Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu
wilayah lainnya. Bahkan, pada pertengahan 1926, pemerintah Tapaktuan menjalankan strategi menghambat pertumbuhan Ahmadiyah.
Usaha yang dilakukan antara lain melarang kaum Ahmadiyah melakukan salat Jumat di tempat mereka sendiri. Mereka diharuskan untuk melakukan salat
Jumat di masjid umum sebagaimana sebagian besar kaum muslim di kota itu. Penentangan keras ini dilakukan oleh tokoh-tokoh agama setempat dengan alasan
ajaran Ahmadiyah berbeda dengan ajaran agama Islam yang diyakini masyarakat setempat.
Setelah menyebarkan ajaran Ahmadiyah di Tapaktuan selama 3 bulan, Maulana Rahmat Ali melanjutkan perjalanan ke Padang. Penyebaran ajaran
Ahmadiyah di Sumatra Barat mendapat tantangan yang jauh lebih hebat dibandingkan ketika pertama kali masuk melalui Tapaktuan. Meski penentangan
terhadap Ahmadiyah lebih keras di Sumatra Barat, Maulana Rahmat Ali terbantu dengan kedatangan mubalig-mubalig asal Sumatra yang telah pulang dari sekolah
di Kota Qadian. Saat Republik Indonesia mulai berdiri dan tatanan pemerintahan serta
Undang-Undang mulai terbangun, Jemaat Ahmadiyah pun segera menyesuaikan diri dengan peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada di negara
Republik Indonesia. Pada akhir 1952, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan surat permohonan pengesahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga AD-ART nya Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai badan hukum. Pada tanggal 13 Maret 1953, Menteri Kehakiman Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan No.JA.52313 menetapkan bahwa
Perkumpulan atau Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan hukum. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan
Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26. Penetapan Ahmadiyah sebagai badan hukum ini tak lepas dari amanat
Konstitusi, khususnya bagian mengenai Agama dan Keyakinan, yaitu Bab X Pasal 28-E ayat 1, 2, dan 3, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali; setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyertakan pikiran, dan sikap sesuai hati nuraninya; dan
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Selain itu, kaitannya dengan JAI sebagai organisasi kemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
menjamin keberadaannya. Dalam Undang-Undang ini di antaranya telah diatur tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 sebagai
berikut, bahwa Organisasi Kemasyarakatan berhak melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; dan mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan
tujuan organisasi.” Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah organisasi masyarakat yang anggotanya adalah warga Negara Indonesia dan tataran organisasinya telah
memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985, baik mengenai AD- ART maupun ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam undang-undang.
32
32
Munasir Sidik. 2008 Cet.II. Dasar-dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hal 13.
Sedangkan dalam Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM menyatakan: “Setiap orang berhak atas segala macam hak dan
kebebasan yang tertuang dalam Deklarasi ini, tanpa membeda-bedakan apapun juga, baik ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya,
kebangsaan atau asal-usul kewarganegaraan, kekayaan, kelahiran, atau status. Dalam DUHAM juga disebutkan Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah
elemen warga negara yang berhak memperoleh dan mendapatkan hak-haknya dalam memiliki kepercayaan dan keyakinan.
Ada beberapa tingkatan Jemaat Ahmadiyah yang dibagi berdasarkan klasifikasi usia dan jenis kelamin. Golongan itu adalah Ladjnah Imaillah, terdiri
dari wanita Ahmadi; Nasiratul Ahmadiyah untuk puteri-puteri Ahmadi; Athfatul Ahmadiyah untuk anak-anak Ahmadi; Khudamul Ahmadiyah untuk pemuda
Ahmadi; dan Ansarullah untuk orang-orang tua Ahmadi. Dalam Ahmadiyah sendiri, terdapat dua aliran yang kemudian berkembang
masing-masing, yaitu Jemaat Ahmadiyah Ahmadiyah Qadian dan Gerakan Ahmadiyah Ahmadiyah Lahore.
33
Awal pemisahan Ahmadiyah Lahore dari Jemaat Ahmadiyah saat pemilihan khalifah ketiga setelah kematian Mirza Ghulam
Ahmad. Ahmadiyah Lahore tidak mau mengakui silsilah kepemimpinan dari
33
Qadian dan Lahore merujuk pada nama daerah tempat ajaran ini lahir. Sebelumnya aliran ini adalah satu, dari Mirza Ghulam Ahmad. Menurut salah satu Jemaat Ahmadiyah Qadian, dalam
sejarahnya, saat itu Ahmadiyah Lahore berambisi ingin menjadi pemimpin. Pada waktu pemilihan khalifah kedua, yang memilih khalifah harus istikharah dulu, siapa sebenarnya bayangan yang
terlihat. Tiba-tiba ada suara pada malam hari, banyak orang mendengar, namanya Maulana Nasiruddin, anaknya Mirza Ghulam Ahmad. Waktu itu dia berumur 25 tahun. Yang Lahore tidak
setuju karena seolah-olah yang memimpin masih terlalu muda. Akhirnya mereka memisahkan diri. Lahore tidak bisa berkembang sampai sekarang. Dalam sejarah yang berkembang Ahmadiyah
Qadiyan.
khalifah tersebut, yaitu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad Putra dari Mirza Ghulam Ahmad karena dianggap masih terlalu muda dengan usia 25 tahun.
Karena adanya perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan inilah, Ahmadiyah terpecah jadi dua.
Namun, menurut versi Gerakan Ahmadiyah Indonesia GAI
34
, alasan memisahkan diri adalah karena sesaat setelah Mahmud Ahmad memangku jabatan, ia mengajukan klaim atas 3 hal, pertama, Mirza
Ghulam Ahmad adalah benar-benar Nabi; kedua, kata Ahmad yang tercantum dalam Quran Surat Ash-Shaf ayat 6 adalah Mirza Ghulam Ahmad; ketiga, orang
Islam yang tidak berbaiat kepada Ghulam Ahmad adalah kafir dan keluar dari Islam.
Dalam konteks Indonesia, Gerakan Ahmadiyah Indonesia secara resmi lahir pada 10 Desember 1928. GAI tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai
nabi, juga tidak mengakui adanya sistem kekhalifahan seperti dalam Ahmadiyah Qadian. Apabila Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI atau Ahmadiyah Qadian
dipimpin oleh seorang Amir yang dipilih oleh para jemaat dan bertanggung jawab terhadap khalifah, tidak demikian halnya dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia
GAI. Ahmadiyah Lahore di Indonesia GAI secara struktural tidak
berhubungan dengan Gerakan Ahmadiyah yang berpusat di Lahore Pakistan, yaitu Ahmadiyah anjuman Isha’ati Islam Ahmadiyah Gerakan Penyiar Islam. Dengan
posisi seperti ini, maka GAI tidak menganggap Ahmadiyah Lahore di Pakistan sebagai pusatnya, sehingga Ahmadiyah Lahore tidak memiliki otoritas untuk
mengatur atau bahkan sekedar memberi saran kepada GAI.
34
Op.cit… menurut Mulyono, Sekretaris GAI, Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 52.
Berbicara tentang dua aliran ini, di Yogyakarta, ada seniman Ahmadiyah yang mengenal Ahmadiyah Lahore terlebih dahulu, baru kemudian juga meyakini
Ahmadiyah Qadian. Dialah H. Suhadi, seorang seniman yang banyak mengarang lagu tentang Islam. H.Suhadi merupakan salah satu komposer yang turut memberi
warna pada perkembangan musik Tanah Air.
35
Menurutnya, kehidupan umat beragama secara kuantitas cukup luas jika melihat wacana dan kesempatannya.
Akan tetapi, Suhadi berharap agar kualitas dan kesempatan yang luas tersebut tumbuh dengan sadar, terisi dengan kualitas imani yang Islami. Islam disini
merujuk pada kata damai, ada pengertian tunduk kepada Tuhan dengan segala hukumnya.
Saat diwawancarai tahun 2005 silam oleh majalah SULUH
36
, Suhadi banyak bercerita tentang perjalanannya aktif di Ahmadiyah. “Saya mulai aktif
tahun 1986. Karena mencari terus, maka saya bertemu dengan Ahmadiyah Internasional. Namanya Jemaat Ahmadiyah Internasional karena tersebar di lebih
dari 180 negara. Akan tetapi sebelumnya saya sudah di Ahmadiyah Lahore Gerakan Ahmadiyah Indonesia sejak 1963”, ujarnya.
Suhadi mulai tertarik sejak mengikuti “Sunday Morning Class” bersama Dawam Raharjo. Ia tertarik untuk mempelajari karena di dalamnya tidak ada
dogma. Segala hal bersifat rasional. Tidak ada hal yang tabu. Dialog untuk bernalar sangat terbuka, dan tidak terikat pada tradisi. Menurutnya, pada Zaman
Belanda, kaum intelek seperti Bung Karno, Bung Hatta, Prof. Supomo, dan Kartini mempelajari “Al-Quran”-nya Ahmadiyah. Dalam Al-Quran terdapat
35
Suhadi juga merupakan seorang peraih rekor MURI atas prestasinya sebagai pencipta lagu terpanjang lagu Ar-Rahman terdiri dari 9 Kelompok Syair, masing-masing kelompok 2 bait,
dinyanyikan selama 27 menit 30 detik.
36
Mona. 2005. H. Suhadi : Berkarya dengan Musik. Yogyakarta : Majalah SULUH edisi September-Oktober 2005
rasionalitas Islam yang bukan dogma sehingga memungkinkan orang untuk berwawasan luas dan tidak fanatik.
Hal-hal yang terkait dengan ke-Ahmadiyah-an ini tidak akan banyak digali di sini. Perbincangan akan berfokus pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Ahmadiyah Qadian, khususnya di Lombok. Selain karena perkembangannya dalam peradaban terus menerus mengundang kontroversi, hal ini dilakukan karena
Jemaat Ahmadiyah Indonesia lah yang menjadi sasaran kekerasan lebih dari satu dekade.