commit to user
30
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Modus Operandi Praktik Mafia peradilan dalam Memengaruhi Proses
Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan.
Praktek mafia peradilan dapat merusak sendi-sendi hukum di Indonesia, sebab para mafia peradilan dalam menjalankan aksinya selalu
mengintervensi oknum aparat hukum secara halus, mulai dari penyidikan, penuntutan dan peradilan. Sebenarnya aparat hukum dalam menjalankan
tugas selalu memegang teguh aturan dalam undang-undang, namun keterlibatan para mafia peradilan dalam proses hukum dapat merusak
tatanan hukum yang telah berlaku. Berikut merupakan uraian lebih detail mengenai modus yang dilakukan mafia peradilan disetiap tahapan
pemeriksaan menurut hukum acara pidana di Indonesia. 1. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan dalam Memengaruhi Proses
Penyidikan a. Proses Penyidikan Pada Status Terperiksa Saksi
Sebelum peneliti memaparkan tentang proses penyidikan pada status terperiksa maka penulis akan menyajikan contoh kasus yang
relevan dengan pembahasan mengenai pengaruh mafia peradilan dalam proses penyidikan yang dilakukan pada status terperiksa,
contoh kasus: Sejak tanggal 7 September 2009 saat dilakukan penyidikan terhadap
perkara Gayus di Bareskrim, yang bersangkutan tidak pernah di tahan. Itu terjadi karena adanya konspirasi jahat antara Gayus, pengacara dan
2 orang oknum penyidik yang menangani kasus Gayus, selanjutnya terbongkar 2 oknum penyidik itu adalah Kompol AE dan Ajun
Komisaris Polisi SS. Kompol AE mendapatkan imbalan sebuah sepeda motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah, mobil toyota
fortuner dan rumah. Sedangkan Ajun Komisaris Polisi SS mendapat uang suap sebesar Rp. 100 juta Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 144.
Setelah membaca bahan kasus di atas, maka penulis akan memaparkan analisis guna mengetahui modus operandi praktik mafia
peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan.
commit to user 31
Pada tahapan ini biasanya mafia peradilan menawarkan pasal-pasal yang dapat meringankan terperiksa. Apabila pihak terperiksa tidak
merespon atau tidak mengindahkan tawaran mafia peradilan, maka proses akan berjalan dengan penuh intimidasi dan tentunya akan
mengahadapi proses penyidikan yang menakutkan. Proses demikian yang dialami Mohammad Chambali yang akhirnya terpaksa mengakui
membunuh Asrori alias mister X yang akhirnya terbukti keliru karena mister X dibunuh Rian jagal dari Jombang. Sehingga dalam hal ini
pihak terperiksa akan sangat cemas dan cenderung mengikuti kemauan mafia peradilan agar proses penyidikan dapat berjalan secara persuasif.
Bahkan mafia peradilan juga menggunakan modus menjanjikan dapat merekayasa kasus dengan menawarkan pasal-pasal ringan dalam
menjerat kasus pidana yang telah dilakukan oleh terperiksa. Para mafia peradilan mampu menawarkan kepada terperiksa untuk menghilangkan
barang bukti, agar kasus pidana yang dihadapinya bisa lemah dalam pembuktian pada sidang pengadilan kelak, sehingga pada saatnya
terperiksa akan lolos dari jeratan hukum. Ini merupakan bentuk rekayasa kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tentu
tidak dapat di biarkan terus menerus terjadi. Sejak puluhan tahun yang lalu peristiwa rekayasa kasus pidana berkali-kali terjadi, bahkan
menimpa dikalangan masyarakat dan telah menjadi sorotan publik serta menuai kecaman dalam masyarakat, namun praktek semacam itu
hingga kini masih saja terus terjadi. Tentu saja harga sebuah rekayasa kasus seperti ini biayanya
sangat mahal karena penyidik harus bersedia melanggar ketentuan aturan yang ada dalam undang-undang. Penyimpangan dapat terjadi
karena mafia peradilan pada proses penyidikan amatlah dominan yang terus-menerus mempengaruhi penyidik dengan segala cara agar mau
mengikuti kemauannya, tentunya dengan kompensasi dana yang sangat menarik. Seperti pada kasus di atas sang mafia peradilan menwarkan
pada terperiksa untuk memberikan imbalan pada penyidik yang
commit to user 32
menangani kasusnya. Penyidik Kompol AE mendapatkan imbalan sebuah sepeda motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah,
mobil toyota fortuner dan rumah. Sedangkan Ajun Komisaris Polisi SS mendapat uang suap sebesar Rp.100 juta.
Sepak terjang mafia peradilan ini sangat merusak moral dan mental para penyidik, mafia peradilan dengan gigih memengaruhi
proses penyidikan untuk menyimpang dari ketentuan aturan yang ada demi kepentingan terperiksa. Praktek mafia peradilan ini sangatlah rapi
misalnya komunikasi rahasia antara Gayus dengan penyidik yang hanya bisa diketahui masing-masing pelaku atau dengan teknologi
penyadapan yang terencana sehingga kejahatan mafia peradilan sulit di bongkar karena sulitnya barang bukti yang ada, jejak praktek mafia
peradilan dapat dengan mudah dihilangkan. Mafia peradilan hampir selalu ada pada kasus tindak pidana tetapi keberadaannya sulit untuk
dibuktikan, seperti itulah mafia peradilan yang ada pada setiap tahapan proses hukum. Mafia peradilan sulit di bongkar karena tidak
meninggalkan bukti dan jejak tindak pidana. Guna kepentingan terperiksa mafia peradilan akan mencermati
kewenangan penyidik untuk selanjutnya di lobi agar penyidik mau melanggar aturan untuk tidak menggunakan kewenangan penyidik
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 KUHAP yang antara lain berbunyi : ”salah satu kewenangan penyidik adalah menghentikan
penyidikan”. Kewenangan penyidik inilah yang dibidik oleh mafia peradilan untuk dimanfaatkan guna kepentingan terperiksa agar status
terperiksa tidak dinaikkan menjadi tersangka. Melainkan perkaranya diminta untuk dihentikan dengan cara penyidik dirayu untuk
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan SP3. Resiko pembuatan SP3 ini adalah sangat besar, kalaupun penyidik tidak berani
membuatkan SP3, sang mafia peradilan menurunkan tawarannya untuk meminta penyidik agar menerapkan pasal-pasal ringan yang
commit to user 33
menguntungkan tersangka. Inilah upaya para mafia peradilan dalam memengaruhi oknum penyidik.
b. Proses penyidikan pada status tersangka Setelah penyidik melakukan serangkaian tindakan dalam
mengungkap tindak pidana dengan didukung alat bukti yang cukup maka penyidik ditingkat kepolisian ini dapat meningkatkan status
terperiksa saksi menjadi tersangka. Pada posisi ini mafia peradilan berusaha sekuat tenaga untuk melobi pada penyidik agar tersangka
tidak di tahan. Penyidik dapat menahan atau tidak menahan tersangka, ini sudah sesuai ketentuan aturan yang ada yaitu diatur dalam Pasal 20
ayat 1 KUHAP yang berbunyi: untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang
melakukan penahanan. Alasan penahanan subyektif yaitu: 1 Tersangka diduga keras
melakukan tindak pidana. 2 Dikhawatirkan tersangka melarikan diri. 3 Dikhawatirkan merusak atau menghilangkan barang bukti. 4
Dikhawatirkan mengulangi tindak pidana. Atas dasar ketentuan tersebut penyidik dapat menyalahgunakan
kewenangan untuk menahan atau tidak menahan tersangka, karena hal itu merupakan kewenangan mutlak pada penyidik. Oleh karena itu
mafia peradilan dengan segala cara untuk mempengaruhi oknum penyidik agar tersangka tidak ditahan. Betapa besar kekuasaan mafia
peradilan dalam merekayasa kasus sangatlah lihai, sehingga aparat hukum tidak berkutik dan bertekuk lutut untuk menuruti segala
keinginan mafia peradilan. 2. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan dalam Memengaruhi Proses
Penuntutan Sebelum penulis memaparkan lebih jauh tentang modus operandi
praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penuntutan, maka penulis akan menyajikan terlebih dahulu contoh kasus sebagai berikut:
commit to user 34
Pada kasus Gayus Tambunan, jaksa dicurigai oleh satgas pemberantasan mafia hukum telah terlibat dalam konspirasi
perekayasaan kasus yaitu kasus korupsi direkayasa menjadi kasus penggelapan, akibatnya Gayus Tambunan oleh pengadilan negeri
hanya di putus hukuman 1 tahun, itupun dengan masa percobaan Jawa Pos, 21 Maret 2010.
Dari contoh kasus di atas maka penulis akan mencoba menganalisis
sebagai berikut, apabila tersangka sudah menjalani proses penyidikan oleh kepolisian dan berkasnya dinyatakan lengkap P21, maka berkas
pemeriksaan kasus pidana tersangka segera dilimpahkan kekejaksaaan, dengan demikian status tersangka berubah menjadi terdakwa dan sejak itu
penyidik kepolisian sudah tidak mempunyai wewenang atas terdakwa dan terdakwa menjadi kewenangan penuntut umum jaksa sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 ayat 2 KUHAP yang berbunyi: “Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan”. Dalam kasus Gayus di atas arsitek yang mengutak-ngatik perkara
adalah CS. CS bahkan menjemput sendiri surat perintah dimulainya penyidikan SPDP ke penyidik kepolisian. Peran kedua di pegang oleh PM
sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, PM lah yang menunjuk CS sebagai koordinator jaksa peneliti dan penuntut umum. Sebagai koordinator,
CS lah yang lantas aktif berhubungan dengan PM. Dan keduanyalah yang mengendalikan perkara di tingkat pra penuntutan Ismantoro Dwi Yuwono,
2010: 152. Hasil penelitian jaksa menyebutkan hanya terdapat satu pasal yang
terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke pengadilan, yaitu penggelapan. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang
saat itu di duga PPATK dan Polri sebagai money laundrying atau korupsi. Jaksa menilai bahwa dugaan PPATK sama sekali tidak terbukti bahwa uang
senilai Rp. 25 milyar itu merupakan hasil kejahatan money laundrying. Seiring berjalannya waktu, mantan Kabareskrim Susno Duadji menuding
bahwa dalam kasus Gayus terlibat juga beberapa jaksa dalam jejaring mafia
commit to user 35
peradilan. Tudingan Susno tersebut ternyata membuat merah telinga Hendarman Supandji yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung.
Beberapa hari setelah Susno menyatakan kecurigaannya itu, Hendarman membentuk tim eksaminasi untuk meneliti ada tidaknya kejanggalan dalam
berkas perkara Gayus Tambunan. Setelah satu pekan bekerja, tim yang dipimpin oleh Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Suroso itu
memang menemukan sejumlah kejanggalan dalam berkas kasus Gayus Tambunan Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 151.
Dalam kasus Gayus tersebut jelas nampak peristiwa yang tersirat bahwa jaksa telah dapat dipengaruhi oleh pihak Gayus untuk: 1 Tidak
menuntut pasal-pasal yang memberatkan. 2 Tidak menuntut hukuman maksimal. Akibat dari peristiwa ini polisi, jaksa dan hakim di proses secara
hukum untuk dihadapkan pada sidang pengadilan. Praktek mafia peradilan sulit dibongkar, dan hanya dapat terbongkar
jika terjadi pada situasi yang luar biasa, contoh: a Terbongkarnya praktek markus Artha Litha Suryani Ayin berawal dari tertangkap basah jaksa Urip
Tri Gunawan oleh petugas KPK ketika menerima suap dari Ayin melalui cara penyadapan telepon oleh petugas KPK. b Terungkapnya praktek
markus Anggodo karena adanya penyadapan oleh petugas KPK dan pernah di perdengarkan secara umum didepan sidang Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa praktek mafia peradilan hanya dapat dibongkar pada situasi yang istimewa dan luar biasa, kejadian
itu sangatlah langka, jadi kalau bukan kedua peristiwa besar tersebut praktek mafia peradilan sulit di bongkar. Praktek mafia peradilan yang demikian
sering terjadi, dimulai dari kejaksaan ditingkat Kejari, Kejati maupun Kejagung. Jadi praktek mafia peradilan selalu ada di tingkat penyidikan.
Peran utama pada mafia peradilan adalah perekayasaan kasus, dan keberadaan mafia peradilan ini sangat membahayakan aparat hukum dalam
penegakan hukum.
commit to user 36
3. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Dalam Memengaruhi Proses Peradilan.
Sebelum mengurai lebih lanjut mengenai modus operandi mafia peradilan dalam memengaruhi proses peradilan, penulis akan memberikan
contoh kasus sebagai berikut: Muhtadi Asnun kena batunya. Ketua Majelis Hakim kasus Gayus Tambunan
itu dinonpalukan, mulai Senin 1904. Mahkamah Agung MA menghukum Ketua Pengadilan Negeri Tangerang itu, menjadi hakim biasa,
di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tanpa wewenang apapun. Itulah sanksi yang dijatuhkan kepada Muhtadi Asnun, setelah diperiksa sejak Senin pagi.
Ia diperiksa berkaitan dengan pengakuannya telah mendapat imbalan Rp50 juta, atas pembebasan Gayus Tambunan dari dakwaan kasus penggelapan
pajak. Muhtadi sebenarnya sudah pernah diperiksa pihak MA, tetapi dinyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan dalam persidangan Gayus
Tambunan di Pengadilan Negeri Tangerang, beberapa waktu lalu. Ternyata dalam pemeriksaan di Komisi Yudisial, terungkap Muhtadi kebagian Rp50
juta, yang menurut Gayus untuk membantu biaya sang hakim berangkat umrah. Atas pengakuan itulah, MA kembali memeriksa Muhtadi Asnun,
Senin pagi. Alasannya, pemeriksaan terdahulu baru menyangkut masalah teknis. Pemeriksaan di MA kali ini berkaitan dengan kasus suap. Seperti di
KY, saat diperiksa di MA pun, Muhtadi mengaku menerima Rp50 juta itu. Karena itu, MA menjatuhkan sanksi hakim pengadilan tinggi nonpalu itu.
Berdasarkan pengakuan itu, MA mengambil tindakan Muhtadi Asnun dinonpalukan di Pengadilan Tinggi DKI, terhitung mulai hari ini Senin.
SK-nya
dalam proses,
kata Hatta
Ali kepada
wartawan. MA juga sedang memeriksa 2 anggota majelis hakim lainnya, Harun
Tarigan dan Bambang Widyatmoko. yang memutus perkara Gayus http:politikindonesia.comindex.php?k=hukumi=6606.
Dari contoh kasus di atas penulis akan menganalisis berdasarkan sub bahasan mengenai modus operandi mafia peradilan dalam proses peradilan.
Peradilan dewasa ini seperti yang telah diketahui sejak kurang lebih tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam
praktek dewasa ini hakim tidak bebas dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini ternyata dari
adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap yang dilakukan oleh para mafia peradilan, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang
sedang diperiksa di pengadilan, ancaman-ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern yang berupa campur tangan dalam penyelesaian
commit to user 37
perkara seperti adanya surat sakti, telfon sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang nomor 14
tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenuhnya. Karena adanya campur tangan para mafia peradilan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap obyektif.
Ini semuanya tidak hanya menyangkut integritas hakim, tetapi juga menyangkut jaminan ketentraman dan keamanan bagi hakim dalam
menjalankan tugasnya. Sebagaimana disebutkan dalam kajian pustaka, setiap hakim
bertanggung jawab atas perbuatannya di bidang penegakan hukum peradilan. Tanggung jawab tersebut dibedakan antara tanggung jawab
undang-undang publik dan tanggung moral. Tanggung jawab undang- undang adalah tanggung jawab hakim kepada penguasa negara karena
telah melaksanakan peradilan berdasarkan perintah undang-undang. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab hakim selaku manusia
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberinya amanat supaya melaksanakan peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Abdulkdir
Muhammad, 2001: 131. Perbuatan hakim Muhtadi Asnun tersebut selain melanggar kode etik
Kehakiman juga mengingkari tanggung jawab hakim kepada penguasa dan kepada Tuhan. Hakim Asnun dianggap mengingkari tanggung jawab kepada
penguasa karena, yang bersangkutan tidak melaksanakan peradilan yang sesuai dengan undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat dan kepatutan equality. Dengan uang Rp. 50 juta seorang hakim Asnun tega
mengesampingkan undang-undang, ini yang ditakutkan oleh masyarakat dengan berkeliarannya para mafia peradilan yang tidak bertanggung jawab.
Hakim Asnun memberikan putusan bebas kepada Gayus sebab pasal penggelapan uang Rp.370 juta yang dituntut kepada Gayus Tambunan tidak
terbukti. Disini hakim Asnun tidak memberikan keadilan seperti yang diharapkan oleh semua orang, padahal keadilan yang ditetapkan oleh hakim
merupakan perwujudan nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-
commit to user 38
nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat dan tidak melanggar hak orang lain. Selain itu keputusan hakim harus memberi
dampak positif bagi masyarakat dan negara serta harus dapat dijadikan panutan dan yurisprudensi yang selanjutnya akan berguna bagi
pengembangan hukum nasional. Tetapi yang dilakukan hakim Asnun justru sebaliknya, yang bersangkutan memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat dan negara. Hakim Asnun juga telah mengingkari tanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang artinya hakim tersebut tidak melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut
hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui hati nuraninya. Dampak negatif bagi hakim yang memutus tidak adil memang
tidak dapat diketahui karena itu adalah rahasia Tuhan. Berlainan dengan undang-undang yang mengancam dengan sanksi keras, ancaman sanksi itu
dapat diketahui melalui rumusan undang-undang. Tetapi manusia tidak menyadari bahwa sanksi Tuhan lebih keras lagi dan pasti tetapi tidak dapat
diketahui seketika, yang namanya hukuman pembalasan. Suatu ketika manusia mendapat penyakit yang sulit bahkan tidak dapat disembuhkan,
tetapi tidak disadari karena dia pernah berlaku tidak adil. Hakim yang kukuh pendirian tidak akan pernah goyah pada rayuan
mafia peradilan, karena hakim berpedoman pada Pasal 4 ayat 3 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan pokok
Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: ”Segala campur tangan dalam peradilan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar”. Seorang hakim sebelum melaksanakan jabatan sebagai hakim telah disumpah
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
commit to user 39
”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi
negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.
”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan enjalankan jabatan ini dengan jujur, seksama dan tidak membeda-bedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang ketua, wakil ketua, ketua muda,
hakim anggota mahkamah agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Sumpah di atas diharapkan mengandung akibat sakral bagi hakim yang
melanggarnya, sehingga seorang hakim tidak berani melanggar sumpah, karena agama yang dianutnya melarang perbuatan tercela.
B. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran