BAB III FENOMENA
F REETER
PADA MASYARAKAT JEPANG
3.1 Awal Mula Kemunculan
F reeter
Freeter
merupakan sebuah fenomena di Jepang yang muncul diera tahun 1980an.
Freeter
atau dalam bahasa Jepang biasa disebut
furiitaa
merupakan penggabungan dari dua bahasa asing berbeda yaitu
“free” dalam bahasa Inggris yang berarti “bebas” dan kata
“arbeiter” dalam bahasa Jerman yang berarti “pekerja’.
Freeter
menggambarkan sebuah situasi dimana seseorang dalam usia produktifnya memilih bekerja sebagai
pekerja paruh waktu dan tidak menetap dalam sebuah pekerjaan dalam waktu lama. Golongan
freeter
ini diantaranya meliputi mereka yang bekerja sebagai paruh waktu atau karyawan sementara, mereka yang menganggur dan mencari pekerjaan paruh waktu atau
pekerjaan sementara, dan bagi mereka yang tidak aktif dengan alasan selain rumah tangga dan bersedia untuk menerima bekerja paruh waktu atau bekerja sementara
OECD, 2009:55. Istilah
freeter
muncul pertamakali di era tahun 1980an sejak munculnya gelembung ekonomi di Jepang. Meningkatnya permintaan tenaga kerja paruh waktu
membuat jumlah
freeter
semakin bertambah dari waktu ke waktu. Istilah
freeter
mengacu pada orang-orang dalam usia produktif antara 15-35 tahun selain ibu rumah tangga, yang
tidak secara aktif mencari pekerjaan dan keinginan tersendiri bagi mereka yang tidak ingin menjadi pegawai tetap dalam sebuah perusahaan.
Freeter
tidak hanya datang dari mereka yang tidak memiliki kemampuan atau keterampilan khusus dalam suatu bidang
namun juga muncul dari lulusan sekolah maupun universitas. Pilihan menjadi
freeter
sebagian dianggap sebagai gaya hidup yang bebas dan mudah didukung oleh pekerjaan kasual dengan pendapatan tidak lebih dari 800 yen perjam Foljanty-Jost, 2003:83.
Dilain pihak terdapat berbagai permasalahan yang menyebabkan kemunculan
freeter
yang semakin meningkat setiap tahunnya. Tidak jauh dari sistem ketenaga kerjaan
Universitas Sumatera Utara
di Jepang dan beberapa permasalahan sosial dalam lingkup masyarakat Jepang. Berikut penulis akan mencoba menguraikan berbagai sumber permasalahan yang menyebabkan
munculnya
freeter
dari sisi ketenaga kerjaan dan kehidupan sosial dalam masyarakat Jepang.
Dimulai dari sistem ketenaga kerjaan di Jepang yang disadari sebagai salah satu penyebab utama munculnya fenomena
freeter
. Ada beberapa sistem yang pada awalnya sudah menjadi tradisi ditiap-tiap perusahaan Jepang seperti senioritas dan mengabdi
seumur hidup dalam sebuah perusahaan. Sebagai contoh dari sistem tradisi senioritas dan mengabdi seumur hidup seperti,
rewa rd
yang didapatkan oleh setiap karyawan dalam perusahaan tidak dinilai dari kinerja yang mereka perbuat melainkan dari berapa lama
mereka mengabdi dalam perusahaan tersebut. Seorang karyawan tidak dapat dengan mudahnya menaiki posisi jabatan lebih tinggi lagi jika masih ada karyawan lain yang
masa pengabdiannya lebih lama. Dari sistem ini disadari mengakibatkan menurunnya daya saing antar karyawan untuk berkembang lebih baik.
Ketika gelembung ekonomi di Jepang muncul diiringi dengan resesi ekonomi yang berkepanjangan memaksa perusahaan-perusahaan Jepang untuk merubah sistem
kerja berdasar tradisi senioritas dan mengabdi seumur hidup, yang dianggap sebagai penghambat dari kemajuan sebuah perusahaan menjadi sistem kerja yang berdasarkan
kinerja dan kemampuan karyawan. Hal ini menyebabkan jumlah pemutusan hubungan kerja meningkat. Pekerja diusia non-produktif yang dianggap tidak mampu berkontribusi
besar pada perusahaan dikurangi dengan PHK, sementara bagi pekerja muda yang tidak berkembang akan dipindahkan keperusahaan lain yang merupakan bagian dari perusahaan
korporasi ataupun anak perusahaan. Dari sini angka pengangguran semakin meningkat, namun dilain pihak permintaan atas tenaga kerja baru meningkat untuk mengisi
kekosongan dari posisi yang ditinggalkan oleh pekerja terdahulu. Kemudian muncul sebuah sistem baru perekrutan pegawai yang bekerja berdasar kontrak kerja tahunan dan
diseleksi berdasarkan kemampuan, kinerja dan penyesuaiaan terhadap kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
perusahaan. Para pekerja dengan sistem baru ini kemudian masuk kedalam golongan
freeter
, dimana mereka bekerja secara paruh waktu dan tidak menetap dengan berpindah- pindah pekerjaan setelah masa periode kontrak berkahir.
Sementara dari sudut pandang sosial masyarakat kemunculan
freeter
dilandasi dari pemikirna kaum muda Jepang yang seiring berubah. Mereka melihat kebelakang dari
apa yang orang tua mereka peroleh saat bekerja menjadi pegawai tetap dan mengabdi seumur hidup bagi perusahaan. Orang tua mereka tidak mendapatkan
rewa rd
seperti bonus ataupun kemakmuran ekonomi keluarga setelah pensiun, selain pengakuan dan
penghargaan diri sebagai pekerja yang baik dan setia yang diberi oleh perusahaan. Mereka menilai apa yang dilakukan oleh orang tua mereka terdahulu merupakan hal yang
sia-sia, bekerja meluangkan waktu secara totalitas, lebih mementingkan perusahaan dari pada keluarga namun tidak mendapatkan hasil yang lebih baik setelahnya. Dari sini
mereka kemudian beralih dengan hanya memilih bekerja sebagai
freeter
. Mereka menganggap jika bekerja sebagai
freeter
mereka memiliki waktu luang lebih untuk diri mereka, disamping itu pula tidak adanya ikatan kerja yang membebani mereka untuk
bekerja secara totalitas dan bekerja ekstra keras. Pemikiran yang sama kemudian muncul dari kaum intelektual seperti lulusan dari universitas yang jauh hari mempersiapkan diri
untuk menjadi
freeter
. Pengamatan ini didukung oleh hasil survei terhadap lulusan sekolah tinggi Tokyo Metropolitan, yang menunjukkan bahwa 20 dari lulusan mereka
berkeinginan untuk menjadi
freeter
. Yang disertai oleh pemikiran dan keyakinan pemuda Jepang, misalnya saya tidak ingin melakukan pekerjaan yang tidak saya sukai, saya
bisa hidup tanpa harus pekerjaan yang mapan hari ini atau saya ingin memberikan prioritas kepada apa yang ingin saya lakukan, bukan dari kerja ketika saya masih muda
Foljanty-Jost, 2003:83. Masalah sosial dalam lingkungan kaum muda Jepang turut mempengaruhi pilihan
mereka menjadi
freeter
, diantaranya adanya ketakutan tersendiri ketika gagal bersaing dalam mencari pekerjaan tetap, kekhawatiran untuk keluar dari zona nyaman seperti
Universitas Sumatera Utara
hidup mandiri jauh dari orang tua, keinginan untuk bebas dan tidak memiliki keterikatan dalam pekerjaan dan krisis kepercayaan diri untuk mampu bersaing dengan orang lain.
Kaum pekerja tidak tetap terkadang juga dianggap sebagai bagian dari
freeter
namun ada perbedaan mendasar antara pekerja tidak tetap dan
freeter
. Berikut penggolongan
freeter
berdasarkan riset yang dilakukan oleh lembaga survey OECD pada tahun 2006 :
1. Mereka yang menikah bagi wanita berusia 25-34 yang merupakan pekerja tidak
tetap 2.
Siswa sekoolah yang bekerja tidak tetap 1,1 juta untuk kelompok usia 15-34 pada tahun 2006
3. Laki-laki pekerja tidak tetap selain paruh waktu dan temporer seperti agen
tenaga kerja sementara dan pekerja kontrak, berjumlah sekitar 0,9 juta pada tahun 2006
4. Orang-orang yang tidak bekerja namun termasuk dalam kategori
freeter
Diagram di bawah ini menunjukkan angka pertumbuhan
freeter
dan pekerja tidak tetap dimulai pada tahun 1987 hingga tahun 2006 :
Universitas Sumatera Utara
Gambar diagram 3.1.a jumlah dalam hitungan -juta Sumber:
Ministry of Interna l Affairs and Communica tions MIC,
badan survey khusus mengenai ketenaga kerjaan sampai pada 2001; dan Survei Angkatan Kerja tabulasi
rinci sejak 2002, OECD, 2009:56 . Singkatnya,
freeter
dapat dipertimbangkan untuk masuk dalam kategori pekerja tidak tetap serta beberapa pemuda yang tidak bekerja yang bersedia untuk bekerja sebagai
pekerja tidak tetap. Dari gambar diagram 3.1.a di atas dapat terlihat peningkatan jumlah
freeter
yang sudah menembus angka dua juta ditahun 2002 dan kemudian berangsur menurun menuju tahun 2006, ini disebabkan dari adanya perubahan dalam sumber data
tahun 2002, hasil dari perbedaan seperti metode survei dan periode referensi. Sejak awal gelembung ekonomi dimulai hingga masa resesi yang berkepanjangan
menyebabkan meningkatnya jumlah
freeter
, berikut diagram peningkatan jumlah
freeter
berdasarkan studi
The Japa n Institute of Labor
pada tahun 2001 Mouer Kawanishi, 2005:124 :
T abel 3.1.b Jumlah
freeter
pada bulan Agustus 2000
Kemunculan
freeter
sudah dirasakan sejak tahun 1982 dengan angka 500.000 jiwa, 790.000 pada tahun 1987 dan meningkat hingga satu juta jiwa lebih pada tahun
1992, hingga tahun 2000 diperkirakan jumlah
freeter
mencapai 1.930.000 jiwa lebih.
Usia Pria
Wanita belum menikah
Total x 10.000
15 –24
45 53
98 25
–34 38
57 95
Total 83
110 193
Universitas Sumatera Utara
Table 3.1.b diatas menunjukkan jumlah dan kategori
freeter
berdasarkan usia dan
gender
juga termsauk pria yang sudah menikah Mouer Kawanishi, 2005:123.
3.1.1 Pergeseran Pola Pikir Kaum Muda Jepang Terhadap Etos Kerja
Pasca perang dunia kedua berakhir Jepang dapat kembali bangkit dari keterpurukan dengan cepat. Hingga pada dekade 1970an Jepang berhasil masuk dalam
persaingan dunia dari segala bidang diantaranya bidang ekonomi. Jepang terlihat begitu menonjol dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia. Kebangkitan Jepang yang
begitu cepat ini tidak luput dari pemikiran dan semangat orang Jepang yang ingin keluar dari zona keterpurukan pasca perang dunia kedua. Namun semua keberhasilan yang
mereka peroleh dalam kemajuan bidang ekonomi tidak diraih dengan mudah. Semua didapat dari hasil perjuangan keras dan giat masyarakat JEpang untuk mengembalikan
harga diri bangsa. Segala kesenangan, kemewahan dan kekayaan negara didapat dari hasil disiplin ketat, usaha tanpa kenal lelah, dan semangat kerja keras yang telah diwarisi
turun-temurun oleh pendahulu mereka sebelumnya Ann Wan Seng, 2006:8. Terdapat banyak pola pikir orang Jepang untuk maju yang diwarisi oleh pola
pikir orang Jepang terdahulu. Seperti terlihat semangat kerja tinggi, disiplin dan loyalitas tinggi yang merupakan aplikasi dari semangat juang
bushido
pada era
sa mura i
. Walaupun pada jaman modern ini
sa mura i
sudah tidak ditemukan namun semangat juang hidup mereka masih tertanam dalam masing-masing orang Jepang hingga saat ini. Pola pikir
dan semangat
bushido
umumnya diterapkan pada setiap pekerja Jepang. Ini terlihat dari keuletan, disiplin kerja dan loyalitas para pekerja dalam tiap-tiap perusahaan Jepang.
Setiap apa yang menjadi ketentuan dalam dalam perusahaan tidak pernah dilanggar, bahkan mereka dapat bekerja dengan lebih banyak menghabiskan waktu bagi
perusahaannya dari pada keluarga. Apa yang menjadi permasalahan perusahaan merupakan permasalahan yang dipikul bersama oleh setiap pekerja. Dalam hidup mereka
bekerja totalitas bagi perusahaan merupakan kebanggan tersendiri yang kemudian akan
Universitas Sumatera Utara
dipandang dalam lingkungan mereka. Mereka selalu memberikan yang terbaik untuk perusahaan dimana mereka bekerja. Mereka bekerja melebihi batas waktu yang
ditentukan dari 8 jam bekerja menjadi 12 jam bekerja dalam satu hari. Mereka rela kerja lembur walaupun tidak mendapatkan gaji ekstra dari hasil lembur mereka. Semata-mata
hanya untuk memajukan perusahaan. Akibat dari hal ini tidak jarang dari pekerja Jepang ditemui dalam keadaan stress berat dengan tekanan mental yang memuncak hingga
menyebabkan kematian. Fenomena ini disebut sebagai
ka roshi
, yaitu kematian yang diakibatkan karena terlalu banyak bekerja. Diantara yang menyebabkan munculnya
ka roshi
adalah stress berlebihan karena tuntutan bekerja sepanjang hari dalam satu minggu, dengan jumlah jam kerja yang banyak namun penghasilan yang mereka peroleh
tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat kemudian menjadi beban mental yang berat hingga akhirnya jatuh sakit dan mati Pujiastuti 2007:42. Walaupun tanpa ada
paksaan dari perusahaan namun sebagian dari para pekerja Jepang masih mengaplikasikan hal ini sebagai kebanggaan dan kepuasan tersendiri apabila berhasil
mengangkat harkat dan martabat perusahaan. Namun sejak terjadinya gelembung ekonomi yang diikuti dengan resesi
ekonomi di Jepang pada akhir tahun 1980an mengakibatkan struktur kerja di perusahan- perushaan Jepang bergeser dengan mengikuti pola ekonomi neo-liberal yang terjadi
diseluruh dunia. Perubahan permintaan tenaga kerja diperkuat oleh strategi perusahaan yang dirancang untuk mempertahankan margin keuntungan selama menghadapi masa
kesulitan ekonomi Ishida Slater, 2010:162. Hal ini kemudian memunculkan kepanikan bagi para pekerja Jepang karena banyak perusahaan beralih merekrut pekerja
paruh waktu. Dengan kemungkinan adanya pemutusan hubungan kerja secara massal atau transfer pekerja ke perusahaan lain.
Sementara itu banyaknya permintaan bagi pekerja paruh waktu memberikan kesempatan yang besar bagi para
fresh gra dua te
untuk mengisi lowongan-lowongan yang dibutuhkan perusahaan. Dilain pihak harapan dan kesempatan untuk menjadi pekerja
Universitas Sumatera Utara
tetap bagi
fresh graduate
dari SMU ataupun Universitas semakin kecil, dikarenakan keputusan perusahaan-perusahaan Jepang yang memilih mengurangi pengeluaran
perusahaan dalam perekrutan pegawai tetap dan memilih pekerja paruh waktu dengan alas an pengendalian resesi ekonomi.
Salah satu sudut pandang dari hal ini terfokus pada kaum muda yang kemudian lebih memilih untuk keluar dari pandangan pekerja tetap dengan beralih menjadi pekerja
paruh waktu. Muncul pemikiran dari kaum muda Jepang untuk tidak mengikuti apa yang orang tua mereka perbuat bagi perusahaannya. Sebagian kaum muda Jepang memandang
bekerja sebagai pekerja tetap dengan bekerja keras dan loyal terhadap perusahaan dimana tempat mereka bekerja, hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Seperti orang tua
mereka terdahulu saat bekerja keras mengorbankan seluruh waktu dan kesenangan pribadi untuk memulihkan perekonomian Jepang pasca perang dunia kedua, dengan kerja
mengabdi seumur hidup dan penuh totalitas pada perusahaan, namun tidak mendapatkan gaji yang setimpal dari apa yang telah diberikan. Beragam spekulasi muncul mengenai
pergeseran pola pikir kaum muda Jepang, sebagian menilai pilihan menjadi pekerja paruh waktu muncul karena adanya keinginan kuat dari pemuda Jepang untuk hidup bebas
tanpa tekanan dan mencari kesenangan diri sendiri semata-mata dilakukan untuk mengejar mimpi sendiri dan bukan impian perusahaan. Disaat pemikiran terhadap pekerja
paruh waktu dimunculkan untuk menanggulangi permasalahan resesi ekonomi dan fleksibilitas dunia ketenaga kerjaan di Jepang, pekerja paruh waktu kemudian berubah
sebagai gaya hidup baru kaum muda Jepang. Dengan anggapan dari pemuda Jepang bahwa tidak ada pelajaran penting yang dapat diperoleh dari bekerja sebagai pekerja tetap
dengan pengorbanan dan tanggung jawab kolektif dalam kehidupan berkelompok yang diperlukan
untuk membuat
mereka bertanggung jawab dalam lingkungan sosial masyarakat Jepang dewasa. Apa yang
dilakukan penuda Jepang saat ini berbeda jauh dengan para pendahulu mereka. Hingga muncul anggapan sebagian kaum muda Jepang yang memilih hidup sebagai
freeter
atau
Universitas Sumatera Utara
pekerja paruh waktu dirasakan tidak memeluk etos kerja Jepang Ishida Slater, 2010:162.
3.1.2 Dampak
F reeter
Terhadap Lingkungan Pekerjaan
Seiring bentuk perubahan dalam perekrutan tenaga kerja pada perusahaan Jepang yang lebih memilih pekerja tidak tetap dalam perusahaannya mengakibatkan
timbulnya berbagai permasalahan sosial dalam lingkungan pekerjaan.
Freeter
yang juga termasuk kedalam golongan pekerja tidak tetap juga tidak terlepas dalam mengalami
suatu permasalahan dalam lingkungan kerja. Berbagai permasalahan sosial yang timbul diantaranya meliputi kesenjangan sosial antara pekerja tetap dan karyawan konrak atau
pekerja tidak tetap. Pekerja tidak tetap mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan pekerja tetap juga kurangnya jaminan kesehetan dan tunjangan setelah
habis masa kontrak. Ketidak samaan penghasilan antara pekerja tetap dengan pekerja tidak tetap membuat kesenjangan kehidupan dalam pekerjaan semakin terlihat jelas
Cargill Sakamoto, 2008:246, seperti terlihat pada diagram dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.1.2.a : Perbedaan gaji pekerja tetap dan pekerja tidak tetap rata-rata perjam.
Sumber : The Labor Market Policy Resea rch Commission 2005
Cargill Sakamoto, 2008:249.
Ditambah lagi dengan pola pikir pekerja tidak tetap yang datang dari golongan
freeter
dimana terdapat kurangnya tingkat persaingan dan hanya berpikir untuk memajukan kehidupannya sendiri daripada memajukan kepentingan perusahaan,
menimbulkan permasalahan tersendiri dalam dunia bekerja. Seperti tidak adanya daya saing antar pekerja untuk mencapai target yang ditetapkan perusahaan.
Umumnya diperusahaan Jepang saat ini masih mempertahankan pekerja inti mereka sebagai pekerja seumur hidup dengan mendapatkan tunjangan dan fasilitas yang
sepadan dari perusahaan. Pekerja inti ini meliputi tingkat manajer dan jabatan tinggi diatas pekerja biasa. Pekerja seumur hidup masih menjadi tolak ukur kesuksesan seorang
pekerja di Jepang. Hal ini terlihat dari kecukupan yang mereka dapatkan secara finansial, bonus gaji, tunjangan kesehatan dan jaminan sosial Cargill Sakamoto, 2008:246.
Walaupun permintaan akan tenaga kerja tidak tetap baik dari golongan
freeter
maupun pekerja kontrak meningkat, namun langkah ini semata-mata diambil untuk menanggulangi permasalahan perusahaan dari segi penghematan biaya pengeluaran.
Tidak dipungkiri jika resesi ekonomi Jepang yang berlangsung lama turut mempengaruhi perubahan restrukturisasi perusahaan dalam ketenaga kerjaan.
3.2 Kehidupan Sosial