Analisis modus operandi mafia peradilan dalam mempengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik kepolisian, kejaksaan dan hakim selaku penegak hukum

(1)

commit to user

Analisis modus operandi mafia peradilan dalam mempengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik kepolisian, kejaksaan dan hakim

selaku penegak hukum

SKRIPSI

Akbar Mahar E.1106084

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi masyarakat luas di tanah air, yaitu perihal maraknya Mafia Peradilan. Mafia Peradilan atau sebutan lainnya, merupakan permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia, yang bersembunyi di dalam lembaga hukum itu sendiri. Mafia peradilan atau mafia hukum memang tidak dapat disangkal keberadaannya, nyata dan ada. Bahkan sudah masuk dan merasuk kesemua lini dalam struktur aparat hukum. Mafia peradilan bukan hanya buruk bagi proses penegakan hukum tetapi juga sangat memperburuk citra Indonesia dimata dunia. Keberadaan para mafia peradilan memperpanjang daftar komponen yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang tergolong buruk dalam bidang hukum

di mata dunia internasional

(http://www.p2d.org/index.php/kon/35-18-september-2008/177-markus-sang-makelar-kasus.html).

Birokrasi disektor penegakan hukum mewujud dalam bentuk lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Sedangkan mafia peradilan terdapat dalam sistem peradilan maupun di luar sistem peradilan. Dalam sistem peradilan misalnya polisi merangkap menjadi mafia peradilan, demikian pula jaksa maupun hakim yang merangkap jabatan ilegal sebagai mafia peradilan. Sedangkan di luar sistem peradilan terdapat pegawai negeri sipil atau birokrat di luar sistem peradilan maupun warga sipil yang memiliki hubungan dekat dengan penegak-penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan (Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 27).

Mafia peradilan eksis karena adanya supply anddemand. Rusaknya mental

sebagian masyarakat dan aparat memunculkan potensi lahirnya para mafia peradilan. Mereka yang berurusan dengan hukum mempercayai bahwa hukum bisa diatur. Mereka yang berurusan dengan polisi pastilah ingin dinilai tidak bersalah sejak awal. Begitu juga ketika telah diproses oleh jaksa, pastilah berusaha agar dikenakan pasal dengan tuntutan yang seringan-ringannya. Sama halnya ketika proses itu telah menjadi kewenangan hakim. Ada yang percaya


(3)

commit to user

hakim itu bisa dikontak, bisa di lobi. Kondisi ini melahirkan kelompok yang membutuhkan seseorang yang dapat mengurusi kasusnya diberbagai tingkatan dan lembaga hukum itu. Contohnya, kasus Gayus Tambunan; jaksa dicurigai oleh satgas pemberantasan mafia hukum telah terlibat dalam konspirasi perekayasaan kasus yaitu kasus korupsi direkayasa menjadi kasus penggelapan, akibatnya Gayus Tambunan oleh pengadilan negeri hanya di putus hukuman 1 tahun, itupun dengan masa percobaan (Jawa Pos, 21 Maret 2010). Serta pada kasus Gayus terdapat indikasi bahwa hakim Asnun telah terjerat pada lingkaran mafia peradilan. Praktek transaksi kasus ini juga nampak pada tertangkap basah hakim Ibrahim pada pengadilan tinggi tata usaha negara saat menerima uang suap dari seorang pengacara. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Maret 2010 (Jawa Pos, 31 Maret 2010).

Mafia Hukum mempunyai ranah yang luas. Berbagai penyimpangan dalam penegakan hukum, baik itu dilakukan oleh pembuat undang-undang maupun oleh pelaksana penegak hukum, digolongkan sebagai Mafia Hukum. Reformasi hukum berjalan tidak hanya sekedar pembaharuan perundang-undangan, tetapi juga reformasi hukum harus didukung oleh para penegak hukum di dalamnya. Tentunya para penegak hukum yang bermental baik dan bersih bukan penegak hukum yang bermentalkan mafia. Selama ini kita hanya terfokus kepada bagaimana merancang suatu undang-undang atau peraturan yang terlihat begitu kuat dan mengikat semua pihak. Kita menjadi terlena dan seolah lupa akan reformasi yang sebenarnya yaitu reformasi mental para penegak hukum (http://blogprajapunya.blogspot.com/2010/11/reformasi-mentalitas-para-penegak-hukum.html).

Suatu hukum yang dibuat secara baik dan memihak kepada rakyat akan menjadi tidak berarti apa-apa apabila tidak didukung oleh mentalitas para penegak hukum tersebut. Sehingga muncul suatu sindiran bersifat sarkasme dalam dunia hukum “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada di negeri ini”


(4)

commit to user

(http://blogprajapunya.blogspot.com/2010/11/reformasi-mentalitas-para-penegak-hukum.html

Sementara pada saat yang bersamaan perilaku aparat dalam melaksanakan tugas, dibatasi oleh kode etik profesi masing-masing. Etika profesi memberikan pedoman atau tuntunan tingkah laku manusia dalam melaksanakan suatu profesi, mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan profesi yang baik dan tidak melakukan profesi sekehendak hati serta pertanggung-jawabannya terhadap pelaksanaan profesi tersebut. Etika profesi dalam menciptakan atau merealisasi pelaksanaan profesi yang baik mensyaratkan pemegang profesi memiliki latar belakang pendidikan yang memadai untuk memperoleh ketrampilan atau keahlian yang bersangkutan dengan profesinya.

Kode etik adalah norma-norma dan asas-asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan ukuran tingkah laku seseorang terhadap

profesi yang dilakukannya, tujuan diadakannya kode etik adalah :1) Menjunjung

tinggi martabat profesi. 2) Untuk menjaga atau memelihara kesejahteraan para

anggota sehingga tidak melakukan pelanggaran atau larangan yang bersangkutan dengan profesi yang dijalaninya (E.Sumaryono, 1995: 20).

Jika demikian, kemana hilangnya kode etik ketika para mafia peradilan menggurita? Dimana pula norma-norma aturan kerja yang mulia ketika praktik markus peradilan menggejala? Berlandaskan pertanyaan-pertanyaan semacam inilah penulis menemukan urgensi dan eksesnya mengkaji tentang mafia kasus jika tidak segera dicermati modus operandinya.

Maka dengan berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa hal-hal tersebut, merupakan latar belakang permasalahan yang penulis akan kemukakan pada bab-bab selanjutnya. Oleh karena itu penulis menuangkan

sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul : “ANALISIS

MODUS OPERANDI MAFIA PERADILAN DALAM MEMENGARUHI PROSES PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PERADILAN DITINJAU DARI SEGI KODE ETIK KEPOLISIAN, KEJAKSAAN DAN HAKIM SELAKU PENEGAK HUKUM”.


(5)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memfokuskan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu penyelesaian masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran sesuai

yang dikehendaki. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, perumusan

masalah dalam penulisan hukum ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah modus operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi

proses penyidikan, penuntutan dan peradilan?

2. Bagaimanakah kajian modus operandi praktik mafia peradilan ditinjau dari

pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan hakim?

C. Tujuan Penelitian

Pada suatu penelitian tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak dilepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui secara jelas mengenai modus operandi praktik mafia

peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan.

b. Untuk mengetahui secara jelas kajian modus operandi praktik mafia

peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan hakim.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan penulis dalam bidang

hukum acara pidana, khususnya yang berkaitan dengan modus operandi mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik polisi, jaksa dan hakim selaku aparat penegak hukum.

b. Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang


(6)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan wawasan yang dapat dipergunakan dalam penulisan karya

ilmiah di bidang hukum.

b. Untuk lebih mendalami teori–teori yang telah dipelajari selama kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak mengenai modus

operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan.

b. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai modus operandi praktik

mafia peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan hakim.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis yang menyangkut masalah kerjanya yaitu cara kerja untuk dapat memahami yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan, melalui prosedur penelitian dan teknik penelitian (M. Iqbal Hasan, 2002:20).

Dengan demikian masalah pemilihan metode adalah masalah yang sangat signifikan dalam suatu penelitian ilmiah, karena mutu, nilai, validitas dari hasil penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh pemilihan metodenya. Adapun metode atau teknis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari jenisnya penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menyediakan suatu penampilan yang sistematis menyangkut aturan yang mengatur kategori sah tentang


(7)

commit to user

atau sumber bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 32). Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian doktrinal ini adalah modus operandi mafia peradilan yang memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik polisi, jaksa dan hakim selaku aparat penegak hukum.

2. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bersifat preskriptif. Sebagai penelitian yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22).

3. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa bahan-bahan hukum primer dan sekunder yaitu sejumlah bahan hukum atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, terdiri dari literatur Kisah Para Markus karangan Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum karangan H.M.A Kuffal, peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan berupa :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(8)

commit to user

4) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

5) Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

6) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman..

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer, seperti :

1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan atau terkait dalam

penelitian ini.

2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

3) Buku-buku penunjang lain. Salah satu buku karya E. Sumaryono

tentang Etika Profesi Hukum, Ismantoro Dwi Yuwono tentang Kisah Para Markus.

4) Peraturan Kapolri Nomor. POL: 7 tahun 2006 tentang kode etik

profesi kepolisian Negara Republik Indonesia.

5) Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 5

Kep-052/JA/S/1979 tentang Doktrin Adhyaksa Trikrama Adhyaksa.

6) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi

Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/B.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, diantaranya:

1. Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini,

contohnya: http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id/2010/03/21/kode-etik-kejaksaan/.

2. Bahan dari Koran yang relevan dengan penelitian ini, contohnya:

Koran Jawa Pos. 2010, 21 Maret 2010. Kejaksaan diduga Terlibat.


(9)

commit to user

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan cara mendokumentasi bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian yang dimaksud. Penulis mengumpulkan bahan hukum yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya bahan hukum yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan dan pada akhirnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum sesuai tujuan kajian penelitian. Penulis mengumpulkan bahan hukum dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, dokumen resmi, karangan ilmiah, literasi resmi serta pengumpulan bahan hukum melalui media internet.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, setiap tahap penyidikan, penuntutan dan peradilan akan dianalisis dengan logika deduktif berkenaan dengan mafia peradilan yang melingkupinya. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, literasi-literasi yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap akhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui modus operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan serta modus operandi praktik mafia peradilan ditinjau dari pelanggaran kode etik polisi, jaksa dan hakim.

Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud metode deduktif sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat


(10)

commit to user

khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47).

Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johnny Ibrahim, mengutip pendapat Bernand Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2006: 249).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam penelitiannya membagi menjadi 4 (empat) bab, dan tiap–tiap bab dibagi dalam sub-bab yang disesuaikan dengan lingkup pembahasannya. Adapun sistematika penulisan hukum atau penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi : Pertama mengenai Tinjauan tentang Mafia peradilan. Kedua, Tinjauan tentang Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan. Ketiga, Tinjauan tentang Kode Etik. Pembahasan yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam hal ini penulis membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu bagaimana modus operandi mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan,


(11)

commit to user

penuntutan dan peradilan ditinjau dari segi kode etik kepolisian, kejaksaan dan hakim selaku penegak hukum.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi simpulan dan saran terkait dengan pembahasan permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum, baik langsung maupun tidak langsung.


(12)

commit to user

11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Mafia Peradilan

Di dalam ilmu hukum maupun kamus istilah hukum tidak diketemukan tentang pengertian mafia peradilan. Di dalam penulisan hukum ini penulis memberikan batasan pengertian dengan memberikan uraian secara etimologi. Berikut ini merupakan uraian mengenai arti dari mafia peradilan.

Atas dasar arti kata-kata tersebut maka menurut kamus besar bahasa Indonesia yang dimaksud dengan mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Sedangkan pengertian mafia peradilan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kelompok advokad yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan yang diminta mereka.

Dalam Pelatihan Anti Mafia Peradilan yang diselenggarakan KP2KKN dirumuskan definisi mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan (http://bemittelkom.blogspot.com/2008/06/what-do-u-know-about-mafia-peradilan.html).

Menurut Leo Tukas Leonard mendefinisikan mafia peradilan sebagai aktivitas yang terjadi di lingkungan peradilan termasuk jual beli putusan pengadilan. Sedangkan menurut Komite Penyelidikan dan Pemberantasan KKN, mendefinisikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, terstruktur, konspiratif dan kolektif yang dilakuakan oleh aktor aparat penegak hukum dan masyarakat umum, dimana masyarakat umum demi mencapai tujuannya menggunakan penyalahgunaan wewenang aparat


(13)

commit to user

penegak hukum sehingga terjadi simbiosis mutalisme antara masyarakat dan aparat penegak hukum yang melakukan penyalahgunaan wewenang, tindakan

mal administrasi dan perbuatan melawan hukum

(http://izzuljustitia.wordpress.com/2010/12/04/pola-pola-mafia-peradilan). Akibat dari mafia peradilan adalah sangat luar biasa sehingga sebagai suatu bentuk Tindak Pidana Korupsi , mafia peradilan merupakan kejahatan

yang luar biasa (extra ordinary crime) dan berdampak bagi timbulnya

kejahatn yang lain ( bersifat kriminogen) dan viktimogen ( secara potensial

dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan), dan yang pasti lembaga

peradilan dan aparat penegak hukum menjadi invalid, tidak independen,

kriminogen dan yang jelas merugikan bagi para masyarakat pencari keadilan (http://izzuljustitia.wordpress.com/2010/12/04/pola-pola-mafia-peradilan).

Mafia Peradilan tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Jika bisa dibuktikan berarti bukan “mafia” namun kejahatan biasa. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, mafia adalah suatu organisasi kriminal yang hampir menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Istilah mafia merujuk pada kelompok rahasia tertentu yang melakukan tindak kejahatan terorganisasi sehingga kegiatan mereka sangat sulit untuk dilacak secara hukum.

Istilah mafia disini menunjuk pada adanya suasana yang sedemikian rupa sehingga perilaku, pelayanan, kebijaksanaan maupun keputusan tertentu akan terlihat secara kasat mata sebagai suatu yang berjalan sesuai dengan hukum padahal sebetulnya tidak. Dengan kata lain mafia peradilan ini tidak akan terlihat karena mereka bisa berlindung dibalik penegakkan dan pelayanan hukum. Mereka akan tampil seolah olah sebagai pahlawan keadilan. Media masa akan ikut mengelu-elukannya sebagai pemberantas korupsi padahal yang dielu-elukan adalah aktivis atau penegak hukum yang sedang berada dalam pengaruhnya mafioso, si aktor intelektualis korupsi. Masyarakat menjadi sulit untuk mengenali mana penegak hukum yang jujur yang tidak terpengaruh oleh mafioso dengan penegak hukum yang sudah terkontaminasi. Kekaburan ini telah mengecoh masyarakat sehingga masyarakat memberi pujian kepada yang tampil sebagai pemberantas korupsi


(14)

commit to user

ketika yang sebenarnya yang dipuja itu sedang melakukan korupsi besar-besaran. Oleh karena itu mafia peradilan bisa hidup secara terhormat ditengah-tengah masyarakat tanpa bisa disentuh oleh hukum (http://www.suara- islam.com/news/muhasabah/analisis-kontemporer/314-mafia-peradilan-apa-bisa-dibrantas-).

Adapun orang yang berperan sebagai mafia peradilan adalah oknum-oknum: 1) Polisi. 2) Jaksa. 3) Hakim lain. 4) Panitera. 5) Pegawai pengadilan. 6) Pengacara. 7) bahkan tukang parkir di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan itupun bisa berperan sebagai mafia peradilan. Jadi intinya siapa saja yang melancarkan pelaku tindak pidana ke aparat hukum dapat disebut sebagai mafia peradilan.

Di tangan polisi dan jaksa, pasal-pasal dalam undang-undang telah mempunyai nilai jual yang tinggi. Sementara hakim, dalam membuat putusan ia ibarat koki dan putusan adalah hidangannya. Dalam membuat hidangannya, hakim melihat dulu apa pesanannya, baru kemudian meramu argumen-argumen hukumnya. Hasil ramuannya inilah yang bernilai jual tinggi. Tidak penting apakah argumen hukumnya masuk akal atau tidak, yang penting pemesannya merasa bahagia ketika mengunyah-ngunyah hidangannya (http://www.p2d.org/index.php/kon/35-18-september-2008/177-markus-sang-makelar-kasus.html).

2. Tinjauan Tentang Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan

a. Penyidikan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam


(15)

commit to user

penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana (M.Yahya Harahap, 2002: 99-100).

Pengertian penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan

pengertian opsporing. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti

pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum (Andi Hamzah, 2008: 120).

Berdasarkan pengertian diatas disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan didalam persidangan.

Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam hukum acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung martabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam hukum acara pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya dibebankan kepadanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan (H.M.A. Kuffal. 2008: 47).

Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP


(16)

commit to user

agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (H.M.A. Kuffal. 2008: 51). Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dan dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat dilanjutkan prosesnya ke persidangan.

b. Penuntutan

1) Pengertian Penuntutan

Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantum definisi penuntutan sebagai berikut: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang

pengadilan (Andi Hamzah,2008:161). Dalam hal-hal untuk

memperoleh putusan hakim agar terhadap seseorang dijatuhi pidana (tuntutan pidana) inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada pihak yang dirugikan.

Lama kelamaan sistem ini menunjukan

kekurangan-kekurangan yang menyolok. Penuntutan secara terbuka (accusatory

murni), dengan sendirinya telah menyebabkan penuntutan kesalahan seseorang menjadi lebih sulit, sebab yang bersangkutan segera akan mengetahui dalam keseluruhannya, semua hal yang memberatkan diri


(17)

commit to user

penuntut umum, sehingga akan memperoleh kesempatan untuk menghilangkan sebanyak mungkin bukti-bukti atas kesalahannya.

Sifat perdata dari penuntutan tersebut menyebabkan pula bahwa kerap kali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugikan, karena ia takut terhadap pembalas dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutannya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan. Atas alasan inilah maka pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pembinaan peradilan yang baik telah dan menyerahkan kepada suatu badan

Negara. Yang khusus diadakan untuk itu adalah openbaar ministrie

atau openbaar aanklager, yang kita kenal sebagai penuntut umum (http://zanikhan.multiply.com/journal/item/1026).

2) Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

Di dalam Pasal 13 KUHAP ditentukan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan tuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang:

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

atau pembantu penyidik.

b) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dan penyidik.

c) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan

lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.

d) Membuat surat dakwaan.

e) Melimpahkan perkara kepengadilan.

f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan


(18)

commit to user

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

g) Melakukan penuntutan.

h) Menutup perkara demi kepentingan hukum.

i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung

jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang.

j) Melaksanakan penetapan hakim.

Menurut pasal 138 KUHAP, penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan, ia segera mempelajarinya dan menelitinya, dalam waktu 7 hari penuntut umum wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, maka penuntut umum akan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi. Dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum.

Selanjutnya, pasal 139 KUHAP menyatakan bahwa setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.

c. Peradilan

1) Pengertian Peradilan

Peradilan dalam arti yang luas adalah penegakan hukum yang meliputi unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain, yaitu terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Ketiga unsur itulah yang pada dasarnya bertanggung jawab atas penegakan hukum. Dalam hal ini tegak tidaknya hukum tidak dapat dimintakan tanggung jawab sepenuhnya kepada pengadilan saja, karena masing-masing unsur tidak


(19)

commit to user

(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/mewujudkan-peradilan-sebagai-benteng.html).

Dalam arti yang sempit yang dimaksudkan dengan peradilan ialah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun, dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah eigenrichting. Jadi peradilan dalam arti yang sempit ini

semata-mata berhubungan dengan pengadilan

(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/mewujudkan-peradilan-sebagai-benteng.html).

Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan

peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang

bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu

lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal 10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan

golongan atau agama, yustisiable atau pencari keadilannya umum, jadi

diperuntukkan untuk setiap orang. Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus

disediakan untuk yustisiable atau pencari keadilan yang khusus

(beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum: orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan umum atau hukum


(20)

commit to user

(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/sistem-peradilan-di-indonesia.html).

Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103).

Di samping badan-badan peradilan yang telah disebutkan masih dikenal juga arbitrase atau pewasitan. Kalau 4 peradilan negara itu berpuncak pada Mahkamah Agung, maka 3 peradilan semu yang telah dikemukakan di atas tidak berpuncak pada Mahkamah Agung.

Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan

dalam tingkat pemeriksaan ulang

(http://sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/sistem-peradilan-di-indonesia.html).

3. Tinjauan Tentang Kode Etik


(21)

commit to user

Upaya pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut dan terpadu. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diwajibkan untuk menghayati dan menjiwai etika profesi Kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kedinasan maupun kehidupannya sehari-hari.

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan pedoman perilaku dan sekaligus pedoman moral yang sangat kuat bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai upaya pemuliaan terhadap profesi kepolisian, yang berfungsi sebagai pembimbing pengabdian, sekaligus menjadi pengawas hati nurani setiap anggota agar terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang (http://kuncupmuda.blogspot.com).

Untuk pertama kali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol: Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli Tahun 1985 yang selanjutnya naskah tersebut terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta pedoman pengalamannya.

Perumusan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat norma perilaku dan moral yang disepakati bersama serta dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga dapat menjadi pemacu semangat dan penegak rambu-rambu nurani setiap anggota untuk pemuliaan profesi Kepolisian guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan organisasi pembina profesi Kepolisian yang berwenang membentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia di semua tingkat organisasi, selain itu juga untuk menilai dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan


(22)

commit to user

oleh anggota terhadap ketentuan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (http://kuncupmuda.blogspot.com).

Liliana Tedjosaputro berpendapat, di dalam pengamalan “Bhakti Dharma Waspada”, pedoman pengamalan seseorang polisi adalah “Rasta Sewakottama, nagara Janottama, Yana Anucasana Dharma, yaitu sebagai berikut :

Insan Rastra Sewakottama :

1) Mengabdi kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

2) Berbakti demi keagungannusa dan bangsa yang bersendikan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai kehormatan tertinggi.

3) Membela tanah air, mengamankan dan mengamalkan pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 dengan tekad juang pantang menyerah.

4) Menegakkan hukum dan menghormati kaidah-kaidah yang hidup di

dalam masyarakat secara adil dan bijaksana.

5) Melindungi, mengayomi, serta membimibing masyarakat sebagai

wujud panggilan tugas pengayoman yang luhur. Insan Janottama :

1) Berdharma untuk menjamin ketentraman umum bersama-sama warga

masyarakat membina ketertiban dan keamanan demi terwujudnya kegairahan kerja dan kesejahteraan lahir dan batin.

2) Menampilkan dirinya sebagai warga Negara yang berwibawa dan di

cintai oleh sesama warga Negara.

3) Bersikap disiplin, percaya diri, tanggung jawab, penh keikhlasan

dalam tugas kesanggupan, serta selalu menyadari bahwa dirinya adalah warga masyarakat.

4) Selalu peka dan tanggap dalam tugas, mengembangkan kemampuan

dirinya, menilai tinggi mutu kerja, penuh keaktifan dan efisiensi serta menempatkan kepentingan tugas secara wajar diatas kepentingan pribadinya.


(23)

commit to user

5) Memupuk rasa persatuan, sesatuan dan kebersamaan serta

kesetiakawanan dalam lingkungan masyarakat.

6) Menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela serta mempelopori

setiap tindakan, mengatasi setiap kesulitan-kesulitan masyarakat sekelilingnya.

Insan Yana Anucasana Dharma :

1) Selalu waspada, siap sedia dan sanggup menghadapi setiap

kemungkinan dalam tugas.Mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan.

2) Tidak mengenal berhenti dalam memberantas kejahatan dan

mendahulukan cara-cara pencegahan daripada penindakan secara hukum.

3) Memelihara dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya

memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.

4) Bersama-sama segenp komponen kekuatan pertahanan keamanan

lainnya dan peran serta masyarakat, memelihara dan meningkatkan kemanungggalan ABRI-Rakyat.

5) Meletakkan setiap langkah tugas sebagai bagian dari pencapaian tujuan

pembangunan nasional sesuai dengan amanat penderitaan rakyat (http://brimobpolri.wordpress.com/08-kode-etik-polri/).

b. Kode Etik Kejaksaan

Sebagai pengemban tugas dan wewenang kejaksaan, maka jaksa selaku insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki asas satu dan tidak terpisah-pisahkan, senantiasa bertindak berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta menggali nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dan juga berpedoman pada Doktrin TriKrama Adhyaksa.

Doktrin Trikrama Adhyaksa perlu dijabarkan dalam kode etik jaksa sebagai tuntutan tata pikir, tata tutur dan tata laku dalam mewujudkan jati diri jaksa mandiri dan mumpuni, memiliki kemampuan profesional.


(24)

commit to user

Integritas pribadi dan disiplin tinggi dalam mengemban bakti profesi kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Dengan pemahaman dan penghayatan panggilan tugas sebagai abdi negara, abdi masyarakat dan abdi hukum, seluruh jaksa yang tergabung dalam Persatuan Jaksa bersepakat menetapkan Kode Etik Jaksa (http://lawjusticia.blogspot.com).

Tata Krama Adhyaksa

1) Jaksa adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa yang tercermin dari kepribadian yang utuh dalam pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila.

2) Jaksa sebagai insan yang cinta tanah air dan bangsa senantiasa

mengamalkan dan melestarikan pancasila serta secara efektif dan kreatif menjadi pelaku pembangunan hukum dalam mewujudkan masyarakat adil yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan.

3) Jaksa mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara

daripada kepentingan pribadi atau golongan.

4) Jaksa mengakui adanya persamaan derajat, persamaan hak dan

kewajiban antara sesama pencari keadilan serta menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, disamping asas-asas hukum yang berlaku.

5) Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban melindungi

kepentingan umum sesuai peraturan perundang-undangan dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan serta menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

6) Jaksa senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pengabdiannya

dengan mengindahkan disiplin ilmu hukum, memantapkan

pengetahuan dan keahlian hukum serta memperluas wawasan dengan mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat.

7) Jaksa berlaku adil dalam memberikan pelayanan kepada pencari


(25)

commit to user

8) Jaksa dalam melaksanakan taugas dan kewajiban senantiasa memupuk

serta mengembangkan kemampuan profesional, integritas pribadi dan disiplin yang tinggi.

9) Jaksa menghormati adat kebiasaan setempat yang tercermin dari sikap

dan perilaku baik dalam maupun diluar kedinasan.

10)Jaksa terbuka untuk menerima kebenaran bersikap mawas diri, berani

bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.

11)Jaksa mengindahkan norma-norma kesopanan dan kepatutan dalam

menyampaikan pandangan dan menyalurkan aspirasi profesi, disamping mematuhi hirarki dan aturan kedinasan.

12)Jaksa berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur arif dan bijaksana

dalam tata pikir, tata tutur dan tata laku.

13)Jaksa memelihara rasa kekeluargaan, semangat kesetiakawanan dan

mendahulukan kepentingan korps dari pada kepentingan pribadi.

14)Jaksa menjunjung dan membela kehormatan korps serta menjaga

harkat dan martabat profesi.

15)Jaksa senantiasa membina dan mengembangkan kader Adhyaksa

dengan semangat ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, Tut Wuri Handayani.

16)Jaksa wajib menghormati dan mematuhi kode etik jaksa serta

mengamalkan secara nyata dalam lingkungan kedinasan maupun dalam pergaulan masyarakat.

17)Kode Etik jaksa ini disebut Tata Krama Adhyaksa

(http://lawjusticia.blogspot.com).

c. Kode Etik Kehakiman

Kode Kehormatan Hakim adalah segala sifat batiniah dan sikap-sikap lahiriah yang wajib dimiliki oleh para hakim untuk menjamin tegaknya kewibawaan dan kehormatan hakim atau korps hakim. KKH ini diperlukan berkaitan dengan peranan hakim sebagai soko guru terakhir dari negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri,


(26)

commit to user

bangsa dan negara. Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim.

Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :

1) Etika kedinasan pegawai negeri sipil.

2) Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.

3) Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota

masyarakat.

Uraian Kode Etik Hakim meliputi :

1) Etika keperibadian hakim.

2) Etika melakukan tugas jabatan.

3) Etika pelayanan terhadap pencari keadilan.

4) Etika hubungan sesama rekan hakim.

5) Etika pengawasan terhadap hakim

(http://hamildiluarnikah.blogspot.com/2010/03/kode-etik-hakim.html). Dari kelima macam uaraian kode etik ini akan kita lihat apakah Kode Etik Hakim memiliki upaya paksaan yang berasal dari Undang-Undang.

1) Etika keperibadian hakim

Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :

a) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Menjunjung tinggi, citra, wibawa dan martabat hak.

c) Berkelakuan baik dan tidak tercela.

d) Menjadi teladan bagi masyarakat.

e) Menjauhkan diri dari perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela

oleh masyarakat.

f) Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

g) Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab.

h) Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu.


(27)

commit to user

j) Dapat dipercaya.

k) Berpandangan luas

2) Etika melakukan tugas jabatan.

Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :

a) Bersikap tegas, disiplin

b) Penuh pengabdian pada pekerjaan.

c) Bebas dari pengaruh siapa pun juga.

d) Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang

untuk kepentingan pribadai atau golongan.

e) Tidak berjiwa mumpung.

f) Tidak menonjolkan kedudukan.

g) Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan.

h) Berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim.

3) Etika pelayanan terhadap pencari keadilan.

Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :

a) Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di

dalam hukum acara yang berlaku.

b) Tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang

berperkara.

c) Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan,

tidak membeda-bedakan orang.

d) Sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam

ucapan maupun perbuatan.

e) Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.

f) Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.

g) Memutus berdasarkan hati nurani.

h) Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa.

4) Etika hubungan sesama rekan hakim.


(28)

commit to user

a) Memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara

sesama rekan.

b) Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai

antara sesama rekan.

c) Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim.

d) Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam

maupun di luar kedinasan.

e) Bersikap tegas. Adil dan tidak memihak.

f) Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim

atasannya.

g) Memberi contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan

(http://hamildiluarnikah.blogspot.com/2010/03/kode-etik-hakim.html).

5) Etika pengawasan terhadap hakim.

Urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan sanksi ini. Berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman (http://oktaglory.blogspot.com).


(29)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Terdapat suatu kasus yang sedang diproses di pengadilan, sebelum pada pengadilan biasanya dilakukan terlebih dahulu tahap penyidikan oleh polisi, akan tetapi jaksa juga berwenang sebagai penyidik di dalam tindak pidana tertentu yang mempunyai kewenangan khusus berdasarkan hukum acara pidana. Pada proses penyidikan tersebut para mafia peradilan mempunyai celah untuk masuk dengan embel-embel untuk membantu tersangka agar tidak ditahan atau sebagainya. Pada proses penuntutanpun mafia peradilan bisa masuk dan menjelma sebagai malaikat penolong bagi para tersangka atau terdakwa, biasanya dalam proses penuntutan mafia peradilan menawari tersangka atau terdakwa untuk membayar sejumlah uang agar tuntutannya dikurangi atau diperingan.

KASUS

Makelar Kasus

Penyidikan

Penuntutan

Putusan Pengadilan

Mafia

Peradilan

Makelar kasus


(30)

commit to user

Tidak hanya dalam proses penyidikan dan penuntutan saja bahkan proses peradilan pun juga bisa dipengaruhi oleh mafia peradilan. Di sini mafia peradilan meminta sejumlah uang kepada tersangka atau terdakwa supaya putusan peradilan nantinya tidak terlalu tinggi atau bahkan bebas.

Penyidikan, penuntutan dan peradilan bisa dimasuki mafia peradilan karena adanya celah-celah seperti pada penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk menahan atau melepaskan tersangka, begitu juga dengan proses penuntutan dan penjatuhan putusan peradilan. Modus-modus mafia peradilan disetiap tahapan penegakan hukum acara pidana inilah yang selanjutnya dikaji dalam penelitian ini.


(31)

commit to user

30

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Modus Operandi Praktik Mafia peradilan dalam Memengaruhi Proses Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan.

Praktek mafia peradilan dapat merusak sendi-sendi hukum di Indonesia, sebab para mafia peradilan dalam menjalankan aksinya selalu mengintervensi oknum aparat hukum secara halus, mulai dari penyidikan, penuntutan dan peradilan. Sebenarnya aparat hukum dalam menjalankan tugas selalu memegang teguh aturan dalam undang-undang, namun keterlibatan para mafia peradilan dalam proses hukum dapat merusak tatanan hukum yang telah berlaku. Berikut merupakan uraian lebih detail mengenai modus yang dilakukan mafia peradilan disetiap tahapan pemeriksaan menurut hukum acara pidana di Indonesia.

1. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan dalam Memengaruhi Proses

Penyidikan

a. Proses Penyidikan Pada Status Terperiksa (Saksi)

Sebelum peneliti memaparkan tentang proses penyidikan pada status terperiksa maka penulis akan menyajikan contoh kasus yang relevan dengan pembahasan mengenai pengaruh mafia peradilan dalam proses penyidikan yang dilakukan pada status terperiksa, contoh kasus:

Sejak tanggal 7 September 2009 saat dilakukan penyidikan terhadap perkara Gayus di Bareskrim, yang bersangkutan tidak pernah di tahan. Itu terjadi karena adanya konspirasi jahat antara Gayus, pengacara dan 2 orang oknum penyidik yang menangani kasus Gayus, selanjutnya terbongkar 2 oknum penyidik itu adalah Kompol AE dan Ajun Komisaris Polisi SS. Kompol AE mendapatkan imbalan sebuah sepeda motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah, mobil toyota fortuner dan rumah. Sedangkan Ajun Komisaris Polisi SS mendapat uang suap sebesar Rp. 100 juta (Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 144).

Setelah membaca bahan kasus di atas, maka penulis akan memaparkan analisis guna mengetahui modus operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penyidikan.


(32)

commit to user

Pada tahapan ini biasanya mafia peradilan menawarkan pasal-pasal yang dapat meringankan terperiksa. Apabila pihak terperiksa tidak merespon atau tidak mengindahkan tawaran mafia peradilan, maka proses akan berjalan dengan penuh intimidasi dan tentunya akan mengahadapi proses penyidikan yang menakutkan. Proses demikian yang dialami Mohammad Chambali yang akhirnya terpaksa mengakui membunuh Asrori alias mister X yang akhirnya terbukti keliru karena mister X dibunuh Rian jagal dari Jombang. Sehingga dalam hal ini pihak terperiksa akan sangat cemas dan cenderung mengikuti kemauan mafia peradilan agar proses penyidikan dapat berjalan secara persuasif. Bahkan mafia peradilan juga menggunakan modus menjanjikan dapat merekayasa kasus dengan menawarkan pasal-pasal ringan dalam menjerat kasus pidana yang telah dilakukan oleh terperiksa. Para mafia peradilan mampu menawarkan kepada terperiksa untuk menghilangkan barang bukti, agar kasus pidana yang dihadapinya bisa lemah dalam pembuktian pada sidang pengadilan kelak, sehingga pada saatnya terperiksa akan lolos dari jeratan hukum. Ini merupakan bentuk rekayasa kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tentu tidak dapat di biarkan terus menerus terjadi. Sejak puluhan tahun yang lalu peristiwa rekayasa kasus pidana berkali-kali terjadi, bahkan menimpa dikalangan masyarakat dan telah menjadi sorotan publik serta menuai kecaman dalam masyarakat, namun praktek semacam itu hingga kini masih saja terus terjadi.

Tentu saja harga sebuah rekayasa kasus seperti ini biayanya sangat mahal karena penyidik harus bersedia melanggar ketentuan aturan yang ada dalam undang-undang. Penyimpangan dapat terjadi karena mafia peradilan pada proses penyidikan amatlah dominan yang terus-menerus mempengaruhi penyidik dengan segala cara agar mau mengikuti kemauannya, tentunya dengan kompensasi dana yang sangat menarik. Seperti pada kasus di atas sang mafia peradilan menwarkan pada terperiksa untuk memberikan imbalan pada penyidik yang


(33)

commit to user

menangani kasusnya. Penyidik Kompol AE mendapatkan imbalan sebuah sepeda motor Harley Davidson seharga ratusan juta rupiah, mobil toyota fortuner dan rumah. Sedangkan Ajun Komisaris Polisi SS mendapat uang suap sebesar Rp.100 juta.

Sepak terjang mafia peradilan ini sangat merusak moral dan mental para penyidik, mafia peradilan dengan gigih memengaruhi proses penyidikan untuk menyimpang dari ketentuan aturan yang ada demi kepentingan terperiksa. Praktek mafia peradilan ini sangatlah rapi misalnya komunikasi rahasia antara Gayus dengan penyidik yang hanya bisa diketahui masing-masing pelaku atau dengan teknologi penyadapan yang terencana sehingga kejahatan mafia peradilan sulit di bongkar karena sulitnya barang bukti yang ada, jejak praktek mafia peradilan dapat dengan mudah dihilangkan. Mafia peradilan hampir selalu ada pada kasus tindak pidana tetapi keberadaannya sulit untuk dibuktikan, seperti itulah mafia peradilan yang ada pada setiap tahapan proses hukum. Mafia peradilan sulit di bongkar karena tidak meninggalkan bukti dan jejak tindak pidana.

Guna kepentingan terperiksa mafia peradilan akan mencermati kewenangan penyidik untuk selanjutnya di lobi agar penyidik mau melanggar aturan untuk tidak menggunakan kewenangan penyidik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 KUHAP yang antara lain berbunyi : ”salah satu kewenangan penyidik adalah menghentikan penyidikan”. Kewenangan penyidik inilah yang dibidik oleh mafia peradilan untuk dimanfaatkan guna kepentingan terperiksa agar status terperiksa tidak dinaikkan menjadi tersangka. Melainkan perkaranya diminta untuk dihentikan dengan cara penyidik dirayu untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Resiko pembuatan SP3 ini adalah sangat besar, kalaupun penyidik tidak berani membuatkan SP3, sang mafia peradilan menurunkan tawarannya untuk meminta penyidik agar menerapkan pasal-pasal ringan yang


(34)

commit to user

menguntungkan tersangka. Inilah upaya para mafia peradilan dalam memengaruhi oknum penyidik.

b. Proses penyidikan pada status tersangka

Setelah penyidik melakukan serangkaian tindakan dalam mengungkap tindak pidana dengan didukung alat bukti yang cukup maka penyidik ditingkat kepolisian ini dapat meningkatkan status terperiksa (saksi) menjadi tersangka. Pada posisi ini mafia peradilan berusaha sekuat tenaga untuk melobi pada penyidik agar tersangka tidak di tahan. Penyidik dapat menahan atau tidak menahan tersangka, ini sudah sesuai ketentuan aturan yang ada yaitu diatur dalam Pasal 20 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan.

Alasan penahanan subyektif yaitu: 1) Tersangka diduga keras melakukan tindak pidana. 2) Dikhawatirkan tersangka melarikan diri. 3) Dikhawatirkan merusak atau menghilangkan barang bukti. 4) Dikhawatirkan mengulangi tindak pidana.

Atas dasar ketentuan tersebut penyidik dapat menyalahgunakan kewenangan untuk menahan atau tidak menahan tersangka, karena hal itu merupakan kewenangan mutlak pada penyidik. Oleh karena itu mafia peradilan dengan segala cara untuk mempengaruhi oknum penyidik agar tersangka tidak ditahan. Betapa besar kekuasaan mafia peradilan dalam merekayasa kasus sangatlah lihai, sehingga aparat hukum tidak berkutik dan bertekuk lutut untuk menuruti segala keinginan mafia peradilan.

2. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan dalam Memengaruhi Proses

Penuntutan

Sebelum penulis memaparkan lebih jauh tentang modus operandi praktik mafia peradilan dalam memengaruhi proses penuntutan, maka penulis akan menyajikan terlebih dahulu contoh kasus sebagai berikut:


(35)

commit to user

Pada kasus Gayus Tambunan, jaksa dicurigai oleh satgas pemberantasan mafia hukum telah terlibat dalam konspirasi perekayasaan kasus yaitu kasus korupsi direkayasa menjadi kasus penggelapan, akibatnya Gayus Tambunan oleh pengadilan negeri hanya di putus hukuman 1 tahun, itupun dengan masa percobaan (Jawa Pos, 21 Maret 2010).

Dari contoh kasus di atas maka penulis akan mencoba menganalisis sebagai berikut, apabila tersangka sudah menjalani proses penyidikan oleh kepolisian dan berkasnya dinyatakan lengkap (P21), maka berkas pemeriksaan kasus pidana tersangka segera dilimpahkan kekejaksaaan, dengan demikian status tersangka berubah menjadi terdakwa dan sejak itu penyidik kepolisian sudah tidak mempunyai wewenang atas terdakwa dan terdakwa menjadi kewenangan penuntut umum (jaksa) sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan”.

Dalam kasus Gayus di atas arsitek yang mengutak-ngatik perkara adalah CS. CS bahkan menjemput sendiri surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) ke penyidik kepolisian. Peran kedua di pegang oleh PM sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, PM lah yang menunjuk CS sebagai koordinator jaksa peneliti dan penuntut umum. Sebagai koordinator, CS lah yang lantas aktif berhubungan dengan PM. Dan keduanyalah yang mengendalikan perkara di tingkat pra penuntutan (Ismantoro Dwi Yuwono,

2010: 152).

Hasil penelitian jaksa menyebutkan hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke pengadilan, yaitu penggelapan. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang

saat itu di duga PPATK dan Polri sebagai money laundrying atau korupsi.

Jaksa menilai bahwa dugaan PPATK sama sekali tidak terbukti bahwa uang

senilai Rp. 25 milyar itu merupakan hasil kejahatan money laundrying.

Seiring berjalannya waktu, mantan Kabareskrim Susno Duadji menuding bahwa dalam kasus Gayus terlibat juga beberapa jaksa dalam jejaring mafia


(36)

commit to user

peradilan. Tudingan Susno tersebut ternyata membuat merah telinga Hendarman Supandji yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung. Beberapa hari setelah Susno menyatakan kecurigaannya itu, Hendarman membentuk tim eksaminasi untuk meneliti ada tidaknya kejanggalan dalam berkas perkara Gayus Tambunan. Setelah satu pekan bekerja, tim yang dipimpin oleh Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Suroso itu memang menemukan sejumlah kejanggalan dalam berkas kasus Gayus

Tambunan (Ismantoro Dwi Yuwono, 2010: 151).

Dalam kasus Gayus tersebut jelas nampak peristiwa yang tersirat bahwa jaksa telah dapat dipengaruhi oleh pihak Gayus untuk: 1) Tidak menuntut pasal-pasal yang memberatkan. 2) Tidak menuntut hukuman maksimal. Akibat dari peristiwa ini polisi, jaksa dan hakim di proses secara hukum untuk dihadapkan pada sidang pengadilan.

Praktek mafia peradilan sulit dibongkar, dan hanya dapat terbongkar jika terjadi pada situasi yang luar biasa, contoh: a) Terbongkarnya praktek markus Artha Litha Suryani (Ayin) berawal dari tertangkap basah jaksa Urip Tri Gunawan oleh petugas KPK ketika menerima suap dari Ayin melalui cara penyadapan telepon oleh petugas KPK. b) Terungkapnya praktek markus Anggodo karena adanya penyadapan oleh petugas KPK dan pernah di perdengarkan secara umum didepan sidang Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa praktek mafia peradilan hanya dapat dibongkar pada situasi yang istimewa dan luar biasa, kejadian itu sangatlah langka, jadi kalau bukan kedua peristiwa besar tersebut praktek mafia peradilan sulit di bongkar. Praktek mafia peradilan yang demikian sering terjadi, dimulai dari kejaksaan ditingkat Kejari, Kejati maupun Kejagung. Jadi praktek mafia peradilan selalu ada di tingkat penyidikan. Peran utama pada mafia peradilan adalah perekayasaan kasus, dan keberadaan mafia peradilan ini sangat membahayakan aparat hukum dalam penegakan hukum.


(37)

commit to user

3. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Dalam Memengaruhi Proses

Peradilan.

Sebelum mengurai lebih lanjut mengenai modus operandi mafia peradilan dalam memengaruhi proses peradilan, penulis akan memberikan contoh kasus sebagai berikut:

Muhtadi Asnun kena batunya. Ketua Majelis Hakim kasus Gayus Tambunan itu dinonpalukan, mulai Senin (19/04). Mahkamah Agung (MA) menghukum Ketua Pengadilan Negeri Tangerang itu, menjadi hakim biasa, di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tanpa wewenang apapun. Itulah sanksi yang dijatuhkan kepada Muhtadi Asnun, setelah diperiksa sejak Senin pagi. Ia diperiksa berkaitan dengan pengakuannya telah mendapat imbalan Rp50 juta, atas pembebasan Gayus Tambunan dari dakwaan kasus penggelapan pajak. Muhtadi sebenarnya sudah pernah diperiksa pihak MA, tetapi dinyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan dalam persidangan Gayus Tambunan di Pengadilan Negeri Tangerang, beberapa waktu lalu. Ternyata dalam pemeriksaan di Komisi Yudisial, terungkap Muhtadi kebagian Rp50 juta, yang menurut Gayus untuk membantu biaya sang hakim berangkat umrah. Atas pengakuan itulah, MA kembali memeriksa Muhtadi Asnun, Senin pagi. Alasannya, pemeriksaan terdahulu baru menyangkut masalah teknis. Pemeriksaan di MA kali ini berkaitan dengan kasus suap. Seperti di KY, saat diperiksa di MA pun, Muhtadi mengaku menerima Rp50 juta itu. Karena itu, MA menjatuhkan sanksi hakim pengadilan tinggi nonpalu itu. "Berdasarkan pengakuan itu, MA mengambil tindakan Muhtadi Asnun dinonpalukan di Pengadilan Tinggi DKI, terhitung mulai hari ini (Senin).

SK-nya dalam proses," kata Hatta Ali kepada wartawan.

MA juga sedang memeriksa 2 anggota majelis hakim lainnya, Harun Tarigan dan Bambang Widyatmoko. yang memutus perkara Gayus (http://politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=6606).

Dari contoh kasus di atas penulis akan menganalisis berdasarkan sub bahasan mengenai modus operandi mafia peradilan dalam proses peradilan.

Peradilan dewasa ini seperti yang telah diketahui sejak kurang lebih tahun 80an keadaan peradilan kita tidak seperti yang diharapkan. Di dalam praktek dewasa ini hakim tidak bebas dalam menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak dapat dibuktikan secara langsung hal ini ternyata dari adanya tekanan-tekanan ekstern seperti suap yang dilakukan oleh para mafia peradilan, pernyataan pejabat mengenai terbukti tidaknya suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, ancaman-ancaman, kolusi, dan juga tekanan-tekanan intern yang berupa campur tangan dalam penyelesaian


(38)

commit to user

perkara seperti adanya surat sakti, telfon sakti dan sebagainya. Kebebasan hakim seperti yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) Undang-undang nomor 14 tahun 1970 belumlah dapat kita nikmati sepenuhnya. Karena adanya campur tangan para mafia peradilan itu kiranya hakim tidak dapat bersikap obyektif. Ini semuanya tidak hanya menyangkut integritas hakim, tetapi juga menyangkut jaminan ketentraman dan keamanan bagi hakim dalam menjalankan tugasnya.

Sebagaimana disebutkan dalam kajian pustaka, setiap hakim bertanggung jawab atas perbuatannya di bidang penegakan hukum (peradilan). Tanggung jawab tersebut dibedakan antara tanggung jawab undang (publik) dan tanggung moral. Tanggung jawab undang-undang adalah tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) karena telah melaksanakan peradilan berdasarkan perintah undang-undang. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab hakim selaku manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberinya amanat supaya melaksanakan peradilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Abdulkdir Muhammad, 2001: 131).

Perbuatan hakim Muhtadi Asnun tersebut selain melanggar kode etik Kehakiman juga mengingkari tanggung jawab hakim kepada penguasa dan kepada Tuhan. Hakim Asnun dianggap mengingkari tanggung jawab kepada penguasa karena, yang bersangkutan tidak melaksanakan peradilan yang sesuai dengan undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat dan kepatutan (equality).

Dengan uang Rp. 50 juta seorang hakim Asnun tega mengesampingkan undang-undang, ini yang ditakutkan oleh masyarakat dengan berkeliarannya para mafia peradilan yang tidak bertanggung jawab. Hakim Asnun memberikan putusan bebas kepada Gayus sebab pasal penggelapan uang Rp.370 juta yang dituntut kepada Gayus Tambunan tidak terbukti. Disini hakim Asnun tidak memberikan keadilan seperti yang diharapkan oleh semua orang, padahal keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan nilai undang-undang, hasil penghayatan


(39)

nilai-commit to user

nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat dan tidak melanggar hak orang lain. Selain itu keputusan hakim harus memberi dampak positif bagi masyarakat dan negara serta harus dapat dijadikan panutan dan yurisprudensi yang selanjutnya akan berguna bagi pengembangan hukum nasional. Tetapi yang dilakukan hakim Asnun justru sebaliknya, yang bersangkutan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat dan negara.

Hakim Asnun juga telah mengingkari tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa yang artinya hakim tersebut tidak melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui hati nuraninya. Dampak negatif bagi hakim yang memutus tidak adil memang tidak dapat diketahui karena itu adalah rahasia Tuhan. Berlainan dengan undang-undang yang mengancam dengan sanksi keras, ancaman sanksi itu dapat diketahui melalui rumusan undang-undang. Tetapi manusia tidak menyadari bahwa sanksi Tuhan lebih keras lagi dan pasti tetapi tidak dapat diketahui seketika, yang namanya hukuman pembalasan. Suatu ketika manusia mendapat penyakit yang sulit bahkan tidak dapat disembuhkan, tetapi tidak disadari karena dia pernah berlaku tidak adil.

Hakim yang kukuh pendirian tidak akan pernah goyah pada rayuan mafia peradilan, karena hakim berpedoman pada Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: ”Segala campur tangan dalam peradilan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam undang-undang dasar”. Seorang hakim sebelum melaksanakan jabatan sebagai hakim telah disumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: ”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.


(40)

commit to user

”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia”.

”Saya bersumpah atau berjanji bahwa saya senantiasa akan enjalankan jabatan ini dengan jujur, seksama dan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim anggota mahkamah agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.

Sumpah di atas diharapkan mengandung akibat sakral bagi hakim yang melanggarnya, sehingga seorang hakim tidak berani melanggar sumpah, karena agama yang dianutnya melarang perbuatan tercela.

B. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran Kode Etik Polisi, Jaksa dan Hakim

Praktek mafia peradilan merupakan suatu kenyataan bahwa keberadaan mereka sangat menghambat proses perkembangan hukum di Indonesia, karena terus menerus memengaruhi oknum aparat hukum dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu semua oknum aparat hukum di beri rambu-rambu hukum yang dituangkan dalam kode etik profesi yang harus ditaati dan menjadi pedoman setiap oknum aparat hukum dalam menjalankan tugas.

1. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran Kode

Etik Kepolisian

Bagi penyidik (Polisi) yang terlibat dalam perekayasaan kasus bersama para mafia peradilan pada hakikatnya telah melanggar kode etik kepolisian. Dalam Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia telah dinyatakan bahwa anggota kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas wajib mempelihara perilaku terpercaya dengan:

a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.


(41)

commit to user

c. Tidak melakukan pertemuan di luar ruang pemeriksaan dengan

pihak-pihak yang terkait dengan perkara.

d. Tidak mempublikasikan nama terang tersangka dan saksi.

e. Tidak mempublikasikan tata cara, taktik dan teknik penyidikan.

f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang

dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan perkara.

g. Menunjukkan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada

dalam penguasaan nya karena terkait dengan penyelesaian perkara.

h. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan sesama pejabat

negara dalam sistem peradilan pidana.

i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang

perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana yang dimaksud, sehingga

diperoleh kejelasan tentang penyelesaiaannya

(http://kuncupmuda.blogspot.com).

Kode etik kepolisian poin a bahwa polisi wajib menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kenyataannya kalau mafia peradilan sudah masuk dan ikut campur pada proses penyidikan maka yang salah adalah menjadi benar yaitu dengan cara merusak mental dan moral penyidik melalui lobi tercela agar penyidik mau melanggar ketentuan undang-undang. Upaya mafia peradilan ini sungguh sangat tercela. Padahal penyidik atau polisi dalam menjalankan tugas telah dibatasi oleh undang-undang dan kode etik kepolisian.

Kode etik kepolisian poin b bahwa polisi tidak memihak, jika ada penyidik memihak pada tersangka karena ulah mafia peradilan, maka penyidik tersebut telah melanggar kode etik kepolisian yang tersebut diatas.

Kode etik kepolisan poin c dinyatakan bahwa polisi tidak melakukan pertemuan di luar persidangan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara.


(42)

commit to user

Dalam perekayasaan kasus biasanya mafia peradilan menawarkan kepada oknum penyidik untuk melakukan pertemuan rahasia ditempat aman dan tidak diketahui oleh umum. Ditempat tersembunyi inilah mafia peradilan melakukan aksi tercelanya yaitu membayar oknum penyidik untuk melakukan penyimpangan. Tindakan ini jelas melanggar kode etik kepolisian penyidik dilarang mengadakan pertemuan di luar ruang pemerikasaan. Penyidik yang melanggar kode etik akan dikenakan sanksi moral berupa:

a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.

b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta

maaf secara terbatas atau terbuka.

c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi.

d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi

kepolisian.

Pemeriksaan atas pelanggaran pada kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan oleh komisi kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berangkat dari pelanggaran kode etik ini penyidik dapat juga diproses secara hukum, tergantung dari kadar kesalahannya.

Pada kode etik kepolisian dinyatakan bahwa polisi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa:

a. memberikan pelayanan terbaik;

b. menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama;

c. mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit;

d. bersikap hormat pada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak

atau arogan karena kekuasaan;

e. tidak membeda-bedakan cara pelayanan pada semua orang;

f. tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam atau tidak mengenal hari

libur;

g. tidak membebani biaya kecuali diatur dalam peraturan


(43)

commit to user

h. tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat

dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang;

i. tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan

anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas bantuan polisi yang telah diberikan kepada masyarakat.

Jika dicermati pada poin e dinyatakan bahwa polisi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang. Isi kode etik tersebut sangat mulia yaitu polisi tidak akan membeda-bedakan pelayanan pada masyarakat, tetapi pada kenyataannya penyidik (polisi) dalam menangani kasus perkara pidana masih memberikan pelayanan berbeda pada tersangka. Jelas hal ini merupakan pelanggaran pada kode etik kepolisian.

2. Modus Operandi Praktik Mafia Peradilan Ditinjau dari Pelanggaran Kode

Etik Kejaksaan

Sebelum membahas permasalahan pokok, perlu penulis sampaikan tentang Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Kep-052/JA/S/1979 yang didalamnya terdapat doktrin tri krama adhyaksa. Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan suatu ajaran dan citra yang dianggap benar, dimana kebenaran itu bisa dibuktikan berdasarkan penalaran dan merupakan pedoman bagi arah perjuangan serta pencapaian asas serta cita-cita korps. Doktrin ini juga berarti sebagai kebulatan tekat segenap warga korp yang bersumber pada kesatuan pemikiran dan pendapat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Doktrin Tri Krama Adhyaksa berfungsi sebagai pembimbing, pendorong, sumber motivasi dan inspirasi bagi jaksa dalam pengertian korps secara bulat dan utuh untuh menciptakan adanya kesatuan bahasa, sikap dan tindak dari jaksa untuk mencapai cita-cita korps.


(1)

commit to user

e. Menjauhkan diri dari perbuatan dan kelakuan yang dicela masyarakat.

f. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim.

g. Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab.

h. Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu.

i. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai keadilan).

j. Dapat dipercaya.

k. Berpandangan luas.

Sebagai pejabat penegak hukum hakim:

a. Bersikap tegas, disiplin.

b. Penuh pengabdian pada pekerjaan.

c. Bebas pengaruh dari siapapun juga.

d. Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang

untuk kepentingan pribadi atau golongan.

e. Tidak berjiwa mumpung.

f. Tidak menonjolkan kedudukan.

g. Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan.

h. Berpegang teguh pada kode kehormatan hakim.

Selain itu hakim sebagai pejabat penegak hukum harus:

a. bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam

hukum acara yang berlaku

b. tidak memihak, tidak bersimpati, tidak anti pati pada pihak yang

berperkara

c. berdiri diatas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak

membeda-bedakan orang

d. sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang baik dalam ucapan

maupun perbuatan

e. menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan

f. bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan

g. memutus berdasarkan hati nurani


(2)

commit to user

Etika hubungan sesama hakim, harus:

a. Memelihara dan mempelihara hubungan kerja sama yang baik sesama

rekan.

b. Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara

sesama rekan.

c. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan kepada korp hakim.

d. Menjaga nama baik dan martabat rekan baik didalam maupun diluar

kedinasan.

e. Bersikap tegas adil dan tidak memihak.

f. Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim

atasanya.

g. Memberi contoh yang baik didalam dan diluar kedinasan.

Kode kehormatan hakim dikenal dengan Tri Prasetya Hakim Indonesia, yaitu: ”Saya berjanji:

1) bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan

martabat hakim Indonesia;

2) bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode

kehormatan hakim Indonesia;

3) bahwa saya menjunjung tinggi dan mempertahankan jiwa korp

hakim Indonesia.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya kepada jalan yang benar.”

Dari bunyi kode etik hakim tersebut diatas, jika dicermati dari kenyataan yang masih ada penyuapan hukum yang melanggar tatanan yang ada pada kode etik kehakiman.

Kita lihat saja pada kode etik kepribadian hakim tersebut diatas pada angka c di sebutkan bahwa hakim harus berkelakuan baik dan tidak tercela. Tetapi pada kenyataannya masih ada oknum hakim dalam memutus perkara sering dipengaruhi oleh mafia peradilan (ingat kasus hakim Asnun pada kasus Gayus), pada kasus Gayus terdapat indikasi bahwa hakim Asnun telah terjerat pada lingkaran mafia peradilan. Praktek


(3)

commit to user

transaksi kasus ini juga nampak pada tertangkap basah hakim Ibrahim pada pengadilan tinggi tata usaha negara saat menerima uang suap dari seorang pengacara. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Maret 2010 (Jawa Pos, 31 Maret 2010).

Transaksi kasus ini, dulu dilakukan dengan sangat rapi yaitu melalui hand phone (hp), tetapi cara tersebut sudah tidak aman lagi karena ada penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka pola ini berubah transaksi tidak melalui hp, melainkan bertemu langsung ditempat steril.

Etika kepribadian hakim angka f dinyatakan bahwa: hakim tidak boleh merendahkan martabat hakim. Jika ada hakim dalam menjalankan tugas telah dipengaruhi oleh mafia peradilan agar mau mengikuti kehendak mafia peradilan demi kepentingan terdakwa jelas hal itu merupakan pengingkaran terhadap hukum. Kita masih ingat betapa tercelanya hakim Asnun dari pengadilan Tangerang yang telah menerima suap dari mafia peradilannya Gayus Tambunan agar hakim tersebut mau memberikan putusan yang sangat ringan, sehingga Gayus Tambunan dapat dengan mudah melenggang bebas diluar penjara. Gayus melalui mafia peradilan mampu mempengaruhi aparat hukum dengan lihai mulai dari polisi, jaksa dan hakim. Hal ini terbukti Kompol AE (penyidik Gayus) di hadapkan ke pengadilan sebagai terdakwa, dan telah diputus 5 tahun pidana penjara.

Pada kode etik hakim angka g berbunyi: bahwa hakim harus bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab. Hakim dalam mewujudkan kode etik tersebut harus terbebas dari pengaruh mafia peradilan agar putusan hakim sesuai ketentuan undang-undang.

Pada kode etik angka h dinyatakan bahwa hakim harus berkepribadian, sabar, bijaksana dan berilmu. Setiap hakim dalam menjalankan tugas dibatasi dengan kode etik agar supaya hakim tidak lepas kendali dalam menggunakan kewenangannya. Jika ada oknum hakim


(4)

commit to user

yang melakukan tindakan tercela, maka oknum hakim tersebut telah melakukan penyimpangan hukum.

Pada kode etik angka i dinyatakan bahwa hakim harus dapat di percaya., Pada etika tugas jabatan hakim sebagaimana tertulis bahwa hakim sebagai penegak hukum harus mengabdi pada pekerjaan. Sikap terpuji dari aparat penegak hukum adalah mengabdi pada pekerjaan secara otomatis hakim tersebut juga mengabdi pada negara. Jika ada kesediaan oknum hakim melakukan transaksi putusan melalui mafia peradilan demi kepentingan pribadi yang berorientasi pada profit adalah salah. Tidak selayaknya lembaga peradilan dirubah menjadi perusahaan peradilan dimana, setiap menjalankan pekerjaan selalu mencari keuntungan sebanyak-banyaknya (www.pamajene.co.cc).

Pada etika tugas jabatan hakim sebagaiman tertulis bahwa hakim dilarang berjiwa mumpung. Putusan hakim yang telah terkontaminasi virus mafia peradilan dapat menabrak rambu-rambu kode etik hakim. Larangan bahwa hakim tidak boleh berjiwa mumpung merupakan rambu-rambu hukum yang harus ditaati.


(5)

commit to user

52

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Modus operandi mafia peradilan dapat di uraikan sebagai berikut :

a. Pada tahap penyidikan

Mafia peradilan menggunakan modus menjanjikan kepada tersangka bahwa ia dapat merekayasa kasus dengan menawarkan pasal-pasal ringan dalam menjerat kasus pidana yang telah dilakukan oleh terperiksa.

b. Pada tahap penuntutan

Didalam proses ini modus operandi mafia peradilan adalah berkonspirasi dengan oknum jaksa untuk tidak menuntut pasal-pasal yang memberatkan, tidak menuntut hukuman maksimal.

c. Pada tahap Peradilan

Mafia peradilan melobi hakim dengan cara mengajak oknum hakim tersebut ke tempat yang telah disepakati guna membahas nasib terdakwa yang sedang diproses dipengadilan, karena putusan hakim merupakan tahap terakhir dalam proses peradilan. Disini mafia peradilan merekayasa peradilan yang seharusnya berjalan menurut ketentuan undang-undang menjadi peradilan yang berjalan menurut keinginan mafia peradilan.

2. Penerapan kode etik profesi aparat penegak hukum di Indonesia akan

terhambat jika para mafia peradilan masih berkeliaran dan tidak segera di berantas. Karena tidak bisa dipungkiri lagi mafia peradilan mempunyai peran penting akan terjadinya pelanggaran kode etik. Secara lebih detail antara lain:

a. Pada kode etik polisi: Kode etik Kepolisian dibuat untuk mengatur

norma-norma dan moral polisi untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik. Tapi dengan adanya para mafia peradilan, maka harapan untuk mewujudkan kinerja yang lebih baik menjadi sulit. Mafia peradilan


(6)

commit to user

menawari oknum polisi untuk melanggar kode etik guna kepentingan terdakwa dan mafia peradilan itu sendiri.

b. Pada kode etik jaksa: Jaksa dalam proses peradilan mempunyai

kewenangan sebagai penuntut umum. Kode etik Kejaksaan mengatur semua tingkah laku oknum jaksa dalam melaksanakan proses peradilan, tetapi masih banyak oknum jaksa yang melanggar kode etik kejaksaan karena peran serta mafia peradilan.

c. Pada kode etik hakim: Hakim dalam menjalankan tugas harus

menjunjung tinggi kode etik hakim, karena hakim menjadi panutan masyarakat baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Tetapi pada kenyataannya masih ada oknum hakim yang tergoda dengan tawaran mafia peradilan untuk melanggar kode etik hakim.

B. Saran

1. Satuan Tugas (Satgas) pemberantasan mafia hukum hendaknya dapat berjalan

secara efektif untuk memberantas mafia peradilan dengan cara menambah perwakilan di daerah dengan program operasi yang jelas dan perlu di sosialisasikan pada masyarakat.

2. Pasal 20 KUHAP hendaknya ditinjau ulang untuk di ganti, karena pasal

tersebut memberikan peluang penyelewengan hukum yang aman bagi oknum polisi, oknum jaksa dan oknum hakim. Karena hak menahan atau tidak menahan menjadi kewenangan aparat hukum. Seharusnya kalau terperiksa dinyatakan sebagai tersangka harus segera ditahan. Jadi hak alternatif menjadi tidak ada dan yang ada adalah hak mutlak (absolut).