9 Konsentrasi inokulum yang mencukupi merupakan salah satu syarat agar proses degradasi
dapat berlangsung dengan optimum. Kesesuaian antara rasio inokulum dan komposisi substrat juga dapat mempengaruhi proses degradasi limbah ligniselulosa Mishra, 2001. Kurang baiknya
pertumbuhan dan degradasi limbah pada konsentrasi inokulum 15 dan 20 diduga karena konsentrasi tersebut terlalu banyak sehingga medium kurang memadai untuk pertumbuhan bakteri
tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kompetisi antar bakteri, sehingga pertumbuhan dan proses degradasi menjadi rendah. Persaingan dalam penggunaan substrat mengakibatkan pertumbuhan kultur
menjadi kurang baik karena pertambahan jumlah sel atau biomassa menjadi rendah Astuti, 2003. Optimasi lanjutan dari penelitian tersebut, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4 penurunan
COD pada konsentrasi inokulum 20 dan 30 tidak jauh berbeda dengan konsentrasi inokulum 10. Menurut zam 2010, hal itu karena terjadinya kompetisi antar populasi pada perlakuan sehingga
bakteri-bakteri beradaptasi menggunakan substrat selain karbon, seperti asam lemak dan senyawa lainnya yang terdapat dalam limbah tersebut. Penggunaan senyawa-senyawa lain mengakibatkan
kenaikan COD yang cukup tinggi, sedangkan degradasi biomassanya menjadi rendah. Jika terdapat lebih dari satu pengguna substrat dalam satu kultur, maka kemungkinan
mikroorganisme untuk termutasi akan lebih besar. Akibat dari mutasi ini, mikroorganisme akan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan substrat lainnya untuk pertumbuhan Black, 1999.
Konsentarsi inokulum yang ditambahkan juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan untuk proses pretreatment. Data pada tabel 3, laju pertumbuhan untuk konsentrasi inokulum 10 sebesar
0.098 dengan perhitungan kinetik laju pertumbuhan mikroorganisme maka diperoleh waktu generasi yang dibutuhkan adalah 10 jam. Dengan kata lain, pada waktu tersebut mikroorganisme akan tumbuh
lebih banyak lagi dengan syarat substrat pada media masih mencukupi. Tabel 4. Penurunan COD Hasil Optimasi Inokulum
Konsentrasi Inokulum COD awal g100ml
COD akhir g100ml 10 91.437 34.975
20 91.437 35.960 30 91.437 36.945
Sumber : Zam, 2010
2.3 Penguraian Senyawa Ligniselulosa
Lignin merupakan bagian terkeras dari ligniselulosa karena sifatnya sebagai pelindung memiliki konsentrasi yang tinggi pada bagian lamela tengah, artinya senyawa ligniselulosa tidak akan
terurai sebelum merusak ikatan ligninnya. Ikatan antar molekul lignin yang utama adalah Arylgycerol- B-aryl ether, termasuk senyawa eter yang memiliki gugus fungsi mengandung oksigen pada posisi
benziliknya. Gugus tersebut sensitif terhadap media asam sehingga lignin akan mengalami kondensasi dan mengendap. Akan tetapi sebagain lignin akan larut pada tahap penguraian selanjutnya Munir,
2005. Bakteri yang dapat menghasilkan asam pada penelitian ini adalah Lactobacillus sp sebagai penghasil asam laktat. Asam laktat merupakan asam karboksilat yang dapat ditemukan hampir pada
seluruh jenis organisme sebagai agen utama dalam degradasi ligniselulosa.
10 Pada saat tahap awal penguraian, enzim-enzim yang dikeluarkan oleh bakteri maupun khamir
seperti selulase terlalu besar untuk melewati pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil. Kalsium yang merupakan unsur penyusun pada lamela tengah dalam bentuk kalsium pektat, diikat
oleh asam sehingga merusak integritas dinding sel yang menyebabkan terbukanya pori untuk memberikan kesempatan pada enzim lignolitik bereaksi. Sedangkan enzim spesifik yang dapat
mengurai senyawa lignin diantaranya adalah lignin peroksidase LiP, mangan peroksidase MnP, dan lakase Munir, 2005.
Lignin peroksidase pertama kali ditemukan pada khamir Phanerochaete chrysosporium. Umumnya merupakan khamir basidiomiset dan dikelompokkan menjadi khamir busuk cokelat dan
busuk putih. Enzim yang dihasilkan dari organisme tersebut dimulai saat LiP mengkatalis senyawa aromatik fenolik, mengoksidasi senyawa amina, aromatik eter dan aromatik posiklik menjadi gula.
Mangan peroksidase MnP mengoksidasi senyawa fenolik menjadi radikal fenoksi oleh oksidasi MnII menjadi MnIII dengan H
2
O
2
sebagai oksidannya. Lakase mengoksidasi senyawa non-fenolik menjadi radikal fenoksil, diamin, dan senyawa inorganik Agustina, 2009. Proses pemecahan lignin
menghasilkan senyawa fenolik bukan monosakarida karena rantainya tersusun atas fenil-propana atau senyawa aromatik seperti pada gambar 8.
Gambar 8. Penguraian Lignin Oleh Enzim Lignin Peroksidase Penguraian senyawa selulosa dapat dilakukan dengan bantuan mikroorganisme yang dapat
mensekresikan kompleks enzim selulase. Enzim tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu endoglukanase, selobiohidrolase, dan
β-glukosidase. Endoglukanase memiliki afinitas yang tinggi dan bereaksi secara acak pada serat selulosa berkristalinitas rendah atau amorf sehingga substrat dapat
larut karena menurunnya viskositas. Selobiohidrolase merupakan istilah untuk enzim yang menghasilkan selobiosa. Enzim ini beraksi sebagai eksoenzim dan melepaskan selobiosa dari selulosa
kristal. Enzim ini mengurai selulosa dari polimer yang tidak tereduksi dan memiliki aksi yang terbatas terhadap selulosa karena fokus pada pemecahan selulosa berbentuk kristal. Sedangkan
β-glukosidase bereakasi terhadap berbagai senyawa berikatan
β-1,4-glikosidik menjadi glukosa yang merupakan sumber karbon untuk proses pemanfaatan selanjutnya Fikrinda, 2000.
Mikroba selulolitik memecah selulosa secara intraselular saat terjadi kontak antara sel dengan permukaan selulosa sebagai substrat untuk melakukan metabolismenya. Aktivitas enzim
selulase akan lebih tinggi bila medium pertumbuhannya mengandung selulosa dibandingkan glukosa sebagai sumber karbon. Derajat polimerisasi selulosa berkisar 15.000- 27.000. Hal itu menandakan
bahwa glukosa yang terkandung didalamnya juga berada pada kisaran yang sama, artinya setiap selulosa yang terurai akan menghasilkan hingga 27.000 glukosa. Mekanisme penguraian selulosa
secara intraselular pada bakteri selulolitik dimulai dari daerah amorf oleh endoglukanase secara acak sehingga membentuk rantai yang terbuka bagi aktivitas selobiohidrolase. Aktivitasnya mampu
11 membebaskan unit selobiosa dari ujung rantai selulosa. Endoglukanase selanjutnya memotong lapisan
kedua dan seterusnya dari serat selulosa yang diikuti aktivitas selobiohidrolase. Kemudian, selobiosa yang terbentuk diurai kembali oleh enzim
β-glukosidase membentuk glukosa melalui pemutusan ikatan
β-1,4 glukosida. Mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim tersebut diantaranya dari genus Acetobacter, Clostridium, Psedomonas, dan Vibrio Fikrinda, 2000.
Sama halnya dengan selulosa, senyawa hemiselulosa dapat dipecah menjadi monomer xilosa dengan bantuan enzim
β-glukosidase karena hemiselulosa memiliki ikatan yang sama dengan selulosa, yaitu
β-1,4-glikosidik di setiap molekulnya. Xilan merupakan polimer dari xilosa atau gula pentosa C
5
yang memiliki rantai 150-200 unit. Xilan lebih cepat diurai oleh mikroba dibandingkan selulosa karena ikatanya yang cenderung lemah. Ikatan tersebut dapat diputus dengan bantuan enzim xilanase
hasil metabolisme khamir seperti Aspergilus sp dan bakteri dari golongan Actinomycetes seperti Streptomyces sp. Kedua mikroorganisme tersebut mampu menghasilkan enzim didalam tubuh dari
substrat berupa hemiselulosa yang kontak pada permukaan selnya. Xilanase diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dicerna, terdiri atas
β-xyloxidase, eksoxilanase, dan endoxilanase. Enzim β- xyloxidase, yaitu xilanase yang mampu mengurai xilo-oligosakarida rantai pendek menjadi xilosa.
Endoxilanase mampu memutus ikatan β-1,4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Ikatan yang
diputus, ditentukan berdasarkan panjang rantai subtrat, derajat percabangan, dan pola pemutusan dari enzim tersebut. Xilase umumnya protein kecil dengan berat molekul antara 15.000-30.000 dalton dan
stabil pada pH netral. Untuk Streptomyces sp tumbuh dengan baik pada pH 4.5-8, suhu 36
o
C sedangkan khamir karena termasuk khemoorganoheterotrof maka dapat tumbuh pada kondisi anaerob
dan memperoleh energi dengan mengoksidasi bahan organik. Aspergillus sp tumbuh pada suhu 24- 30
o
C dan pH 4.5-6 Saha, 2003.
2.4 Produk Utama Hasil Pretreatment