Klasifikasi Patofisiologi Asfiksia Neonatorum

yaitu sebesar 27 yang merupakan penyebab kedua kematian bayi baru lahir setelah bayi berat lahir rendah Depkes RI, 2008. Bayi lahir dengan asfiksia merupakan gangguan pada masa perinatal yang menyebabkan angka kesakitan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. Koesma Tuban cukup tinggi. Pada tahun 2004, dari 665 persalinan terdapat bayi dengan asfiksia sebesar 74 11,3. Tahun 2005, dari 706 persalinan terdapat bayi asfiksia sebesar 65 9,21 dan pada tahun 2006, dari 927 persalinan terdapat bayi baru lahir dengan asfiksia sebesar 117 12,62 Safaah, 2007. Berdasarkan penelitian Ella 2004 yang dikutip dari Muntari 2010, bahwa dari 44.000 kelahiran hidup setiap tahunnya, 500 bayi 2,1 diantaranya mengalami kematian neonatal dan sebanyak 260 28,8 kematian tersebut diakibatkan oleh asfiksia. Sama halnya dengan Sumatera Utara, angka kematian bayi 166.500 dan yang menderita asfiksia sebanyak 43.956 bayi 26,4 Dinkes Medan, 2008 dalam Muntari, 2010.

2.1.4 Klasifikasi

Menurut Haider dan Bhutta 2006, asfiksia dibagi menjadi 2 antara lain: a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1, 5, dan 10 untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat Radityo, 2011. Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR: a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3 b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6 c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9 d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10 Ghai, 2010. Universitas Sumatera Utara Kesepakatan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM adalah bayi yang lahir dengan nilai Apgar menit pertama 0-3 sebagai asfiksia berat dan nilai Apgar menit kedua 4-6 sebagai asfiksia sedang Manoe, 2003. Menurut Snyder dan Cloherty 1998, nilai Apgar 3 atau kurang setelah 5menit dapat dikatakan adanya asfiksia. Meskipun demikian nilai Apgar yang rendah pada bayi prematur dan bayi masa kecil kehamilan KMK bukan merupakan petunjuk asfiksia karena bayi-bayi tersebut cenderung hipotonus, sianosis pada ekstremitas dan lebih lemah Manoe, 2003. Nilai Apgar 6 atau 7 mungkin sudah maksimal untuk bayi prematur, sedangkan pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu sering dengan nilai Apgar 2-3, tanpa adanya asfiksia Manoe, 2003. Tabel 2.1 Nilai APGAR Nilai 1 2 Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur Denyut jantung Tidak ada 100 100 Warna kulit Biru atau pucat Tubuh merah jambu, kaki dan tangan biru. Merah jambu Gerakan tonus otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi Refleksme nangis Tidak ada Lemah lambat Kuat

2.1.5 Patofisiologi

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara, proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernapasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan pernapasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan pernapasan mengakibatkan gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida sehingga menimbulkan Universitas Sumatera Utara berkurangnya oksigen dan meningkatnya karbondioksida, diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana anaerob yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa keadaan diantaranya: Radityo, 2011 a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung b. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan. Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam selama 3 menit periode hiperpneu diikuti apneu primer kira-kira 1 menit dimana pada saat ini denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernapas gasping 8-10 kali permenit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya timbul apneu sekunder. Pada keadaan normal fase-fase ini tidak jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan napas bayi maka bayi akan segera bernapas dan menangis kuat Radityo, 2011 Pemakaian sumber glikogen untuk energi dalam metabolisme anaerob menyebabkan dalam waktu singkat tubuh bayi akan menderita hipoglikemia. Pada asfiksia berat menyebabkan kerusakan membran sel terutama sel susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan elektrolit, berakibat menjadi hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah asfiksia berlangsung selama 8-15 menit Manifestasi dari kerusakan sel otak dapat berupa ensefalopati hipoksik iskemik EHI yang terjadi setelah 24 jam pertama dengan didapatkan adanya gejala seperti kejang subtel, multifokal, atau fokal klonik. Manifestasi ini dapat Universitas Sumatera Utara muncul sampai hari ketujuh dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang seperti rekaman elektroensefalogram. Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat asfiksia mengakibatkan iskemia. Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari hipoksia karena menyebabkan perfusi jaringan kurang baik sehingga glukosa sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan hasil metabolisme anaerob tidak dapat dikeluarkan dari jaringan Radiyo, 2011 Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah kecil setelah mengalami asfiksia selama 5 menit atau lebih sehingga darah tidak dapat mengalir meskipun tekanan perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini mungkin mempunyai peranan penting dalam menentukan kerusakan yang menetap dalam proses asfiksia Radityo, 2011.

2.1.6 Diagnosis