99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis sampaikan dalam skripsi ini adalah :
1. Dalam proses pematangan demokrasi di Indonesia harus diakui telah berlangsung lama dan memakan proses panjang, terutama pasca orde setelah
reformasi. UUD 1945 sebagai dasar konstitusi bernegara telah mengalami amandemen yang melahirkan banyak perubahan yang fundamental dalam sistem
ketatanegaraan kita. Salah satunya adalah sistem pemilihan langsung pada pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi,dan kabupatenkota. Tidak bisa
dipungkiri bahwa penyelenggaraan pemilukada tersebut masihlah menimbulkan konflik horizontal diantara pihak yang bersengketa apabila terjadi kecurangan
yang terstruktur, sistematis, dan massif oleh calon peserta maupun oleh penyelenggaranya sendiri yang dalam hal ini adalah KPU. Berdasarkan UU no. 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah bahwa kewenangan menyelesaikan sengketa pemilukada adalah berada pada MA. Dalam melaksanakan
kewenangannya itu MA mendelegasikan wewenangnya kepada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten kota yang bersangkutan. Dengan
demikian kewenangan untuk memeriksa keberatan yang dilakukan oleh pengadilan didasarkan atas pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang dan ditegaskan kembali melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 02
Universitas Sumatera Utara
100 Tahun 2005.Disebutkan pula dalam pasal 29 UU 322004 tentang Pemerintahan
Daerah yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam kaitan dengan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mengenai
pengaturan lebih lanjut tentang pemilihan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah ini, pada tanggal 11 Februari 2005 telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan, Pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam
perkembangannyasebagaimana tercantum dalam pertimbagan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa ternyata dalam menjabarkan maksud “dipilih
secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, pembuat undang-undang telah memilih cara pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Maka sebagai
konsekuensi logisnya, asas-asas penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana
dimaksud dalam asas pemilu.Berdasarkan hal tersebut, MKlewat putusannya dalam perkara pengujian UU 322004 memutuskan bahwa pemilukada adalah
termasuk dalam rezim pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal Pasal 22E UUD 1945.Dengan demikian secara otomatis proses penyelesaian
perselisihan hasil pemilukada juga akan beralih ke MK sebagai lembaga yang berwewenang memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu termasuk
pemilukada.
2. Bahwa dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada,MA maupunMK telah banyak mengambil pelajaran sebagai lembaga kehakiman di Indonesia yang
kondisi negaranya masih sarat dengan perubahan situasi politik nasional yang
Universitas Sumatera Utara
101 dinamis. MA maupun MK sebagai lembaga pemutus perselisihan hasil
pemilukada, masihlah memiliki kelemahan terhadap eksekusi putusan dimana rakyat sebagai pemegang hak konstitusional merasa belum mendapat keadilan
yang prosedural dan substansional. Masih adanya putusan yang tidak efektif sebagai produk lembaga kehakiman kadang menimbulkan kisruh yang
berkepanjangan di daerah yang bersengketa, yang dalam peninjauan nyatanya sangat merugikan masyarakat secara materil maupun fisik, serta bahkan
mengakibatkan kekosongan kepemimpinan daerah yang bersengketa sebagai lemahnya eksekusi dari pututsan tersebut. Sebagai contoh putusan kasus pilkada
kota Depok tahun 2005 oleh MA maupun pemilukada Kotawaringin Barat tahun 2010 oleh MK yang masih menimbulkan pandangan yang kontroversi di kalangan
para praktisi hukum hingga saat ini. Namun sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang baik MA maupun MK, sudahlah sepantasnya
untuk kita sebagai masyarakat agar legowo dan menghormati putusan yang telah diketok palu oleh hakim tersebut, yang tentunya dengan mengingat sekali lagi
bahwa hakim tetaplah manusia yang mungkin bisa khilaf dalam menilai sesuatu hal yang dipertanggungjawabkan kepadanya.
Universitas Sumatera Utara
102
B. Saran