Tinjauan Penelitian Terdahulu Kegunaan Penelitian

atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Susila dan Munadi 2008 dalam penelitiannya mengenai hubungan antara elastisitas harga eceran gula terhadap perubahan biaya distribusi dengan kontribusi harga eceran terhadap inflasi menyimpulkan bahwa, setiap kenaikan 1 biaya distribusi akan menyebabkan kenaikan inflasi di 45 kota dengan kisaran 0,001 - 0,003. Dampak yang paling besar ditimbulkan oleh kenaikan harga tingkat petani, disusul oleh kenaikan harga impor. Setiap kenaikan harga tingkat petani sebesar 1, akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0,005. Untuk harga impor, kenaikan harga sebesar 1 akan menyebabkan kenaikan inflasi sebesar 0,003. Widiarsih 2012, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa harga dasar gabah berpengaruh signifikan terhadap inflasi bahan makanan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Sedangkan jumlah impor beras memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel inflasi bahan makanan dalam jangka pendek namun tidak untuk jangka panjang sedangkan dalam jangka panjang jumlah produksi padi berpengaruh signifikan terhadap inflasi bahan makanan. Widarjono 2007 menyatakan bahwa kausalitas adalah hubungan dua arah. Dengan demikian, jika terjadi kausalitas di dalam perilaku ekonomi maka di dalam model ekonometrika ini tidak terdapat variabel independen, semua variabel merupakan variabel dependen. Nugroho dan Basuki 2012 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa produk domestik bruto PDB, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia SBI dan kurs memiliki hubungan positif terhadap laju inflasi dengan nilai koefisien masing- masing sebesar 0,011 dan 1,08. Sedangkan jumlah uang yang beredar memiliki hubungan negatif terhadap laju inflasi dengan nilai koefisien 0,001. Dwiantoro 2004 dalam penelitiannya mengenai Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engle-Granger Error Correction Model menyimpulkan bahwa inflasi dalam jangka panjang dipengaruhi oleh pendapatan nasional riil secara negatif, inflasi harapan secara positif dan kebijakan devaluasi mata uang Rupiah terhadap US secara negatif. Arifin, dkk 2006 dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang terjadi transmisi harga yang baik dari harga beras konsumen ke harga gabah petani. Transmisi harga dari gabah ke konsumen lebih cepat tejadi, maksudnya perubahan harga gabah petani cepat sekali mempengaruhi harga beras konsumen. akan tetapi, harga beras konsumen tidak direspons secara cepat oleh harga gabah petani. B. Kerangka Pemikiran Salah satu komoditas tanaman pangan yang cukup baik dalam perekonomian di Indonesia dan mempunyai peranan yang sangat strategis adalah beras. Hal ini dikarenakan beras memberikan peran hingga sekitar 45 persen dari total food intake , atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia Arifin, 2003. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sudah menjadi tugas pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan. Ketahanan pangan sendiri diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau Mantau dan Bahtiar, 2010. Kebijakan harga gabah dan beras merupakan salah satu instrumen penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional Widiarsih, 2012. Kebijakan harga yang ditetapkan oleh pemerintah adalah berupa kebijakan harga dasar floor price dan harga atas eceran tertinggi ceiling price. Harga dasar floor price bertujuan untuk melindungi petani dari kemerosotan harga, sementara harga atas eceran tertinggi ceiling price bertujuan untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga yang terlalu tinggi. Kebijakan harga dasar atau lebih dikenal sekarang sebagai HPP memiliki beberapa tujuan. Pertama, melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar yang biasanya terjadi pada musim panen. Kedua, melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, khususnya pada musim panceklik. Ketiga, mengendalikan inflasi melalui stabilitas harga. Dalam menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah HPP pemerintah mengahadapi dilema yang cukup besar. Hal ini dikarenakan disatu sisi kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah bertujuan untuk melindungi petani dan menjaga stabilitas harga agar tidak terjadi inflasi. Namun, disisi lain kebijakan HPP yang ditetapkan pemerintah akan menyebabkan harga beras dipasaran meningkat dan memberikan andil terhadap inflasi. Adanya kenaikan HPP membuat petani secara psikologis berharap menjual gabah atau beras dengan harga lebih tinggi. Hal ini menyebabkan pedagang membayar lebih mahal gabah atau beras tersebut sehingga harga jual beras dipasaran meningkat, peningkatan harga tersebut ditakutkan agar menyebabkan inflasi. Selain kebijakan HPP, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan harga beras meningkat, yaitu jumlah produksi, stok beras, biaya produksi, distribusi dan perubahan iklim. Jumlah produksi dan stok beras yang terbatas menyebabkan tidak terpenuhinya permintaan beras yang tinggi akibat tingginya jumlah penduduk di Indonesia. Keadaan tersebut akan mengakibatkan harga beras di pasaran meningkat. Sementara itu, biaya produksi yang tinggi, distribusi dan perubahan iklim yang tidak baik akan mengakibatkan terjadinya penurunan penawaran beras sehingga permintaan beras tidak terpenuhi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya lonjakan harga beras di pasar. Lonjakan harga beras yang terjadi dan cenderung meningkat akibat faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan kenaikan laju inflasi Setneg, 2011. Inflasi sendiri diartikan sebagai suatu gejala dimana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus – menerus. Venieris dan Sebold mendefinisikan inflasi sebagai suatu kecenderungan meningkatnya tingkat harga umum secara terus menerus sepanjang waktu a sustained tendency for the general level of prices to rise over time . Berdasarkan definisi tersebut, kenaikan tingkat harga umum general price level yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi Nanga, 2005. Inflasi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang sangat penting dan selalu menjadi perhatian utama, baik bagi pemerintah, pelaku ekonomi, maupun masyarakat secara umum. Tinggi rendahnya inflasi di Indonesia di sebabkan oleh kontribusi dari berbagai aspek, yaitu inflasi inti, inflasi administered dan inflasi volatile food . Inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten persistent component di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan dan penawaran, lingkungan eksternal nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang dan ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen. Inflasi administered adalah Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks kejutan berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan. Sedangkan inflasi volatile food adalah Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks kejutan dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. Dalam laju inflasi umum, kelompok bahan pangan volatile food memberikan kontribusi terbesar dibandingkan jenis pengeluaran rumah tangga lainnya yaitu sebesar 1,85 persen. Sedangkan makanan jadi, minuman dan rokok sebesar 0,65 persen, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar 0,54 persen, kesehatan 0,51 persen, pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,15 persen, transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,23 persen, dan penurunan harga yang ditunjukkan oleh penurunan indeks kelompok sandang sebesar 0,08 persen. Dalam kelompok bahan pangan, beras memiliki andil terbesar dalam laju inflasi di Indonesia yaitu sebesar 24 persen BPS, 2012. Hal ini dikarenakan beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia yang sulit digantikan dengan makanan pokok lain. Konsumsi beras yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan jumlah permintaan beras meningkat. Permintaan yang tinggi sedangkan penawaran menurun menyebabkan gejolak harga beras dipasaran meningkat. Peningkatan harga beras di pasaran dapat memicu kenaikan harga bahan pokok lainnya yang dapat menyebabkan inflasi. Selain itu juga, kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah berupa kebijakan HPP secara tidak langsung akan mempengaruhi laju inflasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan Bank Indonesia yang menghitung dampak dari kenaikan kebijakan harga terhadap inflasi. Hasil yang didapat adalah jika tarif dasar listrik TDL dinaikkan 10 persen maka akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,2 persen. Sementara jika harga pembelian pemerintah HPP dinaikkan 10 persen maka akan memberi tambahan inflasi sebesar 0,1 persen. Dengan demikian secara tidak langsung kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pembelian pemerintah HPP, baik untuk gabah maupun beras terbukti dapat memicu inflasi. Dengan demikian dalam mengendalikan laju inflasi di Indonesia, salah satu aspek yang patut mendapat perhatian yaitu pengendalian terhadap harga kelompok bahan pangan. Dengan mempertimbangan prospek perekonomian Indonesia yang relatif belum menunjukkan perubahan yang substansial, peran kelompok pangan terhadap laju inflasi diperkirakan akan masih dominan, paling tidak untuk 5 –10 tahun mendatang. Gambar 4. Kerangka pemikiran Keterangan : : Garis yang diteliti C. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Diduga terdapat hubungan kausalitas dua arah antara harga beras, HPP GKP dan GKG dan inflasi di Indonesia. Kebijakan HPP Inflasi Inti Inflasi administere INFLASI Jumlah produksi Inflasi volatile food Harga Beras Biaya produksi Distribusi Perubahan iklim Stok beras Beras GKP GKG III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Data sekuder adalah data yang diperoleh dari lembaga-lembaga atau instansi- instansi tertentu dalam bentuk data publikasi yang berhubungan dengan penelitian. Data berkala time series adalah data yang dikumpulkan menurut untaian waktu tertentu yang menggambarkan perkembangan dan pertumbuhan suatu kegiatan. Harga beras adalah harga beras yang berlaku di pasar pada tahun tertentu, diukur dalam satuan rupiah per kilogram RpKg. Harga pembelian pemerintah HPP adalah harga pembelian oleh Bulog yang ditetapkan oleh pemerintah, diukur dalam satuan rupiah per kilogram RpKg. Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus- menerus kontinu berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, kelebihan likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Inflasi volatile food adalah inflasi yang dipengaruhi oleh shocks kejutan dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. Interpolasi data adalah metode menghasilkan titik-titik data baru dalam suatu jangkauan dari suatu set diskret data-data yang diketahui. Uji Stasioner adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui bahwa data time series tidak dipengaruhi oleh waktu. Uji Kointegrasi adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui hubungan jangka panjang antara peubah-peubah. Kausalitas Granger adalah alat analisis yang digunakan untuk melihat pengaruh masa lalu dari suatu variabel terhadap kondisi variabel lain pada masa sekarang, diukur tanpa satuan. Elastisitas transmisi harga adalah analisis yang menggambarkan sejauh mana dampak perubahan harga suatu barang di satu tingkat pasar terhadap perubahan harga barang itu di tempat atau tingkat pasar lainnya B. Lokasi Penelitian dan Pengumpulan Data Penelitian dilakukan di Indonesia yang mencakup seluruh wilayah negara Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan rangkaian waktu Time series dari tahun 1986-2011 dan data bulanan yaitu sebanyak 60 bulan, dari 2007M01-2011M12. Data bulanan digunakan adalah data inflasi volatile food, harga eceran beras dan harga pembelian pemerintah HPP. Data sekunder yang diperoleh berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Bank Indonesia, Badan Urusan Logistik dan instansi lain yang berkaitan dengan penelitian ini serta untuk melengkapi data yang diperlukan, digunakan data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu, buku, artikel, siklus internet, maupun perpustakaan serta publikasi- publikasi lain yang relevan. Sementara data sekunder bulanan HPP didapat melalui metode interpolasi data dengan menggunakan program Eviews.

C. Metode Analisis

1. Sumber data

Data yang digunakan adalah data inflasi umum, harga eceran beras HEB dan harga pembelian pemerintah HPP tahunan dari tahun 1986-2011, serta data inflasi volatile food, harga eceran beras HEB dan harga pembelian pemerintah HPP bulanan dari bulan Januari 2007-Desember 201160 bulan. Data inflasi umum tahunan dan inflasi volatile food bulanan bersumber dari Badan Pusat Statistik BPS, sedangkan harga eceran beras HEB dan harga pembelian pemerintah HPP tahunan bersumber dari Badan Urusan Logistik Bulog. Data harga eceran beras HEB bulanan bersumber dari Bulog, sedangkan data HPP bulanan dihitung dengan menggunakan metode interpolasi data dengan program E-views . Interpolasi data dilakukan untuk menampilkan data bulanan yang berasal dari data tahunan. Data inflasi yang digunakan adalah inflasi umum dan inflasi volatile food. Inflasi umum digunakan untuk melihat apakah harga beras dan HPP mempengaruhi inflasi secara umum dan data inflasi volatile food digunakan untuk melihat apakah harga beras dan HPP mempengaruhi inflasi volatile food inflasi bahan pangan secara khusus. Data harga eceran beras yang digunakan adalah harga eceran beras medium, karena beras medium banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Data HPP yang digunakan adalah harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen dan gabah kering giling HGKP dan HGKG. Data-data yang digunakan harus di uji stasioner terlebih dahulu untuk melihat apakah data-data tersebut valid dan dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Setelah data-data tersebut stasioner, maka data-data tersebut dilakukan uji kointegrasi dan uji kausalitas. Uji kausalitas dilakukan untuk melihat apakah terjadi hubungan kausalitas dua arah antar variabel. 2. Analisis Kausalitas dan Integrasi Pasar

a. Uji Stasioner

Stasioner merupakan suatu kondisi data time series yang jika rata-rata, varian dan covarian dari peubah-peubah tersebut seluruhnya tidak dipengaruhi oleh waktu Juanda dan Junaidi, 2012. Metode pengujian stasioneritas dan akar unit yang akan digunakan disini adalah metode Augmented Dickey Fuller ADF dan Phillips Perron PP. Prosedur untuk mengetahui data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik ADF atau PP dengan nilai kritis distribusi Mac Kinnon. Nilai statistik ADF atau PP ditunjukkan oleh nilai t statistik. Jika nilai absolut statistik ADF atau PP lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya nilai statistik ADF atau PP lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Model persamaannya sebagai berikut: ΔY t = a0 + Yt-1+ ∑ ΔYt-1+1+ et ................................................. 1 Keterangan: Y : variabel yang diamati ΔY t : Yt – Yt-1 T : Trend waktu

b. Uji Kointegrasi

Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara peubah-peubah yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara peubah tersebut dapat menjadi stasioner Juanda dan Junaidi, 2012. Uji kointegrasi dapat digunakan untuk mengetahui apakah dua atau lebih variabel ekonomi atau variabel finansial memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang. Apabila data variabel-variabel telah stasioner artinya antara variabel tersebut terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Menurut Gujarati 1995 dalam Fajar 2010, jika dua variabel memiliki kointegrasi, maka regresi dihasilkan tidak akan spurious dan hasil dari uji t dan uji F akan valid. Untuk melihat apakah antar variabel terkointegrasi dapat dilihat stasioner atau tidaknya data. Jika data tersebut stasioner maka antar variabel terkointegrasi. Model kointegrasinya sebagai berikut: