam. Satu diantaranya, mereka menghindari rutinitas dan tekanan yang diberikan oleh perusahaan bila menjadi pekerja tetap. Lagipula untuk menjadi freeter tidak diperlukan kemampuan lebih atau keahlian khusus, karena pada umumnya pekerjaan yang disediakan bagi freeter merupakan pekerjaan umum dalam keseharian, misalnya sebagai penjaga toko, pelayan restoran, buruh pengangkut barang, penyebar brosur dan lain sebagainya. Indikasi statistik menunjukkan jumlah freeter diawal tahun 2000-an sekitar tiga juta jiwa, dan angka ini terus bertambah hingga pada saat ini Ishida, Slater, 2010:91. Munculnya kaum freeter menimbulkan beberapa dampak dalam kehidupan masyarakat sosial di Jepang, baik dari sisi positif dan negatifnya. Ini sedikitnya bertentangan dengan budaya Jepang yang terkenal akan kegigihan dan keuletannya. Seperti yang diutarakan Slater 2010:162 : First, while the pa rticula r young people who end up a s freeter might not embrace the ethos of Japan,… Universitas Sumatera Utara Terjemahan : Pertama, sementara orang-orang muda tertentu yang berakhir sebagai freeter mungkin tidak memeluk etos Jepang,… Etos Jepang yang dimaksud merupakan budaya kerja masyarakat Jepang terdahulu yang berkarakter disiplin, kerja keras, rajin dan loyalitas tinggi terhadap pekerjaannya. Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk membahas masalah freeter. Timbulnya beberapa permasalahan seperti dalam lingkungan sosial, resesi ekonomi Jepang yang berkepanjangan diawal dekade 1990an, dan beberapa lainnya, menyebakan jumlah freeter melonjak cukup tajam. Hal inilah yang mendasari ketertarikan penulis dalam meneliti fenomena freeter. Yang kemudian penulis tuang dalam skripsi ini dengan mengambil judul “Fenomena Freeter Dalam Masyarakat Jepang Dewasa Ini”.

1.2 Perumusan Masalah