Diagnosis Komplikasi Asfiksia Neonatorum

muncul sampai hari ketujuh dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang seperti rekaman elektroensefalogram. Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat asfiksia mengakibatkan iskemia. Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari hipoksia karena menyebabkan perfusi jaringan kurang baik sehingga glukosa sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan hasil metabolisme anaerob tidak dapat dikeluarkan dari jaringan Radiyo, 2011 Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah kecil setelah mengalami asfiksia selama 5 menit atau lebih sehingga darah tidak dapat mengalir meskipun tekanan perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini mungkin mempunyai peranan penting dalam menentukan kerusakan yang menetap dalam proses asfiksia Radityo, 2011.

2.1.6 Diagnosis

Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat gangguan lahir, lahir tidak bernapas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur mekonium. Temuan klinis yang didapat pada neonatus dengan asfiksia neonatorum dapat berupa lahir tidak bernapasmegap-megap, denyut jantung 100xmenit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot yang melemah. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1, 5 dan 10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah, dimana pada neonatus dengan asfiksia didapatkan PaO 2 50mmH 2 O, PaCO 2 55mmH 2 O, pH 7,3.

2.1.7 Komplikasi

Dampak asfiksia berat pada organ adalah sebagai akibat dari vasokonstriksi setempat untuk mengurangi aliran darah ke organ yang kurang vital seperti saluran cerna, ginjal, otot, dan kulit agar penggunaan oksigen berkurang, sedangkan aliran darah ke organ vital seperti otak dan jantung meningkat Shah et al, 2004. Universitas Sumatera Utara Organ yang mengalami kerusakan adalah: a. Susunan saraf pusat Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak Van et al, 1993 dalam Depkes RI, 2008. Penelitian Yu 1994 dalam Depkes RI 2008, menyebutkan 8-17 bayi penderita serebral palsi disertai dengan riwayat perinatal hipoksia. Salah satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada masa perinatal adalah ensefalopati hipoksik iskemik EHI. Pada bayi cukup bulan keadaan ini timbul saat terjadinya hipoksia akut, sedangkan pada bayi kurang bulan kelainan lebih sering timbul sekunder pasca hipoksia dan iskemia akut. Manifestasi gambaran klinik bervariasi tergantung pada lokasi bagian otak yang terkena proses hipoksia dan iskemianya Depkes RI, 2008. Sarnat dan Sarnat membagi EHI menjadi 3 stadium. Stadium 1 ringan ditandai gelisah, iritabel, tonus otot masih normal, hiperrefleksi, takikardi, sekresi saluran napas berkurang, motilitas gastrointestinal menurun, pupil dilatasi, belum terjadi kejang. Stadium 2 sedang ditandai letargi, hipotoni, refleks melemah, kelemahan otot daerah proksimal, bradikardi, sekresi saluran napas berlebihan, motilitas gastrointestinal meningkat, pupil miosis, dan terjadi kejang. Pada stadium 3 berat ditandai stupor dan flaksid, hiporefleksi, refleks moro menghilang, pupil anisokor, refleks pupil menurun, suhu tidak stabil, dan kejang berulang Purwadi, 2007. b. Sistem Pernapasan Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengemukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium Depkes RI, 2008. Universitas Sumatera Utara Martin-Ancel 1995 dalam Depkes RI 2008 menyebutkan bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap 72 penderita asfiksia, 19 bayi 26 diantaranya menderita kelainan pernapasan dan 14 bayi memerlukan tindakan ventilasi mekanik. Jenis kelainan pernapasan yang ditemukan pada penelitiannya adalah sindroma aspirasi mekonium 6 penderita, hipertensi pulmonal 3 penderita, perdarahan paru 4 penderita dan sisanya menderita transient respiratory distress of the newborn. c. Sistem kardiovaskular Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan otot papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita asfiksia hanya 29 bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan yang ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat insufisiensi katup atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan iskemia miokardium. Kelainan jantung lain yang mungkin ditemukan pada penderita asfiksia berat antara lain gangguan konduksi jantung, aritmia, blok atrioventrikuler dan fixed heart rate Depkes RI, 2008. d. Sistem urogenital Perinatal hipoksemia menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat vasokonstriksi renal dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Selain itu juga terjadi aktivasi sistem renin angiotensin-aldosteron dan sistem adenosin intrarenal yang menstimulasi pelepasan katekolamin dan vasopresin. Semua ini akan mengganggu hemodinamik glomerular Purwadi, 2007. e. Sistem gastrointestinal Kelainan saluran cerna ini terjadi akibat radikal bebas oksigen yang terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi makanan, atau adanya darah dalam residu lambung Universitas Sumatera Utara sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikan, kolestasis dan nekrosis hepar Depkes RI, 2008

2.1.8 Pencegahan