Peningkatan Biodegradabilitas Biomassa Onggok Dengan Pretreatment Inokulum Campuran.

(1)

vi  Increasing The Biodegradability Of Onggok Biomass With The Mixed Inoculum Pretreatment

Andi Dharmawan

Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO. Box 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone 08988515392, email : [email protected] ABSTRACT

Onggok is a byproduct of processing tapioca starch industry in the form of solid. Onggok has the characteristics and content of organic compounds are almost equal to one another so that it can represent of all the pretreatment of biomass as a model to determine the level of degradation lignocellulose compounds. Onggok has advantages when compared with other biomass, which is an abundant amount. Conversion of rice to become rice straw in indonesia by 50%, sugar production become bagasse at 40%, while the cassava into onggok by 70% (Retnani, 2010). Onggok are used as the main ingredient of snacks, asia flour, fodder, and flavoring food result modified cellulose that contained therein. Onggok containing lignocellulose compounds or polysaccharides with composition 25% lignin , 25% hemicellulose, and 45% cellulose (Sun and Cheng, 2005). However, the utilization of agricultural waste biomass such as the production of biogas as an alternative energy source is not optimal. Methane gas produced from biomass processing only 4.5 L / kg total solids whereas the theory that gas can be produced up to 180 L / kg total solids. Therefore, there should be the appropriate response to improving biodegradability. One way is to do a pretreatment process to break down the lignocellulose compounds into simple sugars are easy to soluble in water with the help of microorganisms. Some of the microorganisms used in this process is a

Saccharomyces sp, Lactobacillus sp, Actinomycetes, Pseudomonas sp, and Aspergillus sp and some elements such as manganese, calcium, magnesium, potassium, and nitrogen as a nutrient. In the mixed inoculums consentration of 5% increase to 2036 mg/l, the concentration of 7.5% increase 2236 mg/l, and the consentration of 10% up to 3167 mg/l. Increasing of COD’s soluble in this process is also followed by reduction in suspended solids. For 16 hours pretreatment onggok, total solids decreased from 15% to 6.12% for a consentration 5%, to 6.1 % for consentration of 7.5%, and 5.9% for consentrations of 10%. The decline of total solids was supported by the decreased of ligniselulosic compound. Comparision of lignin compounds of cellulose decreased from 27% to 11% and hemicellose compound ration of cellulose decreased from 25% to 13% at a consentration of 10% for 16 hours.


(2)

vii  Andi Dharmawan. F34080028. Peningkatan Biodegradabilitas Biomassa Onggok Dengan Pretreatment Inokulum Campuran. Dibimbing oleh M. Romli dan Purwoko. 2012

RINGKASAN

Onggok merupakan hasil samping pengolahan industri tepung tapioka yang berbentuk padat. Onggok memiliki karakteristik dan kandungan senyawa organik yang hampir sama satu dengan lainnya sehingga dapat mewakili semua biomassa sebagai model pretreatment untuk mengetahui tingkat degradasi senyawa ligniselulosanya. Onggok memiliki kelebihan dibandingkan dengan biomassa lainnya, yaitu jumlah yang melimpah. Konversi padi menjadi jerami pada produksi beras di Indonesia sebesar 50%, tebu menjadi bagase pada produksi gula 40%, sedangkan ubi kayu menjadi onggok sebesar 70% (Retnani, 2010). Onggok banyak dimanfaatkan sebagai bahan utama panganan, tepung asia, pakan ternak, dan bahan penyedap makanan hasil modifikasi selulosa yang terkandung didalamnya. Onggok mengandung senyawa ligniselulosa atau polisakarida dengan komposisi lignin 25%, hemiselulosa 25%, dan selulosa 45% (Sun dan Cheng, 2005). Akan tetapi, pemanfaatan biomassa limbah pertanian seperti pembuatan biogas sebagai sumber energi alternatif tidaklah optimal. Gas metan yang dihasilkan dari pengolahan biomassa ini hanya 4.5 L/kg total padatan padahal secara teori gas yang bisa diproduksi dapat mencapai 180 L/kg total padatan (Arati, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan yang tepat untuk meningkatkan biodegradabilitasnya. Salah satu cara adalah dengan melakukan pretreatment atau proses perlakuan pendahuluan untuk memecah senyawa ligniselulosa menjadi gula sederhana yang mudah larut dalam air dengan bantuan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme yang digunakan pada proses ini adalah Saccharomyces sp, Lactobacillus sp, Actynomycetes, Pseudomonas sp, dan Aspergillus sp, serta unsur-unsur hara seperti mangan, kalsium, magnesium, kalium dan nitrogen sebagai nutrisinya. Penambahan konsentrasi inokulum campuran sebanyak 5%, 7.5%, dan 10% pada proses pretreatment

biomassa onggok selama 16 jam dapat meningkatkan degradasi senyawa ligniselulosa menjadi bahan organik terlarut. Semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan maka peningkatan COD terlarutnya pun akan semakin tinggi. Pada konsentrasi inokulum campuran 5% terjadi kenaikan hingga 2036 mg/l, konsentrasi 7.5% naik menjadi 2236 mg/l, dan konsentrasi 10% menjadi 3167 mg/l. Peningkatan COD terlarut pada proses ini juga diikuti dengan penurunan padatan yang tersuspensi. Selama 16 jam

pretreatment onggok terjadi penurunan total padatan dari 15% menjadi 6.12% untuk konsentrasi 5%, 6.10% untuk konsentrasi 7.5%, dan 5.90% untuk konsentrasi 10%. Penurunan padatan ini didukung dengan menurunnya senyawa ligniselulosa. Perbandingan senyawa lignin terhadap selulosa menurun dari 27% menjadi 11% dan perbandingan hemiselulosa terhadap selulosa menurun dari 25% menjadi 13%.


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Limbah pertanian merupakan biomassa atau bahan organik buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi. Beberapa contoh diantaranya adalah tongkol jagung, bagase, jerami, kotoran ternak, dan onggok. Karakteristik biomassa tersebut tidak mudah larut dalam air karena mengandung senyawa partikulat yang disebut ligniselulosa. Ligniselulosa terdiri atas lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang sangat sulit untuk didegradasi. Akibatnya, pemanfaatan biomassa limbah pertanian sebagai sumber energi alternatif seperti pembuatan biogas tidaklah optimal. Gas metan yang dihasilkan dari pengolahan biomassa ini hanya 4.5 L/kg total padatan padahal secara teori gas yang bisa diproduksi dapat mencapai 180 L/kg total padatan (Arati, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan yang tepat untuk meningkatkan biodegradabilitasnya. Salah satu cara adalah dengan melakukan pretreatment atau proses perlakuan pendahuluan untuk memecah senyawa ligniselulosa menjadi gula sederhana yang mudah larut dalam air.

Onggok merupakan hasil samping pengolahan industri tepung tapioka yang berbentuk padat. Onggok memiliki karakteristik dan kandungan senyawa organik yang hampir sama satu dengan lainnya sehingga dapat mewakili semua biomassa sebagai model pretreatment untuk mengetahui tingkat degradasi senyawa ligniselulosanya. Onggok memiliki kelebihan dibandingkan dengan biomassa lainnya, yaitu jumlah yang melimpah. Konversi padi menjadi jerami pada produksi beras di Indonesia sebesar 50%, tebu menjadi bagase pada produksi gula 40%, sedangkan ubi kayu menjadi onggok sebesar 70% (Retnani, 2010). Onggok banyak dimanfaatkan sebagai bahan utama panganan, tepung asia, pakan ternak, dan bahan penyedap makanan hasil modifikasi selulosa yang terkandung didalamnya. Onggok mengandung senyawa polisakarida atau ligniselulosa dengan komposisi lignin 25%, hemiselulosa 25%, dan selulosa 45% (Sun dan Cheng, 2005). Proses penguraian ligniselulosa menjadi gula sederhana dapat dilakukan dengan pretreatment. Salah satunya adalah perlakuan pendahuluan menggunakan bantuan mikroorganisme yang mampu memecah senyawa polisakarida menjadi gula sederhana. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan biodegradabilitas onggok yang dapat dilihat dari nilai parameter Chemical Oxygen Demand (COD) terlarut, kandungan serat kasar, dan Suspended Solid (SS) sebagai indikasi telah terjadi degradasi senyawa polisakarida. Dengan demikian, pretreatment terhadap onggok maupun biomassa hasil pertanian diharapkan mampu meningkatkan kinerja proses pengolahan biomassa selanjutnya seperti pembuatan biogas dan bioetanol.

Mikroorganisme yang digunakan untuk memecah ligniselulosa adalah bakteri atau campuran inokulum yang dapat memutus rantai ikatan polimernya. Perlakuan pendahuluan menggunakan mikroorganisme memiliki kelebihan, diantaranya tidak memerlukan energi tinggi, peralatan yang diterapkan sederhana, murah, dan tidak menimbulkan korosif pada peralatan. Kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendegradasi berlangsung lama. Beberapa mikroorganisme yang digunakan pada proses ini adalah campuran dari mikroorganisme Saccharomyces sp, Lactobacillus sp, Actynomycetes,Pseudomonas sp, dan Aspergillus sp, serta unsur-unsur hara seperti mangan, kalsium, magnesium, kalium dan nitrogen sebagai nutrisinya.


(4)

1.2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan pengaruh antara proses pretreatment menggunakan mikroorganisme sebagai katalis dan air sebagai kontrol serta pengaruh variasi konsentrasi yang ditambahkan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk mendegradasi onggok.

1.3

Manfaat Penelitian

Penelitian ini menjelaskan bahwa pengolahan biomassa yang mengandung senyawa ligniselulosa membutuhkan pretreatment atau perlakuan pendahuluan untuk meningkatkan kinerja penguraian sumber karbon yang terkandung didalamnya menjadi senyawa yang lebih sederhana Kelanjutan dari hasil pretreatment biomassa dapat digunakan sebagai substrat pada proses pengolahan selanjutnya sebagai sumber energi alternatif seperti pembuatan biogas.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Karakteristik Onggok

Onggok merupakan limbah padat agroindustri pembuatan tepung tapioka. Onggok dapat dijadikan sebagai sumber karbon karena masih mengandung pati sebanyak 75% dari bobot kering yang tidak terekstrak. Akan tetapi, kandungan protein kasarnya tergolong rendah, yaitu 1.04% dari bobot kering. Banyaknya onggok yang dihasilkan dari proses pembuatan tepung tapioka berkisar 15-30% dari bobot bahan bakunya dengan kadar air 20% (Nuraini, Sabrina, dan Latif, 2008). Onggok juga termasuk limbah organik yang banyak mengandung karbohidrat, protein, dan gula seperti glukosa, arabinosa, xilosa, dekstran, dan manosa. Senyawa organik tersebut dapat dijadikan sebagai substrat bakteri penghasil gas metan untuk proses fermentasi menjadi biogas. Berikut ini beberapa pengujian karakteristik onggok dari penelitian terdahulu yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Onggok (% Berat Kering)

Komponen Tjiptadi (1982) Anonim (1984) Sjofjan (1996)

Air 16.7 13.4 17.3 Abu 8.5 4.9 1.8

Serat kasar 8.1 11.1 12.1

Protein 6.4 0.6 2.8

Lemak 0.3 0.2 4.5

Karbohidrat 71.1 79.8 75.6

Komposisi atau karakteristik onggok berbeda antara yang satu dengan lainnya. Perbedaan hasil analisis proksimat ini sangat bergantung pada varietas dan mutu ubi kayu yang diolah menjadi tapioka, efisiensi proses ekstraksi pati tapioka, dan penanganan onggok. Sedangkan banyaknya jumlah limbah industri tapioka atau onggok dipengaruhi oleh kategori industri (semakin modern semakin besar pula onggok yang dihasilkan jika dibandingkan dengan yang tradisional), proses pengolahan (dilakukannya pengupasan kulit atau tidak), pola pembuangan onggok (melalui kolam penampungan atau langsung dibuang ke lingkungan), serta pemanfaatan onggok (mengalami proses pengolahan selanjutnya atau tidak). Pemanfaatan kembali limbah padat oleh industri tradisional sebesar 21.14 % sedangkan pemanfaatan onggok oleh industri modern sebesar 2.60 %. (Anonim, 1984). Onggok relatif tahan lama dalam keadaan kering dibandingkan dalam keadaan basah yang sangat mudah ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan (Damarjati, 1985).

Gambar 1. Struktur Sel Ligniselulosa. Sumber : http:www.sigmaaldrich.com/enzymes.html


(6)

Sifat fisik onggok hasil samping tepung tapioka diantaranya adalah sukar larut dalam air dan sulit dicerna oleh pencernaan manusia. Hal itu dikarenakan onggok mengandung senyawa partikel yang disebut ligniselulosa. Ligniselulosa merupakan senyawa polimer sakarida kompleks semi kristal yang tersusun atas lignin, hemiselulosa, dan selulosa. Senyawa tersebut membentuk satu kesatuan yang kuat dan menjadi bahan dasar dinding sel suatu tumbuhan. Lignin merupakan senyawa yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel, sedangkan hemiselulosa bagian senyawa matriks yang berada diantara mikrofibril-mikrofibril selulosa, dan selulosa merupakan senyawa kerangka yang menyusun hingga 50% bagian kayu. Peran ketiga komponen ini saling bersinergi sebagai bahan penguat yang saling memperbaiki ikatan satu sama lainnya. Kandungan komponen senyawa ligniselulosa berbeda-beda bergantung pada sumber biomassanya seperti pada tabel 2 yang menunjukkan kandungan senyawa ligniselulosa pada limbah pertanian.

Tabel 2. Kandungan Ligniselulosa Pada Beberapa Biomassa Limbah Pertanian (% Berat kering).

Sumber : Sun dan Cheng (2002)

Lignin memiliki struktur molekul yang sangat berbeda dengan polisakarida karena tersusun atas senyawa aromatik dari unit monomer fenil propana yang diantaranya terdapat monolignol sinapil, koniferil alkohol, dan p-komaril alkohol dengan ikatan yang berbeda pula antar karbonnya. Gugus Arylgycerol-B-aryl ether sebagai ikatan utama, sedangkan gugus phenolic-hydroxyl, methoxyl, hydroxyl, dan benzyl alcohol sebagai ikatan tambahan yang mempengaruhi reaktifitas lignin dalam berinteraksi dengan mikrofibril selulosa sehingga lignin memiliki bobot molekul yang tinggi, struktur bercabang membentuk tiga dimensi, dan bersifat hidrofobik atau tidak larut dalam air (Ermawar, Yanto, Fitria, dan Hermiati, 2006). Konsentrasi lignin terbesar terdapat pada lamela tengah dan akan semakin mengecil pada lapisan dinding sekunder atau membran plasma.

Gambar 2. Gugus Struktur dan Fungsional Polimer Lignin (Del Campo, 2006)

Jenis Limbah Lignin Hemiselulosa Selulosa

Bagasse 25.0 25.0 50.0

Tongkol Jagung 15.0 35.0 45.0

Jerami 15.0 50.0 30.0

Tandan Kosong Kelapa Sawit 32.5 33.8 46.5


(7)

Polimerisasi lignin terjadi karena bergabungnya satu monomer dengan monomer lainnya yang sedang tumbuh atau disebut polimerisasi ekor. Radikal penoksi yang bermacam-macam menyebabkan lignin bercabang dan membentuk struktur tiga dimensi. Polimerisasi lignin diawali oleh dehidrogenasi enzimatik monolignol. Monolignol dioksidasi oleh peroksida lakase menjadi radikal penoksi yang sangat reaktif tetapi dapat distabilkan dengan penambahan air atau gugus hidroksil. Reaksi tersebut menghasilkan banyak tipe ikatan dengan ikatan yang paling dominan adalah gugus Arylgycerol-B-aryl ether (Gullichcen dan Paulapuro, 2004). Monolignol tersebut disintesis melalui jalur fenil-propanoid yang diinisiasi dari deaminasi fenilalanin oleh enzim fenilalanin ammonia-liase.

Gambar 3. Unit Fenil Propana Penyusun Lignin. (1) p-komaril alkohol, (2) koniferil alkohol, (3) sinapil alkohol (Gullichcen dan Paulapuro, 2004)

Enzim-enzim yang berkaitan dengan biosintesis lignin diantaranya phenylalanine ammonia– lyase (PAL),CoA-o-methyltransferase (CoAoMT), 4-coumarate CoA ligase (4CL), cinnamoyl-CoA reductase (CCR), dan cinnamyl alcohol dehydrogenase (CAD) (Hambali, 2007). Enzim-enzim tersebut terlibat di dalam jalur biosintesis lignin yang dimulai dari konversi fenilalanin hingga pembentukan monolignol seperti pada gambar 4.

Gambar 4. Jalur Biosintesis Monolignol Lignin (Fengel dan Wegener, 1995) (1) (2) (3)

Phenyilalanine


(8)

Hemiselulosa merupakan istilah yang umum bagi senyawa polisakarida yang larut dalam alkali. Empat gula utama, yaitu glukosa, mannosa, xilosa, dan arabinosa merupakan komponen utama penyusun senyawa hemiselulosa. Rantai utamanya terdiri atas satu jenis homopolimer, yaitu xilan. Xilan merupakan polimer dari xilosa yang diikat oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Rantai xilan dapat bercabang dan berbentuk amorf sehingga mudah dimasuki pelarut. Dengan demikian, molekul hemiselulosa memiliki karakteristik senyawa yang lebih mudah menyerap air, tidak tahan panas, bersifat plastis, mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih luas dari selulosa, dan ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis (Oshima, 1965).

 

Gambar 5. (1) Monomer Penyusun Hemiselulosa, (2) Struktur Hemiselulosa (Sjostrom, 1995) Reaksi yang terjadi untuk mendegradasi xilan, dibutuhkan kerja sama dari beberapa enzim hidrolitik. Dua enzim yang berperan penting untuk memecahxilan menjadi xilosa adalah endo-1,4-β -xylanase dan xylan 1,4-β-xylosidase. Endo-1,4-β-xylanase bekerja dalam merusak ikatan non kovalen pada struktur polimer hemiselulosa sehingga diperoleh xilan individu kemudian xilan tersebut kembali dipecah menjadi monosakarida dengan bantuan enzim xylan 1,4-β-xylosidase sehingga menghasilkan xilosa dan arabinosa. Jika reaksi masih terjadi maka akan dihasilkan turunan dari xilosa, yaitu furfural seperti pada gambar 6. Furfural merupakan produk yang tidak diharapkan karena dapat menghambat proses degradasi senyawa lainnya. Hal itu dapat terjadi jika proses degradasi dilakukan melalui hidrolisis asam (Fengel dan Wegener, 1995).

.

Gambar 6. Struktur Hemiselulosa dan Turunannya (Fengel dan Wegener, 1995)

(1)

(2)


(9)

Selulosa merupakan polimer linear glukan dengan struktur rantai yang seragam karena setiap glukosanya diikat oleh β-1,4-glikosidik dengan gugus hidroksil. Keteraturan ini menyebabkan adanya ikatan hidrogen yang kuat antar molekulnya sehingga selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi serta tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Proses polimerisasi yang terjadi pada senyawa ini adalah selobiosa atau dua molekul glukosa menyatu dengan mengeliminasi satu molekul air diantara gugus hidroksil pada atom karbon 1 dan 4 yang memiliki sifat pereduksi. Beberapa molekul selobiosa tersebut bergabung menjadi mikrofibril berbentuk kristal kemudian mikrofibril bersatu menjadi fibril yang akhirnya menjadi serat selulosa.

Gambar 7. Struktur Selulosa.

Sumber : http:www.sigmaaldrich.com/enzymes.html

Gugus hidroksil yang membentuk selulosa dapat berinteraksi dengan gugus -O, -S, dan -N membentuk ikatan hidrogen sehingga senyawa ini bersifat hidrofilik. Hal ini lah yang dapat menjelaskan bahwa walaupun strukturnya keras dan kuat, selulosa dapat dipecah menjadi senyawa sederhana melalui proses selulolitik. Selulolitik adalah proses pemecahan selulosa menjadi senyawa atau unit-unit glukosa yang lebih kecil. Karena molekul selulosa terikat kuat antar satu molekul dengan molekul lainnya, selulolitik relatif sulit bila dibandingkan dengan pemecahan polisakarida lainnya. Proses selulolitik terjadi pada sistem pencernaan sebagian hewan memamah biak ruminansia untuk mencerna makanan mereka yang mengandung selulosa. Proses selulolitik dapat terjadi dengan bantuan enzim selulase. Reaksi yang terjadi dalam pemecahan selulosa melibatkan tiga tahap, yaitu pemotongan ikatan non-kovalen struktur kristal selulosa menjadi selulosa individu, penghidrolisisan selulosa individu menjadi selobiosa, dan penghidrolisisan selobiosa menjadi glukosa (Astuti, 2003).


(10)

2.2

Perlakuan Pendahuluan (

Pretreatment

)

Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa, serta mengurangi kritalinitas selulosa. Pretreatment dapat dilakukan secara fisik, fisiko-kimia, kimia, biologis, maupun kombinasi diantaranya (Sun dan Cheng, 2002).

1. Perlakuan pendahuluan secara fisik dapat dilakukan dengan pencacahan mekanik, penggilingan, serta penepungan untuk mengurangi kritalinitas dan memperkecil ukuran. 2. Perlakuan pendahuluan secara fisiko-kimia, antara lain dengan melakukan steam explosion,

ammonia fiber explosion, dan CO2 exlposion. Pada metode ini partikel biomassa dipaparkan pada suhu dan tekanan tinggi, kemudian tekanannya diturunkan secara cepat sehingga bahan mengalami dekompresi eksplosif.

3. Perlakuan pendahuluan secara kimia, diantaranya adalah ozonolisis, hidrolisis asam, hidrolisis alkali, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv

4. Perlakuan secara biologi. Pada metode ini digunakan mikroorganisme, seperti khamir pelapuk cokelat, khamir pelapuk putih, khamir pelunak untuk degradasi ligniselulosa, serta bakteri maupun kapang penghasil enzim yang dapat memutus ikatan ligniselulosa.

Perlakuan pendahuluan biomassa ligniselulosa yang telah banyak digunakan adalah hidrolisis asam encer karena sudah dalam tahap komersialisasi. Akan tetapi, metode ini memiliki kekurangan diantaranya berpotensi menghasilkan produk samping seperti furfural atau hidroksi metal furfural (gipsum) yang dapat menghambat proses degradasi. Sedangkan metode lainnya baik secara fisik maupun biologis sudah banyak dilakukan dan beberapa masih dalam tahap pengembangan. Beragamnya bahan ligniselulosa membuat tidak ada satupun metode perlakuan pendahuluan yang berlaku secara umum karena berbeda bahan baku akan memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda pula (Samsuri, 2007).

Pada penelitian yang dilakukan oleh zam tahun 2010 mengenai pretreatment pada biomassa limbah pertanian ditambahkan campuran inokulum yang terdiri atas 8.5 x 105 sel (CFU/ml) Saccharomyces sp, 8.7 x 106 sel (CFU/ml) Lactobacillus sp, Actynomycetes (+),Pseudomonas sp (+), dan 7.5 x 105sel (CFU/ml) Aspergillus sp pada kisaran konsentrasi 10-20 gram dalam 100 gram total padatan atau 10-20%. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui optimasi konsentrasi inokulum yang ditambahkan dalam mendegradasi limbah atau biomassa yang mengandung ligniselulosa dari suatu proses produksi (Zam, 2010).

Tabel 3. Total Plate Count Optimasi Konsentrasi Inokulum Jumlah sel (CFU/ml)

Hari ke-

Konsentrasi

10% 15% 20%

0 3.34 x 107 4.80 x 107 6.46 x 107

1 1.77 x 1010 5.43 x 1010 1.16 x 1011

2 2.03 x 1011 1.05 x 1011 1.18 x 1011

3 1.00 x 1011 9.25 x 1010 9.01 x 1010

4 2.07 x 1011 1.31 x 1011 1.64 x 1011

5 2.24 x 1011 1.79 x 1011 1.04 x 1011

6 2.24 x 1011 1.82 x 1011 1.08 x 1011

7 2.48 x 1011 1.79 x 1011 9.95 x 1010

Laju pertumbuhan (sel/jam) 0,098 0,096 0,095


(11)

Konsentrasi inokulum yang mencukupi merupakan salah satu syarat agar proses degradasi dapat berlangsung dengan optimum. Kesesuaian antara rasio inokulum dan komposisi substrat juga dapat mempengaruhi proses degradasi limbah ligniselulosa (Mishra, 2001). Kurang baiknya pertumbuhan dan degradasi limbah pada konsentrasi inokulum 15% dan 20% diduga karena konsentrasi tersebut terlalu banyak sehingga medium kurang memadai untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya kompetisi antar bakteri, sehingga pertumbuhan dan proses degradasi menjadi rendah. Persaingan dalam penggunaan substrat mengakibatkan pertumbuhan kultur menjadi kurang baik karena pertambahan jumlah sel atau biomassa menjadi rendah (Astuti, 2003).

Optimasi lanjutan dari penelitian tersebut, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4 penurunan COD pada konsentrasi inokulum 20% dan 30% tidak jauh berbeda dengan konsentrasi inokulum 10%. Menurut zam (2010), hal itu karena terjadinya kompetisi antar populasi pada perlakuan sehingga bakteri-bakteri beradaptasi menggunakan substrat selain karbon, seperti asam lemak dan senyawa lainnya yang terdapat dalam limbah tersebut. Penggunaan senyawa-senyawa lain mengakibatkan kenaikan COD yang cukup tinggi, sedangkan degradasi biomassanya menjadi rendah.

Jika terdapat lebih dari satu pengguna substrat dalam satu kultur, maka kemungkinan mikroorganisme untuk termutasi akan lebih besar. Akibat dari mutasi ini, mikroorganisme akan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan substrat lainnya untuk pertumbuhan (Black, 1999). Konsentarsi inokulum yang ditambahkan juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan untuk proses pretreatment. Data pada tabel 3, laju pertumbuhan untuk konsentrasi inokulum 10% sebesar 0.098 dengan perhitungan kinetik laju pertumbuhan mikroorganisme maka diperoleh waktu generasi yang dibutuhkan adalah 10 jam. Dengan kata lain, pada waktu tersebut mikroorganisme akan tumbuh lebih banyak lagi dengan syarat substrat pada media masih mencukupi.

Tabel 4. Penurunan COD Hasil Optimasi Inokulum

Konsentrasi Inokulum COD awal (g/100ml) COD akhir (g/100ml)

10% 91.437 34.975 20% 91.437 35.960 30% 91.437 36.945 Sumber : Zam, 2010

2.3

Penguraian Senyawa Ligniselulosa

Lignin merupakan bagian terkeras dari ligniselulosa karena sifatnya sebagai pelindung memiliki konsentrasi yang tinggi pada bagian lamela tengah, artinya senyawa ligniselulosa tidak akan terurai sebelum merusak ikatan ligninnya. Ikatan antar molekul lignin yang utama adalah Arylgycerol-B-aryl ether, termasuk senyawa eter yang memiliki gugus fungsi mengandung oksigen pada posisi benziliknya. Gugus tersebut sensitif terhadap media asam sehingga lignin akan mengalami kondensasi dan mengendap. Akan tetapi sebagain lignin akan larut pada tahap penguraian selanjutnya (Munir, 2005). Bakteri yang dapat menghasilkan asam pada penelitian ini adalah Lactobacillus sp sebagai penghasil asam laktat. Asam laktat merupakan asam karboksilat yang dapat ditemukan hampir pada seluruh jenis organisme sebagai agen utama dalam degradasi ligniselulosa.


(12)

Pada saat tahap awal penguraian, enzim-enzim yang dikeluarkan oleh bakteri maupun khamir seperti selulase terlalu besar untuk melewati pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil. Kalsium yang merupakan unsur penyusun pada lamela tengah dalam bentuk kalsium pektat, diikat oleh asam sehingga merusak integritas dinding sel yang menyebabkan terbukanya pori untuk memberikan kesempatan pada enzim lignolitik bereaksi. Sedangkan enzim spesifik yang dapat mengurai senyawa lignin diantaranya adalah lignin peroksidase (LiP), mangan peroksidase (MnP), dan lakase (Munir, 2005).

Lignin peroksidase pertama kali ditemukan pada khamir Phanerochaete chrysosporium. Umumnya merupakan khamir basidiomiset dan dikelompokkan menjadi khamir busuk cokelat dan busuk putih. Enzim yang dihasilkan dari organisme tersebut dimulai saat LiP mengkatalis senyawa aromatik fenolik, mengoksidasi senyawa amina, aromatik eter dan aromatik posiklik menjadi gula. Mangan peroksidase (MnP) mengoksidasi senyawa fenolik menjadi radikal fenoksi oleh oksidasi Mn(II) menjadi Mn(III) dengan H2O2 sebagai oksidannya. Lakase mengoksidasi senyawa non-fenolik menjadi radikal fenoksil, diamin, dan senyawa inorganik (Agustina, 2009). Proses pemecahan lignin menghasilkan senyawa fenolik bukan monosakarida karena rantainya tersusun atas fenil-propana atau senyawa aromatik seperti pada gambar 8.

Gambar 8. Penguraian Lignin Oleh Enzim Lignin Peroksidase

Penguraian senyawa selulosa dapat dilakukan dengan bantuan mikroorganisme yang dapat mensekresikan kompleks enzim selulase. Enzim tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu endoglukanase, selobiohidrolase, dan β-glukosidase. Endoglukanase memiliki afinitas yang tinggi dan bereaksi secara acak pada serat selulosa berkristalinitas rendah atau amorf sehingga substrat dapat larut karena menurunnya viskositas. Selobiohidrolase merupakan istilah untuk enzim yang menghasilkan selobiosa. Enzim ini beraksi sebagai eksoenzim dan melepaskan selobiosa dari selulosa kristal. Enzim ini mengurai selulosa dari polimer yang tidak tereduksi dan memiliki aksi yang terbatas terhadap selulosa karena fokus pada pemecahan selulosa berbentuk kristal. Sedangkan β-glukosidase bereakasi terhadap berbagai senyawa berikatan β-1,4-glikosidik menjadi glukosa yang merupakan sumber karbon untuk proses pemanfaatan selanjutnya (Fikrinda, 2000).

Mikroba selulolitik memecah selulosa secara intraselular saat terjadi kontak antara sel dengan permukaan selulosa sebagai substrat untuk melakukan metabolismenya. Aktivitas enzim selulase akan lebih tinggi bila medium pertumbuhannya mengandung selulosa dibandingkan glukosa sebagai sumber karbon. Derajat polimerisasi selulosa berkisar 15.000- 27.000. Hal itu menandakan bahwa glukosa yang terkandung didalamnya juga berada pada kisaran yang sama, artinya setiap selulosa yang terurai akan menghasilkan hingga 27.000 glukosa. Mekanisme penguraian selulosa secara intraselular pada bakteri selulolitik dimulai dari daerah amorf oleh endoglukanase secara acak sehingga membentuk rantai yang terbuka bagi aktivitas selobiohidrolase. Aktivitasnya mampu


(13)

membebaskan unit selobiosa dari ujung rantai selulosa. Endoglukanase selanjutnya memotong lapisan kedua dan seterusnya dari serat selulosa yang diikuti aktivitas selobiohidrolase. Kemudian, selobiosa yang terbentuk diurai kembali oleh enzim β-glukosidase membentuk glukosa melalui pemutusan ikatan β-1,4 glukosida. Mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim tersebut diantaranya dari genus Acetobacter, Clostridium, Psedomonas, dan Vibrio (Fikrinda, 2000).

Sama halnya dengan selulosa, senyawa hemiselulosa dapat dipecah menjadi monomer xilosa dengan bantuan enzim β-glukosidase karena hemiselulosa memiliki ikatan yang sama dengan selulosa, yaitu β-1,4-glikosidik di setiap molekulnya. Xilan merupakan polimer dari xilosa atau gula pentosa (C5) yang memiliki rantai 150-200 unit. Xilan lebih cepat diurai oleh mikroba dibandingkan selulosa karena ikatanya yang cenderung lemah. Ikatan tersebut dapat diputus dengan bantuan enzim xilanase hasil metabolisme khamir seperti Aspergilus sp dan bakteri dari golongan Actinomycetes seperti Streptomyces sp. Kedua mikroorganisme tersebut mampu menghasilkan enzim didalam tubuh dari substrat berupa hemiselulosa yang kontak pada permukaan selnya. Xilanase diklasifikasikan berdasarkan substrat yang dicerna, terdiri atas β-xyloxidase, eksoxilanase, dan endoxilanase. Enzim β -xyloxidase, yaitu xilanase yang mampu mengurai xilo-oligosakarida rantai pendek menjadi xilosa. Endoxilanase mampu memutus ikatan β-1,4 pada bagian dalam rantai xilan secara teratur. Ikatan yang diputus, ditentukan berdasarkan panjang rantai subtrat, derajat percabangan, dan pola pemutusan dari enzim tersebut. Xilase umumnya protein kecil dengan berat molekul antara 15.000-30.000 dalton dan stabil pada pH netral. Untuk Streptomyces sp tumbuh dengan baik pada pH 4.5-8, suhu 36oC sedangkan khamir karena termasuk khemoorganoheterotrof maka dapat tumbuh pada kondisi anaerob dan memperoleh energi dengan mengoksidasi bahan organik. Aspergillus sp tumbuh pada suhu 24-30oC dan pH 4.5-6 (Saha, 2003).

2.4

Produk Utama Hasil

Pretreatment

Produk atau hasil pretreatment onggok menggunakan mikroorganisme jenisnya beragam namun memiliki kesamaan, yaitu menghasilkan senyawa gula sederhana dalam bentuk monosakarida, kecuali hasil degradasi senyawa lignin yang merupakan senyawa aromatik bukan karbohidrat sedangkan untuk hemiselulosa menghasilkan gula baik dalam bentuk heksosa (C6) seperti glukosa, mannosa, dan galaktosa, juga pentosa (C5) seperti arabinosa dan xilosa, sementara selulosa menghasilkan glukosa. Semua senyawa gula tersebut adalah yang paling sederhana yang dapat dicerna oleh mikroorganisme sebagai substrat untuk melakukan metabolismenya lebih lanjut agar menghasilkan produk yang diinginkan seperti substrat pembuatan biogas dalam kondisi anaerob menghasilkan gas metan dari bakteri metanogenisis.


(14)

2.4.1 Glukosa

Glukosa(C6H12O6, berat molekul 180.18) adalah heksosa atau monosakarida yang mengandung enam atom karbon. Glukosa merupakan aldehida yang mengandung gugus -CHO. Lima karbon dan satu oksigennya membentuk cincin yang disebut cincin piranosa, Bentuk paling stabil untuk aldosa berkarbon enam. Dalam cincin ini, tiap karbon terikat pada gugus samping hidroksil dan hydrogen, kecuali atom kelimanya yang terikat pada atom karbon keenam di luar cincin membentuk suatu gugus CH2OH (Siagian, 2011)

Gambar 9. Bentuk Rantai D-glukosa

Banyaknya glukosa yang diperoleh bergantung pada seberapa panjang rantai pada polisakaridanya. Semakin panjang maka glukosa yang diperoleh akan semakin banyak. Akan tetapi, dalam suatu pendegradasian senyawa tidak semuanya dapat diurai secara sempurna. Glukosa memiliki keunggulan atau sifat fisik dan kimianya, yaitu tidak mudah bereaksi secara nonspesifik dengan gugus amino suatu protein dengan cara mereduksinya. Reaksi ini dikenal dengan glikosilasi yang dapat merusak fungsi berbagai enzim. Hal ini disebabkan karena glukosa berada dalam bentuk isomer siklik yang kurang reaktif. Glukosa juga larut dalam air karena mampu berikatan dengan ikatan hidrogen pada gugus hidroksinya.

2.4.2

Manosa

Manosa adalah gula aldehida yang dihasilkan dari oksidasi manitol dan memiliki sifat-sifat umum yang serupa dengan glukosa. Senyawa dengan rumus kimia C6H14O6 memiliki lima rantai karbon dan gugus eter sehingga membuat senyawa ini mempunyai sifat rasa manis, tidak berbau, berbentuk serbuk, mudah larut dalam air dan basa, serta sukar larut dalam etanol dan eter (Almatsier, 2004).

Gambar 10. (1) D-Mannosa, (2) L-Mannosa, (3) Siklik Mannosa

Mannosa merupakan gula alkohol isomer optik dari sorbitol dan ,merupakan gula yang paling mahal yang digunakan sebagai pengisi tablet, terutama pada tablet hisap serta memberikan rasa dingin ketika dihisap. Senyawa ini biasa digunakan untuk formulasi tablet multivitamin, tidak higroskopis, rendah kalori karena manisnya mannosa 0,5-0,7 dari manisnya sukrosa (Pasaribu, 2006).


(15)

2.4.3

Xilosa

Xilosa merupakan suatu gula pentosa, yaitu monosakarida dengan lima atom karbon dan memiliki gugus aldehida. Xilosa sering disebut gula kayu karena merupakan senyawa gula yang pertama kali diisolasi dari kayu. Xilosa memiliki rumus molekul (HOCH2(CH(OH))3CHO. Karakteristik xilosa yang mengandung lima atom karbon dan adanya gugus spesifik, yaitu karbonil bebas, memberikan sifat xilosa dapat dimanfaatkan sebagai reducing sugar (Almatsier, 2004).

  

Gambar 11. (1) D-Xilosa (2) L-Xilosa (3) Siklik D-Xilosa

Gula yang diperoleh dari hidrogenasi xilan dengan bantuan mikroorganisme ini memiliki banyak kegunaan. Kegunaan yang paling sering dimanfaatkan dan dikembangkan secara industri adalah sebagai bahan sintesis xilitol. Xilitol merupakan gula alkohol golongan pentitol yang memiliki lima atom karbon dan lima gugus karbonil. Xilitol mengandung 9.6 kalori dalam takaran 5 ml untuk meningkatkan kesehatan tulang (Mattila, 2002).

2.4.4

Arabinosa

Arabinosa merupakan salah satu senyawa karbohidrat golongan monosakarida aldopentosa dengan lima atom karbon yang mengandung satu gugus aldehid dan empat gugus alkohol. Formulanya adalah C5H10O5 dengan berat molekul 150. D-arabinosa mempunyai konfigurasi yang sama dengan D-gliseraldehid, perbedaannya pada rotasi optik spesifik [α]. Campuran kesetimbangan dari anomer D-arabinosa (α dan β) memiliki rotasi spesifik -105,0o. D- arabinosa merupakan gula pereduksi yang dapat mereduksikan Fehling maupun Tollens karena mempunyai gugus –OH laktol bebas. Struktur arabinosa dapat dilihat dengan proyeksi Fischer sebagai berikut

Gambar 12. Struktur Fischer Senyawa Arabinosa

Dalam proyeksi ini arabinosa terdapat dalam dua enansiomer yaitu D-arabinosa dan L-arabinosa, tetapi isomer yang umum terdapat di alam adalah D-arabinosa. Suatu monosakarida berisomer D atau L bergantung pada posisi gugus hidroksil pada atom karbon asimetris terjauh dari gugus aldehid atau keton. Pada arabinosa atom C asimetris terjauh terdapat pada atom C nomor 4. Jika gugus –OH berada di sebelah kanan maka penamaannya memiliki bentuk isomer D, tetapi jika mengarah ke kiri dikatakan berisomer L (Almatsier, 2004).


(16)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah onggok dan campuran mikroorganisme atau inokulum cair yang terdiri atas Saccharomyces sp, Lactobacillus sp, Actynomycetes, Pseudomonas sp, dan Aspergillus sp. Bahan lainnya yang digunakan untuk analisa adalah larutan pereaksi COD seperti kalium bikromat, perak sulfat, Ferro Amonium Sulfat sebagai bahan penitran, Feroin sebagai indikator titrasi, larutan NaOH, larutan luffschoorl, dan larutan asam sulfat.

Penelitian ini menggunakan berbagai macam alat, diantaranya gelas piala, kertas saring. desikator, buret, pipet volumetrik, neraca analitik, pompa vakum, oven, labu takar, COD reaktor, tabung reaksi, labu erlenmeyer, cawan petri, dan pendingin balik.

3.2 Metodologi Penelitian

Gambar 4. Diagram Alir Metodelogi Penelitian.

Gambar 13. Diagram Alir Metodelogi Penelitian Tepung Onggok

Dilakukan pengujian karakteristik bahan : Kadar air, kadar serat, kadar protein, kadar lemak kasar, kadar karbohidrat, dan kadar komposisi ligniselulosa sebelum pretreatment

Dilakukan proses pretreatment dengan penambahan inokulum 5-10 g/100 g TS selama 16 jam

Dilakukan pengujian COD terlarut dan SS setelah pretreatment

Dilakukan pengujian kadar komposisi ligniselulosa : Kadar lignin, hemiselulosa, dan selulosa setelah pretreatment

Kondisi Pretreatment onggok terbaik Dilakukan analisis statistika Rancangan Percobaan Acak Lengkap kuadrat tengah


(17)

3.3

Analisis Proksimat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik suatu bahan terutama onggok. Karakteristik ini diperlukan untuk menentukan komponen bahan yang terkandung dan kadarnya. Hal tersebut terkait dengan perlakuan yang akan dilakukan pada penelitian ini sehingga perlu menentukan ada atau tidaknya bahan tambahan serta mengikuti perubahan secara kualitatif maupun kuantitatif perlakuan yang akan dikerjakan.

3.3.1

Kadar Air (AOAC, 1999)

Cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 5 gram sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105o C selama 3 jam. Cawan aluminium dan sampel yang telah dikeringkan, dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Pemanasan sampel diulangi hingga dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang menghilang sebagai kadar air.

Perumusan : Kadar Air (%) = (W1-W2) x 100% W1

% Total Solid (TS) = 100% - % Kadar Air

3.3.2

Kadar Abu (AOAC, 1999)

Sebanyak 2 gram contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600o C selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.

Perumusan : Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B

3.3.3

Kadar Protein (AOAC, 1999)

Sebanyak 0,1-0,5 gram contoh dimasukkan ke dalam labu kjeldahl lalu ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat dan 1 gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4). Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan NaOH 6 N dan asam borat. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam labu erlenmeyer mencapai dua kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades (ditampung dalam labu Erlenmeyer). Larutan yang berada dalam labu Erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko.

Perumusan :

Kadar protein (%) = (b-a) x N x 0,014 x 6,25 x 100% W

Keterangan :

a = ml H2SO4 untuk titrasi blanko b = ml H2SO4 untuk titrasi contoh N = Normalitas H2SO4


(18)

3.3.4

Kadar Lemak (AOAC, 1999)

Sebanyak 2 g contoh diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105o C. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

Perumusan : Kadar Lemak (%) = Bobot Lemak x 100% Bobot Contoh

3.3.5

Kadar Pati (AOAC, 1999)

Sebanyak 1-2 gram bahan ditimbang dan ditambahkan 100 ml HCl 3%. Larutan dimasukkan ke dalam otoklaf pada suhu 105o C selama 15 menit. Kemudian larutan didinginkan dan dinetralkan menggunakan larutan NaOH 4 N, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml larutan dipipet ke dalam labu erlenmeyer, ditambahkan 25 ml larutan luff schoorl, dihubungkan dengan pendingin udara, dipanaskan hingga mendidih dan ditunggu 10 menit. Setelah itu, didinginkan kemudian ditambahkan 25 ml larutan H2SO4 6 N dan 15 ml larutan KI 20 %, dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N dengan indikator amilum 1 %. Dihitung selisih antara jumlah ml titran sampel dengan blangko dengan perhitungan sebagai berikut : Perumusan : Gula pereduksi (G) = (b-a) x N.Na Thio

0,1

b = bobot blangko (g) a = bobot sampel (g)

Kemudian dihitung kesetaraan kadar gula invert dengan tabel kadar gula invert sebagai glukosa Perumusan : Kadar karbohidrat = 0,9 x G x P x 100%

Y

G = mg glukosa yang setara dengan (ml blanko-ml contoh) Na2S2O3 0,1 N P = faktor Pengenceran

Y = mg berat contoh

3.4

Analisis COD (APHA, 2005)

Metode pengukuran COD, yaitu sebanyak 1-2 ml sampel dipipet ke dalam tabung reaksi berulir yang berisi 1.5 ml pereaksi K2Cr2O7 dan 3.5 larutan asam pekat, kemudian aduk dengan cara membalikkan tabung. Tabung dimasukkan ke dalam COD reaktor selama 2 jam pada suhu 150o C. Tabung didinginkan dan isi tabung dituang ke dalam erlenmeyer 100 ml dan bilas dengan aquades. Kemudian dititrasi dengan larutan FAS 0,01 M dengan 1-2 tetes indikator feroin. Catat jumlah FAS yang digunakan dan kadar COD dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Perumusan : Kadar COD = (ml blanko-ml sampel) x M FAS x 8000 x P ml sampel

Keterangan : P = Pengenceran


(19)

3.5

Analisis

Suspended Solid

(APHA, 2005)

Berat awal kertas saring ditimbang dengan neraca analitik lalu letakkan kertas saring di atas corong penyaring vakum. Sampel dituang ke atas kertas saring yang telah diletakkan di atas corong penyaring vakum. Kertas saring diambil dan dimasukkan dalam oven selama 2 jam pada suhu 105o C. Selesai dioven, simpan sementara dalam desikator selama 10 menit. Ambil kertas saring dari desikator kemudian ditimbang kembali sebagai berat akhir menggunakan neraca analitik. SS dapat dihitung sebagai berikut :

Perumusan : % SS = Berat akhir – Berat awal (g) x 100% Berat contoh uji (g)

3.6

Kadar Ligniselulosa

3.6.1 Kadar Lignin (AOAC, 1999)

Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan H2SO4 20 ml 72%. Selanjutnya didiamkan selama 2 jam dan dikocok perlahan-lahan. Sampel kemudian ditambahkan aquades sebanyak 250 ml, dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100o C selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya (A). Erlenmeyer dan corong dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali. Kertas saring beserta residu diovenkan pada suhu 105o C selama 1-2 jam atau pada suhu 50o C selama 24 jam. Kertas saring didinginkan dan ditimbang bobotnya (B). Kertas saring dengan residu diabukan dengan muffle furnance pada suhu 6000 C selama 3-4 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang (C).

Perumusan : Kadar Lignin (%) = B-A-C x 100%

Bobot contoh

Keterangan:

B = bobot kertas saring dan residu setelah dioven (g) A = bobot kertas saring (g)

C = bobot abu (g)

3.6.2

Kadar Hemiselulosa (Van Soest, 1963)

Sampel sebanyak A g dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml serta ditambahkan dengan larutan NDS. Larutan NDS (Neutral Detergent Solid) terdiri dari bahan kimia sebagai berikut: aquades 1 l; Natrium sulfat 30 g; EDTA 18,81 g; Natrium borat 10 H2O 6,81 g; di-Na-HPO4 anhidrat 4,5 g dan 2-etoksi etanol murni 10 ml. Selanjutnya menimbang filter glass G-3 (B). Sampel yang telah ditambahkan larutan NDS disaring dengan bantuan pompa vakum, dibilas dengan air panas dan aseton. Hasil penyaringan tersebut dikeringkan dalam oven 105o C, setelah itu dimasukkan dalam desikator selama 1 jam, kemudian dilakukan penimbangan terakhir (C).

Perumusan : %NDF = C-B x 100% A

Keterangan:

A = bobot sampel (g) B = bobot filter glass (g)


(20)

Kemudian dilanjutkan dengan menimbang sampel sebanyak A g dimasukkan ke dalam gelas piala serta ditambahkan dengan 50 ml larutan ADS (Acid Detergent Solid). Larutan ADS terdiri dari: H2SO4; CTAB (cethyle trimethyl ammonium bromide). Sampel yang telah ditambahkan larutan tersebut dipanaskan selama satu jam diatas penangas listrik. Penyaringan dilakukan dengan bantuan pompa vakum yang juga menggunakan filter glass yang ditimbang (B). Pencucian dilakukan dengan aseton dan air panas. Kemudian dilakukan pengeringan dan memasukkan hasil penyaringan tersebut ke dalam oven. Setelah itu dimasukkan lagi ke dalam desikator untuk melakukan pendinginan dan ditimbang (C).

Perumusan : %ADF = C-B x 100% A

Kadar Hemiselulosa = %NDF - %ADF Keterangan:

A = bobot sampel (g) B = bobot filter glass (g)

C = bobot filter glass dan sampel setelah dioven

3.6.3

Kadar Selulosa (Van Soest, 1963)

Residu ADF (C) yang berada di dalam filter glass diletakkan di atas nampan yang berisi air setinggi kira-kira 1 cm. Kemudian ditambahkan H2SO4 72% setinggi ¾ bagian filter glass dan dibiarkan selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Penyaringan dilakukan dengan bantuan pompa vakum dengan juga menggunakan filter glass. Pencucian dilakukan dengan aseton dan air panas. Kemudian dilakukan pengeringan dan memasukkan hasil penyaringan tersebut ke dalam oven. Setelah itu dimasukkan lagi ke dalam desikator untuk melakukan pendinginan dan ditimbang (D). Perumusan : Kadar Selulosa = D-C x 100%

A Keterangan:

A = bobot sampel (g)

D = bobot filter glass dan residu ADF setelah dioven (g) C = bobot filter glass dan residu ADF awal (g)

3.7 Prosedur

Pretreatment

Biomassa Onggok

Proses pretreatment menggunakan mikroorganisme dilakukan dengan menambahkan konsentrasi inokulum cair sebanyak 5 g /100 g TS, 7.5 g /100 g TS, dan 10 g /100 g TS terhadap waktu yang dibutuhkan dari jam ke-0 hingga ke-16 dengan sampling setiap empat jam sekali untuk dianalisis SS dan COD terlarut. Bobot basah substrat ditingkatkan menjadi 85% kadar air dari kadar air awal onggok kering sebesar 7%. Hal tersebut dilakukan agar onggok memiliki homegenitas yang lebih tinggi sehingga dapat melarutkan bahan organik hasil degradasi. Selain itu campuran inokulum cair tersebut membutuhkan kelembaban tinggi untuk tumbuh optimal. Dengan kata lain, perlakuan pretreatment ini menggunakan metode kultivasi terendam.

Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 45 sampel percobaan setiap kombinasi konsentrasi terhadap waktu. Pretreatment ini dilakukan di dalam gelas piala berukuran 50 ml. Sebelum dimasukan onggok sebanyak 0.5 gram, gelas piala tersebut ditimbang pada neraca analitik sehingga diperoleh bobot awal gelas piala kosong. Onggok kemudian dimasukan lalu ditambahkan campuran inokulum cair sesuai konsentrasi. Banyaknya inokulum yang ditambahkan pada setiap konsentrasi sebanyak 0.5 gram onggok dapat dilihat pada lampiran 2. Onggok yang sudah ditambahkan inokulum diberi label sebagai identitas sampel sesuai perlakuan.


(21)

Sampel dianalisis sesuai waktu sampling setiap empat jam sekali lalu ditimbang untuk mengetahui bobot onggok setelah pretreatment kemudian dipindahkan dan diencerkan dengan akuades pada labu ukur 250 ml. Setelah itu disaring menggunakan pompa vakum dengan kertas saring Whatman 41 yang telah diketahui bobot awalnya. Filtrat hasil penyaringan diambil sebanyak 1 ml untuk dianalisis COD terlarut sedangkan ampasnya atau onggok yang masih tertinggal pada kertas saring diambil untuk analisis SS. Perlakuan tersebut nantinya akan dibandingkan dengan kontrol, yaitu pretreatment onggok dengan menggunakan air saja tanpa penambahan kultur mikroba atau bahan apapun. Perlakuan untuk kontrol hanya dilakukan satu kali dengan prosedur yang sama namun yang membedakan adalah pengenceran setelah pretreatment dilakukan pada labu ukur 100 ml. Nilai hasil pengukuran COD terlarut sampel akan dibandingkan dengan kontrol. Larutan analisis COD yang digunakan, distandarisasi dengan nilai COD larutan KHP (Kalium Hidrogen Phthalate) untuk mengoreksi ketepatan larutan yang digunakan, yaitu KHP 250 mg/l, KHP 500 mg/l, dan KHP 1000 mg/l. Pada pengujian standar ini didapatkan larutan KHP 250 mg/l secara teroritis, sebesar 239 mg/l hasil pengukuran, kemudian larutan KHP 500 mg/l diperoleh 611 mg/l, dan larutan KHP 1000 mg/l didapatkan sebesar 986 mg/l.

Penentuan perlakuan yang terbaik antara konsentrasi dan waktu selama pretreatment menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Lengkap Kuadrat Tengah seperti pada lampiran 3. Rancangan percobaan yang diterapkan pada penelitian ini adalah rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dua faktor. RAL didefinisikan sebagai rancangan dengan beberapa perlakuan yang disusun secara random untuk seluruh unit percobaan. Kelebihan penggunaan RAL ini, yaitu mudah dalam menyusun rancangannya, analisis statistik yang dilakukan terhadap bahan yang memiliki bobot awal yang sama, dan banyaknya unit percobaan untuk tiap perlakuan tidak harus sama. Penggunaan rancangan faktorial RAL dalam penelitian ini disebabkan karena satuan percobaan yang digunakan homogen atau tidak ada faktor lain yang mempengaruhi respon diluar faktor yang diteliti. Keragaman respon hanya disebabkan oleh perlakuan dan galat (kesalahan dalam pengamatan atau pencatatan data). Pada penelitian ini terdapat dua faktor perlakuan yakni waktu pretreatment dan konsentrasi inokulum dalam satu rancangan. Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan apakah dari masing-masing perlakuan berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter yang diamati. Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, maka dilanjutkan dengan uji banding, yakni uji Duncan. Uji duncan memiliki nilai pembanding sebanyak p-1 atau tergantung banyaknya perlakuan. Artiny, apabila perlakuan berjumlah 10, maka nilai pembandingnya sebanyak 9. Uji duncan ini lebih teliti dan dapat digunakan untuk membandingkan pengaruh perlakuan dengan jumlah perlakuan yang besar.

Model matematis rancangan percobaan penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εij

Dimana :

Yij : Respon pada perlakuan Waktu ke-i, Konsentrasi NaOH ke-j

µ : Rataan Umum

Ai : Pengaruh Waktu ke-i (0 jam, 4 jam, 8 jam, 12 jam, 16 jam)

Bj : Pengaruh Konsentrasi Inokulum ke-j (5 g /100 g TS, 7.5 g /100 gr TS, dan 10 g /100 gr TS )

(AB)ij : Pengaruh Interaksi Waktu ke-i dan Konsentrasi inokulum ke-j

εij : Pengaruh galat percobaan yang berasal dari faktor perlakuan A taraf ke- i dan perlakuan B taraf ke- j


(22)

Hipotesis :

Pengaruh utama faktor A

H0 : α1 = … = αa = 0 (Faktor A tidak berpengaruh)

H1 : paling sedikit ada satu i dimana αi≠ 0 (Faktor A berpengaruh) Pengaruh utama faktor B

H0 : β1 = … = βb = 0 (Faktor B tidak berpengaruh)

H1 : paling sedikit ada satu j dimana βj≠ 0 (Faktor B berpengaruh) Pengaruh sederhana (interaksi) faktor A dan faktor B

H0 : (αβ)11 = (αβ)12 = … = (αβ)ab = 0 (Interaksi Faktor A dan B tidak berpengaruh) H1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (αβ)ij≠ 0 (Interaksi Faktor A dan B


(23)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Karakteristik Onggok Sebelum

Pretreatment

Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok dipilih karena merupakan biomasa limbah pertanian yang dapat dijadikan model biomassa lainnya sebab onggok yang merupakan hasil samping proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioka masih memiliki kandungan bahan organik yang cukup tinggi, berbentuk padatan, dan jumlahnya yang melimpah. Onggok ini berbentuk serbuk dengan warna cokelat keputihan dan memiliki tekstur yang kasar serta berserabut karena terdiri atas serat-serat yang tidak hancur secara sempurna.

Gambar 14. Onggok Kering

Onggok yang dijadikan bahan dalam penelitian ini dianalisis karakteristiknya sesuai prosedur analisa proksimat seperti kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat, serta analisis van soest, yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa ligniselulosa yang terdiri atas kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Tujuan analisa proksimat adalah untuk menentukan komponen dan kadar bahan yang terkandung didalamnya. Hal tersebut terkait dengan perlakuan yang akan dilakukan pada penelitian ini sehingga perlu menentukan ada atau tidaknya bahan tambahan serta dapat mengikuti perubahan karakteristik onggok baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Tabel 5. Hasil Analisa Karakteristik Onggok

Komponen Hasil Penelitian (%BK)

Air 7 Abu 1,44 Protein 0,42 Lemak 1,17 Karbohidrat 68.93

Selulosa 64,03 Hemiselulosa 16,11

Lignin 17,53

Pengujian kadar air dilakukan untuk menentukan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan karena kadar air berpengaruh terhadap daya tahan, kesegaran, penampakan, tekstur, dan cita rasa. Hasil dari pengujian diketahui bahwa onggok mengandung sebanyak 7 % air dari bobot keringnya. Hal itu menandakan bahwa onggok memiliki daya tahan yang baik karena berada dalam


(24)

kondisi yang kering sehingga tidak terjadi pembusukan oleh mikroba. Penampakannya pun kasar dan teksturnya keras karena masih mengandung serat dan serabut dari pengolahan tapioka yang tidak hancur sempurna. Hasil pengukuran kadar air ini digunakan untuk menghitung seberapa banyak air yang ditambahkan dalam proses pretreatment hingga kadar airnya meningkat menjadi 85% seperti pada metode penelitian.

Jika kadar air onggok sebesar 7%, maka didapatkan persentasi total padatan sebesar 93% karena total padatan dalam suatu bahan terdiri atas air dan padatan, sedangkan kadar abu onggok yang diuji sebesar 1.44%. Pengujian ini erat kaitannya dengan banyaknya bahan organik pada onggok. Abu yang ada merupakan senyawa unsur mineral bukan organik sementara bobot yang hilang adalah senyawa organiknya sehingga jika kadar abu rendah maka hal itu menunjukkan bahwa tingginya bahan organik pada onggok. Kadar protein diujikan untuk mengetahui kadar nitrogen pada onggok sehingga dapat menentukan banyaknya nutrien yang ditambahkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengujian kadar protein sebesar 0.42%. Rendahnya kadar tersebut merupakan indikator bahwa ketika onggok akan diolah menjadi biogas perlu penambahan nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan mikroorganisme. Sementara itu, komposisi dan kadar senyawa ligniselulosa onggok yang diuji, digunakan untuk mengetahui jenis pemilihan mikroorganisme yang sesuai dan memiliki kemampuan dalam merombak senyawa tersebut. Oleh karena itu, harus dilakukan pretreatment untuk menguraikan sejumlah padatan tersebut agar menghasilkan senyawa yang mudah larut dan dapat dijadikan sebagai sumber karbon untuk substrat pengolahan onggok selanjutnya seperti pembuatan biogas.

Selain itu, diketahui pula persentasi volatile solid yang menjadi parameter ukur untuk menyatakan seberapa besar beban pencernaan yang harus dilakukan oleh bakteri (Parlina, 2009). Volatile solid yang terdapat dalam onggok tapioka ini sebesar 92%. Menurut Parlina (2009), konsentrasi padatan volatil yang cukup tinggi akan menambah beban pretreatment atau penguraian bakteri sehingga harus dilakukan peningkatan kadar air dari padatan yang ada sehingga menurunkan konsentrasi padatan volatil. Dengan menurunnya konsentrasi padatan volatil, maka semakin berkurang pula beban pencernaan yang dilakukan oleh mikroorganisme dalam melakukan penguraian senyawa ligniselulosanya.

Serat terdiri atas bagian yang dapat larut dalam air dan tidak dapat larut dalam air. Serat yang larut dalam air antara lain terdiri atas pektin, getah tanaman, dan gum sedangkan serat yang tidak larut dalam air antara lain terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya tetapi lebih didominasi oleh serat yang tidak larut. Kandungan selulosa dan hemiselulosa pada onggok diduga berasal dari lapisan mesocarp yang merupakan lapisan paling tebal pada ubi kayu, sebagian besar kandungan gizi ubi kayu terdapat pada bagian ini. Sedangkan kandungan lignin berasal dari lapisan endocarp yang merupakan lapisan keras dan strukturnya seperti kayu. Serat tidak dapat dicerna dalam organ pencernaan manusia maupun hewan. Kandungan serat kasar pada onggok, yaitu sebesar 10,87% (Siagian, 2011). Besarnya kandungan serat kasar pada limbah onggok ini menunjukkan bahwa onggok merupakan limbah ligniselulosa. Kandungan ligniselulosa yang terdapat dalam onggok harus dilakukan pretreatment sebelum dilakukan proses selanjutnya. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan lignin yang melindungi selulosa dan hemiselulosa sehingga menyebabkan sulit diurai. Dengan adanya penambahan campuran inokulum mikroorganisme, maka lignin akan tedegradasi sehingga selulosa dan hemiselulosa akan terpecah menjadi gula-gula sederhana (monosakarida) sehingga dapat masuk ke dalam sel bakteri tertentu untuk diproses menjadi produk yang diinginkan.


(25)

4.2

Karakteristik Onggok Setelah

Pretreatment

4.2.1

Chemical Oxygen Demand

Onggok

COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan atau senyawa organik dapat teroksidasi secara kimia. Artinya, semakin banyak senyawa organik yang dioksidasi maka jumlah kebutuhan oksigennya meningkat dan meningkatkan pula nilai COD-nya. Bahan organik tersebut dioksidasi oleh kalium bikromat sebagai sumber oksigen. Besarnya nilai COD total dihitung dari COD terlarut dan yang tersuspensi. COD total pada suatu biomassa bernilai tetap sedangkan pada proses pretreatment ini diukur COD terlarutnya sehingga nilainya akan terus naik seiring dengan waktu proses dan inokulum yang ditambahkan. Dengan menggunakan kalium bikromat diperkirakan 95% bahan organik dapat dioksidasi (Nurhasanah 2009).

CaHbOc + Cr2O7-2 + H+ CO2 + H2O + Cr3+

Reaksi tersebut perlu ditambahkan perak sulfat dan pemanasan sebagai katalisator. Semakin besar nilai COD-nya maka semakin banyak senyawa organik yang dioksidasi. Jika

setelah pretreatment mengalami kenaikan nilai COD maka telah terjadi degradasi partikel pada onggok menjadi senyawa yang lebih sederhana. Perhitungan nilai COD ini dilakukan pada sampel onggok yang terlarutnya sehingga disebut sebagai COD terlarut karena COD total suatu bahan terdiri atas COD terlarut dan COD bahan yang tidak larut. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh bahwa pada konsentrasi campuran inokulum 5 g/100 g TS sesuai pada gambar 15.

Pada saat jam ke-0 baik kontrol maupun perlakuan belum menunjukkan adanya senyawa organik yang diurai karena mikroba masih dalam fase adaptasi sehingga nilai COD terlarutnya masih rendah. Untuk kontrol 43 mg/l sedangkan perlakuan inokulum 5% pada jam tersebut sebesar 63 mg/l. Ketika jam ke-4 nilai COD terlarutnya meningkat menjadi 251 mg/l, jam ke-8 terjadi kenaikan lagi menjadi 608 mg/l. Kenaikan ini disebabkan telah terjadi pertumbuhan mikroba yang menghidrolisis komponen ligniselulosa menjadi monomer terlarut. Pada jam ke-8 hingga ke-12 COD terlarut meningkat tajam menjadi 1699 mg/l. Kenaikan pada jam ini adalah yang paling tinggi dibandingkan pada jam sebelumnya dan jam ke-16 yang hanya mengalami kenaikan sebesar 337 mg/l. Hal itu disebabkan karena pada rentang waktu jam ke-8 dan ke-12 terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada tahap eksponensial sehingga jumlah populasi mikroba bertambah banyak dan mampu mengurai substrat komponen ligniselulosa. Dengan demikian, penambahan inokulum 5% dapat berpengaruh terhadap degradasi senyawa ligniselulosa pada onggok.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

0 4 8 12 16

COD terlaru

t

(m

g

/l)

Waktu (jam) inokulum 5%

kontrol


(26)

Pada konsentrasi inokulum 7.5% hasil yang diperoleh menunjukan kenaikan COD terlarut yang lebih tinggi daripada konsentrasi inokulum 5%. Hal itu disebabkan karena populasi mikroba pada konsentrasi ini jauh lebih banyak dari konsentrasi sebelumnya sedangkan substrat masih mencukupi sehingga dapat meningkatkan efektifitas dari perombakan limbah onggok tersebut oleh mikroba. Tingginya kenaikan nilai COD terlarut juga karena dipengaruhi oleh bentuk partikel onggok yang halus dan kecil sehingga memperluas bidang permukaan sehingga dapat dirombak secara spesifik sempurna di semua bagian permukaan onggok.

Pada jam ke-0 hingga ke-12 kenaikan COD terlarut pada konsentrasi ini tidak berbeda jauh dengan konsentrasi inokulum sebelumnya. Akan tetapi, pada jam ke-16 terjadi kenaikan COD terlarut yang lebih tinggi, yaitu mencapai 2239 mg/l dibandingkan konsentrasi inokulum 5% pada jam yang sama sebesar 2036 mg/l. Hal itu menandakan bahwa semakin banyak konsentrasi inokulum yang ditambahkan, semakin banyak pula bahan organik dari senyawa ligniselulosa yang dapat diurai menjadi monomer terlarut sehingga menyebabkan nilai COD terlarutnya mengalami kenaikan yang lebih tinggi pula seperti yang ditunjukkan pada gambar 16.

Pada konsentrasi 10% atau 10 gram inokulum dalam 100 gram padatan terjadi kenaikan COD terlarut yang lebih signifikan dibandingkan konsentrasi sebelumnya karena onggok yang digunakan diduga masih mengandung unsur pati sehingga ikut teroksidasi saat pengujian COD terlarut dan menambah beban pretreatment onggok. Walaupun besarnya kandungan pati tidak dianalisis secara kuantitatif hanya kualitatif dengan meneteskan larutan iodine dan terlihat warna biru pada onggok tetapi jelas perubahan warna itu menandakan masih banyak mengandung unsur pati. Oleh karena itu, peningkatan degradasi senyawa organik terlarut terjadi pada perlakuan inokulum 10% saat jam ke-16 sedangkan pada jam sebelumnya kenaikan nilai COD tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sebelumnya.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

0 4 8 12 16

COD terlaru

t

(m

g

/l)

waktu (jam) kontrol

inokulum 7.5%


(27)

Kenaikan nilai COD terlarut pada konsentrasi ini meningkat dari jam ke-0 hingga ke-12 dari 43 hingga 1766 mg/l. Akan tetapi, besarnya kenaikan ini tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sebelumnya. Perbedaan yang paling signifikan terjadi pada jam ke-16, yaitu sebesar 3167 mg/l atau terjadi kenaikan COD terlarut 1401 mg/l setelah jam ke-12. Hal ini juga membuktikan bahwa dengan penambahan katalisator berupa inokulum campuran yang lebih banyak dapat meningkatkan COD terlarut pada proses pendegradasian biomassa onggok seperti pada gambar 17.

Berdasarkan hasil pengujian sidik ragam (lampiran 3) diperoleh hasil bahwa pada setiap perlakuan antara faktor konsentrasi dan taraf waktu pretreatment menunjukkan setiap perlakuan tersebut berbeda nyata. Pada uji lanjut Duncan atau pembeda diperoleh bahwa konsentrasi inokulum campuran 10% pada jam ke-16 adalah kondisi terbaik untuk penguraian biomassa onggok karena nilai COD terlarutnya paling tinggi. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya konsentrasi inokulum yang ditambahkan, semakin banyak pula senyawa ligniselulosa yang terdegradasi menjadi bahan organik terlarut.

Kenaikan nilai COD terlarut mengikuti grafik eksponensial yang sesuai dengan grafik pertumbuhan mikroba. Kenaikan ini menunjukan bahwa telah terjadi penguraian senyawa organik menjadi lebih sederhana. Pengujian menggunakan analisis COD ini menjadi parameter yang akurat karena menghitung jumlah oksidan yang digunakan untuk mengkonversi senyawa organik polimer. Pengonversian tersebut jelas akan menambah jumlah senyawa organik karena dalam bentuk yang lebih sederhana atau monomer sakarida. Pembentukan monosakarida ini penting bagi proses pengolahan onggok selanjutnya karena faktor utama yang mempengaruhinya adalah keseimbangan nutrien, rasio antara unsur karbon dan nitrogen sebesar 600:7, serta pH yang stabil (Nurhasanah, 2009).

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

0 4 8 12 16

COD terlaru

t

(m

g

/l)

Waktu (Jam) kontrol

inokulum 10%


(28)

4.2.2

Total Solid

Onggok

Sebagai data pendukung telah terjadi hidrolisis biomassa onggok oleh mikroorganisme, selain dilihat dari kenaikan jumlah senyawa organik yang larut melalui pengukuran COD juga dapat dianalisis bahan yang tidak larutnya dengan TSS (Total Suspended Solid). Besarnya padatan yang tidak larut berkebalikan dengan yang larut, artinya semkin banyak total padatan tersuspensi maka bahan yang terlarut sedikit dan nilai COD-nya pun rendah sedangkan jika total padatan tersuspensi semakin berkurang maka bahan yang terlarut banyak dan nilai COD-nya tinggi sehingga perbandingan antara kenaikan dan penurunan keduanya sama. Dengan demikian, seiring dengan analisis COD yang telah dilakukan dan mengalami kenaikan maka total padatannya pun akan menurun. Pengukurannya dilakukan dengan cara menyaring hasil pretreatment dengan kertas saring Whatman 41. Hasil penyaringan yang tertinggal pada kertas saring dianggap sebagai total padatan. Substrat yang lolos dari kertas saring adalah serat atau padatan yang telah terhidrolisis menjadi gula sederhana. Adanya bagian serat atau total padatan yang terdegradasi dapat diamati dari penurunan persentasi TS pada biomassa tersebut.

Total Solid (TS) adalah semua zat yang masih ada atau tesisa setelah penguapan pada suhu 103-105o C. Total padatan ini dapat terbagi atas zat padat yang terlarut dan yang tersuspensi. Zat padat yang tersuspensi (Suspended Solid) dapat mengendap secara gravitasi, sedangkan yang terlarut (Dissolved Solid) tidak dapat mengendap. Padatan ini dapat berupa zat organik maupun anorganik (Rohmah, 2008). Dalam penelitian ini, digunakan kertas saring Whatman 41 untuk menyaring limbah onggok yang telah mengalami pretreatment dengan masing-masing perlakuan. Banyaknya bahan organik tak terlarut berupa serat yang belum terdegradasi oleh mikroorganisme ini ditunjukkan oleh tidak lolosnya bahan organik tersebut pada kertas saring. Sementara bahan organik terlarut yang telah terdegradasi oleh mikroorganisme dapat lolos dari kertas saring

Berdasarkan hasil pengujian dengan parameter variabel yang sama, diperoleh bahwa terjadi penurunan padatan dari 15% menjadi 6% atau turun setengahnya. Artinya, bahwa terdapat sejumlah padatan yang larut akibat penguraian oleh mikroorganisme. Padatan berupa partikel yang masih tersisa adalah yang tidak larut atau tidak terdegradasi. Kemampuan dalam mengurai padatan onggok saat pretreatment cenderung stabil disetiap jamnya seperti pada grafik 18 penurunan total padatan yang tidak terlarut.

0 3 6 9 12 15

0 4 8 12 16

% TSS

Waktu (Jam)

Grafik 18. Penurunan Nilai TSS PretreatmentOnggok inokulum 7.5%

inokulum 10% inokulum 5%


(29)

Jika dibandingkan dengan setiap konsentrasi inokulum yang ditambahkan, penambahan 10% inokulum adalah penurunan total padatan yang paling besar dari 15% mendekati 5% hingga jam ke-16, sedangkan untuk konsentrasi lainnya pada jam terakhir berkurang masing-masing 7% dan 8% untuk konsentrasi 5% dan 7.5%. Akan tetapi, penurunan padatan ini tidak menunjukan perbandingan yang sama dengan kenaikan nilai COD. Artinya, jika terjadi kenaikan COD sebesar 80% maka penurunan padatannya pun semestinya bernilai sama. Penyebab utama hal ini dikarenakan selama proses degradasi menghasilkan senyawa lain selain gula sederhana yang terjadi akibat perubahan gula atau monosakarida menjadi produk turunannya yang ikut teroksodasi oleh kalium bikromat. Produk turunan tersebut juga masih mengandung unsur karbon atau organik sehingga berpengaruh saat pengukuran analisis COD terlarut. Salah satu turunan monosakarida itu dimungkinkan penyebab perbandingan kenaikan COD lebih besar dibandingkan dengan penurunan TSS sehingga perbandingan keduanya tidak sama. Derivat monosakarida diantaranya adalah sebagai berikut (Mussato, 2004).

1. Asam-asam

Gugus fungsi pada monosakarida apabila mengalami oksidasi menjadi gugus karboksilat. Asam yang dibentuk disebut sebagai derivat monosakarida. Contoh oksidasi glukosa menghasilkan asam glukonat, asam glukarat dan asam glukuronat. Asam glukuarat mudah larut dalam air. Asam glukonat dan asam glukuronat sebagai hasil perombakan glukosa. Dari ketiga asam tersebut hanya asam glukuronat yang masih mempunyai sifat mereduksi.

2. Gula Amino

Ada tiga senyawa yang penting dalam kelompok ini, yaitu Glukosamina, D-galaktosamina dan D-manosamina. Pada umumnya senyawa-senyawa ini berikatan dengan asam uronat dan merupakan bagian dari mukopolisakarida. Asam hialuronat adalah suatu polimer yang terdiri atas unit-unit disakarida. Tiap unit terbentuk dari satu molekul N-asetilglukosamina dan 1 molekul asam glukuronat.

3. Alkohol

Baik gugus aldehida maupun gugus keton pada monosakarida dapat direduksi menjadi gugus alkohol dan senyawa yang terbentuk adalah polihidroksi alkohol. Berikut ini adalah contoh reaksi reduksi beberapa monosakarida. Glukosa akan terbentuk sorbitol, dari manosa terbentuk manitol, sedangkan fruktosa akan membentuk manitol dan sorbitol. Reaksi reduksi ini dapat dilakukan dengan natrium amalgam atau dengan gas hidrogen pada tekanan tinggi atau dengan katalis logam.  

                           


(30)

4.3

Komposisi Ligniselulosa Onggok

Berdasarkan hasil pengujian analisis komposisi senyawa ligniselulosa sebagai indikasi telah terjadi degradasi melalui pretreatment, dapat dilihat dari seberapa besar penurunan kandungan ligniselulosanya. Perbandingan rasio antara lignin dan hemiselulosa terhadap selulosa diperoleh seperti pada gambar 19.

Gambar 19. Perbandingan Senyawa Ligniselulosa Setelah Pretreatment Pada Jam Ke-16 Grafik tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan komposisi senyawa ligniselulosa sebelum dan sesudah pretreatment. Perbandingan antara senyawa lignin dan hemiselulosa terhadap selulosa pada awal atau sebelum pretreatment adalah 27% dan 25%. Perbandingan tersebut terus menurun pada perlakuan dengan penambahan inokulum 5%, 7.5%, dan 10 % hingga 11% dan 13%. Penurunan senyawa lignin lebih besar dibandingkan hemiselulosa terhadap selulosa. Hal itu dikarenakan bagian pertama yang mengalami degradasi adalah lignin sebab lignin adalah bagian yang menyelubungi senyawa lain didalamnya. Secara keseluruhan perbandingan senyawa ligniselulosa di awal dan di akhir pretreatment menurun sebesar 53%. Hal tersebut sesuai dengan persentasi penurunan padatan yang tidak terlarut. Dengan demikian, penambahan inokulum sebagai katalisator pada onggok dapat meningkatkan biodegradabilitas dalam menguraikan senyawa ligniselulosa menjadi gula sederhana dan penambahan inokulum sebesar 10% dalam waktu 16 jam merupakan kombinasi antara waktu dan konsentrasi inokulum yang dapat meningkatkan kinerja proses pendegradasian biomassa khususnya onggok yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

0 5 10 15 20 25 30

Awal 5% 7.50% 10%

Persen (%)

Perlakuan

Lignin : Selulosa Hemiselulosa : Selulosa


(31)

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penambahan konsentrasi inokulum campuran sebanyak 5%, 7.5%, dan 10% pada proses pretreatment biomassa onggok selama 16 jam dapat meningkatkan degradasi senyawa ligniselulosa menjadi bahan organik terlarut. Semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan maka peningkatan COD terlarutnya pun akan semakin tinggi. Pada konsentrasi inokulum campuran 5% terjadi kenaikan hingga 2036 mg/l, konsentrasi 7.5% naik menjadi 2236 mg/l, dan konsentrasi 10% menjadi 3167 mg/l. Peningkatan COD terlarut pada proses ini juga diikuti dengan penurunan padatan yang tersuspensi. Selama 16 jam pretreatment onggok terjadi penurunan total padatan dari 15% menjadi 6.12% untuk konsentrasi 5%, 6.10% untuk konsentrasi 7.5%, dan 5.90% untuk konsentrasi 10%. Penurunan padatan ini didukung dengan menurunnya senyawa ligniselulosa. Perbandingan senyawa lignin terhadap selulosa menurun dari 27% menjadi 11% dan perbandingan hemiselulosa terhadap selulosa menurun dari 25% menjadi 13%.

Dengan demikian, penambahan inokulum pada pretreatment onggok dapat meningkatkan kinerja atau penguraian senyawa ligniselulosa menjadi monomer terlarut yang dapat dimanfaatkan untuk pengolahan onggok selanjutnya seperti pembuatan biogas. Semakin besar konsentrasi inokulum yang ditambahkan dari 5-10% maka akan meningkatkan pula senyawa monomer organik terlarutnya yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai COD terlarut.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan onggok setelah proses pretreatment seperti menjadi substrat dalam pembuatan biogas agar lebih komprehensif atau berkelanjutan sesuai dengan perlakuan yang terbaik. Perlakuan pendahuluan pada biomassa pertanian juga dapat dilakukan pada suhu inkubasi 35oC agar proses degradasi berjalan lebih efektif serta perlu dilakukan analisis kadar gula setelah pretreatment untuk mengetahui senyawa organik yang larut sebagai substrat pada pengolahan onggok selanjutnya menjadi bioetanol.


(32)

 

   

PENINGKATAN BIODEGRADABILITAS BIOMASSA ONGGOK

DENGAN

PRETREATMENT

INOKULUM CAMPURAN

SKRIPSI

ANDI DHARMAWAN

F34080028

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(33)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th edition. AOAC International Suite 500 Maryland. USA

APHA. 2005. Standar Methods for The Examination Water and Waste Water 21th edition. Office APHA Washington DC. USA

Agustina, Dewi. 2009. Kadar Lignin dan Tipe Monomer Penyusun Lignin Pada Kayu Akasia [Skripsi]. Dept. Hasil Hutan.FAHUTAN. IPB. Bogor.

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Aldrich. 2012. Enzymes for Lignocellulosic Ethanol Research.

http://www.sigmaaldrich.com/life-science/metabolomics/enzyme-explorer/analytical-enzymes/enzymes-for-aer.html [18 Juli

2012].

Anonim. 1984. Pembuatan Sirup Glukosa dari Ampas Tapioka. Badan penelitian dan pengembangan Industri Semarang, Departemen Perindustrian, Semarang.

Arati J. M. 2009. Evaluating The Economic Feasibility Of Anaerobik Digestion Of Kawangware Market Waste [Tesis]. Manhattan: Kansas State University.

Astuti, D, I. 2003. Pemanfaatan Kultur Campuran Isolat Mikroba Lokal untuk Degradasi Minyak Bumi dan Produksi Biosurfaktan [Disertasi]. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Black, J. 1999. Microbiology Principle and Explorations. Prentice Hall Upper Saddle river, New Jersey.

Damardjati, D. S. 1985. Strategi Penelitian Limbah Ubi Kayu di Indonesia. Di dalam F. G. Winarno (ed). Monografi Limbah Pertanian. Kantor Mentri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Jakarta.

Del Campo, I. 2006. Diluted Acid Hydrolysis pretreatment of agri food waste for bioethanol production. Industrial Crops and Products. 24:214-221.

Ermawar, R.A., D.H.Y. Yanto, Fitria, and E. Hermiati. 2006. Biodegradation of lignin in rice straw pretreated by white-rot fungi. Widya Riset 9(3): 197−202.

Fikrinda. 2000. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Pengahasil Selulase Ekstremofilik dari Ekosistem Air Tawar [Tesis]. IPB. Bogor.

Fengel, D. and D. Wegener.1995. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reaction. Walter the Gruyter and co. Berlin.

Gullichcen, J and Paulapuro, H. 2004. Papermarking Science and technology: Forest Product Chemistry, Book 3. Finish Paper Engieneers’ Association and TAPPI Helsinki.

Hambali, E. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia Pustaka. Jakarta. Kurniawan, Tomy. 2011. Teknologi EM-4. Custom Community. Jakarta.

Mattila. 2002. Enzymatic Hydrolysis of Lignocellulosic Biomass. Biotecnol. Bioeng. 32:341-344. Mishra, S.2001. Evaluation Of Inoculum Addition to Stimulate In Situ Bioremediation of Oily Sludge

Contaminated Soil. App. And Environ. Microbial. 64 (4), 1675-1681.

Mussato, S.I. 2004. Alternatife For Detoxification of Diluted Acid Lignocellulosic Hydrolysates For Use In Fermentative Process. Biosource Technology, 93:1-10.

Munir, Erman. 2005. Peranan Asam Oksalat dalam Degradasi Ligniselulosa [Skripsi]. Dept. Biologi. F-MIPA. USU. Medan.

Nuraini, Sabrina dan S.A. Latif 2008. Peforma Ayam dan Kualitas Telur yang Menggunakan Ransum Mengandung Onggok Fermentasi dengan Neurospora crassa. Media Peternakan. Universitas Andalas: 195-201.


(34)

Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD Pada Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit [Skripsi]. F-MIPA.USU. Medan.

Pasaribu, T. 2006. Peningkatan Nilai Gizi Biomassa Melalui Fermantasi. Pengaruh Jenis Kapang, Suhu, dan Lama Proses Enzimatis. J. Ilmu ternak Vet 3(4):237-242.

Parlina, Iin. 2009. Asam-asam Volatil dan Bakteri Metanogenik. http://Iinparlina.wordpress.com/2009/07/21/asam2-volatil-dan-bakteri-metanogenik/. [13 April 2012].

Oshima, M. 1965. Wood Chemistry Process Engineering Aspect. Noyes Develop. Corp. New York. Rohmah, Nur. 2008. Penurunan TS (Total Solid) pada Limbah Cair Industri Perminyakan dengan

Teknologi AOP. Pusat penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bandung .

Retnani, Yuli. 2010. Penerapan Produksi Bersih Industri Tapioka Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan [Skripsi]. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Samsuri, M. 2007. Effects Of Fungal Treatments On Ethanol Production From Bagasse By Simultaneous Saccharification And Fermentation. Bioresour. Tecnol. P.317-323.

Saha, B.C. 2003. Hemicelluocesa Bioconversion. J. Ind Microbiol Biotecnol 30: 279-291.

Siagian, RM. 2011. Pemanfaatan Kayu Mangium Sebagai Bahan Baku Pulp Kertas Koran. Buletin Hasil penelitian Hutan. 16(4):57-56.

Sjofjan, O. 1996. Penggunaan Gamblong sebagai Media Fermentasi dari Rhizopus sp [Skripsi]. Universitas Brawijaya. Malang.

Sjostrom, E. 1995. Dasar-dasar Kimia Kayu dan Penggunaan. Edisi ke-2. Sastroamidjoyo, H. penerjemah : Prawirohatmojo S, editor: Yogyakarta: UGM Press. Trejemahan dari : Wood Chemistry, Fundamentals And Application. 2nd Edition.

Sun, Y. and J. Cheng, 2002. Hydrolysis Of Lignocellulosic Material From Ethanol Production: A review. Bioresour. Technol. 83: 1-11.

Tjiptadi. 1982. Telaah Pembuatan Glukosa dan Sifat Limbah Cairnya dengan bahan Ubi Kayu secara Hidrolisa Asam dalam Rangka Meningkatkan Teknik Pengolahannya.[Tesis]. Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Van Soest. 1963. Standar Methods of Nutrition Research Feed, Forage, and Water Analysis. Publishing House PVT. USA

Zam, Syukria Ikhsan. 2010. Optimasi Konsentrasi Inokulum Bakteri Hidrokarbonolastik Pada Limbah Ligniselulosa [Disertasi]. Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN. Riau-Pekanbaru.


(35)

 

   

PENINGKATAN BIODEGRADABILITAS BIOMASSA ONGGOK

DENGAN

PRETREATMENT

INOKULUM CAMPURAN

SKRIPSI

ANDI DHARMAWAN

F34080028

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(36)

 

PENINGKATAN BIODEGRADABILITAS BIOMASSA ONGGOK

DENGAN

PRETREATMENT

INOKULUM CAMPURAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

Andi Dharmawan

F34080028

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(37)

 

iii

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Peningkatan Biodegradabilitas Biomassa Onggok Dengan Pretreatment Inokulum Campuran adalah hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau disadur dari karya penulis lain telah disebutkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Agustus 2012 Yang membuat pernyataan,

Andi Dharmawan F34080028


(38)

 

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutip atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,

sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

fotocopy

,

microfilm

, dan


(39)

 

v Judul Skripsi : PENINGKATAN BIODEGRADABILITAS BIOMASSA ONGGOK

DENGAN PRETREATMENT INOKULUM CAMPURAN

Nama : ANDI DHARMAWAN

NIM : F34080028

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. M. Romli, M.Sc,St Drs.Purwoko, M.Si NIP : 19601205 198609 1 001 NIP : 19590710 197903 1 001

Mengetahui, Kepala Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP : 19621009 198903 2 001


(1)

Lampiran 3. Rancangan Acak Lengkap Kuadrat Tengah

Perlakuan Konsentrasi

Waktu 5% 7.50% 10% Σ(A)i Σ(A)i2 (Σ(A)i)2

0 63.15 21.05 42.97 127.17 16172.2089 6277.4459

4 250.73 461.59 470.36 1182.68 1398731.98 497169.391 8 608.44 586.61 671.31 1866.36 3483299.65 1164967.64 12 1699.36 1711.3 1765.95 5176.61 26797291.1 8934951.5 16 2035.84 2239.06 3167.49 7442.39 55389168.9 19191027.1 Σ(B)j 4657.52 5019.61 6118.08 15795.21

Σ(B)j2 21692493 25196485 37430902.89 84319880 (Σ(B)j)2 7469521.6 8499557.1 13825314.37 29794393.1

db perlakuan = t-1 2

db galat = t(r-1) 12

db total = tr-1 14

Maka

Fhitung > F tabel maka Tolak Ho

Dari tabel diatas menunjukan bahwa rataan tertinggi ada pada konsentrasi 10% 16 jam sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan tersebut adalah yang terbaik karena semua perlakuan adalah berbeda nyata.

HIPOTESIS :

H0 = Perlakuan tidak berbeda nyata H1 = Perlakuan berbeda nyata

FK [(Σ(AB)ij)2/15]

JKTotal [((Σ(AB)ij)2-FK)]

JKPerlakuan [(Σ(AB)j2i2 )/3 – FK]

JKGalat (JK Tot-JKPerlakuan)

16632577.26 13161815.81 11474049.4 1687766.407

Tabel ANOVA

Sumber Keragaman

Derajat bebas

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (JK/Db)

Fhitung (KTP/KTG)

Ftabel (P=0,05) Perlakuan 2 11474049.4 5737024.7

40.79 2.0367 Galat 12 1687766.407 140647


(2)

Lampiran 4. Data Analisis Proksimat Onggok

A. Kadar Air

Ulangan 1 Cawan awal

(gr)

Sampel (gr)

Cawan + sampel awal (gr)

Cawan + sampel akhir

(gr) Kadar Air

4.445 5.0015 9.4465 8.7427 7.45%

Ulangan 2 Cawan awal

(gr)

Sampel (gr)

Cawan + sampel awal (gr)

Cawan + sampel akhir

(gr) Kadar Air

5.2701 5.0059 10.276 9.5753 6.82%

Kadar Air

TS Ulangan 1

(%)

Ulangan 2

(%) Rata-rata (%)

7.45% 6.82% 7% 93%

B. Kadar Protein Bobot sampel

(gr)

Volum sampel (ml)

Volum Blanko (ml)

Sampel-Blanko

(ml) Kadar Protein

0.206 1 0.5 0.5 0.42%

C. Kadar Abu Cawan awal

(gr)

Sampel (gr)

Cawan + sampel akhir

(gr) Kadar Abu

26.2256 2.0005 26.2544 1%

D. Kadar karbohidrat Bobot

sampel (gr)

Volum Sampel (ml)

Volum Blanko (ml)

Blanko-sampel (ml)

mg glukosa

(tabel luff) Kadar Karbohidrat (%)

2 4.6 27.3 22.7 61.27 68.93%

E. Kadar Lemak Labu

awal (gr) Bobot Contoh(gr)

Labu akhir

(gr) Kadar Lemak 116.1621 1.7512 116.1826 1.17%

       


(3)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Karakteristik Onggok Setelah

Pretreatment

A.

Nilai Rataan COD

Pretreatment

Onggok (mg/l)

Waktu

(jam)

5 g EM4/100 g TS

Standar deviasi

7.5 g EM4/100 g TS

Standar deviasi

10 g EM4/100 g TS

Standar deviasi

Kontrol

0 63 0 21 0 43 0 43

4 251 103 462 50 470 35 150

8 608 49 587 76 671 67 244

12 1699 138 1711 205 1766 163 234

16 2036 136 2239 204 3167 191 258

B.

Nilai Rataan TSS

Pretreatment

Onggok (g/g)

Waktu

(jam)

5 g EM4/100 g TS

Standar deviasi

7.5 g EM4/100 g TS

Standar deviasi

10 g EM4/100 g TS

Standar deviasi

0 15.00 0 15.00 0 15.00 0

4 6.27 0.08 6.25 0.08 6.21 0.06 8 6.23 0.11 6.16 0.04 6.18 0.05 12 6.16 0.14 6.15 0.03 6.15 0.11 16 6.12 0.01 6.11 0.005 5.91 0.25


(4)

Lampiran 2. Perhitungan Persentase Total Padatan

Kadar air onggok = 7% Padatan = 93%

Sampel Onggok = 0.5 gram

Persentase penurunan padatan yang diinginkan menjadi 15%

Konsentrasi 5%, 7.5%, dan 10% artinya ditambahkan cairan inokulum sebanyak 5, 7.5, dan 10 gram dalam 100 gram padatan

Jika sampel yang akan diuji sebanyak 100 gram padatan maka onggok yang harus ditimbang sebesar = 100 / padatan

= 100 / 0.93 = 107.5 gram

Untuk inokulum yang ditambahkan sebanyak 5, 7.5, dan 10 gram

Sehingga banyaknya air yang ditambahkan agar total padatan menjadi 15% adalah sebanyak % Padatan = Bobot padatan + air

Bobot sampel + air 0.15= 100 + air

107.5 + air Bobot air = 100 gram

Dengan demikian, komposisi untuk perlakuan

1. konsentrasi 5% = Inokulum 5 gram + air 95 gram 2. konsentrasi 7.5% = Inokulum 7.5 gram + air 92.5 gram 3. konsentrasi 10% = Inokulum 10 gram + air 90 gram


(5)

Lampiran 3. Rancangan Acak Lengkap Kuadrat Tengah

Perlakuan Konsentrasi

Waktu 5% 7.50% 10% Σ(A)i Σ(A)i2 (Σ(A)i)2

0 63.15 21.05 42.97 127.17 16172.2089 6277.4459

4 250.73 461.59 470.36 1182.68 1398731.98 497169.391 8 608.44 586.61 671.31 1866.36 3483299.65 1164967.64 12 1699.36 1711.3 1765.95 5176.61 26797291.1 8934951.5 16 2035.84 2239.06 3167.49 7442.39 55389168.9 19191027.1 Σ(B)j 4657.52 5019.61 6118.08 15795.21

Σ(B)j2 21692493 25196485 37430902.89 84319880 (Σ(B)j)2 7469521.6 8499557.1 13825314.37 29794393.1

db perlakuan = t-1 2

db galat = t(r-1) 12

db total = tr-1 14

Maka

Fhitung > F tabel maka Tolak Ho

Dari tabel diatas menunjukan bahwa rataan tertinggi ada pada konsentrasi 10% 16 jam sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan tersebut adalah yang terbaik karena semua perlakuan adalah berbeda nyata.

HIPOTESIS :

H0 = Perlakuan tidak berbeda nyata H1 = Perlakuan berbeda nyata

FK [(Σ(AB)ij)2/15]

JKTotal [((Σ(AB)ij)2-FK)]

JKPerlakuan [(Σ(AB)j2i2 )/3 – FK]

JKGalat (JK Tot-JKPerlakuan)

16632577.26 13161815.81 11474049.4 1687766.407

Tabel ANOVA

Sumber Keragaman

Derajat bebas

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (JK/Db)

Fhitung (KTP/KTG)

Ftabel (P=0,05) Perlakuan 2 11474049.4 5737024.7

40.79 2.0367 Galat 12 1687766.407 140647


(6)

Lampiran 4. Data Analisis Proksimat Onggok

A. Kadar Air

Ulangan 1 Cawan awal

(gr)

Sampel (gr)

Cawan + sampel awal (gr)

Cawan + sampel akhir

(gr) Kadar Air

4.445 5.0015 9.4465 8.7427 7.45%

Ulangan 2 Cawan awal

(gr)

Sampel (gr)

Cawan + sampel awal (gr)

Cawan + sampel akhir

(gr) Kadar Air

5.2701 5.0059 10.276 9.5753 6.82%

Kadar Air

TS Ulangan 1

(%)

Ulangan 2

(%) Rata-rata (%)

7.45% 6.82% 7% 93%

B. Kadar Protein Bobot sampel

(gr)

Volum sampel (ml)

Volum Blanko (ml)

Sampel-Blanko

(ml) Kadar Protein

0.206 1 0.5 0.5 0.42%

C. Kadar Abu Cawan awal

(gr)

Sampel (gr)

Cawan + sampel akhir

(gr) Kadar Abu

26.2256 2.0005 26.2544 1%

D. Kadar karbohidrat Bobot

sampel (gr)

Volum Sampel (ml)

Volum Blanko (ml)

Blanko-sampel (ml)

mg glukosa

(tabel luff) Kadar Karbohidrat (%)

2 4.6 27.3 22.7 61.27 68.93%

E. Kadar Lemak Labu

awal (gr) Bobot Contoh(gr)

Labu akhir

(gr) Kadar Lemak 116.1621 1.7512 116.1826 1.17%