Degradasi Pemahaman Tindakan Pornografi

Dampak pemahaman pornografi yang tidak jelas justru berdampak positif terhadap pengenaan tindakan cyberpornography. Ruang lingkup pornografi yang sedemikian luas menyebabkan daya jangkau tindakan cyberpornography semakin sempit. Bentuk tindakan cyberpornography memang dapat ditemukan dalam berbagai macam bentuk, mulai dari cybersex, cybernude, cyberprostitution sampai cyberchild-pornograph y. Hanya saja tindakan tersebut tetap dalam ruang lingkup pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 UUP. Pengenaan tindakan cyberpornography harus merujuk pada UU ITE mengingat tindakan tersebut menggunakan media internet untuk mempermudah dilakukannya tindakan pornografi. Ketentuan hukum yang dimaksud adalah pasal 27 ayat 1 UU ITE yang mengatur larangan penggunaan media internet untuk mempertunjukkan materi yang melanggar kesusilaan. Sebenarnya penggunaan pasal 27 ayat 1 UU ITE terhadap tindakan cyberpornography sudah cukup jika didasarkan pada pemahaman tindakan cyberpornography merupakan tindakan asusila. Permasalahan yang muncul terletak pada inti dari tindakan cyberpornography sendiri bukanlah pada kejahatan siber sebagaimana diatur secara khusus dalam UU ITE akan tetapi tindakan pornografi sebagaimana diatur dalam UUP. Oleh karena itu mengingat tindakan dasar dari cyberpornography merupakan tindakan pornografi dengan menggunakan media internet maka menurut hemat penulis lebih tepat digunakan UUP dengan merujuk pada UU ITE.

V.2 Degradasi Pemahaman Tindakan Pornografi

Sepanjang pengaturan hukum di Indonesia, tindakan pornografi sudah dikenal sebagai tindakan menunjukkan materi asusila di depan umum. Pengetahuan terhadap tindakan asusila selalu merujuk pada ketentuan hukum mengenai Kejahatan Kesusilaan sebagaimana diatur dalam KUHP. Tindakan yang dianggap serupa dengan tindakan pornografi tidak lain diatur dalam pasal 282 KUHP yang menekankan 2 dua unsur utama tindakan yang dilarang, yaitu 1 tindakan mempublikasikan menyiarkan, menempelkan, atau mempertontonkan dan 2 materi asusila tulisan, gambar, atau gambar karena melanggar perasaan kesusilaan masyarakat. Pengaturan pasal 282 ayat 1 KUHP tersebut menghadirkan ruang lingkup yang sangat luas untuk dapat diberlakukan pada tindakan mempertunjukkan materi asusila di depan umum. Penekanan rumusan pasal 282 ayat 1 KUHP rupanya terletak pada bentuk tindakan apa saja yang dapat dimasukkan dalam tindakan mempertunjukkan materi asusila. kebijakan regulasi pasal 282 ayat 1 KUHP lebih berorientasi pada bentuk tindakan publikasi dari materi asusila yang terdiri dari begitu macam bentuk. Pengaturan UUP terkait dengan tindakan pornografi justru lebih berorientasi pada penjelasan mengenai tindakan pornografi itu sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa definisi pornografi dapat diperoleh dalam pasal 1 angka 1 UUP, hanya saja penjabaran bentuk tindakan pornografi secara menarik diatur dalam pasal 4 UUP yang mengatur bahwa tindakan pornografi secara eksplisitlah yang dilarang. Tindakan pornografi eksplisit yang dimaksud meliputi tindakan berikut ini: a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. Kekerasan seksual; c. Masturbasi atau onani; d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau f. Pornografi anak. Sedangkan pengaturan mengenai jasa pornografi diatur sebagai tindakan a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pemahaman terhadap pengaturan tindakan pornografi secara eksplisit maupun terhadap jasa pornografi tersebut memberikan sebuah penafsiran yang lebih konkrit terhadap tindakan pornografi yang dimaksudkan dalam pasal 1 angka 1 UUP. Tindakan pornografi yang dilarang dalam UUP tidak lain merupakan tindakan sebagaimana diatur dalam pasal 4 UUP sedangkan tindakan lain yang tidak termasuk dalam pengaturan pasal 4 UUP jelas tidak termasuk dalam pemahaman pornografi. Pengaturan pasal 4 UUP tersebut di satu sisi memang memberikan kejelasan terhadap tindakan apa yang dilarang oleh UUP. Hanya saja di sisi lain justru menunjukkan adanya penurunan pemahaman dari tindakan asusila itu sendiri. Tindakan asusila yang selama ini dipahami sebagai tindakan yang melanggar norma kesusilaan atau perasaan kesusilaan masyarakat menjadi tidak berlaku dalam pemahaman UUP. Tidak dapat dipungkiri memang, bahwa pada pasal 1 angka 1 UUP norma kesusilaan diletakkan sebagai dasar penilai dari tindakan pornografi hanya saja dengan pengaturan pasal 4 UUP pemahaman tindakan pornografi sudah jelas dan tidak lagi membutuhkan norma kesusilaan untuk memberikan penilaian lebih lanjut. Saat perkara pornografi terjadi, aparat penegak hukum dapat langsung melakukan proses penegakan hukum hanya dengan dasar argumentasi pelaku telah melakukan tindakan pornografi sebagaimana diatur dalam pasal 4 UUP. Kebijakan regulasi UUP dalam pasal 4 UUP juga memberikan pemahaman baru mengenai tindakan pornografi, terutama mengenai ketelanjangan. Sudah lama hukum pidana nasional mengenal ketelanjangan sebagai kondisi yang termasuk dalam tindakan asusila untuk diketahui secara umum. Ketelanjangan pada dasarnya merupakan kondisi awal manusia pada saat ia hadir dalam dunia hanya saja dalam pertumbuhan dan proses sosialisasi manusia memahami ketelanjangan sebagai suatu keadaan dasar yang tidak boleh ditunjukkan secara umum. Penjelasan mengenai ketelanjangan sendiri sejauh ini dipahami secara berbeda-beda oleh tiap anggota masyarakat dengan berbagai macam latar belakang yang dimiliki, baik secara adat, sosial, maupun ekonomi. Perbedaan pemahaman akan ketelanjangan tersebut tidak berarti meniadakan sifat mutlak norma kesusilaan karena perbedaan pemahaan tersebut lebih berdampak pada perbedaan apresiasi terhadap kesusilaan itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah masyarakat yang hanya mengenakan penutup dada dan alat kelamin tidak dapat dikatakan masyarakat tersebut tidak memiliki norma kesusilaan. Perbedaan pemahaman terhadap kesusilaanlah yang mengakibatkan masyarakat tersebut memberikan apresiasi tersebut. Sekali lagi perbedaan yang muncul dalam kenyataan di masyarakat mengenai kesusilaan tidak berarti menunjukkan tidak adanya pemberlakuan norma kesusilaan itu dalam masyarakat tersebut. Sejauh ini pemahaman ketelanjangan dalam masyarakat Indonesia diletakkan pada bingkai Sila Kemanusiaan yang Beradab. Artinya manusia Indonesia memahami keberadaannya dan mengapresiasi kesusilaan tidak didasarkan pada standar yang tidak jelas atau relatif akan tetapi berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Ketelanjangan memang kondisi awal manusia akan tetapi seiring dengan pergaulan hidup bersama dnegan manusia lainnya dan penghargaan atas karya cipta Tuhan yang Maha Esa maka keberadaan tubuh manusia tanpa sehelai baju pun merupakan bentuk tindakan yang tidak beradab. Keberadaban menjadi faktor kunci dari eksistensi manusia Indonesia yang mendasarkan diri dan kehidupannya pada pengakuan dan penghargaan karya Maha Mulia dalam dirinya. Ketelanjangan merupakan kondisi tubuh yang menunjukkan satu atau beberapa bagian tubuh yang sangat privasi sebagai organ seksual. Pemahaman ketelajangan disini terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ketelanjangan pada laki-laki dipahami sebatas tidak mempertunjukkan alat kelamin sebagai organ seksual sedangkan ketelanjangan pada perempuan dipahami sebagai kondisi tubuh yang menunjukkan payudara dan alat kelamin. Pemahaman ketelanjangan tersebut bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya akan tetapi ukuran ketelanjangan tersebut setidaknya menjadi ukuran minimal yang menunjukkan keberadaban manusia dalam menjalankan kehidupannya. Sebuah pemahaman yang sangat eksplisit justru diberikan dalam pasal 4 UUP. Ketelanjangan yang dimaksudkan dalam UUP tidak lain merupakan tindakan menunjukkan alat kelamin semata. Hal tersebut dapat diketahui dari penjelasan pasal 4 UUP yang menyatakan bahwa “tampilan yang mengesankan ketelanjangan” merupakan kondisi seseorang yang mengenakan penutup tubuh akan tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit. Rumusan penjelasan pasal 4 UUP tersebut membawa sebuah pemahaman bahwa pembentuk undang-undang tidak menitik beratkan ketelanjangan pada kondisi tubuh yang terlihat organ seksual sebagaimana dipahami dalam norma kesusilaan masyarakat. Pembentuk Undang-Undang Pornografi lebih menilai batasan pornografi dalam ketelanjangan hanya terletak pada kondisi tubuh yang menunjukkan alat kelamin secara eksplisit. Lalu apakah yang dimaksud dengan “menunjukkan alat kelamin secara ekplisit”? Sekali lagi tindakan menunjukkan alat kelamin secara eksplisit tidak jauh berbeda dengan menunjukkan alat kelamin secara langsung atau fisik atau terang-terangan. Tampilan yang mengesankan ketelanjangan juga dapat diartikan sebagai kondisi tubuh yang tetap terlihat alat kelamin meskipun sudah tertutup oleh tubuh. Permasalahan yang dapat dipikirkan lebih lanjut, justru pada kondisi tubuh wanita mengenakan penutup alat kelamin sedangkan bagian payudara tetap terbuka justru tidak dapat disebut sebagai ketelanjangan atau mengesankan ketelanjangan berdasarkan UUP. Tindakan menunjukkan organ seksual lain disamping alat kelamin tidak dapat dimasukkan dalam pemahaman pornografi sebagaimana diberlakukan dalam UUP. Pengaturan “ketelanjangan” dalam UUP dari sisi tata aturan pembentukan undang-undang memang sangat jelas dan rinci akan tetapi di sisi lain menunjukkan perubahan pemahaman terhadap tindakan asusila dalam ruang lingkup pornografi. Pemaparan pasal 4 UUP secara yuridis membawa dampak terhadap pemahaman pornografi yang berarti pemahaman masyarakat terhadap tindakan asusila. Masyarakat yang semula memahami suatu kondisi atau tindakan tertentu sebagai tindakan asusila dengan perumusan UUP menjadi tidak lagi dinilai sebagai tindakan asusila. Hal inilah yang sangat memprihatinkan masyarakat dengan berlakunya UUP. Norma kesusilaan yang diposisikan sebagai standar dalam melakukan penilaian tindakan dalam pasal 1 angka 1 UUP hanya pemberlakuan pasal 4 UUP membuat pemberlakuan norma kesusilaan menjadi tidak berfungsi secara efektif. Degradasi pegaturan tindak pidana pornografi sebagaimana diatur dalam UUP menyebabkan tindakan cyberpornography dapat sering terjadi bahkan terus berulang terjadi di masyarakat. Hal tersebut dapat dipahami karena tindakan pornografi lebih dipersempit ruang lingkupnya sebatas tindakan-tindakan yang diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUP. Alhasil, banyak tindakan asusila yang sebenarnya termasuk dalam tindakan pornografi karena bertentangan dengan norma kesusilaan tidak dapat dinilai sebagai tindakan pornografi berdasarkan UUP. Tindakan cyberpornography dengan bentuk bermacam-macam variasi bentuk dan model akan terus terjadi dan sulit untuk ditanggulangi. Kondisi ini menempatkan masyarakat pada posisi rentan menjadi korban dari tindakan cyberpornography sebagai akibat pengaturan pornografi yang terlalu spesifik.

V.3 Problematika Materi Pornografi untuk Kepentingan Diri Sendiri