TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI SISTEM TANAM PADI JAJAR LEGOWO OLEH PETANI ANGGOTA GAPOKTAN SRI REJEKI DI DESA GANDRUNGMANIS KECAMATAN GANDRUNGMANGU KABUPATEN CILACAP

(1)

KABUPATEN CILACAP

Skripsi

Disusun oleh: DWI WAHYULI

20120220106

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(2)

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI SISTEM TANAM PADI JAJAR LEGOWO OLEH PETANI ANGGOTA GAPOKTAN SRI REJEKI

DI DESA GANDRUNGMANIS KECAMATAN GANDRUNGMANGU KABUPATEN CILACAP

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian

Disusun Oleh: DWI WAHYULI

20120220106

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(3)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluargan, sahabat, dan pengikutnya. Penelitian tentang Tingkat Penerapan Teknologi Sistem Tanam Padi Jajar Legowo oleh Petani Anggota Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap. Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2016.

Penelitian dalam ranga menyusun skripsi ini dapat dilaksanakan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :

1. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Ketua Jurusan Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian.

3. Bapak Dr. Aris Slamet Widodo, SP. M, Sc sebagai Dosen Pembimbing Utama, Bapak Sutrisno, SP. MP sebagai Dosen Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan serta pengarahan sebelum dan sesudah penelitian serta penyusunan skripsi.

4. Ibu Retno Wulandari , SP. M, Sc sebagai Dosen Penguji.

5. Seluruh staff pengajar Fakultas Pertanian, Khususnya pada jurusan Agribisnis yang telah memberikan ilmu.

6. Seluruh staff tata usaha Jurusan Agribisnis dan staff akademik Fakultas Pertanian.


(4)

iv

7. Gapoktan Sri Rejeki yang telah banyak membantu sehingga skripsi ini dapat tersusun.

8. Kepada Bapak, Ibu, Ade, dan Kaka tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat tiada henti-hentinya yang begitu berarti.

9. Kepada Attabi Marie Sahmi thank for everythings. Makasih ya udah mau ikut-ikutan repot dari terjun ke lapangan sampai akhirnya dijilid. Maaf udah sering jadi tameng kalau aku lagi kesel ataupun marah pas ngerjain skripsi. Hehe. Thank you so much.

10. Buat sepupu aku Wulan dan Arin, makasih atas dukungan dan motivasinya.

11. Buat temen-temen sekaligus saudara anak-anak “bestcamp” terimakasih atas kebersamaannya. Terimakasih sudah ngajarin ngaji dan akhirnya lulus syahadah. Terimaksih sudah ngajarin tabulasi dan analisis, terimakasih semua.

Semoga Allah SWT senantiasa menerima amalan serta memberikan balasan yang setimpal bagi semua pihak. Aamiin.

Dalam penyusunan skrpsi ini penulis menyadari bahwa dalam penusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya dan memerlukannya.

Yogyakarta, 2 September 2016 Penulis


(5)

v DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

INTISARI ... ix

ABSTRACT ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan ... 3

D. Kegunaan ... 4

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

B. Penelitian Terdahulu ... 21

C. Kerangka Pemikiran ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 26

A. Penentuan Lokasi ... 26

B. Teknik Pengambilan Sampel ... 27

C. Teknik Pengumpulan Data ... 28

D. Asumsi dan Pembatasan Masalah ... 29

E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 29

F. Teknik Analisis Data ... 34

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 36

A. Keadaan Alam ... 36

B. Keadaan Penduduk ... 37

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Identitas Responden ... 48

B. Penerapan Teknologi Sistem Tanam Jajar Legowo ... 57

C. Tingkat Adopsi Teknologi Sistem Tanam Jajar Legowo ... 66

D. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan Teknologi Sitem Tanam Jajar Legowo ... 69


(6)

vi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

LAMPIRAN ... 76


(7)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Anggota Gapoktan Sri Rejeki ... 27

Tabel 2. Jumlah Responden ... 28

Tabel 3. Variabel Tingkat Penerapan Teknologi ... 31

Tabel 4. Pencapaian Skor Pada Tiap Tahapan Penerapan ... 34

Tabel 5. Kategori Tingkat Penerapan Teknologi Jajar Legowo ... 35

Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 38

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 40

Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur ... 41

Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian... 42

Tabel 10. Sarana Perekonomian di Desa Gandrungmanis ... 43

Tabel 11. Distribusi Responden Menurut Umur di Desa Gandrungmanis ... 48

Tabel 12. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 49

Tabel 13. Distribusi Responden Menurut Pengalaman Usaha Tani ... 50

Tabel 14. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan... 51

Tabel 15. Distribusi Responden Menurut Status Lahan... 52

Tabel 16. Distribusi Responden Menurut Motivasi Petani ... 54

Tabel 17. Distribusi Responden Menurut Pandangan Petani ... 56

Tabel 18. Distribusi Responden Menurut Intensitas Penyuluhan ... 57

Tabel 19. Penerapan pada Penyiapan Lahan ... 59

Tabel 20. Penerapan pada Pembuatan Baris Tanam ... 60

Tabel 21. Penerapan pada Penanaman ... 61

Tabel 22. Penerapan pada Pemupukan ... 63

Tabel 23. Penerapan pada Penyiangan ... 64

Tabel 24. Penerapan pada Pengendalian Hama dan Penyakit... 65

Tabel 25. Tingkat Penerapan Sistem Tanam Jajar Legowo ... 67


(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sistem tanam jajar legowo (2 : 1)... 9

Gambar 2. Sistem tanam jajar legowo (3 : 1)... 10

Gambar 3. Sistem tanam jajar legowo (4 : 1)... 11


(9)

:

,.'

KABUPATEN SLEMAN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh: Ismail Saleh

24120220110

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 2 Agustus 2016

Skripsi tersebut telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan guna memperoleh

derajat Sarjana Pertanian

Yogyakarta, 3 I Agustus 2016 Pembimbing U ma

MK:

19650612199008 133 008 NIK : 196 22199202 133 011 Pembimbing Pendamping

@

Ir. Eni Istiyanti. MP

NIK : 19650120198812 133 003

Itas Pertanian

iyah Yogyakarta


(10)

x

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI SISTEM TANAM PADI JAJAR LEGOWO OLEH PETANI ANGGOTA GAPOKTAN SRI REJEKI

DI DESA GANDRUNGMANIS KECAMATAN GANDRUNGMANGU KABUPATEN CIACAP

Technology Application Level of Jajar Legowo Plant System by Gapoktan Sri Rejeki Members in Gandrungmanis village

Gandrungmangu District of Cilacap

Dwi Wahyuli / 20120220106

Dr. Aris Slamet Widodo, SP, M.Sc / Sutrisno, SP. MP. Agribusiness Departement Faculty of Agriculture

Muhammadiyah University of Yogyakarta

Abstract

The research were know about level of technology application of jajar legowo plant system and correlation farmers factors toward of Jajar Legowo plant system by farmers members of Gapoktan Sri Rejeki. Total respondens 50 farmers from Gapoktan Sri Rejeki that consists of 7 groups of farmers using purposive sampling. The data obtained with using score analyzed and Rank Spearman Correlation analyzed. The results presented that the technology application level of Jajar Legowo plant system by farmers members of Gapoktan Sri Rejeki was very high. Factors that have correlation is age and farming experience.


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Agribisnis di Kabupaten Cilacap masih menjadi salah satu struktur perekonomian yang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kabupaten Cilacap, tidak terkecuali di Desa Gandrungmanis Kecamatan Gandrungmangu yang masih berada dalam lingkup Kabupaten Cilacap. (Shalih, 2012 ). Ketersediaan beras sangat penting dalam rangka keberlanjutan ketahanan pangan khususnya mempertahankan swasembada beras.

Berkaitan dengan hal ini, kementerian pertanian membuat program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian melalui Badan Pengembangan dan Penelitian telah banyak mengeluarkan rekomendasi untuk diaplikasikan oleh petani. Salah satu rekomendasi ini adalah penerapan sistem tanam yang benar dan baik melalui pengaturan jarak tanam yang dikenal dengan sistem tanam jajar legowo.

Dalam melaksanakan usaha tanam padi ada bebarapa hal yang menjadi tantangan salah satunya yaitu bagaimana upaya ataupun cara yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi padi yang tinggi. Namun untuk mewujudkan upaya tersebut masih terkendala karena jika diperhatikan masih banyak petani yang belum mau melaksanakan anjuran sepenuhnya. Sebagai contoh dalam hal sistem tanam masih banyak petani yang bertanam tanpa jarak tanam yang beraturan. Padahal dengan pengaturan jarak tanam yang tepat dan


(12)

Sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong. Istilah Legowo di ambil dari bahasa jawa, yaitu berasal dari kata ”lego”

berarti luas dan ”dowo” berarti memanjang. Legowo diartikan pula sebagai cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan dan diselingi satu barisan kosong. Hal ini ditindaklanjuti oleh Departemen Pertanian melalui pengkajian dan penelitian sehingga menjadi suatu rekomendasi atau anjuran untuk diterapkan oleh petani dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman padi. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2013)

Sistem tanam jajar legowo juga merupakan suatu upaya memanipulasi lokasi pertanaman sehingga pertanaman akan memiliki jumlah tanaman pingir yang lebih banyak dengan adanya barisan kosong. Seperti diketahui bahwa tanaman padi yang berada dipinggir memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik dibanding tanaman padi yang berada di barisan tengah sehingga memberikan hasil produksi dan kualitas gabah yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena tanaman yang berada dipinggir akan memperoleh intensitas sinar matahari yang lebih banyak (efek tanaman pinggir).

Pada tahun 2010 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sri Rejeki yang berada di Desa Gandrungmanis Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap mengadakan penyuluhan dan pelatihan bagi anggotanya tentang sistem tanam


(13)

jajar legowo. Pelaksanaan program didampingi oleh fasilitator yang merupakan ketua Gapoktan itu sendiri yang sebelumnya sudah mengikuti pelatihan di tingkat provinsi. Sosialisasi bertujuan agar masyarakat mengetahui dengan jelas tentang inovasi sistem tanam jajar legowo dan diharapkan petani bisa menerapkan sistem tanam tersebut.

Gapoktan Sri Rejeki terdiri dari tujuh kelompok tani. Jumlah keseluruhan anggota gapoktan sebanyak 737 petani. Anggota gapoktan terdiri dari 3 golongan, golongan pertama merupakan petani yang hanya menggarap tanaman palawija saja jumlahnya 148 atau sekitar 20% dari anggota. Golongan kedua merupakan petani yang hanya mempunyai usaha dibidang agribisnis jumlahnya 110 atau sekitar 15% dari anggota seluruh. Golongn ketiga merupakan petani yang memproduksi tanaman padi, jumlahnya 479 petani atau 65% dari anggota keseluruhan.

Penyuluhan tentang teknologi sistem tanam jajar legowo hanya diberikan kepada 65% anggota gapoktan yang merupakan petani yang memproduksi padi. Pada tahun pertama penyuluhan, masih sedikit petani anggota gapoktan yang menerapkan sistem tanam tersebut sekitar 57 petani atau hanya 10% dari petani produsen padi. Pada kondisi sekarang tahun 2016 dan sudah diadakan penyuluhan kembali sebanyak dua kali petani anggota gapoktan yang menerapkan sistem tanam jajar legowo sudah meningkat menjadi 330 petani atau sekitar 70% dari anggota yang memproduksi padi.


(14)

Dengan keadaan diatas maka perlu diketahuinya seberapa jauh tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo di Gapoktan Sri Rejeki yang nantinya sebagai standar acuan untuk lebih ditingkatkan. Tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo kemungkinan besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi petani mau menerapkan atau cenderung kurang minat bahkan ataupun tidak menerapkan. Hal itulah yang coba dikaji dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Seberapa jauh tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo yang diterapkan petani anggota Gapoktan Sri Rejeki?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo oleh petani anggota Gapoktan Sri Rejeki?

C. Tujuan

1. Mengetahui tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo petani anggota Gapoktan Sri Rejeki.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo petani anggota Gapoktan Sri Rejeki.


(15)

D. Kegunaan

1. Bagi penulis, dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai sarana pengembangan pola pikir dan sebagai syarat untuk mendapatkan derajad sarjana pertanian.

2. Bagi pembaca dan peneliti lain tulisan ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan rujukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

3. Bagi Gapoktan Sri rejeki di Desa Gandrungmanis sebagai bahan evaluasi seberapa jauh tingkat penerapan dan untuk mempertimbangkan kebijakan selanjutnya untuk lebih ditingkatkan.

4. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan maka dapat digunakan sebagai acuan agar lebih memperhatikan faktor tersebut dalam pelatihan ataupun penyuluhan tentang teknologi sistem tanam jajar legowo.


(16)

5 A. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Tanam Jajar Legowo

Istilah jajar legowo diambil dari bahasa jawa yang secara harfiah tersusun

dari kata “lego (lega)” dan “dowo (panjang)” yang secara kebetulan sama dengan

nama pejabat yang memperkenalkan cara tanam ini. Sistem tanam jajar legowo diperkenalkan pertama kali oleh seorang pejabat Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Banjar Negara Provinsi Jawa Tengah yang bernama Bapak Legowo yang kemudian ditindak lanjuti oleh Departemen Pertanian melalui pengkajian dan penelitian sehingga menjadi suatu rekomendasi atau anjuran untuk diterapkan oleh petani dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman padi. Legowo diartikan pula sebagai cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan dan diselingi satu barisan kosong. Baris tanaman (dua atau lebih) dan baris kosongnya (dua kali jarak tanam di kanan dan di kirinya) disebut satu unit legowo. (Suharno, 2011)

Prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan populasi tanaman dengan mengatur jarak tanam sehingga pertanaman akan memiliki barisan tanaman yang diselingi oleh barisan kosong dimana jarak tanam pada barisan pinggir setengah kali jarak tanam antar barisan. Sistem tanam jajar legowo merupakan salah satu rekomendasi yang terdapat dalam paket anjuran Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Sistem tanam jajar legowo juga merupakan suatu upaya memanipulasi lokasi pertanaman sehingga pertanaman akan memiliki


(17)

jumlah tanaman pingir yang lebih banyak dengan adanya barisan kosong. Seperti diketahui bahwa tanaman padi yang berada dipinggir memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik dibanding tanaman padi yang berada di barisan tengah sehingga memberikan hasil produksi dan kualitas gabah yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena tanaman yang berada dipinggir akan memperoleh intensitas sinar matahari yang lebih banyak (efek tanaman pinggir). (Suharno, 2011)

Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah yang apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut:

Terdapat ruang terbuka yang lebih lebar diantara dua kelompok barisan tanaman yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman padi sehingga meningkatkan aktivitas fotosintesis yang berdampak pada peningkatan produktivitas tanaman.

a. Menambah jumlah populasi tanaman padi sekitar 30 % yang diharapkan akan meningkatkan produksi baik secara makro maupun mikro.

b. Dengan adanya baris kosong akan mempermudah pelaksanaan pemeliharaan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit tanaman yaitu dilakukan melalui barisan kosong/lorong.

c. Mengurangi kemungkinan serangan hama dan penyakit terutama hama tikus. Pada lahan yang relatif terbuka hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya dan dengan lahan yang relatif terbuka kelembaban juga akan menjadi lebih rendah sehingga perkembangan penyakit dapat ditekan.


(18)

d. Menghemat pupuk karena yang dipupuk hanya bagian tanaman dalam barisan. e. Dengan menerapkan sistem tanam jajar legowo akan menambah kemungkinan

barisan tanaman untuk mengalami efek tanaman pinggir dengan memanfaatkan sinar matahari secara optimal bagi tanaman yang berada pada barisan pinggir. Semakin banyak intensitas sinar matahari yang mengenai tanaman maka proses metabolisme terutama fotosintesis tanaman yang terjadi di daun akan semakin tinggi sehingga akan didapatkan kualitas tanaman yang baik ditinjau dari segi pertumbuhan dan hasil.

Bersumber dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten (2012) bahwa modifikasi jarak tanam pada sistem tanam jajar legowo bisa dilakukan dengan melihat berbagai pertimbangan. Secara umum jarak tanam yang dipakai adalah 20 X 20 cm dan bisa dimodifikasi menjadi 22,5 X 22,55 cm atau 25 X 25 cm sesuai pertimbangan varietas padi yang akan ditanam atau tingkat kesuburan tanahnya. Jarak tanam untuk padi yang sejenis dengan varietas IR-64 seperti varietas ciherang cukup dengan jarak tanam 20 X 20 cm sedangkan untuk varietas padi yang memiliki penampilan lebat dan tinggi perlu diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya 22,5 sampai 25 cm. Demikian juga pada tanah yang kurang subur cukup digunakan jarak tanam 20 X 20 cm sedangkan pada tanah yang lebih subur perlu diberi jarak yang lebih lebar misal 22,5 cm atau pada tanah yang sangat subur jarak tanamnya bisa 25 X 25 cm. Pemilihan ukuran jarak tanam ini bertujuan agar mendapatkan hasil yang optimal.

Ada beberapa tipe cara tanam sistem jajar legowo yang secara umum dapat dilakukan yaitu ; tipe legowo (2 : 1), (3 : 1), (4 : 1), (5 : 1), (6 : 1) dan tipe lainnya


(19)

yang sudah ada serta telah diaplikasikan oleh sebagian masyarakat petani di Indonesia. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian diketahui jika tipe sistem tanam jajar legowo terbaik dalam memberikan hasil produksi gabah tinggi adalah tipe jajar legowo (4:1) sedangkan dari tipe jajar legowo (2 : 1) dapat diterapkan untuk mendapatkan bulir gabah berkualitas benih.

Jajar legowo (2 : 1) adalah cara tanam padi dimana setiap dua baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar baris sedangkan jarak tanaman dalam barisan adalah setengah kali jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem jajar legowo (2 : 1) adalah 20 cm (antar barisan) X 10 cm (barisan pinggir) X 40 cm (barisan kosong). Dengan sistem jajar legowo (2 : 1) seluruh tanaman dikondisikan seolah-olah menjadi tanaman pinggir. Penerapan sistem jajar legowo (2 : 1) dapat meningkatkan produksi padi dengan gabah kualitas benih dimana sistem jajar legowo seperti ini sering dijumpai pada pertanaman untuk tujuan penangkaran atau produksi benih. Untuk lebih jelasnya tentang cara tanam jajar legowo (2 : 1) dapat dilihat melalui gambar 1.

Jajar legowo (3 : 1) adalah cara tanam padi dimana setiap tiga baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar barisan. Modifikasi tanaman pinggir dilakukan pada baris tanaman ke-1 dan ke-3 yang diharapkan dapat diperoleh hasil tinggi dari adanya efek tanaman pinggir.


(20)

Prinsip penambahan jumlah populasi tanaman dilakukan dengan cara menanam pada setiap barisan pinggir (baris ke-1 dan ke-3) dengan jarak tanam setengah dari jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem jajar legowo (3 : 1) adalah 20 cm (antar barisan dan pada barisan tengah) X 10 cm (barisan pinggir) X 40 cm (barisan kosong) yang lebih jelasnya dapat dilihat melalui gambar 2.

40 cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

10 cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ 10

cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

20 cm 20 cm

1 2 1 2

Gambar 1. Sistem tanam jajar legowo (2 : 1) 40

cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

10 cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ 10

cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ


(21)

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

20 cm 20 cm

1 2 3 1 2 3 Gambar 2. Sistem tanam jajar legowo (3 : 1)

Jajar legowo (4 : 1) adalah cara tanam padi dimana setiap empat baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar barisan. Dengan sistem legowo seperti ini maka setiap baris tanaman ke-1 dan ke-4 akan termodifikasi menjadi tanaman pinggir yang diharapkan dapat diperoleh hasil tinggi dari adanya efek tanaman pinggir. Prinsip penambahan jumlah populasi tanaman dilakukan dengan cara menanam pada setiap barisan pinggir (baris ke-1 dan ke-4) dengan jarak tanam setengah dari jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem jajar legowo (4 : 1) adalah 20 cm (antar barisan dan pada barisan tengah) X 10 cm (barisan pinggir) X 40 cm (barisan kosong) yang lebih jelasnya dapat dilihat melalui gambar 3 di bawah ini.

40 cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

10 cm

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ 10

cm


(22)

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ Ɣ

20 cm 20 cm

1 2 3 4 1 2 3 4 Gambar 3. Sistem tanam jajar legowo (4 : 1)

Seperti telah diuraikan di atas bahwa prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah meningkatkan jumlah populasi tanaman dengan pengaturan jarak tanam. Adapun jumlah peningkatan populasi tanaman dengan penerapan sistem tanam jajar legowo ini dapat kita ketahui dengan rumus : 100 % X 1 / (1 + jumlah legowo).

Dengan demikian untuk masing-masing tipe sistem tanam jajar legowo dapat kita hitung penambahan/peningkatan populasinya sebagai berikut;

Jajar legowo (2 : 1) peningkatan populasinya adalah 100 % x 1(1 + 2) = 30 % Jajar legowo (3 : 1) peningkatan populasinya adalah 100 % x 1 (1 + 3) = 25 % Jajar legowo (4 : 1) peningkatan populasinya adalah 100 % x 1 (1 + 4) = 20 % Jajar legowo (5 : 1) peningkatan populasinya adalah 100 % x 1 (1 + 5) = 16,6 % Jajar legowo (6 : 1) peningkatan populasinya adalah 100 % x 1 (1 + 6) = 14,29 %


(23)

2. Teknik Penerapan Teknologi Sistem Tanam Jajar Legowo

Menurut Barkoluh PKK Provinsi Gorontalo (2012), teknik penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo meliputi:

a. Pembuatan Baris Tanam

Persiapkan alat garis tanam dengan ukuran jarak tanam yang dikehendaki. Bahan untuk alat garis tanam bisa digunakan kayu atau bahan lain yang tersedia serta biaya terjangkau. Lahan sawah yang telah siap ditanami, 1-2 hari sebelumnya dilakukan pembuangan air sehingga lahan dalam keadaan macak-macak. Ratakan dan datarkan sebaik mungkin. Selanjutnya dilakukan pembentukan garis tanam yang lurus dan jelas dengan cara menarik alat garis tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya serta dibantu dengan tali yang dibentang dari ujung ke ujung lahan.

b. Tanam

Umur bibit padi yang digunakan sebaiknya kurang dari 21 hari. Gunakan 1-3 bibit per lubang tanam pada perpotongan garis yang sudah terbentuk. Cara laju tanam sebaiknya maju agar perpotongan garis untuk lubang tanam bisa terlihat dengan jelas. Namun apabila kebiasaan tanam mundur juga tidak menjadi masalah, yang penting populasi tanaman yang ditanam dapat terpenuhi. Pada alur pinggir kiri dan kanan dari setiap barisan legowo, populasi tanaman ditambah dengan cara menyisipkan tanaman di antara 2 lubang tanam yang tersedia. pemupukan pada legowo 2 : 1 boleh dengan cara ditabur di tengah alur dalam barisan legowonya.


(24)

c. Pemupukan

Pemupukan dilakukan dengan cara tabur. Posisi orang yang melakukan pemupukan berada pada barisan kosong di antara 2 barisan legowo. Pupuk ditabur ke kiri dan ke kanan dengan merata, sehingga 1 kali jalan dapat melalukan pemupukan 2 barisan legowo. Khusus cara pemupukan pada legowo 2 : 1 boleh dengan cara ditabur di tengah alur dalam barisan legowonya.

d. Penyiangan

Penyiangan bisa dilakukan dengan tangan atau dengan menggunakan alat siang seperti landak/gasrok. Apabila penyiangan dilakukan dengan alat siang, cukup dilakukan ke satu arah sejajar legowo dan tidak perlu dipotong seperti penyiangan pada cara tanam bujur sangkar. Sisa gulma yang tidak tersiang dengan alat siang di tengah barisan legowo bisa disiang dengan tangan, bahkan sisa gulma pada barisan pinggir legowo sebenarnya tidak perlu diambil karena dengan sendirinya akan kalah persaingan dengan pertumbuhan tanaman padi. e. Pengendalian hama dan penyakit

Pada pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan alat semprot atau handsprayer, posisi orang berada pada barisan kosong di antara 2 barisan legowo. Penyemprotan diarahkan ke kiri dan ke kanan dengan merata, sehingga 1 kali jalan dapat melakukan penyemprotan 2 barisan legowo.

3. Adopsi Inovasi

Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala


(25)

bentuk tata kehidupan masyarakat. Menurut (Mardikanto, 1988) pengertian inovasi yaitu sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan, perilaku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.

Rogers dan Shoemaker (dalam Mardikanto 2008) mengartikan inovasi sebagai: ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Sedang Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.

Pengertian “baru” disini, mengandung makna bukan sekadar “baru

diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude), dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.

Adopsi inovasi pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi atau perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan


(26)

(cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi.

Pada dasarnya, proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh). Menurut Mardikanto mengatakan bahwa tahapan adopsi yakni :

a. Awareness, atau kesadaran, yaitu sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.

b. Interest, atau tumbuhnya minat yang seringkali ditandai oleh keinginannya untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak/jauh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.

c. Evalution atau penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi yang telah diketahui informasinya secara lebih lengkap. Pada penilaian ini, masyarakat sasaran tidak hanya melakukan penilai-an terhadap aspek teknisnya saja, tetapi juga aspek ekonomi, maupun aspek-aspek sosial budaya, bahkan seringkali juga ditinjau dari aspek politis atau kesesuaiannya dengan kebijakan pembangunan nasional dan regional.

d. Trial atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan penilaiannya, sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas lagi.

e. Adoption atau menerima/menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah dilakukan/diamati-nya sendiri.


(27)

4. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan Teknologi

Menurut Mardikanto (2013) pada dasarnya, proses adopsi pasti melalui tahapan-tahapan sebelum masyarakat mau menerima/menerapkan dengan keyakinannya sendiri, meskipun selang waktu antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan aktivitas/kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh).

a. Umur

Menurut Soekartawi (2005), umur berpengaruh terhadap adopsi teknologi, petani-petani yang lebih tua tampak kurang mampu melakukan inovasi dari mereka yang relatif berumur muda, makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang mereka belum tahu sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut. Namun bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan untuk orang lain.

b. Pendidikan

Tingkat pendidikan berhubungan dengan kemampuan petani dalam menerima inovasi dan memiliki cara berpikir yang lebih matang. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh petani, maka kemampuan dalam menerima inovasi baru akan semakin tinggi pula, dan sebaliknya apabila tingkat pendidikan petani rendah makakemampuan petani menerima inovasi atau hal baru juga akan rendah (Cohen dan Uphoff, 1997).


(28)

Senada dengan hal tersebut di atas, Soekartawi (2005), menyatakan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.

c. Pengalaman berusahatani

Soekartawi (2005) menyatakan bahwa, semakin lama petani berusahatani, semakin cenderung mempunyai sikap yang lebih berani dalam menanggung resiko penerapan teknologi baru atau perubahanperubahan yang ada di bidang pertanian. Karena semakin lama petani berusahatani mereka lebih respon dan cepat tanggap terhadap gejala yang mungkin akan terjadi. Apabila pada akhirnya nanti mengalami suatu kegagalan mereka sudah tidak canggung lagi dalam melakukan perubahan-perubahan dalam kegiatan usahataninya.

d. Luas lahan garapan

Luas lahan garapan selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Banyak teknologi maju baru yang memerlukan skala operasi yang besar dan sumberdaya ekonomi tinggi untuk keperluan adopsi inovasi tersebut. Juga penggunaan teknologi pertanian yang lebih baik akan menghasilkan manfaat ekonomi yang memungkinkan perluasan usahatani selanjutnya (Soekartawi, 2005) e. Status Lahan

Status kepemilikan lahan sendiri akan lebih leluasa dalam mebuat keputusan menerapkan atau tidak inovasi sesuai dengan keinginannya, namun penyewa harus mendapatakan persetujuan terlebih dahulu. Maka dari itu tingkat


(29)

penerapan inovasi akan lebih tinggi pada status lahan milik sendiri dibanding petani penyewa.

g. Motivasi Petani

Secara teknis istilah motivasi dapat diketemukan pada istilah latin movere yang artinya menggerakkan (Moekijat, 1990). Istilah motivasi, seperti halnya kata emosi, berasal dari bahasa latin, yang berarti bergerak. Mempelajari motivasi, sasarannya adalah mempelajari penyebab atau alasan yang membuat kita melakukan apa yang kita lakukan. Motivasi merujuk pada suatu proses dalam diri manusia yang menyebabkannya bergerak menuju tujuan, atau bergerak menjahui situasi yang tidak menyenangkan (Wade dan Carol, 2007)

Menurut Winardi (2004), motivasi adalah suatu kekuatan potensial yang ada di dalam diri seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri atau dikembangkan oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya berkisar sekitar imbalan moneter dan imbalan non moneter, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif atau secara negatif, hal mana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan. Gray dan Frederic dalam Winardi (2004), motivasi adalah hasil proses-proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menimbulkan sikap antusias dan persistensi untuk mengikuti arah tindakan-tindakan tertentu.

Mardikanto (1997), mengungkapkan bahwa motivasi adalah suatu dorongan atau tekanan yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan.


(30)

1. Motivasi social (Social motivation), Tingkat kemauan yang mendorongpetani untuk berperan-serta secara aktif dalam menerapkan sistema groforestry dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan dan pengakuan dari ling-kungan sekitarnya (Suprayitno, 2011)

2. Motivasi ekonomi (Economic motivation), Tingkat kemauan yang mendorong petani untuk berpartisipasi aktif dalam menerapkan sistem agroforestrydengan tujuan menambah penghasilan rumah tangga (Suprayitno, 2011)

3. Motivasi ekologi (Ecology motivation) Tingkat kemauan yang mendorong petani untuk berperan-serta secara aktif dalam menerapkan system agroforestry dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (Suprayitno, 2011)

Menurut Hasibuan (1996), motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan gairah kerja seseorang agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Sedangkan menurut Kartono dan Kartini (1982) motivasi adalah sebab, alasan dasar, gambaran dorongan bagi seseorang untuk berbuat atau ide pokok yang berpengaruh besar sekali terhadap segenap tingkah laku manusia.

Menurut Sudarmo (2000) motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan seseorang untuk memenuhi tujuan tertentu. Jadi motivasi adalah suatu hal yang ada pada diri individu yang menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu. Kaitannya dengan adospi teknologi sejauhmana dorongan atau rangsangan bagi petani untuk mengadopsi suatu inovasi.


(31)

h. Pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi

Menurut Soekartawi (2005), sifat adopsi akan menentukan kecepatan adopsi inovasi. Sifat-sifat inovasi tersebut adalah :

1. Tingkat keuntungan relative (relative advantage), sejauhmana inovasi baru atau teknologi baru akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama yang digantikannya. Bila memang benar bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan yang relative lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

2. Tingkat kesesuaian (compatibility), seringkali teknologi baru yang menggantikan teknologi lama tidak saling mendukung, namun banyak pula dijumpai penggantian teknologi lama dengan teknologi baru yang merupakan

kelanjutan saja. Bila teknologi baru merupakan “kelanjutan” dari teknologi

yang lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan relative lebih cepat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani yang sudah terbiasa untuk menerapkan teknologi lama yang tidak berbeda dengan teknologi baru tersebut, cukup mampu melaksanakan dengan baik. Artinya bila perubahan dengan adanya teknologi baru tersebut tidak frontal. Maka petani cukup mampu untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk adopsi inovasi tersebut.

3. Tingkat kerumitan (complexity), inovasi atau ide baru yang cukup rumiit untuk diterapkan akan mempengaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru tersebut dapat dipraktekkan, maka makin cepat


(32)

pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan cepat, maka penyajian inovasi baru tersebut harus lebih sederhana.

4. Tingkat kemudahan untuk dicoba (triability), adalah mudah tidaknya suatu teknologi dicoba atau dilakukan. Artinya makin mudah teknologi baru tersebut dilakukan, maka relative makin cepat proses adopsi inovasi yang akan dilakukan petani.

5. Tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya (observability), ada tidaknya hasil yang dapat dengan mudah dilihat atau diamati.

i. Intensitas penyuluhan

Intesitas penyuluhan adalah banyaknya kegiatan penyuluhan pertanian yang telah diikuti oleh petani dalam rangka menambah pengetahuan serta metode dan informasi tentang inovasi teknologi yang sedang berkembang. Semakin sering mengikuti penyuluhan semakin banyak metode dan informasi yang didapatkannya (Wulandari, 2008) Intesitas penyuluhan adalah banyaknya kegiatan penyuluhan pertanian yang telah diikuti oleh petani dalam rangka menambah pengetahuan serta metode dan informasi tentang inovasi teknologi yang sedang berkembang. Semakin sering mengikuti penyuluhan semakin banyak metode dan informasi yang didapatkannya (Wulandari, 2008)

B. Penelitian Terdahulu

Selama penulisan tinjauan pustaka, peneliti menemukan beberapa penelitian terkait. Hasil dari penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi


(33)

tingkat penerapan petani atau penelitian terkait yang pernah dilakukan akan dipaparkan di bawah ini.

Menurut Irma dan Mamik (2014) dalam penelitiannya mengenai Persepsi Dan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Inovasi Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Desa Labu Kecamatan Puding Besar Kabupaten Bangka menunjukan bahwa Petani memiliki persepsi positif terhadap inovasi teknologi PTT padi sawah dan tingkat adopsi 48%.

Menurut Ishak dan Afrizon (2011) dalam penelitiannya mengenai Persepsi Dan Tingkat Adopsi Petani Padi Terhadap Penerapan System Of Rice Intensification (SRI) Di Desa Bukit Peninjauan I, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma menunjukan bahwa dari penelitiannya terlihat bahwa seluruh petani di Desa Bukit Peninjauan I memiliki persepsi yang baik terhadap teknologi SRI, namun masih rendah dalam tingkat adopsi. Sebagian besar petani (69,23%) belum mengadopsi teknologi SRI sesuai anjuran.

Hajrah Lala (2012) dalam penelitiannya mengenai Adopsi Petani Padi Sawah Terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo (2:1) di Kecamatan Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar menyampaikan bahwa 1 tingkat adopsi teknologi jajar legowo 2 : 1 masuk dalam kategori rendah, yakni sebanyak 60,78 % petani responden. Faktor internal petani yang berhubungan nyata dengan tingkat adopsi teknologi jajar legowo 2 : 1 adalah : motivasi mengikuti teknologi jajar legowo 2 : 1, tingkat keuntungan relatif, tingkat kerumitan dan tingkat kemudahan untuk dicoba.


(34)

Menurut Ingriani, A. Kurniasih (2010) dalam penelitiannya mengenai Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Padi Organik di Kelurahan Manisa Kecamatan Baranti Kabupaten Sidrap Provinsi Sulawesi Selatan menyampaikan bahwa tingkat adopsi petani terhadap padi organik di Kelurahan Manisa masih tergolong rendah. Faktor internal yakni usia, tingkat pendidikan dan faktor Eksternal yakni intensitas penyuluhan dan sifat kekosmopolitan menunjukkan hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi.

Menurut Desy (2010) dalam penelitiannya tentang Tingkat Adopsi Teknologi Program Prima Tani dan Penguatan Kelembagaan dengan PT Tri Sari Usahatani mengatakan bahwa tingkat adopsi padi hibrida Adirasa I di Desa Paleran Kecamatan Umbulsari berada pada tingkatan sedang. Faktor-faktor karakteristik petani yang berkorelasi dengan tingkat adopsi padi hibrida Adirasa I adalah pendidikan, pengalaman, luas lahan.

Menurut Romauli (2014) dalam penelitiannya tentang Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai menyampaikan bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian terpadu usahatani padi organik di daerah penelitian tergolong tinggi dengan jumlah persentase 70 %. Ada hubungan antara pengalaman bertani dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian terpadu usahatani padi organik.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu serta berbagai pertimbangan keadaan lapangan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi


(35)

sistem tanam padi jajar legowo yaitu faktor umur, pendidikan, luas lahan, pendapatan, status lahan, pengalaman usahatani, motivasi mengikuti teknologi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi, dan intensitas penyuluhan. C. Kerangka Pemikiran

Gambar 4. Kerangka Pemikiran

Sistem jajar legowo sebagai inovasi baru belum tentu diterima oleh petani. Petani memerlukan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan menerima atau menolak inovasi tersebut. Penerapan inovasi tidak hanya tergantung pada inovasi yang ditawarkan tetapi lebih ditentukan oleh kesediaan petani dalam mengadospi inovasi. Seperti yang dikemukakan Mosher (1987), bahwa petani yang menentukan cara usahatani yang harus dilakukan sehingga harus

Petani Padi 1. Umur

2. Pendidikan

3. Pengalaman Usahatani 4. Luas Lahan

5. Status Lahan

6. Motivasi Petani Mengikuti Teknologi

7. Pandangan Petani Terhadap Sifat–sifat Inovasi 8. Intensitas Penyuluhan

Teknologi Sistem Tanam Padi Jajar Legowo

1. Penyiapan lahan

2. Pembuatan Baris Tanam 3. Tanam

4. Pemupukan 5. Penyiangan

6. Pengendalian Hama dan Penyakit

Penerapan 1. Sangat Rendah 2. Rendah

3. Sedang 4. Tinggi


(36)

mempelajari dan menerapkan metode baru yang diperlukan untuk membuat usahataninya produktif.

Mengacu pada tinjauan di atas dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka diduga bahwa karakteristik internal petani padi sawah berhubungan dengan tingkat adospi teknologi sistem tanam padi jajar legowo. Adapun faktor yang terpilih diduga mempengaruhi tingkat penerapan yaitu faktor umur, pendidikan, luas lahan, status lahan, pengalaman usahatani, motivasi mengikuti teknologi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi, dan intensitas penyuluhan.

Dalam penelitian faktor-faktor yng diduga akan mempengaruhi tingkat penerapan petani terhadap teknologi sistem tanam padi jajar legowo yang meliputi pembuatan baris tanam, tanam, pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit.


(37)

26

III. METODE PENELITIAN

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Nazir (1988), metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi gambaran/lukisan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

A. Penentuan Lokasi

Pemilihan/ penetapan lokasi pada penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu lokasi ditetapkan secara sengaja oleh peneliti didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Wirartha, 2006). Lokasi penelitian yaitu Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis, Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Gapoktan Sri Rejeki dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar petani anggota Gapoktan tersebut sudah menerapkan teknologi sistem tanam jajar legowo. Selain itu Gapoktan Sri Rejeki memiliki nilai unggul dibandingkan Gapoktan lain di kabupaten yang sama, yang merupakan Gapoktan terbaik se-Kabupaten Cilacap secara administrasi.


(38)

Gapoktan Sri Rejeki merupakan gabungan dari 7 kelompok tani yang berada di Desa Gandrungmanis. Berikut data anggota dari kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Sri rejeki:

Tabel 1. Jumlah Anggota Gapoktan Sri Rejeki

Kelompok Tani (Poktan) Anggota

Tani Makmur 115

Rukun Tani 105

Berkah Mulya 94

Ngudi Tuwuh 85

Catur Tani 120

Dewi Sri 94

Soka Makmur 124

Sumber: Data Primer Gapoktan Sri Rejeki Desa Gandrungmanis, 2016 B. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara purposive, yaitu secara sengaja atas dasar rekomendasi dari ketua Gapoktan sebanyak 50 petani. Ketua Gapoktan merekomendasi petani yang sduah menerapkan sistem tanam padi Jajar Legowo pada tiap Kelompok Tani di Gapoktan tersebut sesuai dengan jumlah petani yang dibutuhan. Jumlah responden yang diambil dari masing-masing kelompok tani ditentukan dengan menggunakan rumus :

ni = Keterangan;

ni : Jumlah sampel yang akan diambil dari masing-masing kelompok tani nk : Jumlah anggota kelompok tani

N : Total populasi sampel

n : Jumlah sampel yang telah dientukan

Berdasarkan rumus di atas maka didapat jumlah petani sampel yang diambil pada masing–masing kelompok tani yang dapat dilihat pada tabel berikut:


(39)

Tabel 2. Jumlah Responden Masing-masing Kelompok Tani dari Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap

No. Kelompok Tani

Jumlah Anggota

(orang)

Perhitungan

Jumlah

anggota x jumlah sampel Populasi

Jumlah Sampel (orang)

1. Tani Makmur 115 115 x 50

737 8

2. Rukun Tani 105 10 x 50

737 7

3. Berkah Mulya 94 94 x 50

737 6

4. Ngudi Tuwuh 85 85 x 50

737 6

5. Catur Tani 120 120 x 50

737 8

6. Dewi Sri 94 94 x 50

737 6

7. Soka Makmur 124 124 x 50

737 9

Jumlah 737 50

Sumber: Data Primer Gapoktan Sri Rejeki Desa Gandrungmanis, 2016 C. Teknik Pengumpulan Data

Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer yang dibutuhkan akan diperoleh melalui kuisioner dan wawancara langsung kepada sumber informasi yang terbaik yaitu petani anggota Gapoktan yang sudah menerapkan teknologi sistem tanam jajar legowo.

Sedangkan untuk data-data sekunder akan diperoleh dari instansi terkait meliputi Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, Kantor Kepala Desa Gandrungmanis, serta dari penelusuran kepustakaan, internet dan literatur lain yang berhubungan dengan penelitian ini.


(40)

D. Asumsi dan Pembatasan Masalah Asumsi

1. Varietas padi yang ditanam oleh petani dalam penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo dianggap sama.

Pembatasan Masalah

1. Penelitian dilakukan pada petani yang sudah menerapkan teknologi sistem tanam jajar legowo dan merupakan anggota Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis, Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap.

E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Dalam penelitian ini peneliti mengemukakan definisi operasional dan pengukuran variabel untuk menghindari kesalahan dan ketidak jelasan.

1. Sistem tanam padi Jajar Legowo adalah teknologi penanaman dalam upaya memanipulasi lokasi pertanaman sehingga pertanaman akan memiliki jumlah tanaman pingir yang lebih banyak dengan adanya barisan kosong, yang bertujuan untuk menghasilkan produksi yang cukup tinggi serta memberikan kemudahan dalam aplikasi pupuk dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.

2. Teknologi pertanian adalah penerapan ilmu pengetahuan atau perangkat modern dalam pelaksanaan mendayagunakan sumber daya alam serta sumber daya pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

3. Adopsi merupakan penerapan atau penyerapan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru.


(41)

4. Umur merupakan usia petani responden pada saat dilakukan penelitian, yang dinyatakan dalam tahun, diukur dengan skala ordinal.

5. Pendidikan, yaitu tingkat pendidikan terakhir yang dicapai petani responden pada bangku sekolah atau lembaga pendidikan formal. Diukur dengan skala ordinal.

6. Pengalaman usahatani adalah lamanya responden terlibat langsung dalam berusahatani padi sawah. Klasifikasi pengalaman berusahatani responden ditetapkan berdasarkan pertimbangan jumlah tahun. Diukur dalam skala ordinal.

7. Luas lahan yaitu luas lahan petani yang digunakan untuk melakukan usaha budidaya padi yang menerapkan teknologi sistem tanam jajar legowo, dinyatakan dalam hektar. Diukur dalam skala ordinal.

8. Status lahan adalah terkait dengan kepemilikan lahan petani responden yang digunakan dalam usahatani yaitu milik sendiri atau bukan milik sendiri.

9. Motivasi petani dalam mengikuti teknologi adalah pernyataan petani yang mendorong dirinya mau menggunakan teknologi jajar legowo. Motivasi tersebut berasal dari dalam diri atau dari luar petani.

10. Pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi adalah bagaimana pendapat/pandangan petani mengenai teknologi jajar legowo dilihat dari inovasinya.

11. Intensitas penyuluhan merupakan tingkat keseringan kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh penyuluh setempat yang diikuti oleh petani.


(42)

Tabel 3. Variabel Tingkat Penerapan Teknologi

Indikator Standar Kriteria Skor

Penyiapan lahan 1. Pengolahan lahan menggunakan traktor atau ternak, dilakukan secara sempurna (2 kali bajak dan 1 kali garu) atau minimal satu kali bajak.

Mampu

menerapkan 3 standar penyiapan lahan

5

2. 2 minggu sebelum pengolahan tanah ditaburkan bahan organik.

Mampu

menerapkan 2 standar penyiapan lahan

4

3. Waktu pengolahan tanah 15-17 hari.

Mampu

menerapkan 1 standar penyiapan lahan

3

Melakukan

standar penyiapan lahan dengan tidak benar

2

Tidak melakukan standar penyiapan lahan

1 Pembuatan

baris tanam

1. Melakukan pembuangan air 1-2 hari sebelum pembuatan baris tanam.

Mampu

menerapkan 3 standar pembuatan baris tanam

5

2. Meratakan tanah sebaik mungkin.

Mampu

menerapkan 2 standar pembuatan baris tanam

4

3. Pembuatan garis tanam yang lurus dengan sesuai tipe jajar legowo menggunakan tali yang dibentang dari ujung ke ujung lain.

Mampu

menerapkan 1 standar pembuatan baris tanam

3

Melakukan

standar pembuatan baris dengan tidak benar


(43)

Indikator Standar Kriteria Skor Tidak melakukan

standar pembuatan baris

1

Penanaman 1. Menggunakan benih yang bermutu dengan tingkat kecambah lebih dari 90%.

Mampu

menerapkan 4 standar

penanaman

5

2. Memilih benih yang baik dengan melakukan seleksi garam 3% maupun larutan ZA dengan perbandingan 3:1.

Mampu

menerapkan 3 standar

penanaman

4

3.Menggunakan bibit padi muda kurang dari 21 hari.

Mampu

menerapkan 2-1 standar

penanaman

3

4. Menggunakan 1-3 bibit per lubang.

Melakukan standar penanaman

dengan tidak benar

2

Tidak melakukan tandar penanaman

1 Pemupukan 1. Melakukan pupuk berimbang. Mampu

menerapkan 4 standar

pemupukan

5

2. Melakukan pemupukan dengan cara tabur.

Mampu

menerapkan 3 standar

pemupukan

4

3. Posisi orang pada saat pemupukan berada pada barisan kosong legowo.

Mampu

menerapkan 2-1 standar

pemupukan

3

Pemupukan dilakukan dengan cara tabur ke kiri dan ke kanan agar lebih efisien.

Melakukan standar pemupukan

dengan tidak benar

2

Tidak melakukan standar

pemupukan


(44)

Indikator Standar Kriteria Skor Penyiangan 1. Penyiangan dilakukan

menggunakan landak/osrok.

Mampu menerapkan 3 standar penyiangan

5 2.Melakukan

penyiangan dengan cara satu arah.

Mampu menerapkan 2 standar penyiangan

4 3.Tidak melakukan

penyiangan pada jarak tanam dalam barisan 10-15 cm.

Mampu menerapkan 1 standar penyiangan

3

Melakukan standar penyiangan dengan tidak benar

2 Tidak melakukan standar penyiangan

1 Pengendalian

hama dan

penyakit

1. Melakukan

pengendalian hama terpadu (PHT) dengan cara monitoring populasi hama dan kerusakan tanaman sehingga penggunaan teknologi

pengendalian dapat lebih tepat.

Mampu menerapkan 3 standar pengendalian hama dan penyakit

5

2.Melakukan penyemprotan

insektisida dalam pengendalian OPT pada seluruh bagian tanaman.

Mampu menerapkan 2 standar pengendalian hama dan penyakit

4

Penyemprotan

diarahkan ke kiri dan ke kanan agar lebih efisien.

Mampu menerapkan 1 standar pengendalian hama dan penyakit

3

Melakukan standar pengendalian hama dan penyakit dengan tidak benar

2

Tidak melakukan standar pengendalian hama dan penyakit


(45)

F. Teknik Analisis Data

Penelitian deskriptif termasuk salah satu jenis penelitian kategori penelitian kuantitatif. Layaknya suatu penelitian kuantitatif, kegiatan studi deskriptif meliputi pengumpulan data, analisis data, interpretasi data, serta diakhiri dengan kesimpulan yang didasarkan penganalisisan data tersebut (Wiratha, 2006).

1. Untuk mengetahui tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo petani anggota Gapoktan Sri Rejeki dianalisis menggunakan analisis skor. Penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo melalui beberapan tahapan yaitu (a) penyiapan lahan; (b) pembuatan baris tanam; (c) penanaman; (d) pemupukan; (e) penyiangan; (f) pengendalian hama dan penyakit. Analisis skor tiap tahapan penerapan yaitu dengan cara :

Interval = Skor Makasimal ∑ Kategori– Skor Minimal = 5 - 1

4 = 0,8

Tabel 4. Pencapaian Skor Pada Tiap Tahapan Penerapan

Kriteria Pencapaian Skor

Sangat rendah 1,00 – 1,80

Rendah 1,81 – 2,60

Sedang 2,61 – 3,40

Tinggi 3,41 – 4,20

Sangat tinggi 4,21 – 5,00


(46)

Analisi skor pada tingkat penerepan secara keseluruhan yaitu dengan cara seperti berikuk :

Interval = Skor Makasimal ∑ Kategori– Skor Minimal = 30 - 6

5 = 4,8

Tabel 5. Kategori Tingkat Penerapan Teknologi Jajar Legowo Kategori Penerapan Teknologi Jajar Legowo Pencapaian Skor

Sangat Rendah 6,00 – 10,79

Rendah 10,80 – 15,59

Sedang 15,60 – 20,39

Tinggi 20,40 – 25,19

Sangat Tinggi 25,20 – 30,00

Kisaran Skor 6,00 – 30,00

2. Untuk mengetahui mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo oleh petani anggota Gapoktan Sri Rejeki, dengan menggunakan rumus korelasi Rank Spearman (rs). Rumus untuk menghitung koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut :

Keterangan :

rs = koefisien korelasi Rank Spearman N = banyaknya subyek


(47)

36

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Data monografi Desa Gandrungmanis (Tahun 2016, Semester 1) menunjukkan keadaan alam, keadaan penduduk, dan keadaan sarana perekonomian di Desa Gandrungmanis adalah sebagai berikut :

A. Keadaan Alam

1. Letak Geografis

Desa Gandrungmanis merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada di Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap yang terdiri dari, Desa Bulusari, Desa Cinangsi, Desa Cisumur, Desa Gandrungmangu, Desa Gintungreja, Desa Karanganyar, Desa Karanggintung, Desa Kertajaya, Desa Layansari, Desa Muktisari, Desa Rungkang, Desa Sidaurip, dan Desa Wringinharjo.

Jarak Desa Gandrungmanis dari Pusat Pemerintahan Kecamatan adalah 0,5 Km , jarak dari Pusat Pemerintahan Kota/Ibukota Kabupaten adalah 53 Km, dana jarak dari Ibukota Provinsi adalah 400 Km. Adapun batas-batas wilayah Desa Gandrungmanis sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Gandrungmangu Sebelah Selatan : Desa Layansari

Sebela Barat : Desa Bulusari Sebelah Timur : Desa Bantarsari


(48)

Luas wilayah Desa Gandrungmanis adalah 576,769 Ha. Jumlah penduduk yang ada di Desa Gandrungmanis sebanyak 8.316 jiwa dengan 2.097 kepala keluarga.

2. Keadaan Topografi

Desa Gandrungmanis memiliki keadaan topografi dataran rendah dengan ketinggian 10-15 m diatas permukaan air laut. Keadaan topografi tersebut dimanfaatkan pada sektor pertanian, yaitu berupa sawah, ladang dan perkebunan. Lahan yang digunakan untuk pemukiman dan sektor lain jauh lebih rendah. Maka dari itu lahan yang digunakan untuk sektor pertanian cukup besar.

3. Jenis Tanah

Jenis tanah yang ada di Desa Gandrungmanis termasuk ke dalam jenis tanah alluvial. Jenis tanah alluvial adalah jenis tanah yang terbentuk karena endapan yang biasa terjadi di daerah dataran rendah. Daerah endapan terjadi di sungai, danau, yang berada di dataran rendah, ataupu cekungan yang memungkinkan terjadinya endapan. Tanah jenis alluvial memiliki manfaat untuk lahan pemukiman dan lahan pertanian.

B. Keadaan Penduduk

1. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Penduduk Desa Gandrungmanis berjumlah 8.316 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.097. Penduduk Desa Gandrungmanis terdiri dari 4.058 penduduk laki-laki dan 4.258 penduduk perempuan. Adapun jumlah


(49)

penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Gandrungmanis dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Gandrungmanis Tahun 2016

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

Laki-laki 4.058 48,88

Perempuan 4.258 51,12

Jumlah 8.316 100,00

Sumber : Monografi Desa Gandrungmanis Tahun 2016

Dari tabel 6 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Persentase penduduk perempuan 51,12% dan penduduk laki-laki 48,88%. Dengan melihat keadaan penduduk menurut jenis kelamin, Desa Gandrungmanis mempunyai perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan cukup berimbang.

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat digunakan untuk mengetahui sex ratio disuatu wilayah, yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dengan rumus:

Sex Ratio = Jumlah Penduduk Laki-laki x 100 Jumlah Penduduk Perempuan

= 4.058 x 100 4.258

= 95,3

Hal ini berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 94 orang penduduk laki-laki. Dalam hal ini maka jumlah perempuan memang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perbandingan tersebut akan berdampak pada ketersediaan tenaga kerja laki-laki terutama tenaga kerja di bidang pertanian. Pembagian pekerjaan dalam bidang pertanian lebih banyak dikerjakan oleh laki-laki karena


(50)

dianggap memiliki tenaga lebih besar. Peran perempuan juga penting karena perempuan identik dengan ketelitian yang lebih baik dibanding laki-laki.

Apabila angka sex ratio jauh di bawah 100, dapat menimbulkan berbagai masalah, karena ini berarti di wilayah tersebut kekurangan penduduk laki-laki akibatnya antara lain kekurangan tenaga kerja laki-laki untuk melaksanakan pembangunan, atau masalah lain yang berhubungan dengan perkawinan. Hal ini dapat terjadi apabila suatu daerah banyak penduduk laki-laki meninggalkan daerah atau kematian banyak terjadi pada penduduk laki-laki. (Mantra dalam Dewandini, 2010).

2. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seseorang. Tingkat pendidikan dapat digunakan untuk melihat kemampuan seseorang, misalnya saja dalam menyerap berbagai pengetahuan. Penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi merupakan sumberdaya yang potensial, dan akan lebih terbuka dalam menerima hal-hal baru. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir dan dapat mengarahkan seseorang dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagi diri sendiri, masyarakat dan lingkungan. Pada tabel 6 menunjukan bahwa penduduk Desa Gandrungmanis sebagian besar berada pada tingkat pendidikan SMA / Sederajat (30,26%). Jumlah penduduk Desa Gandrungmangu yang mengenyam pendidikan tingkat atas atau lebih dari program pemerintah wajib belajar sembilan tahun menurut tabel 7 dapat dikatakan cukup tinggi. Jumlah penduduk Desa Gandrungmanis pada tingkat


(51)

pendidikan SMP / Sederajat yang sesuai anjuran pemerintah wajib belajar sembilan tahun yaitu 24,19%, terbesar kedua setelah pada tingkat pendidikan SMA / Sederajat. Keadaan penduduk menurut tingat pendidikan di Desa Gadrungmanis dapat dilihat dari tabel 6 berikut:

Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Gandrungmanis Tahun 2016

No Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

Orang (Jiwa) Persentase (%)

1 Belum Sekolah 1.251 15,61

2 SD /Sederajat 1.701 21,22

3 SMP / Sederajat 1.939 24,19

4 SMA / Sederajat 2.425 30,26

5 Akademi / D1-D3 384 4,79

6 Perguruan Tinggi / Sedrajat 315 3,93

Jumlah 8.015 100,00

Sumber : Data Monografi Desa Gandrungmanis Tahun 2016

Dengan hal tersebut maka Penduduk Desa Gandrungmanis memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi cara berfikir masyarakat dalam menghadapi suatu masalah. Tingkat pendidikan yang tinggi juga akan mempengaruhi tingkat keterbukaan dan penerimaan hal-hal baru.

3. Keadaan Penduduk Menurut Umur

Jumlah penduduk di Desa Gandrungmanis dapat dikelompokkan menurut kelompok umur. Jumlah penduduk di Desa Gandrungmanis menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 8:


(52)

Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Gandrungmanis Tahun 2016

No Umur (Tahun)

Jumlah Penduduk

Orang (Jiwa) Persentase (%)

1 0 – 14 2.374 28,46

2 15 – 64 5.754 68,98

3 ≥ 65 213 2,56

Jumlah 8.341 100,00

Sumber : Data Monografi Desa Gandrungmanis Tahun 2016

Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dapat digunakan untuk menghitung Angka Beban Tanggungan (ABT). Berdasar Tabel 8 dapat dilihat besarnya jumlah penduduk di Desa Gandrungmanis tergolong dalam usia produktif (15-64 tahun) adalah sebesar 5.754 (68,98 5) dari keseluruhan jumlah penduduk. Penduduk yang tergolong dalam usia non produktif (0-14 tahun dan ≥ 65 tahun) adalah sebesar 2.374 jiwa (28,46%) dan 213 jiwa (2,56%). Berdasar data jumlah penduduk usia produktif dan non produktif dapat dihitung ABTnya yaitu perbandingan antara jumlah penduduk usia non produktif dengan jumlah penduduk usia produktif, dengan rumus sebagai berikut:

ABT = Jumlah Penduduk Usia Non Produktif x 100 Jumlah Penduduk Usia Produktif

= 2.374+213 x 100 5.754

= 44,96

Dari perhitungan diatas diperoleh nilai ABT sebesar 44,96 artinya setiap 100 orang penduduk Desa Gandrungmanis berusia produktif menanggung 45 penduduk yang tidak produktif. ABT dikatakan tinggi apabila ABT lebih atau samadengan 50, sedangkan ABT dikatakan rendah apabila kurang dari 50.


(53)

Menurut Mantra dalam Dewandini (2010), tingginya ABT merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi, karena sebagian dari pendapatan yang diperoleh oleh golongan produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum produktif atau sudah tidak produktif.

4. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Desa Gandrungmanis bermacam-macam atau bersifat heterogen. Penduduk Desa Gandrungmanis bekerja di berbagai sektor untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Desa Gandrungmanis dapat dilihat pada tabel 9. Sumber : Data Monografi Desa Gandrungmanis Tahun 2016

Bedasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa penduduk di Desa Gandrungmanis memiliki beragam mata pencaharian. Mata pencaharian paling banyak adalah sebagai petani yaitu sebanyak 31,15% (1.169 orang). Mata pencaharian terbesar kedua penduduk Desa Gandrngmanis adalah wirasawasta/pedagang yaitu sebanyak 22,57% (847 orang).

Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Gandrungmanis Tahun 2016

No Mata Pencaharian Jumlah Penduduk

Orang (Jiwa) Persentase (%)

1 Petani 1.169 31,15

2 Buruh Tani 540 14,39

3 Tukang 471 12,55

4 PNS, TNI, POLRI 111 2,96

5 Buruh / Swasta 547 14,57

6 Wiraswasta / Pedagang 847 22,57

7 Pengrajin 26 0,69

8 Pekerja Seni 5 0,13

9 Pensiunan 37 0,99


(54)

Salah satu hal yang mempengaruhi tingginya angka penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani yaitu luasnya lahan pertanian yang ada di Desa Gandrungmanis. Hal ini berarti mata pencaharian dibidang pertanian masih diminati untuk memenuhi kebutuhan.

5. Keadaan Sarana Perekonomian

Keadaan perekonomian penduduk dapat dilihat dari ketersediaan prasarana perekonomian di suatu wilayah. Prasarana perekonomian yang memadai dapat menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Hal ini dapat memudahkan masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Adapun keadaan prasarana perekonomian di Desa Gandrungmanis dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Sarana Perekonomian di Desa Gandrungmanis

Lembaga Ekonomi Jumlah

Industri Kios Pasar

Swalayan / Supermarket Koperasi Simpan Pinjam Usaha Ekonomi Desa

5 23 1 7 1 1 Sumber : Data Monografi Desa Gandrungmanis Tahun 2016

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sarana perekonomian yang terdapat di Desa Gandrungmanis cukup lengkap. Terdapat koperasi, pasar, toko, warung kelontong, industri, dan swalayan. Sarana perekonomian yang terbanyak adalah kios yaitu sebanyak 23. Adanya kios ini memudahkan masyarakat untuk melakukan kegiatan memenuhi kebutuhan dan juga sebagai sarana pemasaran. Selanjutnya sarana perekonomian yang lain terbanyak adalah swalayan/supermarket sebanyak 7 buah.


(55)

6. Profil Gapoktan “Sri Rejeki”

Gapoktan “Sri Rejeki” terletak di Desa Gandrungmanis Kecamatan

Gandrungmangu Kabupaten Cilacap. Gapoktan ini berdiri tanggal 17 Maret 2004. Prestasi yang dimiliki oleh Gapoktan ini yakni peringkat ke-2 Gapoktan terbaik se-Kabupaten Cilacap, namun bila dilihat secara administrasinya Gapoktan Sri Rejeki paling baik.

a. Visi dan Misi

Visi : Mewujudkan peningkatan produksi pertanian dengan budidaya yang ramah lingkungan menuju kemakmuran

Pengertianya adalah kita berbudidaya pertanian khususnya padi dengan menekan biaya produksi yang kecil/memanfaatkan alam ditunjang dengan sumber daya manusia yang handal sehingga menghasilkan produk yang banyak, sehat maka terciptalah kemakmuran.

Misi :

1. Menyelenggarakan gapoktan yang efisien, efektif, bersih dan demokratis dengan mengutamakan pelayanan kepada petani.

2. Memberdayakan petani agar dapat meningkatkan kemakmuran.

3. Menjembatani kepentingan masyarakat petani Desa Gandrungmanis dengan kepentingan pemerintah.

4. Menyediakan akses informasi dan teknologi pertanian kepada petani dan masyarakat.


(56)

b. Sasaran

Sasaran Gapoktan antara lain :

1. Para petani yang bergabung dalam kelompok tani yang ada di Desa Gandrungmanis dan tergabung dalam Gapoktan Sri Rejeki.

2. Meningkatkan kemampuan kelompok tani, memfasilitasi dan mengelola bantuan modal usaha untuk petani.

3. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup para anggota kelompok tani.

4. Berkembangnya usaha pelaku agribisnis yang mempunyai usaha harian, mingguan, bulanan maupun musiman.

c. Kegiatan Utama Gapoktan Sri Rejeki 1. Usaha tani tanaman pangan.

2. Penyediaan sarana produksi

3. Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Agribisnis.

d. Struktur pengurus Gapoktan “Sri Rejeki”

Sejak dibentuk pada tahun 2004, kepengurusan Gapoktan Sr Rejeki baru mengalami pergantia kepengurusan 1 kali. Susunan kepengurusan Gapoktan Sri Rejeki sebagai berikut :

1. Pelindung/penasehat : 1. Anwar 2. H. Muslih

2. Ketua : Faozi


(57)

4. Bendahara : Sumitro 5. Unit Usaha : Lin Sururoh

- Unit Usaha Tani : Hasan Basr - Unit Keuangan Mikro : Masduku Baehaki

Fungsi Masing-Masing Unit Gapoktan Sri Rejeki 1. Unit usaha tani

Agar kegiatan usahatani petani dapat berlangsung dengan baik, Gapoktan diarahkan agar mempunyai kemampuan sebagai berikut:

a. Mengambil keputusan dalam menentukan pengembangan produksi usahatani yang menguntungkan berdasarkan informasi yang tersedia dalam bidang teknologi, sosial, permodalan, sarana produksi dan sumber daya alam lainnya. b. Menyusun rencana definitif Gapoktan dan melaksanakan kegiatan atas dasar

pertimbangan efisiensi.

c. Memfasilitasi penerapan teknologi (bahan, alat, cara) usahatani kelompoktani sesuai dengan rencana kegiatan Gapoktan.

d. Mengevaluasi kegiatan bersama dan rencana kebutuhan Gapoktan, sebagai bahan rencana kegiataan yang akan datang.

e. Meningkatkan kesinambungan produktivitas dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

f. Mengelola administrasi secara baik.

g. Merumuskan kesepakatan bersama, baik dalam memecahkan masalah maupun untuk melakukan berbagai kegiatan Gapoktan.


(58)

h. Merencanakan dan melaksanakan pertemuan-pertemuan berkala baik di dalam Gapoktan, antar Gapoktan atau dengan instansi/ lembaga terkait.

2. Unit usaha keuangan mikro

Agar kegiatan usaha keuangan mikro dapat berlangsung dengan baik, Gapoktan diarahkan agar mempunyai kemampuan sebagai berikut:

a. Menumbuhkembangkan kreativitas dan prakarsa anggota Gapoktan untuk memanfaatkan setiap informasi dan akses permodalan yang tersedia.

b. Meningkatkan kemampuan anggota Gapoktan untuk dapat mengelola keuangan mikro secara komersial.

c. Mengembangkan kemampuan untuk menggali sumber-sumber usaha yang mampu meningkatkan permodalan.

d. Mendorong dan mengadvokasi anggota agar mau dan mampu melaksanakan kegiatan simpan-pinjam guna memfasilitasi pengembangan modal usaha.


(1)

Tabel 21. Penerapan pada Pengendalian Hama dan Penyakit

No Kategori Frekuensi Persentase

1 Sangat rendah 0 0%

2 Rendah 0 0%

3 Sedang 16 32%

4 Tinggi 7 14%

5 Sangat tinggi 27 54%

Jumlah 50 100%

Dari tabel 21 dapat dilihat bahwa sebagian besar petani responden sebanyak 54% (27 responden) dalam penerapan pengendalian hama dan penyakit pada sistem tanam jajar legowo masuk daam kategori sangat tinggi. Sedangkan 32% (16 responden) masuk dalam kategori sedang, dan 14% (7 responden) masuk dalam kategori tinggi. Dalam hal ini masih ada petani responden yang masih dalam kategori sedang, diketahui dari mereka masih ada yang kurang sadar untuk mencegah adanya hama dan penyakit daripada mengobati. Petani responden akan melakukan penyemprotan jika baru ada hama dan penyakit yang menyerang. Jika tidak ada yang mengganggu maka tidak akan dilakukan penyemprotan, hal tersebut juga bertujuan untuk menekan biaya usahatani. Namun tindakan yang benar harusnya tetap dilakukan penyemprotan walaupun tidak ada hama dan penyakit yang menyerang, sehingga dapat mencegah datangnya hama dan penyakit. Secara keseluruhan dalam penerapan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani responden masih masuk dalam kategori sangat tinggi.

3. Tingkat Adopsi Teknologi Sistem Tanam Jajar Legowo

Tabel 13. Tingkat Penerapan Sistem Tanam Jajar Legowo secara Keseluruhan

No Tahapan Rataan Skor yang didapat Pencapaian

1 Penyiapan Lahan 3,70 67.50%

2 Pembuatan Baris Tanam 5,00 100.00%

3 Penanaman 3,18 54.50%

4 Pemupukan 4,54 88.50%

5 Penyiangan 4,62 90.50%

6 Pengendalian hama dan penyakit 4,22 80.50%

Penerapan Secara Keseluruhan 25.26 80.25%

Dari tabel 13 dapat terlihat bahwa tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo secara keseluruhan mencapapai skor 25.26 (80.25%) yang artinya telah masuk dalam kategori sangat tinggi berdasarkan perhitungan interval dari 6 kategori tahapan penerapan. Pada semua tahapan memiliki nilai maksimal skor 5 dan skor minimal 1.


(2)

Pada tahapan penyiapan lahan skor rata-rata yang didapat yaitu sebesar 3,70 dari total skor 5. Maka pencapaian dapat diketahui dengan menghitung skor yang didapat yaitu 3,70 dibagi skor minimal 1 dibagi dengan skor maksimal 5 dikurangi dengan skor minimal 1 dikalikan 100% maka didapat pencapaian skor 67,50% pada tahapan penyiapan lahan. Dengan pencapaian tersebut maka pada tahapan penyiapan lahan bisa dikatakan tingkat penerapan tergolong dalam kategori tinggi berdasarkan interval persentase 0-20% kategori sangat rendah, 21-40% kategori rendah, 41-60% kategori sedang, 61-80% kategoro tinggi, dan 81-199% kategori sangat tinggi.

Kemudian pada tahapan pembuatan baris tanam skor yang didapat 5 atau skor pada semua responden memiliki skor sempurna, bisa dikatakan pencapaian yang didapat pada tahapan ini 100%. Dengan pencapaian tersebut maka pada tahapan pembuatan baris tanam bisa dikatakan tingkat penerapannya tergolong dalam kategori sangat tinggi.

Pada tahapan penanaman skor rata-rata yang didapat yaitu 3,18, dengan cara yang sama maka dapat diketahui pencapaian yaitu 54,50 %. Dengan pencapaian tersebut maka pada tahapan penanaman bisa dikatakan tingkat penerapannya tergolong dalam kategori sedang berdasarkan interval persentase.

Selanjutnya pada tahapan pemupukan skor rata-rata yang didapat yaitu 4,54, maka dapat diketahui pencapainnya sebesar 88,50%. Dengan pencapaian tersebut maka pada tahapan pemupukan bisa dikatakan tingkat penerapannya tergolong dalam kategori sangat tinggi berdasarkan interval persentase.

Pada tahapan penyiangan skor rata-rata yang didapat yaitu 4,62, dengan cara yang sama juga maka dapat diketahui angka pencapaiannya yaitu 90,50%. Dengan pencapaian tersebut maka pada tahapan penyiangan bisa dikatakan tingkat penerapannya tergolong dalam kategori sangat tinggi berdasarkan interval persentase.

Pada tahapan terakhir yaitu tahapan pengendalian hama dan penyakit skor rata-rata yang didapat yaitu 4,22, dengan cara perhitungan yang sama maka dapat dietahui pencapaiannya yaitu 80,50%. Dengan pencapaian tersebut maka dapat dikatakan tingkat penerapan pada tahapan pengendalian hama dan penyakit tergolong tinggi berdasarkan interval persentase.


(3)

Tingkat penerapan secara keseluruhan dapat diketahui dengan cara yang sama, atau dengan cara melihat interval pencapaian total skor yang didapat yaitu 6-10,79 kategori sangat rendah, 10,80-15,59 kategori rendah, 15,60-20,39 kategori sedang, 20,40-25,19 kategori tinggi, dan 25,20-30 kategori sangat tinggi. Total skor secara keseluruhan yang didapat yaitu 25,26, maka dengan melihat kategori pada interval pencapaian skor maka bisa dikatakan tingkat penerapan teknologi sisten tanam jajar legowo secara keseluruhan tergolong sangat tinggi.

4. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan Teknologi Sitem Tanam Jajar Legowo

Tabel . Analisis Korelasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan

No Korelasi Tingkat Penerapan

Koefisien Korelasi Sigifikansi 1 Hubungan Umur dengan tingkat penerapan 0,287 0,043 2 Hubungan Pendidikan dengan tingkat penerapan 0,149 0,301 3 Hubungan Pengalaman usahatani dengan tingkat

penerapan

0,304 0,032

4 Hubungan Luas lahan dengan tingkat penerapan 0,048 0,743 Nilai korelasi rank Spearman berada diantara -1 s/d 1. Bila nilai = 0, berarti tidak ada korelasi atau tidak ada hubungannya antara variabel independen dan dependen. Nilai = +1 berarti terdapat hubungan yang positif antara variabel independen dan dependen. Nilai = -1 berarti terdapat hubungan yang negatif antara variabel independen dan dependen. Berikut makna nilai korelasi rank spearman :

1. Hubungan Umur dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sistem Tanam Padi Jajar Legowo

Nilai koefisiean korelasi (rs) hubungan umur petani dengan tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo yaitu sebesar 0,287 dengan arah hubungan positif. Sedangkan nilai signifikansi 0,043 yang berarti < 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan tingkat penerapan sistem tanam jajar legowo.

Hubungan yang signifikan ini terjadi karena tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo oleh petani anggota Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis dipengaruhi oleh banyaknya pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dilihat dari banyaknya umur seseorang. Pengalaman yang dimiliki oleh petani tua dalam tentunya lebih banyak dibandingkan dengan petani yang berumur muda. Semakin tinggi umur petani maka


(4)

keinginan untuk menerapkan suatu inovasi semakin tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo dipengaruhi oleh umur petani.

2. Hubungan Pendidikan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sistem Tanam Padi Jajar Legowo

Nilai koefisien korelasi (rs) hubungan pendidikan dengan tingkat penerapan teknologi sitem tanam padi jajar legowo yaitu sebesar 0,149 dengan arah hubungan positif. Namun nilai signifikansi 0,31 yang berarti > 0,05, hal ini berarti hubungan pendidikan dengan tingkan penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo tidak signifikan.

Adanya hubngan yang tidak signifikan antara pendidikan dengan tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo menunjukan bahwa pendidikan tidak mempengaruhi tingkat penerapan. Apapun tingkat pendidikan petani, baik yang tingkat pendidikannya rendah maupun yang tingkat pendidikannya tinggi pada Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis ini mempunyai kesempatan yang sama dala menerapkan teknologi jajar legowo.

3. Hubungan Pengalaman Usahatani dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sistem Tanam Padi Jajar Legowo

Nilai koefisiean korelasi (rs) hubungan pengalaman usahatani dengan tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo yaitu sebesar 0,304 dengan arah hubungan positif. Sedangkan nilai signifikansi 0,032 yang berarti < 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman usahatani dengan tingkat penerapan sistem tanam jajar legowo.

Hubungan yang signifikan ini terjadi karena tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo oleh petani anggota Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis dipengaruhi oleh banyaknya pengalaman-pengalaman petani dalam melakukan usahatani tersebut. Semakin lama pengalaman petani maka keinginan untuk menerapkan suatu inovasi semakin tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat penerapan teknologi sistem tanam jajar legowo dipengaruhi oleh pengalaman usahatani.


(5)

4. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sistem Tanam Padi Jajar Legowo

Nilai koefisien korelasi (rs) hubungan luas lahan usahatni dengan tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo yaitu sebesar 0,048 dengan arah hubungan positif. Hasil signifikansi 0,743 yang berarti > 0,05, hal ni berarti hubungan antara luas lahan dengan tingkat penerapan teknologi sisten tanam padi jajar legowo tdiak signifikan.

Hubungan yang tidak signifikan antara luas lahan dengan tingkat penerapan menunjukan bahwa luas usahatani tidak mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi sistem tanam padi jajar legowo. Baik petani yang memiliki luas usahatani yang luas maupun petani yang memiliki luas usahatani yang sempit di Gapoktan Sri Rejeki di Desa Gandrungmanis mempunyai kecepatan yang sama dalam menerapkan menerapkan inovasi jajar legowo.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo oleh petani anggota Gapoktan sri Rejeki di Desa Gandrungmanis dengan skor keseluruhan 25,26 termasuk dalam kategori sangat tinggi.

2. Faktor-faktor yang berhubungan nyata dengan tingkat penerapan teknologi sistem tanam padi jajar legowo yaitu umur dan pengalaman usahatani. Faktor-faktor yang tidak berhubungan nyata yaitu tingkat pendidikan dan luas usahatani.

B. Saran

Dalam upaya penerapan teknologi secara optimal penyuluh pertanian harus mampu membimbing petani dalam penerapan teknologi jajar legowo yang tepat, utamanya dalam hal pengolahan tanah dan penanaman. Untuk itu perlunya lembaga penyedia informasi mendukung dengan penyediaan informasi paket jajar legowo secara lengkap, agar petani memperoleh informasi yang jelas sehingga mudah diaplikasikan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP). 2013. Sistem Jajar Legowo Dapat Meningkatkan Produktifitas Padi. Balai Besar Pelatihan Pertanian. Ketindan. (Online). [diakses 27 Februari 2016].

Darmawan, DR. Deni, S.Pd., M.Si. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Dewandini, Sri Kuning Retno. 2010. Motivasi Petani Dalam Budidaya Tanaman Mendong (Fimbristylis Globulosa). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Fachrista, Irma Audiah & Sarwendah, Mamik. 2014. Peresepsi dan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Inovasi Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Kepulauan Bangka Belitung.

Fitriadi, Farid. 2013. Tanam Padi dengan Sistem Jajar Legowo. (Online). http://www.informasipertanian.com/2013/07/tanam-padi-dengan-sistem-jajar-legowo. [diakses 27 Februari 2016].

Gijayana Aprilia Kartika Putri & Sulistyaningsih. 2012. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Menerapkan Usaha Tani Padi Organik. Jurnal. Universitas Abdurachman Saleh Situbondo. (Online). [diakses 27 Februari 2016].

Ishak, Andi & Afrizon. 2011. Peresepsi dan Tingkat Adopsi Petani Padi Terhadap Penerapan System Of Rice Intenisfication. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bengkulu.

Lalla, Hajrah. 2012. Adopsi Petani Padi Sawah Terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Mardikanto, Totok. 2008. Sistem Penyuluhan Pertanian. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Surakarta.

Ratna Komala Dewi & Sudiarti. 2002. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Sistem Penjualan Sayuran. Jurnal. Universitas Udayana. (Online). [diakses 27 Februari 2016].

Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Suharno. 2011. Sistem Tanam Jajar Legowo (Tajarwo) Salah Satu Upaya peningkatan Produktivitas Padi. Karya Ilmiah. STTP Yogyakarta. (Online). [diakses 3 Maret 2016].

Suryana, Achmad. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta. BPFE-Yogyakarta.

Suryana, Achmad. 2008. Menelisisk Ketahanan Pangan, Kebijakan Pangan, dan Swasembada Beras. Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor.

Widi, Lisana. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani dalam Penerapan Pertanian Padi Organik di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. (Online) [diakses 27 Februari 2016].

Wirartha, I Made. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. CV Andi Offset. Yogyakarta.