kejahatan. Pemilikan materi pornografi sekalipun untuk kepentingan diri sendiri akan menciptakan kejahatan bagi orang lain karena pemilik gagal memenuhi
standar masyarakat teori Asosiasi Differensial, pemilik mengejar kepuasan semu dari materi pornografi teori Anomi, pemilik tidak memiliki ikatan moral
untuk mengurungkan niatnya terhadap materi pornografi yang pada akhirnya pemilik cenderung melakukan tindakan tersebut secara berulang-ulang karena
menganggap hal itu benar teori Labeling. Pemahaman dari perspektif Viktimologi pun memberikan kontribusi yang
penting bagi munculnya kejahatan. Bahwa pemilikan materi pornografi akan membuat seseorang menjadi korban dari berbagai macam bentuk korban. Semula
ia merasa apa yang dilakukannya benar dan positif sehingga tidak waspada pada kejahatan yang mengancam berakhir pada bentuk korban yang menghendaki
dirinya terlibat secara terus menerus dalam tindakan materi pornografi. Berdasarkan ajaran agama yang ada, tindakan memiliki materi pornografi sangat
dilarang walaupun tidak tercantum secara eksplisit. Tindakan tersebut merusak kesucian diri manusia dan merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai
manusia yang beradab. Oleh karena itu pengaturan penjelasan pasal 4 dan pasal 6 Undang-Undang
Pornografi merupakan
pengaturan yang
menimbulkan problematika serius bagi masyarakat.
V.4 Pengaturan bagi Industri Pornografi
Tidak ada satu ada satu buatan manusia yang sempurna. Setidaknya hal itulah yang menjadi pemahaman awal tentang penyusunan peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Senada dengan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada satu ketentuan hukum yang dibuat legislatif memiliki kesempurnaan
dalam memberikan pengaturan atas sesuatu hal. Harapan yang sangat tinggi selalu diberikan kepada suatu ketentuan hukum yang baru saja dibuat tidak lain untuk
memecahkan atau menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang selama ini tidak terdapat ketentuan hukum atau ketentuan hukum yang ada sudah tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat.
Harapan yang begitu besar pula dibebankan pada pembentukan UUP sejak diberlakukan pada 26 November 2008. Sebagaimana nama yang diberikan oleh
pembentu Undang-Undang, UUP diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam menghadapi tindakan pornografi yang begitu marak di tengah
masyarakat. Bagian konsideran dari UUP setidaknya menekankan 3 tiga alasan dibentuknya UUP yaitu 1 Keinginan bangsa Indonesia yang ingin
mempertahankan nilai-nilai Pancasila demi melindungi harkat dan martabat manusia, 2 Semakin maraknya tindakan pornografi di tengah masyarakat, berupa
pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi, dan 3 kekosongan hukum terhadap tindakan pornografi. Berdasarkan ketiga alasan pembentukan
tersebut dapat diperoleh sebuah pemahaman bahwa Pancasila menjadi dasar penilaian atas tindakan pornografi sebagai tindakan yang tidak menyerang harkat
dan martabat manusia sehingga lahirlah ketentuan hukum UUP. Kajian secara khusus terhadap pertimbangan kedua dari pembentukan
UUP, bahwa semakin maraknya tindakan pornografi berupa pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi membawa sebuah pemahaman adanya
keinginan untuk melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan tindakan pornografi. Penjabaran tindakan pencegahan dan penanggulangan tindakan
pornografi diberikan secara jelas dalam pasal 3 UUP dalam 5 lima tujuan pembentukan UUP. Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan pembentuk
undang- undang tidak menyebut nama UU Nomor 44 Tahun 2008 dengan “Tindak
Pidana Pornografi” akan tetapi hanya sebagai “Pornografi”. Berdasarkan pertimbangan kedua dari UUP, tindakan yang menjadi
penekanan pengaturan Pornografi adalah pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi. Ketiga tindakan tersebut termasuk dalam tindakan yang
sangat umum dilakukan dalam tindakan pornografi, artinya ruang lingkup pengaturan UUP begitu luas menyangkut semua tindakan pornografi. Hanya saja
pertimbangan pengaturan UUP tersebut tidak memiliki kesesuaian dengan substansi pengaturan UUP dari tindakan yang dilarang. Pengaturan larangan
pornografi mulai dari pasal 4 sampai pasal 12 pada kenyataannya menekankan hal yang lebih sempit daripada konsideran kedua UUP. Penekanan larangan
pornografi hanya diletakkan pada tindakan pornografi dalam lingkup kegiatan industri pornografi sedangkan tindakan pornografi secara umum tidak
mendapatkan pengaturan secara khusus. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas melalui beberapa istilah yang digunakan pada tiap ketentuan hukum sebagaimana
ditunjukkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.4
Orientasi Pengaturan UUP pada Industri Pornografi
Ketentuan Hukum Istilah yang Digunakan
Catatan Pasal 4
memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi
12 bentuk
tindakan menunjukkan
aktivitas yang
hanya mungkin
terjadi dalam
industri pornografi
Pasal 5 meminjamkan atau
mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
pada Pasal 4 Walaupun
tindakan dalam pasal 5 dapat
dilakukan oleh pelaku individu
akan tetapi
tindakan tersebut
dihubungkan dengan
pasal 4 yang berorientasi pada industri pornografi.
Pasal 6 memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki,
atau menyimpan produk pornografi
Kelima tindakan pada pasal 6 merujuk pada
industri pornografi. Hal tersebut didukung pula
dengan
penggunaan istilah
“produk pornografi
” yang
menunjukkan hasil dari industri pornografi.
Pasal 7 mendanai atau
memfasilitasi perbuatan Kedua bentuk tindakan
tersebut menegaskan
pornografi dalam pasal 4 bentuk
tindakan yang
mungkin terjadi dalam industri pornografi.
Pasal 8 sengaja atau atas
persetujuan dirinya menjadi objek atau model
yang mengandung muatan pornografi.
Tindakan ini sebenarnya ditujukan
untuk mendukung
pembuatan materi
pornografi sebagaimana
dikenal dalam industri pornografi
Pasal 9
dilarang menjadikan orang lain sebagai objek
atau model yang mengandung muatan
pornografi. Tindakan
tersebut dikenakan pada pelaku
orang perorangan
maupun industri
pornografi
Pasal 10 mempertontonkan diri
atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka
umum yang menggambarkan
ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Tindakan mempertontonkan
atau mempertunjukkan orang
lain dalam
muatan pornografi memang dapat
dilakukan oleh pelaku perorangan akan tetapi
bentuk tindakan tersebut sangat erat hubungannya
dengan
industri pornografi.
Pasal 11
melibatkan anak dalam kegiatan danatau sebagai
objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Tindakan ini
menjadi pengaturan khusus untuk
perlindungan anak dari bahaya pornografi
Pasal 12
dilarang mengajak, membujuk,
memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa
anak dalam Tindakan
ini menjadi
pengaturan khusus untuk perlindungan anak dari
bahaya pornografi
menggunakan produk atau jasa pornografi.
Berdasarkan kesembilan larangan tindakan pornografi tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa penekanan tindakan pornografi yang dilarang lebih
difokuskan pada aktivitas industri pornografi. Walaupun sebenarnya tindakan pornografi yang dilakukan oleh pelaku perorangan dapat dikenakan beberapa
ketentuan hukum dalam UUP seperti pasal 5, pasal 6, pasal 8, pasal 10, pasal 11 dan pasal 12, penekanan larangan pornografi secara khusus diarahkan pada
pencegahan dan penanggulangan bahaya industri pornografi. Keadaan pengaturan UUP yang berorientasi pada pencegahan dan
penanggulangan industri pornografi sangat berbeda jika dibandingkan dengan kebijakan regulasi hukum pidana di bidang kesusilaan yang pernah berlaku
sebelumnya. Kebijakan regulasi kejahatan kesusilaan dalam KUHP, Undang- Undang Telekomunikasi, Undang-Undang Penyiaran dan beberapa Undang-
Undang khusus lainnya menekankan larangan tindakan asusila secara umum. Hanya saja tidak dapat disimpulkan ketika pelaku perorangan melakukan tindakan
pornografi dapat lepas begitu saja dari jerat hukum UUP. Ketentuan hukum yang relevan tetap dapat diterapkan dengan menggunakan sepanjang tindakan yang
terjadi memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dilarang dalam rumusan UUP. Pengenaan UUP terhadap tindakan
cyberpornography
pun memiliki keterbatasan mengingat tindakan pornografi yang diprioritaskan adalah industri
pornografi. Semakin banyaknya situs pornografi yang beredar di media internet dapat menjadi target utama dari UUP untuk menanggulangi tindakan tersebut.
Pemilik situs pornografi dapat dikenakan ketentuan hukum dalam UUP dan situs yang dimiliki dapat langsung ditutup. Keberadaan situs pornografi pada
kenyataanya tidak berdiri secara mandiri oleh pembuat akan tetapi memiliki jaringan dengan situs pornografi yang berasal dari Negara lain. Pertukaran
informasi dan materi pornografi pun terjadi secara cepat dan sangat sulit diantisipasi sehingga mempersulit penegakan hukum melalui UUP. Penggunaan
UU ITE cukup memberikan solusi yang memadai mengingat pasal 27 ayat 1 UU ITE memberikan pengaturan yang bersifat umum. Rujukan yang digunakan oleh
pasal 27 ayat 1 UU ITE adalah norma kesusilaan sehingga mempermudah penyidik untuk melakukan pengenaan terhadap tindakan
cyberpornography.
V.5 Ambiguitas Pemahaman Is