persenggamaan, termasuk kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan alat kelamin; atau

UU ITE cukup memberikan solusi yang memadai mengingat pasal 27 ayat 1 UU ITE memberikan pengaturan yang bersifat umum. Rujukan yang digunakan oleh pasal 27 ayat 1 UU ITE adalah norma kesusilaan sehingga mempermudah penyidik untuk melakukan pengenaan terhadap tindakan cyberpornography.

V.5 Ambiguitas Pemahaman Is

tilah “Jasa Pornografi” Ketentuan hukum pasal 4 ayat 2 UUP mengatur sebuah larangan terhadap penyediaan jasa pornografi yang terdiri dari 4 empat tindakan yaitu menyajikan ketelanjangan, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, eksploitasi atau aktivitas seksual, dan menawarkan layanan seksual baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian jasa pornografi sendiri dijabarkan dalam pasal 1 angka 2 UUP sebagai sebuah layanan pornografi melalui media informasi. Kedua ketetuan hukum tersebut pada dasarnya tidak memberikan penjelasan dengan baik mengenai jasa pornografi mengingat semua bentuk larangan pornografi dalam pasal 4 ayat 1 UUP merupakan bentuk dari jasa pornografi. Pengaturan beberapa larangan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 UUP menunjukkan adanya tindakan penyebarluasan dan penggandaan materi pornografi sehingga dapat dinikmati secara tidak sah oleh orang lain. Sebenarnya pengaturan pasal 4 ayat 2 UUP mengatur hal yang tidak jauh berbeda karena diatur beberapa tindakan yang sama dengan tindakan dalam pasal 4 ayat 1 UUP. Perbandingan pengaturan tindakan dalam kedua ketentuan hukum tersebut dapat dilihat dengan jelas dalam tabel berikut ini. Tabel 5.5 Perbandingan Tindakan Pornografi dan Jasa Pornografi Pasal 4 ayat 1 UUP Pasal 4 ayat 2 UUP

1. persenggamaan, termasuk

persenggamaan yang menyimpang; mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;

2. kekerasan seksual;

mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;

3. masturbasi atau onani;

mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;

4. ketelanjangan atau tampilan

yang mengesankan ketelanjangan; menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

5. alat kelamin; atau

pornografi anak menyajikan secara eksplisit alat kelamin menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Berdasarkan perbandingan pengaturan dalam pasal 4 ayat 1 dan pasal 4 ayat 2 UUP tersebut justru jasa pornografi menemukan perbedaan pada tindakan menawarkan atau mengiklankan baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Hakikat dari jasa pornografi harus memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan tindakan pornografi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUP. Jasa pornografi yang dimaksudkan dalam pasal 4 ayat 2 UUP cukup diwakili oleh tindakan pasal 4 ayat 2 huruf d mengingat tindakan menawarkan atau mengiklankan layanan seksual memberikan ciri khas tersendiri pada bentuk pornografi jika dibandingkan dengan pasal 4 ayat 1 UUP. Perbedaan jasa pornografi terletak pada jasa yang diberikan oleh pelaku bagi setiap orang yang menginginkan layanan seksual secara langsung maupun tidak langsung. Tidak penting dipersyaratkan dalam hal ini seseorang yang sudah menikmati atau belum menikmati layanan seksual yang diberikan. Layanan seksual sudah dikatakan terjadi pada saat informasi penawaran seksual diberikan oleh pelaku. Dengan demikian jasa pornografi menjadi satu tindakan khusus dari tindak pidana pornografi sebagaimana diatur dalam UUP. Tindakan jasa pornografi dalam cyberpornography dikenal dengan tindakan cyberprostitution yang menawarkan berbagai macam layanan mulai dari informasi seksual sampai kegiatan prostitusi secara fisik. Pengenaan UUP terhadap tindakan cyberpornography dapat digunakan pasal Pasal 30 jo pasal 4 ayat 2 UUP hanya saja tindakan tersebut tetap harus merujuk pasal 27 ayat 1 UU ITE karena menggunakan media internet. Selain itu keunggulan penggunaan pasal 27 ayat 1 UU ITE terletak pada ukuran tindak pidana dalam ketetuan ini terletak pada norma kesusilaan yang digunakan sebagai dasar penilaian ada atau tidaknya tindak pidana kesusilaan menggunakan internet. Oleh karena itu penyidik dapat dengan mudah memasukkan tindakan cyberpornography sebagai tindakan yang melanggar norma kesusilaan apapun bentuknya. Rangkuman Kebijakan regulasi yang diterapkan dalam Undang-Undang Pornografi tidak memberikan perubahan berarti pada pengaturan kejahatan kesusilaan secara khusus kejahatan pornografi. Pengaturan yang ada justru membuat permasalahan menjadi semakin rumit karena pemahaman demi pemahaman yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pornografi menimbulkan berbagai macam makna dan pengertian. Permasalahan yang mengemuka terkait dengan ruang lingkup istilah “pornografi” masih sangat luas bahkan melampaui makan hafiah dari pornografi itu sendiri. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pornografi justru memasukkan porno aksi ke dalam ruang lingkup pemahaman pornografi. Selain itu perkembangan yang terjadi dalam Undang-Undang Pornografi sebagaimana diatur dalam pasal 4 menunjukkan pergeseran pemahaman tindakan asusila. Tindakan telanjang hanya diukur dari sampai sejauh mana tindakan itu menunjukkan alat kelamin. Kondisi tersebut jelas menunjukkan sebuah pemahaman yang berubah ke arah negatif terutama dalam bingkai pemahaman nilai kemanusiaan yang beradab. Belum lagi Undang-Undang Pornografi melindungi seseorang untuk membuat dan memiliki materi pornografi dengan tujuan untuk kepentingan sendiri hal ini sangat berbahaya mengingat materi pornografi sangat mudah disebarkan melalui media internet. Belum lagi pengaturan tersebut bertolak belakang dengan pengaturan pasal 11 Undang-Undang a quo. Permasalahan berikutnya dari kemungkinan dimilikinya materi pornografi untuk kepentingan sendiri akan sengat rentan menimbulkan kejahatan kesusilaan dalam bentuk lain. Hal tersebut sangat terkait dengan dampak negatif tindakan cyberponography. Penyediaan jasa pornografi dalam internet semakin marak ternyata tidak diimbangi dengan pengaturan tindakan pornografi yang jelas. Hal tersebut mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan yang menggunakan celah hukum ini. Soal Latihan 1. Jelaskan permasalahan ruang lingkup pornografi sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang Pornografi? 2. Apakah perkembangan pemahaman tindakan pornografi yang mengalami pergeseran dari nilai kemanusiaan yang adil dan beradab? Jelaskan jawaban saudara dengan menggunakan argumentasi yang tepat 3. Apakah Undang-Undang Pornografi melindungi hak atas materi pornografi untuk Kepentingan Diri Sendiri? 4. Apakah dampak negatif dari diakuinya hak untuk memiliki materi pornografi? 5. Mengapa dengan adanya tindakan cyberpornography yang belum diatur dalam Undang-Undang Pornografi sehingga memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan tersebut? 6. Apakah yang dimaksudkan dengan istilah “jasa pornografi” pada Undang- Undang Pornografi? BAB VI STUDI KASUS PENERAPAN KETENTUAN HUKUM PIDANA PADA KASUS CYBERPORNOGRAPHY Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari Bab VI ini, mahasiswa diharapkan mampu: 1. Memberikan analisa hukum terkait dengan Tindakan Pembuatan dan Penyebaran Materi Pornografi melalui Internet oleh pelaku pasif; 2. Memberikan analisa hukum terkait dengan tindakan pembuatan materi pornografi melalui Blackberry; 3. Memberikan analisa hukum terkait dengan tindakan Menyebarkan Materi Pornografi melalui Situs Jejaring Sosial 4. Memberikan analisa hukum terkait dengan tindakan menawarkan jasa pornografi melalui Internet. Kasus cyberpornography begitu banyak terjadi di Indonesia sejak ditemu- kannya teknologi berbasis informasi, internet. Tindakan cyberpornography perlahan namun pasti semakin sering terjadi, mulai dari tindakan membuat, mengirimkan, mengunduh dan memperbanyak materi pornografi melalui media internet dilakukan oleh pelaku dengan berbagai macam latar belakang dan motivasi. Beragam situs yang menyediakan materi pornografi pun bermunculan seiring diberikan kemudahan membuat website , baik dalam bentuk situs resmi, situs perdagangan, maupun blogger. Semua bentuk situs tersebut memudahkan pelaku untuk membuat, mengumpulkan dan menawarkan materi pornografi maupun jasa pornografi. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah hadirnya situs jejaring sosial yang memberikan kemudahan bagi pelaku untuk membuat bahkan menyebarkan materi pornografi menjadi permasalahan tersendiri yang tidak mudah untuk dipecahkan. Beberapa kasus yang akan dibahas pada Bab VI berikut akan membantu memberikan gambaran secara jelas tentang problematika penerapan UUP terhadap tindakan cyberpornography. Beberapa kasus yang dibahas akan menjadi sampel dalam memahami cyberpornography dengan berbagai macam bentuk dan permasalahan yang dihadapi, secara khusus dari sisi penerapan ketentuan hukum yang tepat. Kunci penerapan ketentuan hukum terhadap kasus cyberpornography terletak pada pemahaman norma kesusilaan sebagai dasar atau standar penilai tindakan pornografi sehingga dengan dipastikannya suatu tindakan sebagai tindak pidana akan membawa kejelasan pula dalam mengenakan ketentuan hukum mana yang tepat dikenakan untuk menanggulangi cyberpornography. Pengenaan ketentuan hukum yang tepat akan sangat berdampak positif dalam mengurangi tindakan cyberpornography terjadi kembali.

VI.1 Pembuatan dan Penyebaran Materi Pornografi melalui Internet oleh Pelaku Pasif