Satu dekade jadi rumpun terasing : narasi identitas dalam kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok.

(1)

ABSTRAK

Nurhikmah. 2013. Satu Dekade Jadi Rumpun Terasing : Narasi Identitas dalam Kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

Dalam sejarahnya, sejak masuk ke Indonesia, Jemaat Ahmadiyah selalu mengalami kontroversi, tak terkecuali di Lombok. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Lombok, telah menjadi sasaran kekerasan sejak 1998-2010 lalu. Tindak kekerasan yang terjadi selalu diawali dengan pemicu terlebih dahulu baik berupa ceramah dari Tuan Guru (sebutan ulama di Lombok) di Masjid, atau brosur dan selebaran yang disebarkan ke masyarakat umum, yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran “sesat”. Selang beberapa lama, muncullah sekumpulan massa yang kemudian merusak, menjarah, dan mengusir JAI dari tempat tinggalnya. Akibatnya, bermukimlah mereka di Asrama Transito selama 7 tahun ini sebagai pengungsi. Peristiwa kekerasan menunjukkan adanya aktor yang bermain sebagai kelas hegemonik dalam mempengaruhi wacana tentang “kesesatan” Ahmadiyah di tengah masyarakat, khususnya Tuan Guru dan tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ahmadiyah, oleh beberapa elemen, dianggap telah merebut jouissance dari umat Islam “mainstream”.

Sebagai sasaran dari tindak kekerasan, JAI bukanlah muncul sebagai korban semata. Bersama dengan pengurus dan pemimpin organisasinya, JAI khususnya di Lombok akhirnya melawan dengan caranya sendiri. “Jihad dengan pena”, itulah cara mereka melakukan counter hegemony dalam perlawanannya. Mereka menangkis segala tuduhan dan fitnah yang dianggap telah membentuk identitas JAI di tengah masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia. Di satu sisi, sebagian kelompok dan ormas Islam menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan bukanlah bagian dari Islam. Namun, di sisi yang lain, JAI mati-matian menunjukkan identitas mereka sebagai orang Islam. Atas hal tersebut, kajian ini ingin menunjukkan bentuk-bentuk pertarungan hegemoni serta pola-pola yang menentukan identitas JAI di Lombok sebagai subjek atau gerakan sipil keagamaan.


(2)

ABSTRACT

Nurhikmah. 2013. “One Decade of Exclusion: The Narration Identity in Violence towards

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Lombok”. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, University of Sanata Dharma.

In their history, since they entered Indonesia, JAI has always got bad experiences and become controversial. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), in particular in Lombok, has become target of violence from 1998 to 2010. There is always a trigger before violence happens, for example speeches from Tuan Guru (term for Scholar of Islam, Ulama in Indonesia) in Mosque, or some brochures or leaflets given to public or society. It doesn’t take a long process before the people suddenly come to the housing of JAI to damage, plunder, and expel them from their home. As the result, JAI has to live in Transito barracks for almost 7 years as refugees. The violence happening towards JAI has indicated that there are actors who play as the hegemonic class to influence the discourse about Ahmadiyah as a “deviant” religious group, for example

Tuan Guru and Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jemaat Ahmadiyah Indonesia is thought to have seized the jouissance from moslem on majority or mainstream.

However, as a target of violence, JAI doesn’t appear as powerless victims only. The refugees of JAI in Transito, together with the board and leaders of Ahmadiyah in Lombok, bring a spirit to fight by their own method. “The holy war (Jihad) with pen” is their way to do a counter hegemony upon them fight. JAI has repulsed all of the accusation and slander which have shaped their identity among Indonesian society, especially among the Islam society. On one side, many groups and mass organizations have shown Ahmadiyah as a deviant religious teaching and they are not a part of Islam. On the other side, JAI has struggled very hard to show that they are moslem and belong to Islam. Therefore, this study wants to show the various forms of hegemony struggles and also observe what pattern which determines the identity of JAI in Lombok as a subject or religious civil movement.


(3)

SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :

NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT AHMADIYAH

INDONESIA (JAI) DI LOMBOK

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh Nurhikmah NIM: 086322011

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2013


(4)

SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :

NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT

AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI LOMBOK

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh Nurhikmah NIM: 086322011

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2013


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Mempelajari kajian budaya merupakan salah satu hasrat saya untuk bisa terus belajar. Namun, dalam prakteknya, belajar itu butuh legitimasi dan tanggung jawab intelektual dan moral. Tesis ini salah satu manifestasinya. Sebagai tugas akhir yang dibaca sebagai produk intelektual, saya tertarik untuk mengkaji kekerasan dalam sebuah kelompok. Saya melihat kekerasan sebagai sesuatu yang harusnya tidak terjadi, akan tetapi itu menjadi semacam hukum alam yang tak bisa dihindari. Ada semacam “kehausan” dari diri saya untuk melihat fenomena kekerasan khususnya dari perspektif si korban, apalagi pernah berkesempatan meneliti beberapa fenomena tentang hal ini. Dan semoga saja ini bukan semacam pemuasan keingintahuan belaka.

Penulisan tesis ini bukanlah sebuah proses yang singkat dan mudah. Rencana Tuhan, Allah memang mewujud dalam tangan gaibnya untuk menjadikan ini akhirnya terjadi. Dia adalah sumber dari “Rahmah al-Intinan” yang dilukiskan Ibn’Arabii, rahmat yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja-rahmat yang bahkan bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik. Setiap saya merasa lemah, Dia selalu mengingatkan saya dalam salah satu surahNya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara) dua barat” (Qs.Ar-Rahman :16-17).

Saya haturkan terima kasih dan hormat kepada Dr. Fx. Baskara T Wardaya, yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan mengajak untuk selalu berpikir logis dan sistematis termasuk dalam kajian ini. Juga Dr.St.Sunardi, yang dalam setiap obrolan selalu punya cara pandang yang mencerahkan. Dr. G. Budi Subanar, S.J., Katrin Bandel, Mba Devi, Dr. Budiawan yang dalam 3 semester banyak menunjukkan dan mengingatkan untuk tidak banal dalam berpikir. Terima kasih kepada seluruh dosen yang pernah mengajar saya di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, juga Mba Desy, Staf di IRB atas bantuan dan perhatiannya.

Teruntuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok : Koordinator Pengungsi Syahidin, Penasehat JAI Mln.Nasiruddin, Mubalig Basyiruddin, Ir. Jauzi selaku ketuai JAI, para pengungsi JAI di Asrama Transito. Dari kalian saya belajar bahwa penderitaan adalah


(10)

kenikmatan yang terselubung. Terimakasih juga atas kesabaran dan keterbukaan pemikiran yang tak pernah habis diberikan karena menulis tesis ini (ternyata) memakan waktu yang cukup lama.

Terima kasih tak terhingga buat kedua orang tua dan keempat kakak beserta keluarga kalian masing-masing, yang selalu memberikan dukungan, cinta, dan kesabarannya. Buat Essa Putra, semoga kita jadi lebih baik dan kuat kedepannya. Ucapan terima kasih juga buat teman-teman komunitas di Yogyakarta juga IRB’08, rekan-rekan di Taliwang, Sumbawa Barat, dan seluruh pihak yang telah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulisan tesis ini. Salam.


(11)

ABSTRAK

Nurhikmah. 2013. Satu Dekade Jadi Rumpun Terasing : Narasi Identitas dalam Kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

Dalam sejarahnya, sejak masuk ke Indonesia, Jemaat Ahmadiyah selalu mengalami kontroversi, tak terkecuali di Lombok. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Lombok, telah menjadi sasaran kekerasan sejak 1998-2010 lalu. Tindak kekerasan yang terjadi selalu diawali dengan pemicu terlebih dahulu baik berupa ceramah dari Tuan Guru (sebutan ulama di Lombok) di Masjid, atau brosur dan selebaran yang disebarkan ke masyarakat umum, yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran “sesat”. Selang beberapa lama, muncullah sekumpulan massa yang kemudian merusak, menjarah, dan mengusir JAI dari tempat tinggalnya. Akibatnya, bermukimlah mereka di Asrama Transito selama 7 tahun ini sebagai pengungsi. Peristiwa kekerasan menunjukkan adanya aktor yang bermain sebagai kelas hegemonik dalam mempengaruhi wacana tentang “kesesatan” Ahmadiyah di tengah masyarakat, khususnya Tuan Guru dan tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ahmadiyah, oleh beberapa elemen, dianggap telah merebut jouissance dari umat Islam “mainstream”.

Sebagai sasaran dari tindak kekerasan, JAI bukanlah muncul sebagai korban semata. Bersama dengan pengurus dan pemimpin organisasinya, JAI khususnya di Lombok akhirnya melawan dengan caranya sendiri. “Jihad dengan pena”, itulah cara mereka melakukan counter hegemony dalam perlawanannya. Mereka menangkis segala tuduhan dan fitnah yang dianggap telah membentuk identitas JAI di tengah masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia. Di satu sisi, sebagian kelompok dan ormas Islam menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan bukanlah bagian dari Islam. Namun, di sisi yang lain, JAI mati-matian menunjukkan identitas mereka sebagai orang Islam. Atas hal tersebut, kajian ini ingin menunjukkan bentuk-bentuk pertarungan hegemoni serta pola-pola yang menentukan identitas JAI di Lombok sebagai subjek atau gerakan sipil keagamaan.


(12)

ABSTRACT

Nurhikmah. 2013. “One Decade of Exclusion: The Narration Identity in Violence towards

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Lombok”. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, University of Sanata Dharma.

In their history, since they entered Indonesia, JAI has always got bad experiences and become controversial. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), in particular in Lombok, has become target of violence from 1998 to 2010. There is always a trigger before violence happens, for example speeches from Tuan Guru (term for Scholar of Islam, Ulama in Indonesia) in Mosque, or some brochures or leaflets given to public or society. It doesn’t take a long process before the people suddenly come to the housing of JAI to damage, plunder, and expel them from their home. As the result, JAI has to live in Transito barracks for almost 7 years as refugees. The violence happening towards JAI has indicated that there are actors who play as the hegemonic class to influence the discourse about Ahmadiyah as a “deviant” religious group, for example Tuan Guru and Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Jemaat Ahmadiyah Indonesia is thought to have seized the jouissance from moslem on majority or mainstream.

However, as a target of violence, JAI doesn’t appear as powerless victims only. The refugees of JAI in Transito, together with the board and leaders of Ahmadiyah in Lombok, bring a spirit to fight by their own method. “The holy war (Jihad) with pen” is their way to do a counter hegemony upon them fight. JAI has repulsed all of the accusation and slander which have shaped their identity among Indonesian society, especially among the Islam society. On one side, many groups and mass organizations have shown Ahmadiyah as a deviant religious teaching and they are not a part of Islam. On the other side, JAI has struggled very hard to show that they are moslem and belong to Islam. Therefore, this study wants to show the various forms of hegemony struggles and also observe what pattern which determines the identity of JAI in Lombok as a subject or religious civil movement.


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Kerangka Teoritis ... 15

F. 1. Subjek Lacanian………. ... 15

F. 2. Hegemoni Gramsci ……….. ... 19

F. 3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal ……….. ... 22

G. Metode Penelitian ... 26

H. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH ... 29

A. Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia ... 29

B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu ... 38


(14)

BAB III JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA, GERAKAN SIPIL

KEAGAMAAN... 54

A. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai Sasaran Kekerasan Komunal di Lombok ... 54

A. 1. Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok... 57

A. 2. Wajah-wajah di Bilik Transito ... 64

A. 3. Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik ... 72

B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca Kekerasan Komunal di Lombok ... 82

B. 1. Suara-suara di Balik Kekerasan ... 83

B. 2. Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan ... 95

B. 3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena ...108

BAB IV JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DALAM PERTARUNGAN IDENTITAS DAN HEGEMONI ...116

A. Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik ...118

B. Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah ...125

C. Jihad dengan Pena : Artikulasi Subjek yang “Berdaya” ... 133

BAB V PENUTUP ...139


(15)

DAFTAR GAMBAR

  http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013 

 

Dokumentasi  Pribadi, 15  Desember 2010 

   


(16)

 

Dokumentasi Pribadi, 15 Desember 2010 

 

Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut . Selengkapnya

di:http://www.perisai.net/agama/warga_ahmadiyah_masih_bertahan_di_asrama_transito#ixzz2nblRnxFU © PERISAI.net, diunduh tanggal 16 Desember 2013


(17)

Penampungan Jamaah Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram, NTB. TEMPO/ Supriyanto Khafid,

http://www.tempo.co/read/news/2013/06/21/058490183/Anak‐Warga‐Ahmadiyah‐ Terancam‐Sulit‐Sekolah diunduh pada tangal 16 Desember 2013 

 

  Jemaat Ahmadiyah melaksanakan upacara bendera HUT RI ke 68 di lapangan asrama transito, lingkungan Majeluk, Lombok, NTB, (17/8). Ratusan Jemaat Ahmadiyah telah mengungsi di asrama transito selama 7 tahun.

TEMPO/Dwianto Wibowo, http://edsus.tempo.co/konten 

berita/politik/2013/08/20/505787/282/Inilah‐Lima‐Tokoh‐yang‐Merekatkan‐Indonesia 

diunduh pada 16 Desember 2013 


(18)

 

Salah satu sudut sekat kamar pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

http://www.portalkbr.com/nusantara/nusatenggara/2681598_4265.html diunduh pada  16 Desember 2013 

http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1376715903/upacara‐bendera‐ahmadiyah‐ mataram, diunduh pada 16 Desember 2013 


(19)

 

Ruang Mushola. http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16  Desember 2013 

 

  http://theahmadiyya.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, diunduh pada 16  Desember 2013 

   


(20)

  http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013 

   

  http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013 


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pada periode pasca-Orde Baru, Indonesia dilanda ketegangan dan kekerasan primordial berdasarkan perbedaan identitas. Perubahan iklim politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi memunculkan peralihan bentuk kekerasan dan diskriminasi dari yang bersifat ideologis (terhadap komunisme) menjadi primordial, berdasarkan perbedaan identitas agama dan etnis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Yayasan Denny JA.1 Berdasarkan hasil survei tersebut, sejak 1998 telah terjadi 2.398 kasus kekerasan. Sebanyak 65 persen dari kasus kekerasan tersebut terjadi karena perbedaan agama atau paham keagamaan, 20 persen kasus perbedaan etnis, dan 15 persen kasus kekerasan gender. Pelakunya rata-rata dari elemen masyarakat.

Contoh untuk ketiga jenis kasus kekerasan tersebut bermacam-macam. Kasus berlatar belakang perbedaan etnis antara lain menimpa suku Dayak dan Madura di Sampit. Ada pula kekerasan massal atas etnis Tionghoa di Jakarta pada Mei 1998. Contoh kekerasan gender adalah hukuman untuk wanita yang tidak mengenakan jilbab di Aceh atau pemerkosaan massal terhadap wanita Tionghoa di Era Reformasi. Kasus kekerasan akibat perbedaan agama atau paham

      

1

http ://m.liputan6.com/news/read/473517/Isi-dari-2398-kasus-kekerasan-65-kasus-agama, pada Minggu, 23 Desember 2012 dengan tajuk LSI: Dari 2.398 Kasus kekerasan 65 persen kasus agama. Hal ini merupakan hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bersama Yayasan Denny JA dalam rangka mencari “Dicari Capres 2014 yang melindungi keberagaman”. 


(22)

keagamaan bisa dilihat pada konflik pemeluk Islam versus penganut Kristen di Maluku, muslim Sunni dan Syiah di Sampang (Madura), serta umat muslim dengan pemeluk Ahmadiyah di berbagai daerah.

Kasus kekerasan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir di Indonesia cukup banyak didominasi oleh konflik berlabel agama. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, misalnya “keran” Reformasi yang terbuka terlampau lebar, sehingga memungkinkan gerakan underground atau organisasi

kemasyarakatan (ormas) muncul ke permukaan. Kelompok Pam Swakarsa dan Front Pembela Islam (FPI) merupakan beberapa ormas yang cukup menonjol dalam hal ini. Sementara itu, isu komunisme yang di masa Orde Baru menjadi pemicu kekerasan juga sedikit berkurang atau menurun. Selain itu, ada perebutan pengaruh antar-organisasi massa berlabel agama. Terjadinya bentuk-bentuk kekerasan ini merupakan hal yang sangat ironis mengingat agama, yang seharusnya menghadirkan kedamaian, telah menjadi penyulut konflik tiada henti.

Di antara kasus-kasus kekerasan di atas, satu kasus kekerasan yang paling menyita perhatian justru merupakan konflik internal umat beragama, sebagaimana tampak dalam kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Peristiwa ini cukup meresahkan karena konfliknya terjadi dalam satu agama tertentu, yaitu Islam. Hal ini tampak dalam hasil penelitian Setara Institutetentang toleransi umat beragama. Dalam konferensi pers bertajuk “Paparan Survei Keberagaman Publik dan Sikapnya terhadap Ahmadiyah” pada 20112, anggota tim peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan toleransi antarumat beragama di Indonesia masih dapat dikatakan baik. Namun demikian, kondisi

      

2

http://www.tribunnews.com/2011/09/08/survei-setara-606-persen-menolak-kekerasan-terhadap-ahmadiyah, diunduh pada 14 januari 2011. Konferensi tersebut dilaksanakan di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Kamis (8/9/2011). 


(23)

sebaliknya terjadi pada persoalan perbedaan internal pada suatu agama, misalnya dalam agama Islam terkait dengan Jemaat Ahmadiyah.

Ada banyak rentetan kejadian kekerasan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah. Sejak penyerangan di Lombok Barat pada 1998, kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah terjadi secara massif di sejumlah tempat, seperti -Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), dan Makassar (20/6/2008). Kekerasan mutakhir terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam kekerasan di Cikeusik, terlihat bahwa negara tak memberi perlindungan secara memadai ketika massa menyerang dan membunuh empat anggota Jemaat Ahmadiyah.3 Pada 13 Januari 2012, Gabungan Ormas Islam di Yogyakarta juga menggelar aksi menuntut pembubaran kegiatan pengajian Ahmadiyah di Kompleks Sekolah Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI). Tahun 2013 ditandai dengan adanya sekelompok orang yang merusak Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 5 Mei 2013. 4

Penelitian ilmiah mengenai Ahmadiyah penting untuk dilakukan, karena ada begitu banyak peristiwa kekerasan yang dialami pemeluk Ahmadiyah dalam kurun waktu lebih dari satu dekade. Menyitir pernyataan Iskandar Zulkarnain dalam acara bedah bukunya yang berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia

(2007), Ahmadiyah menarik untuk diteliti karena merupakan gerakan yang

      

3

Saat itu, ribuan orang menyerang rumah Suparman, pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang. Bentrokan tak seimbang pun meletup. Sekitar 1.500 orang merangsek menuju rumah Suparman. Mereka melempari dan menghancurkan rumah. Anak muda Ahmadiyah yang sempat melakukan perlawanan lari tunggang-langgang. Tidak semuanya bisa selamat. Tiga anggota rombongan Deden, Ketua Pengamanan Nasional Ahmadiyah, yaitu Warsono, Chandra, dan Roni tewas. Hingga 2 minggu setelah kejadian, belum dipastikan otak dari pelaku penyerangan tersebut. Lih Majalah TEMPO, 14-20 Februari 2011. 

4

http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=aneka&id=7131 , diunduh 14 jan 2012, kejadiannya pada Jumat 13 Januari 2012. 


(24)

berpengaruh, tapi kurang mendapat porsi perhatian yang cukup dalam sejarah Indonesia.5

Melihat rentetan kekerasan tersebut, penelitian ini akan berfokus pada kasus kekerasan terhadap warga JAI di Lombok. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, di daerah Lombok, kekerasan (dalam hal ini penyerangan

terhadap JAI) berlangsung lama, yakni dari 1998 hingga 2010. Kedua, sampai saat

ini, warga JAI yang selamat dari penyerangan itu telah mengungsi selama 7 tahun di daerahnya sendiri. Sejak 4 Februari 2006 silam, mereka yang melakukan eksodus dari Lombok Timur itu tinggal berdesak-desakan di Asrama Transito, Kota Mataram. Ketiga, meski menjadi pengungsi dan sasaran kekerasan selama

setidaknya satu dekade, warga JAI terkesan tegar dan memilih bertahan dalam koridor keimanannya. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana JAI di Lombok membentuk identitasnya di tengah kemelut yang dihadapi.

Berbicara mengenai Jemaat Ahmadiyah tak dapat lepas dari ajaran yang dibawakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), pendiri Ahmadiyah. Ajaran tersebut sudah berkembang di 185 negara. Ghulam Ahmad diberi gelar Imam Mahdi dan Masih Mau’ud. Dipercayai bahwa dia muncul sebagai pemimpin agama yang khusus “diutus” oleh Tuhan untuk membimbing umat manusia dan menjadi Pembaharu (mujaddid) yang dijanjikan di akhir zaman.

Secara historis, Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai mujaddid

pada 1886. Sebelumnya, Ghulam Ahmad berkhalwat selama 40 hari dan merasa

      

5

Berdasarkan video Bedah buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, di MPM-PPS UIN Alaudin Makasar, 11 September 2007 dengan menghadirkan penulis buku Dr.Iskandar Zulkarnain “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”, yang banyak diundang adalah kaum akademisi dan Jemaat Ahmadiyah Qadian. Banyak perdebatan yang terjadi termasuk karena ada pihak pembanding yang menyatakan bahwa Ahmadiyah nonMuslim, sedangkan dari Ahmadiyah hadir Mln. Saleh Ahmadi (JAI Sulawesi Selatan). 


(25)

diperintahkan oleh Allah untuk membentuk kelompok jemaat. Tepatnya pada 23 Maret 1889 atau 20 Rajab 1306 Hijriah, untuk pertama kalinya Ghulam Ahmad secara resmi menerima baiat dari khalayak. Saat itulah, fondasi bangunan Jemaat Ahmadiyah diletakkan. Selanjutnya, pada 1891, Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih, sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW, guna menghidupkan agama Islam dan menegakkan syariat di akhir zaman.6

Dalam konteks internasional, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan bagian dari Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian), yang notabene memiliki banyak pengikut dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia disebut Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Dalam sejarahnya, Gerakan Ahmadiyah Indonesia juga menyisakan jejak perdebatan penting dengan berbagai kalangan umat Islam. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah cenderung mengalami kontroversi sejak awal kedatangannya di Tapaktuan pada 1925. Perdebatan sengit dengan berbagai organisasi massa dan elemen masyarakat memberi dampak besar bagi Ahmadiyah. 7

Mengenai hal tersebut, sampai saat ini tidak semua umat Islam menerima keberadaan dan ajaran JAI. Apalagi ajarannya tentang kemunculan Imam Mahdi masih menjadi perdebatan. Hal ini ditambah pula dengan pengembangan wacana oleh pihak-pihak tertentu, yang menyebutkan Ahmadiyah memiliki syahadat,

      

6

Hal ini disebutkan dalam berbagai literatur. Namun, salah satu literatur yaitu Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerima perintah kerasulan ummati (sebagai umat Rasulullah) dari Allah SWT pada bulan Maret 1882 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1908. 

7

Lihat Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 89.


(26)

nabi, dan kitab suci yang berbeda. Kelompok Ahmadiyah pun dituduh eksklusif. Ada pula dugaan bahwa mereka mendapat bantuan asing, yakni dari Inggris. Di Indonesia, pihak yang menggulirkan wacana ini biasanya adalah tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau ulama setempat. Sedangkan untuk konteks Lombok, tokoh yang berperan adalah Tuan Guru. Bagi Jemaat Ahmadiyah (Ahmadi), MUI

memiliki level yang sama dengan ormas lainnya dari segi Undang-Undang Keormasan. Jadi, menurut JAI, lembaga tersebut tidak berhak menyatakan suatu kaum sebagai sesat atau menentukan hidup dan matinya suatu golongan.

Akan tetapi, masyarakat, terutama umat muslim, kemudian mengikuti apa yang disampaikan oleh ulama sebagai kalangan yang diakui keberadaan dan ucapannya. Mulailah bermunculan penentangan dan kekerasan atas nama sesatnya sebuah aliran. Padahal, tak ada satu pun alasan yang dapat digunakan untuk membenarkan tindak kekerasan terhadap kelompok lain, termasuk dalam ranah agama.

Namun demikian, tindak kekerasan terhadap warga JAI di Lombok tak dapat dielakkan. Kekerasan tersebut telah menyebabkan rumah-rumah warga dihancurkan dan dijarah. Penganut Ahmadiyah diusir dari kampungnya. Selain itu, jatuh pula korban. Akibatnya, warga JAI harus tinggal di Asrama Transito, Kota Mataram, sebagai pengungsi. Mereka adalah anggota komunitas JAI yang sudah melakukan eksodus dari Lombok Timur sejak kejadian Pancor pada 2002, yang menyebabkan mereka kehilangan harta benda dan harus meninggalkan kampung halaman di Lombok Timur. Sejak saat itu, mereka berpencar dan berpindah tempat, tidak peduli ke mana, asalkan bisa sejenak mendapatkan ketenangan untuk hidup berkeyakinan dan berusaha. Saat ini, jumlah warga yang


(27)

tinggal di Transito ada sekitar 150 orang. Mirisnya, aparat, dalam hal ini polisi misalnya, terlihat melakukan pembiaran terhadap kejadian tersebut. Sampai saat ini, belum ada upaya penyelesaian berarti yang dilakukan oleh pemerintah.

Setiap tindak kekerasan pasti akan menorehkan kisah tersendiri dari korbannya, baik berupa trauma, kesedihan, maupun rasa tertekan. Oleh karena itu, tak mengherankan jika ada perubahan sikap karena kejenuhan yang membuncah, aspirasi yang tak tersampaikan, dan trauma penyerangan yang terus membayangi. Secara psikologis, pengalaman kekerasan yang diderita warga atau pengungsi JAI pun telah memicu stres. Muncul semacam ketakutan di diri mereka karena mendapat ancaman terus-menerus. Menariknya, hal itu tidak mereka tampakkan sebagai sesuatu yang dominan. Mereka justru memperlihatkan hal sebaliknya, yaitu keteguhan dan keyakinan. Dari segi akidah dan keyakinan, mereka mengaku malah semakin kuat dan tabah menjadi bagian dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Gerakannya yang dianggap kontroversial di kalangan ormas-ormas Islam lainnya telah membuat kekerasan terhadap JAI menjadi begitu massif dan berulang. Hal ini terjadi karena tersebarnya banyak informasi mengenai ajaran Ahmadiyah versi ormas-ormas Islam yang keliru. Selain itu, JAI tidak melakukan perlawanan secara frontal, dengan akibat ormas Islam lainnya dapat bertindak dengan bebas.

Kasus kekerasan terhadap warga JAI telah diselimuti ideologi pembenaran. Akibatnya, aksi kekerasan bisa terus dilakukan. Salah satunya melalui Fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang larangan menyebarkan aliran Ahmadiyah. Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk berfatwa, MUI mendasarkan pelarangan tersebut setidaknya pada dua hal, yaitu melindungi


(28)

pokok ajaran Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Indonesia dan menghentikan kegiatan penodaan dan pelecehan terhadap agama. Fatwa MUI tahun 1980 dan -2005 makin diperkuat dengan munculnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri. Peraturan ini sering menjadi acuan pemerintah daerah. Bahkan, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berniat membubarkan JAI karena menurut dia JAI telah melecehkan agama Islam. 8

Berbicara tentang ajaran atau akidah, Jemaat Ahmadiyah dan pengurusnya, terutama di Lombok, banyak mengoreksi fitnah-fitnah yang berkembang melalui media yang ditujukan kepada mereka. Mereka menjelaskan bahwa kitab, nabi, atau syahadatnya sama dengan orang Islam lainnya. Adapun tentang tuduhan eksklusif, mereka melihat itu sebagai tuduhan yang berlebihan. Warga JAI mengaku rindu berkumpul dan beribadah dengan umat Islam yang lain, tetapi adanya stigma “sesat” serta berbagai celaan dan makian terhadap mereka membuat hal itu sukar dilakukan.

Peran media, khususnya di tingkat lokal, dalam hal ini cukup penting, khususnya dalam mengarahkan opini publik tentang JAI. Tak jarang banyak pemberitaan di media turut memperkeruh suasana. Banyak media massa, khususnya media lokal, melakukan kekerasan dalam bentuk pemberitaan yang tidak seimbang. Sumber yang diambil hanya dari pemerintah daerah, dan sering mengandung opini masyarakat yang cenderung menentang Ahmadiyah. Media tersebut juga jarang menampilkan berita yang seimbang dan sesuai konteks. Hal ini bisa dilihat dalam salah satu contoh tentang pernyataan: “Pokoknya Ahmadiyah itu sesat, tidak ada dialog lagi”, yang disampaikan oleh oleh seorang

      

8


(29)

tokoh MUI Nusa Tenggara Barat. Bagi MUI, tidak ada tawar-menawar lagi dengan JAI karena solusi itu saja yang dianggap bisa meredam masyarakat. Ini untuk menanggapi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Ketapang pada 2006 silam.9 Pelarangan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah bagi penulis opini itu dianggap sebagai suatu kewajaran tanpa melihat sisi humanitasnya.

Mengenai pihak yang “terlibat” di pengungsian Transito memang cukup beragam. Ini bisa dilihat dari daftar pengunjung Transito, yaitu ada pegiat media (wartawan) baik nasional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat, serta pemerintah daerah. Beberapa ormas Islam, seperti Nadhlatul Wathan (NW), sempat datang berkunjung beberapa kali, itu pun untuk memberikan ceramah, tanpa dialog sama sekali. Sedangkan peran partai politik sangat minim. Pernah ada satu partai politik yang memberi bantuan pada 2007, tapi setelah itu tidak lagi. Berbagai LSM juga datang untuk memberikan bantuan dan advokasi.

Kebijakan dan intervensi negara telah memunculkan bentuk diskriminasi terhadap warga JAI. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain mereka dilarang tinggal di atas tanahnya sendiri. Menurut JAI, SKB Tiga Menteri misalnya hanya melarang warga Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, bukan melarang untuk tinggal di daerah tertentu. Artinya, SKB tidak mencabut hak warga JAI untuk tinggal di Nusa Tenggara Barat. Namun nyatanya, selama tujuh tahun terakhir ini mereka masih tetap mengungsi.

Atas kekerasan yang dialami secara beruntun, Jemaat Ahmadiyah bukannya tanpa upaya atau ikhtiar. Warga JAI berusaha meminta dukungan keamanan kepada Gubernur hingga Presiden. Bahkan kepada gubernur dan

      

9


(30)

presiden mereka pernah mengirimkan surat. Pimpinan wilayah Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok Barat juga menyayangkan sikap pemerintah yang hanya diam tanpa berusaha melindungi- masyarakat yang teraniaya. Meski hidup dalam keadaan yang tak pasti, warga JAI di Transito selalu mendapat dukungan kerohanian dari organisasi. Mereka menyikapi kekerasan yang dialami dalam koridor keimanan dan kerohanian. Hal inilah yang turut membentuk pola bertahan dan identitas mereka dalam menghadapi kekerasan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, tesis ini bermaksud membahas beberapa masalah, yaitu

a. Bagaimana sejarah kekerasan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok?

b. Bagaimana bentuk pertarungan hegemoni antara JAI dengan pihak di luar nya dalam menentukan identitas JAI?

c. Bagaimana mereka memandang dan memaknai kekerasan yang dialaminya secara berkala dan massif (1998-2010) pada level ideologis dan level praktis?


(31)

C. Tujuan Penelitian

Dengan mengambil salah satu potret kekerasan yang dialami pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok, penelitian ini bertujuan untuk melihat wacana lain seputar pengalaman dan suara JAI atas peristiwa kekerasan yang dialami. Suara-suara tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan subjek dan identitas JAI. Akan tetapi, yang dilihat bukan hanya semata-mata dari perspektif JAI sebagai korban, tapi juga menilik bagaimana kekuatan kelas hegemonik mempengaruhi keberlangsungan mereka khususnya di Lombok.

Biasanya peristiwa kekerasan berdampak besar pada identitas individu maupun kelompok. Dalam membentuk identitasnya, kelompok sasaran tidak selamanya memandang dirinya sebagai korban karena mereka sebenarnya memiliki kemampuan untuk bertahan dan berstrategi. Kemampuan tersebut bertemu dengan ideologi kelompok yang dominan sehingga memunculkan proses negosiasi atau bahkan sebuah pertarungan.

D. Manfaat Penelitian

Berawal dari kegelisahan dan keingintahuan melihat maraknya konflik antar-kelompok khususnya dalam konteks umat beragama, penelitian ini mulai dirancang. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi salah satu potret kekerasan yang disorot, karena identitas yang diberikan padanya sebagai ajaran “sesat” dan eksklusif. Terlepas dari pro kontra ajaran aliran Ahmadiyah, wacana ini diharapkan bisa memunculkan narasi lain tentang ideologi di balik kekerasan


(32)

dan identitas mana yang dominan muncul pada pengungsi JAI di Asrama Transito.

Pertarungan identitas dan hegemoni setidaknya bisa membantu untuk memetakan potret kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya entitas Umat Islam di Indonesia. Lebih spesifik lagi, hal ini akan menjadi gambaran bagaimana sebuah aliran—yang menyebut dirinya bagian dari Islam—bisa bertahan dan ditentukan hidup atau matinya oleh ideologi tertentu.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang Ahmadiyah memang sudah banyak dilakukan, namun sebagian besar menyorot permasalahan akidah, terutama yang kontra terhadapnya. Penelitian yang menyorot tajam keberadaan Ahmadiyah di dunia misalnya, ditulis oleh Abdullah Hasan Al-Hadar (1980) dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang

Bulat di Panggung Sejarah. Dia melihat bagaimana Ahmadiyah lahir,

berkembang, penuh gejolak di India, dan menyorot identitas seorang Imam Mahdi secara cukup detail. Dalam tulisan ini pula banyak asosiasi negatif yang muncul seputar Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad. Kata-kata lugas seperti Ahmadiyah sesat, sosok Mirza yang “gila” gelar keislaman banyak dipakai dalam buku tersebut.

Penelitian lain yang juga kontra terhadap Ahmadiyah datang dari Jurnal Ulama (Majelis Ulama Indonesia Provinsi D.I Yogyakarta : 2008). Jurnal yang

bertajuk Merekontruksi Ukhuwah dan Memahami Aliran Sesat tersebut, mengulas


(33)

sebenarnya sudah sangat lama sejak 1980-an. Salah satunya adalah vonis sesat terhadap Ahmadiyah yang telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Tulisan itu menyebutkan fatwa MUI tidaklah mengada-ngada, melainkan justru mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab lembaga keulamaan dalam membimbing umat dan menjaga akidah mereka. Akan tetapi, dalam tulisan tersebut juga menampilkan protes terhadap MUI yang menilai lembaga ini telah memicu kekerasan, padahal yang berhak melakukan vonis suatu aliran sesat atau tidak adalah Allah SWT. MUI kemudian membela diri dengan mengatakan manusia bisa menilai sesat tidaknya sebuah ajaran berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, karena apabila tidak maka akan terjadi kekaburan antara yang hak dan batil.

Ada pula penelitian yang relatif objektif tentang Ahmadiyah yang dilakukan oleh Dr. Iskandar Zulkarnain (2005), dalam bukunya Gerakan

Ahmadiyah di Indonesia. Pengajar di UIN Sunan Kalijaga ini meneliti sejarah

Ahmadiyah sebagai aliran yang kontroversial, pada 1920-1942. Menurutnya, Gerakan Ahmadiyah memang belum banyak dipahami umat Islam lainnya, padahal ajaran ini telah banyak menyebarkan agama Islam.

Kajian hukum datang dari buku yang diterbitkan The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) tahun 2008 lalu. Buku tersebut menyorot keberadaan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) dan sejauh mana legalitasnya berperan dalam mengawasi agama atau kepercayaan di Indonesia. Penelitian terhadap Tim Pakem ini diharapkan mampu menjawab persoalan kebebasan beragama/kepercayaan dan keragaman, serta membuka mata masyarakat umum atas kerja-kerja dan landasan hukum Tim Pakem.


(34)

Banyak penelitian tentang Ahmadiyah, terutama yang beredar di Indonesia, lebih memfokuskan dirinya pada telaah teologis terhadap ajaran yang lahir di tanah India itu. Namun, Pusat Data dan Analisa TEMPO (2005), menyusun dan menerbitkan buku Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, yang

berisi fakta sosial tentang Ahmadiyah sebagai komunitas dan ajaran yang sudah tumbuh berkembang di Indonesia. Banyak fakta menarik disajikan buku ini yang bisa menjadi rujukan penelitian, tentang suara-suara para Ahmadi (sebutan bagi

Jemaat Ahmadiyah), dan juga membahas sejarah Ahmadiyah di India dan Indonesia. Hanya saja, buku ini memaparkan fakta tentang JAI, dan sepertinya tidak bermaksud untuk mengelaborasi fakta tersebut dengan teori-teori sosial.

Maraknya kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah terutama di tahun 2000-an juga telah mendorong beberapa lembaga melakukan penelitian. Salah satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2008 lalu, menerbitkan buku yang berjudul Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di

Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…, salah satunya memuat

tentang terhadap kekerasan JAI di Manislor Kuningan (2007) dan rentetan kekerasan JAI di Lombok sejak 1998. Segelintir kekerasan yang ditulis disertai dengan analisis hasil temuan investigasi, misalnya melihat modus kekerasan dan peran aparatur negara didalamnya. Namun, tulisan ini merupakan hasil penelitian berbasis investigasi yang tidak disertai dengan kerangka teori atau konseptual untuk menganalisisnya.

Ulasan tentang kajian sosial dan budaya lainnya memang belum banyak ditemukan, khususnya dalam konteks kekinian. Oleh karena itu, saya berusaha


(35)

mengambil sisi lain sebagai fokus penelitian dalam kajian ini, yaitu Ahmadiyah dari segi personalnya, kaitannya dengan kekerasan yang dialami dalam kurun waktu satu dekade ini. Bagaimana Jemaat Ahmadiyah bisa bertahan secara pribadi dan keorganisasian? Identitas seperti apa yang dominan muncul setelah berbagai kejadian kekerasan? Lalu, bagaimana orang di luar JAI atau liyan mengidentifikasi mereka? Atas hal tersebut, persoalan tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya di Lombok menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis

1. Subjek Lacanian

Kasus kekerasan yang dialami JAI menunjukkan perhatian pada objek psikoanalisa Lacanian tentang pembentukan subjek, yaitu subject of lack ke usaha

subjek dan Other (Liyan) untuk merepresentasikan dirinya dalam kehidupan

sosial. Subjek-subjek bertemu dengan lack dan alienasi di saat mereka mencari

kesempurnaan (keutuhan) atau autre (baca:other). 10

Lacan menegaskan kembali subjek dari psikoanalisa bukanlah subjek pengetahuan (subject of knowledge), melainkan ketidaksadaran yang direpresi,

dan mempengaruhi perkembangan subjek selanjutnya. Hal ini bertentangan dengan semangat pencerahan—gagasan dalam tradisi filsafat—yang memberi penghargaan tinggi pada akal dan kesadaran (“consciousness”). Subject as cogito,

justru diperlihatkan sebagai subject of lack.

      

10

Adalah Jacques Marie Emile Lacan (1901-1981), seorang poststrukturalis yang hadir dengan konsepnya tentang psikoanalisa, dan secara umum mempersoalkan tentang strukturalisme yang cenderung menenggelamkan subjek. Dia kemudian hadir dengan konsep pembentukan subjek. 


(36)

Subjek yang mencari Liyan bisa dibaca sebagai upaya untuk mengisi lack.

Other (huruf besar) atau Liyan tersebut bukanlah sosok ibunya, melainkan bahasa.

Subjek dalam arti sebenarnya ketika seseorang mencoba bersatu dan meyakini bahwa Liyan mampu memenuhi kebutuhan lack nya, mengikuti banyak hal, dan

beraktivitas dengan harapan memiliki pengalaman yang menyatu antara anak dan “ibu”. Dalam adagium There is no Other of Other, tercermin subjek yang lack

ingin bertemu Other untuk memenuhi kebutuhannya (need), tapi ternyata Liyan

juga selalu mengalami lack.

Bagaimana kita melihat status lack pada Liyan? Pastinya, lack yang

dimaksud adalah lack atas sesuatu (lost object). Pada teori Lacan, yang dimaksud

dengan lack of jouissance adalah hilangnya sesuatu pada fase pre-simbolik,

kenikmatan yang nyata (real enjoyment) selalu diposisikan sebagai sesuatu yang

hilang atau dikorbankan ketika memasuki sistem simbolik dari bahasa dan realitas sosial.

Namun, akhirnya subjek menyadari bahwa Liyan tidak mampu memenuhi

lack-nya. Lalu, muncullah Desire. Dalam pandangan Lacan, desire hanya akan

dialami setelah subjek merasa tidak pernah mendapatkan kepuasan dari dunia simbolik atau Liyan. Ketika subjek memahami bahwa ternyata hukum dan dunia verbal tidak bisa memuaskan sama sekali, saat itulah muncul hasrat untuk menemukan kembali objek a (baca: autre). Desire merupakan upaya untuk

menemukan kembali jejak-jejak yang menyebabkan subjek mengalami lack.

Konsep desire berbeda dengan need atau kebutuhan. Dalam tataran


(37)

Munculnya tuntutan berdasarkan need dari subjek yang semata-mata merupakan

kebutuhan organik atau hewani untuk bertahan.

Tidak adanya pemenuhan dalam level simbolik telah membawa subjek keluar dari frustrasi yang dikenal dengan ranah fantasi. Dalam Lacan, struktur yang kita temui dalam fantasi adalah relasi antara subjek yang split (terbelah),

subjek yang mengalami lack (hilang), dan janji untuk mengeliminasi kekurangan

tersebut. Jika kondisi manusia ditandai oleh kenikmatan yang tak tercapai atau hilang, maka fantasi menyediakan janji pertemuan dengan jouissance yang

berharga untuk menutupi lack dan mengisi ruang kosong pada subjek.

Fantasi seperti itu akan lebih bisa dimengerti bila dihubungkan dengan konsep Lacanian lainnya yaitu simtom. Dalam analisis sosial, simtom adalah tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek a. Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam

simtom-simtom tersebut.

Dampak dari kekerasan memunculkan resistensi dan representasi terhadap suatu kelompok, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Resistensi tersebut muncul, karena berbagai bentuk “pengawasan” terhadap warga Ahmadiyah, yang merupakan bentuk diskriminasi dan stigma. Stigma dikonstruksi secara sosial melalui label-label yang melekat pada diri seseorang atau kelompok.

Subject of lack dan simtom dapat dilihat pada korban kekerasan.

Dampaknya adalah identifikasi pada subject of lack dan Liyan. Representasi yang


(38)

mental. Kata trauma sengaja diberi tanda petik karena konsep ini berlaku unik bagi Jemaat Ahmadiyah. Mereka melibatkan unsur keimanan dalam rangka pemulihan diri. JAI yang menjadi korban kekerasan muncul dengan optimisme yang berasal dari diri sendiri dengan bimbingan kerohanian. Pengabaian dan pembiaran yang dilakukan aparat hanya bisa disikapi dengan pasrah dan menunggu penghakiman Allah. Dalam hal ini, pengungsi JAI di Asrama Transito tidak berjuang sendiri, melainkan bersama pemimpin dan mubalignya.

Relevansi Lacan untuk analisis sosial politik dapat dilihat dalam diskursus tentang subjek dan dan politik.11 Teori politiknya Lacan adalah diskursus tentang

impossibility atau lacking. Titik awal pertama untuk membahasnya adalah konsep

Lacan tentang subjek, yang split (subjek mengalami lack) dan teralienasi menjadi

lokus dari “impossible identity” di mana identifikasi politik mengambil tempat. Subjek ini merupakan kontribusi terbesar Lacan dalam analisis politik kontemporer.

Subjek Lacanian akan relevan untuk perbincangan politik secara filosofis karena ini tidak identik dengan “individu” atau “subjek yang berkesadaran”. Subjek Lacanian melampaui esensialis atau penyederhanaan dari subjektivitas, dalam arti subjek tidak diturunkan menjadi ego. Dia juga melawan dan melampaui segala tendensi yang bergerak sesuai aturan. Lacan melihat ego tidak bisa menopang dirinya itu sendiri, dan bahwa mitos tentang kesatuan personalitas, perpaduan segala sesuatu yang berasal dari objek sesungguhnya akan melahirkan keretakan, ketakutan, ataupun misrecognition dari berbagai pengalaman.

      

11

Ibid. Hal 7. Dalam penjelasannya, Stavrakakis menyebut Lacan bukanlah seorang ahli politik, apalagi seorang filsuf. Akan tetapi, psikoanalisa politik, meminjam istilah Sherry Turkle (1992), merupakan istilah yang menjadi pertemuan antara Lacan dan politik. Lacan menggunakan konsep dari Freud tentang konsep objektivitas yang menjadi pendekatan objektivitas sosial.


(39)

Adanya ketergantungan pada susunan simbol sosial menjadi keterkaitan antara psikoanalisa dan sosial politik. Penerapan teori Lacan yang dirumuskan oleh Ernesto Laclau- Chantal Mouffe dapat difokuskan pada titik pertemuan faktor yang menentukan dalam implementasi aksi politik. Laclau-Mouffe menggunakan konsep atau istilah psikoanalisa untuk menjelaskan fenomena ideologi dan politik secara luas sebagai pemikiran “individual psyche”, faktor dalam cara kerja ideologi. Pembentukan identitas bisa diusahakan melalui proses identifikasi dengan diskursus sosial seperti ideologi. 12 Kaitan dengan kasus JAI di Lombok, cukup penting untuk melihat bagaimana para pengungsi membentuk identitasnya melalui sebuah ideologi Ahmadiyah.

2. Hegemoni Gramsci

Konsep teoritis lainnya yang dapat digunakan untuk membaca kasus JAI di Lombok adalah hegemoni. Membicarakan tentang konsep hegemoni, tentu tak bisa dilepaskan dari pemikiran Antonio Gramsci, yang telah mempengaruhi perkembangan teori Marxis pasca Althusserian pasca tahun 1960-an. Hegemoni— salah satu kesadaran politik Gramsci—merupakan sebuah kesadaran untuk mengetahui kelompok kepentingan dalam perkembangan sekarang dan masa depan, melampaui kelas ekonomi semata, yang bisa menjadi kepentingan dari kelas subordinasi.

Hegemoni menjadi formula Gramsci yang diartikulasikan pada level analisis mode produksi dengan formasi sosial. Konsep yang akan disorot dalam hegemoni-nya Gramsci adalah manifestasi dari kelompok sosial sebagai

      

12

Lihat Yannis Stavrakakis. 1999. Lacan and The Political. London : Routledge. Hal 36. Hal itu diungkapkan oleh Bellamy, sebagai kritikus teori Lacan dalam karya-karya Laclau-Mouffe. 


(40)

“dominasi” dan “kepemimpinan intelektual dan moral”.13 Hegemoni yang selalu menjadi basis dioperasikan oleh masyarakat sipil melalui artikulasi kelompok kepentingan.

Subjek tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan karena adanya proses determinasi dalam ranah ideologi. Oleh karena itu, subjektivitas selalu merupakan produk dari praktik sosial. Ideologi sebagai praktik menghasilkan subjek, membutuhkan struktur materi dan institusi untuk mengelaborasi kemunculannya. Aparatus, oleh Gramsci, merupakan struktur ideologi dari kelas dominan. Sedangkan level struktur di mana ideologi diproduksi dan disebar disebut masyarakat sipil.

Gramsci melihat adanya keunggulan superstruktur ideologi dibandingkan dengan ekonomi, karena lebih diutamakannya masyarakat sipil (berdasarkan konsensus) daripada masyarakat politik (berdasarkan kekuatan semata). Hal ini ditandai dengan perjuangan ideologi yang berusaha membentuk kesatuan antara ekonomi, politik, dan keseimbangan intelektualitas demi kepentingan bersama bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.

Untuk menjalankan proses hegemonik, maka strategi menjadi sangat penting. Kelas pekerja yang sedang berjuang tidak boleh mengisolasi dirinya dalam kelas proletariatnya semata. Tapi sebaliknya, kelas ini harus mencoba menjadi “kelas kebangsaan” yang merepresentasikan dan mengartikulasikan kepentingannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kelompoknya. Hal itu akan menyebabkan perpecahan di kelas borjuis sehingga terjadi disharmoni karena adanya pemblokan atau tidak diartikulasikannya suara mereka. Adanya

      

13

Lihat Chantal Mouffe. 1979. Hegemony and Ideology in Gramsci. Dalam Chantal Mouffe(ed.).


(41)

pertarungan hegemoni di antara kelas-kelas sosial termasuk yang antagonistik menyebabkan kelas fundamental atau berkuasa ingin memenangkan kontestasi tersebut. 14

Dalam kasus di Lombok, terjadi pertarungan hegemoni dari berbagai elemen yang turut menentukan identitas JAI. Stigma adalah salah satu upaya hegemoni kelas tertentu dalam memasukkan ideologi tertentu. Kelas hegemonik tersebut, apabila menyitir Althusser dan Gramsci, merupakan Ideologi Aparatus Negara (IAN) dan Represi Aparatus Negara (RAN). Pemerintah dalam hal ini mengambil peran RAN yang melakukan beragam pembiaran atas rangkaian peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.

Tindakan represif tersebut mewujud dalam pembiaran dan upaya “melegalkan” setiap tindakan kekerasan. Dalam catatan, setiap tindakan pengrusakan massa yang dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah selalu dijaga oleh polisi. Bahkan, beberapa saat sebelum kejadian kekerasan berlangsung, aparat sudah datang untuk berjaga-jaga. Hal itu bisa dibaca sebagai upaya pemerintah yang dilematis menghadapi persoalan Ahmadiyah ini. Dilematis dalam arti mereka tidak mampu menghalangi massa dalam melakukan kekerasan. Selain itu, mereka juga tidak mampu bertindak tegas terhadap massa. Jadi, upaya perlindungan yang “setengah hati” terhadap Ahmadiyah. tidak adanya upaya penindakan terhadap pelaku kekerasan juga menunjukkan indikasi tersebut.

Pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk menangani pengungsi yang sudah 7 tahun hidup di Asrama Transito, Mataram. Aktor kekuatan politik dari kelas yang berkuasa bukan hanya terdiri dari militer atau polisi, tapi juga yang

      

14


(42)

berhubungan dengan ideologi, yang merasuk ke dalam masyarakat secara massif dan seolah tak disadari. Aparatus ideologis yang berperan misalnya tokoh-tokoh agama dan media.

3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal

Setelah melihat alur pemikiran Lacan dan Gramsci, cukup penting untuk membincangkan relasi antara Psikoanalisa dan Ekonomi Politik Marxis, yaitu bahwa simtom di psikoanalisa juga terjadi pada ideologi Marx. Adalah Ernesto Laclau-Chantal Mouffe sebagai pemikir post-marxis yang masih concern pada

kapitalisme. Gagasan dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985)15 tentang Demokrasi Radikal akan dipakai dalam menganalisis permasalahan yang sedang diteliti. Keduanya merupakan pemikir yang menjadi pionir dalam perdebatan pascamarxis. Hal ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni dan linguistik yang digunakan Laclau-Mouffe untuk membangun logika Demokrasi Radikal.

Semangat Demokrasi Radikal bisa dilihat dari maknanya. Demokrasi harus bersifat plural, yaitu suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya otonomi pada setiap unsur. Demokrasi jenis ini juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan suatu masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan pusat. Radikal juga menunjuk pada kesatuan sosial yang tidak pernah berhasil menjadi identitas kelompok, jadi harus dibentuk ulang secara terus menerus.

Logika Demokrasi Radikal muncul dari gagasan Gramsci tentang hegemoni yang kemudian dielaborasi oleh Laclau-Mouffe. Beberapa konsep yang

      

15

Dalam St Sunardi. Logika Demokrasi Plural-Radikal. Desember 2012. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Humaniora Baru Vol.3 No.1 


(43)

bisa dipakai di sini misalnya Bagaimana kesatuan sosial bisa terbentuk? Mereka bersatu secara spontan atau dibutuhkan semacam pemimpin untuk mempersatukannya. Kalau ada pemimpin, apakah pemimpin itu hanya mengumpulkan kepentingan-kepentingan mereka atau perlu melakukan intervensi secara ideologis atau konseptual? Apa hakekat hubungan-hubungan yang mempersatukan unsur-unsur dalam kesatuan sosial? Ekonomi atau politis? Atau kedua-duanya? Bagaimanakah sifat kesatuan sosial tersebut; tertutup atau terbuka? Sejauh mana mapan dan sejauh mana labil? Apa implikasinya bagi subjek agen-agen sosial?16

Landasan pertama yang dipakai oleh Laclau-Mouffe untuk membangun teorinya adalah tradisi linguistik struktural-pascastruktural.17 Konsep Laclau-Mouffe ini berfokus pada pembentukan wacana lewat praktik artikulatoris. Dilihat dari logika artikulasi, masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah selesai diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya bisa dituntaskan dalam artikulasi (dengan momen-momen sebagai satuannya), melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu.

Keberadaan etika penting dalam Demokrasi Radikal karena berusaha menginstitusionalisasikan lack dalam realitas politik. Salah satu konsep dalam

etika Lacanian, yaitu simtom. 18 Dalam pemikiran Gramsci juga dipakai istilah

      

16

Ibid.Hal 5. 

17 Ibid. Hal 5.

Walaupun kemudian keduanya melampaui tradisi linguistik, prinsip dasar tetap mereka pakai, terutama yang berkaitan dengan konsep tentang bahasa. Akses kita pada realitas hanya bisa dicapai lewat bahasa. Hanya saja, berbeda dengan Saussure, mereka melihat bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam omongan, bukan dalam sistem umum.  

18

op.cit. Hal 131. Lihat juga Yannis Stavrakakis. 1999. Lacan and The Political. London : Routledge. Hal 121. Sebenarnya ada dua konsep dalam etika Lacanian, yaitu sublimasi dan simtom. Namun, yang akan dijelaskan lebih jauh adalah simtom karena lebih terkait dengan isu yang dibicarakan. Sedangkan Sublimasi merupakan penghalusan atau bentuk yang berbeda dari idealisasi dalam kesadaran etika tradisional. Sublimasi menciptakan ruang publik (public space), walaupun bersifat individual tapi bisa mempersatukan ranah tertentu seperti halnya di bidang seni.


(44)

kemunculan simtom untuk menggambarkan struktur sosial, kelas buruh, atau kelas yang tidak dominan. Simtom sebagai manifestasi dari kelas yang terepresi, merupakan kata-kata atau penanda yang kelihatannya mengikuti hukum bahasa atau simbolik, tapi sebenarnya tidak. Pengalaman tidak terpenuhinya need

kemudian menimbulkan simtom.

Simtom dapat ditemukan dalam kelompok yang tersubordinasi atau menjadi sasaran kekerasan seperti JAI. Seperti yang telah dibahas dalam konsep Gramsci di atas, muncul stigmatisasi yang dilakukan oleh kelas hegemonik. Fantasi dalam konstruksi utopia kemudian disandingkan dengan sesuatu yang menakutkan, paranoid yang membutuhkan korban terstigmatisasi. Stigmatisasi

biasanya diikuti oleh pembasmian. Utopia bisa saja bekerja atas dasar kekerasan atau antagonisme yang memunculkan enemy atau musuh, sehingga muncullah

demonisasi.

Dengan konsep hegemoni-nya, Gramsci membawa spirit baru dalam Marxisme, yang menekankan strategi kelas proletar atau tersubordinasi. Kasus JAI di Lombok juga menunjukkan adanya counter hegemony (hegemoni

tandingan) yang dilakukannya terhadap kelas yang berkuasa atau hegemonik dalam masyarakat. Ini menjadi salah satu strategi JAI.

Berbicara mengenai strategi tentu tak bisa dilepaskan dari subjek. Pemikiran Lacan dan Gramsci (baca : Gramsci yang ditafsirkan oleh Laclau) memiliki perhatian pada subjek. Gramsci lebih menekankan subjek sebagai produk dari praktik sosial karena adanya proses determinasi dalam ranah ideologi.

        Hal inilah yang menjadi mediasi antara individu dengan komunalnya atau partikular dengan universal. Sublimasi mengakui lack dan pusat dari real sebagai ganti dari eliminasi ketidakmungkinan dan identifikasi dari yang ideal. Sublimasi menciptakan ruang yang ideal untuk pemenuhan desire.


(45)

Diskursus tentang ideologi dipahami sebagai artikulasi (mata rantai) dari elemen ideologi.

Ideologi sebetulnya adalah janji kolektif yang bisa memenuhi lack subjek.

Untuk merumuskan ideologi, maka perlu diperhatikan apa yang menjadi lack

masyarakat yang bersangkutan, dan bagaimana cara memenuhinya. Setiap orang dalam masyarakat sebenarnya memiliki sejarah kehidupan masing-masing. Sejarah tadi akan menentukan ideologi atau objek yang diinginkan oleh subjek atau masyarakat. Pada hakikatnya, fungsi sentral dari ideologi adalah integrasi serta penjagaan atas status quo.

Berbicara tentang hegemoni tidak bisa dilepaskan dari bicara tentang subjek politik. Laclau-Mouffe mengingatkan bahwa politik bukanlah masalah “mendaftar kepentingan-kepentingan yang sudah ada melainkan memainkan peran penting dalam pembentukan subjek-subjek politik” (Laclau dan Mouffe, 1985:vii).19 Dengan kata lain, politik bukanlah sekedar melakukan mobilisasi orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama (misalnya kepentingan ekonomis), melainkan juga harus meliputi pembentukan subjek-subjek politik.

Gagasan Laclau-Mouffe terkait Demokrasi Radikal akan mengarah pada revolusi demokrasi sebagai medan artikulasi hegemonik dilihat dalam fenomena gerakan-gerakan sosial baru yang muncul sejak paruh kedua abad ke-20. Gerakan ini bisa dibaca sebagai munculnya bentuk-bentuk antagonisme baru dalam masyarakat, karena adanya jenis-jenis hubungan subordinatif yang belum terlihat di zaman sebelumnya. Laclau-Mouffe melihat jenis-jenis hubungan subordinatif itu sebagai akibat komodifikasi hubungan sosial (karena sistem produksi

      

19


(46)

kapitalis), birokratisasi hubungan sosial (karena intervensi negara dalam melindungi rakyat namun secara paradoks justru menghasilkan hubungan subordinatif baru), dan hegemonisasi hubungan sosial (karena moda baru dalam penyebaran budaya lewat media massa). 20

G. Metode Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian utama adalah di tempat pengungsian warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Asrama Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Selain itu, juga beberapa wilayah di Lombok Barat dan Sumbawa.

b. Sumber Data

Sumber data berasal dari sejarah lisan melalui ingatan dan pengalaman dari para informan, yakni orang yang mengalami kekerasan baik langsung ataupun tidak terutama yang menyangkut masalah penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.

c. Metode Pengumpulan Data

Data primer saya kumpulkan melalui teknik wawancara terbuka dan observasi. Wawancara saya lakukan dengan para pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia, koordinator pengungsi, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Pengurus Lembaga atau Ormas Islam di NTB, pegiat LSM (seperti Lembaga Studi Kemanusiaan), dan masyarakat. Selain itu, saya juga

      

20


(47)

melakukan penelisikan data sekunder melalui media dan dokumen yang relevan tentang Ahmadiyah.

d. Teknik Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, saya mencoba melakukan pendekatan sosiologis, yang memadukan antara kajian yang eksploratif dan eksplanatoris. Dengan tidak bermaksud menguji hipotesa, penelitian ini berusaha menghasilkan suatu deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan data-data yang diperoleh melalui studi kasus. Metode pengolahan data, yaitu melalui penulisan narasi dan makna dari tuturan, serta dokumen atau literatur berdasarkan konsep-konsep teori yang digunakan. Penulisan ini bukan hanya melihat makna dari tuturan individu maupun kolektif, akan tetapi juga melihat kekuatan sosial politik yang turut membentuknya.

H. Sistematika Penulisan

Dalam menguraikan kajian tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini, saya membaginya dalam beberapa bab. Bab Pertama merupakan Pendahuluan

yang menulis detail tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua akan berisi penjelasan historis atau sejarah literer

kemunculan Jemaat Ahmadiyah di dunia, lalu masuknya ke Indonesia yang kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Lombok.

Sedangkan dalam Bab Ketiga, saya akan menguraikan Jemaat Ahmadiyah


(48)

komunal di Lombok. Pada sub-bab pertama, saya akan bercerita tentang kekerasan yang menimpa JAI di Lombok selama satu dekade, dan adanya sebuah kontinuitas yang menyebabkan mereka tercerai berai dari tanah kelahiran sendiri. Dalam bagian ini pula akan saya pertontonkan teks tentang suara-suara mereka di bilik pengungsian Transito serta aktor yang berada di balik kekerasan tersebut. Sub-bab kedua merupakan torehan perjalanan JAI di Lombok yang menjadi pengungsi di Asrama Transito selama 7 tahun ini. Sub-bab ini juga memperlihatkan bagaimana pola bertahan dan strategi yang dilakukan JAI dalam mempertahankan identitasnya.

Bab keempat merupakan hasil kajian atau refleksi dari fakta yang dilihat di

bagian ketiga dengan menggunakan konsep subjek-nya Lacan, adanya pertarungan hegemoni, hingga terbentuknya identitas yang dominan dari suatu kelompok, dalam hal ini JAI sebagai sebuah gerakan sipil keagamaan. Terakhir,

Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan tentang apa yang sudah saya


(49)

BAB II

JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH

A.Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia

Sebelum membahas kekerasan ideologis21 yang terjadi selama lebih dari satu dekade terhadap para pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Asrama Transito Mataram, kita akan melihat sekelumit perjalanan Ahmadiyah dari masa tumbuh dan berkembang, pengaruh di berbagai belahan dunia, hingga masuk dan menyebarnya di Indonesia, termasuk di Lombok.

Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan lahir di India pada akhir abad ke-19 dengan latar belakang kemunduran umat Islam di bidang agama, politik, ekonomi, sosial, dan sejumlah bidang kehidupan lainnya. Hal ini terjadi terutama setelah pecahnya Revolusi India tahun 1857, berakhir dengan kemenangan Inggris yang terpenting di Asia.

Pendiri Ahmadiyah adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang lahir pada hari Jumat, 13 Februari 1835 di sebuah dusun bernama Qadian, Gurdaspur, 25 KM arah Timur Laut Amritsar di Provinsi Punjab. India, negara tempat lahirnya Ghulam Ahmad pada masa-masa itu, bahkan jauh sebelum Mirza Ghulam Ahmad lahir diwarnai oleh pergolakan, peperangan, dan perebutan kekuasaan. Negeri dengan mayoritas penduduk pemeluk Hindu dan Buddha itu pernah dikuasai oleh

      

21

Kekerasan ideologis disini hanya merupakan penamaan saja, untuk menyebut kekerasan beruntun yang terjadi di dalam pertarungan ideologi-ideologi yang ada, aktor-aktor yang berperan, dan kontestasi di dalamnya.


(50)

sebelas dinasti Mughal (1526-1858 M) selama lebih kurang delapan setengah abad.

Benih pertama “pohon” Ahmadiyah ditanam pada tanggal 23 Maret 1889 ketika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mendirikan suatu jemaat guna memberikan bimbingan kepada segenap umat manusia supaya mengenal Tuhan Yang Hakiki dan menunjukkan jalan yang telah dirintis oleh Baginda Nabi Besar Muhammad SAW. Namun, dalam sejumlah literatur Ahmadiyah disebutkan bahwa Ghulam Ahmad memperoleh ilham dari Allah SWT untuk pertama kali pada 1886.22

Ketika itu, ia berusia 40 tahun, saat ayahnya sedang sakit. Dikatakan bahwa ilham itu diawali dengan kata-kata: “Persumpahan demi Langit yang merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah tenggelamnya matahari pada hari ini”. Ilham itu kemudian menyampaikan kabar penting, yakni bahwa ayahnya akan meninggal setelah magrib. Ternyata benar. Beberapa saat kemudian, tak lama setelah isyarat gaib itu turun, ayahnya meninggal saat matahari terbenam.

Menurut pengakuan Ghulam Ahmad, dengan turunnya ilham itu, ia merasa sedih dan khawatir akan nasibnya di kemudian hari. Sebagai manusia, Ghulam Ahmad sangat sedih dan gelisah ketika mendapat kabar demikian. Sebagian besar penghidupan keluarganya bergantung pada ayahnya yang biasa mendapat pensiun serta hadiah yang agak besar dari pemerintah. Dengan wafatnya sang ayah, semua itu akan dihentikan.

      

22

Meskipun dalam literatur lainnya yaitu di Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerima perintah kerasulan ummati (sebagai umat Rasulullah) dari Allah SWT pada bulan Maret 1882 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1908. 


(51)

Setelah didera kesedihan dan kegelisahan seperti itu—menurut pengakuan Ghulam Ahmad—ia mendapat ilham kedua dari Allah yang menentramkan hatinya. Katanya tentang ilham kedua itu : “Dari ilham ini hati saya menjadi teguh, bagai luka parah yang tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih karena suatu obat…”. Ilham itu diceritakan kepada seorang penduduk Qadian beragama Hindu, Malawa Mal. 23

Menurut pengikutnya, Jemaat Ahmadiyah seutuhnya bukan agama baru dan tidak pula membawa ajaran baru. Akidah dasar (kepercayaan pokok) anggota Jemaat Ahmadiyah adalah Islam, kitab sucinya adalah Al-Quran yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah, dan nabinya Nabi Muhammad SAW berdasar kepada 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah melaksanakan sholat tetap menghadap kiblat (Kabah), dan berhaji ke Tanah Suci Mekkah. 24

Terkait dengan penamaan, Jemaat Ahmadiyah merupakan nama aliran atau ajaran yang tidak merujuk pada nama pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Namun, mereka ambil dari nama Nabi Muhammad SAW, yang memiliki dua nama yaitu Muhammad (nama sifat keagungan) dan Ahmad (nama sifat keindahannya). 25 Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah kedua Jemaat Ahmadiyah menjelaskan istilah jemaat bukan merujuk pada sebutan jumlah massa, melainkan lebih ditekankan pada tujuan bersama.

      

23

Lihat tulisan R.Ahmad Anwar. Pohon Ahmadiyah Tumbuh di Persada Indonesia. Dalam

Souvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994. Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 39. 

24

Enam Rukun Iman itu adalah Iman kepada Allah, Iman Kepada Malaikat Allah, Iman pada Kitab Allah, Iman kepada Rasul Allah, Iman kepada Hari Akhirat, dan Iman kepada Qadha dan Qadar. Sedangkan 5 Rukun Islam itu adalah Mengucapkan 2 kalimat syahadat, Menunaikan Shalat, Melaksanakan Puasa, Mengeluarkan zakat, dan Menunaikan haji bagi yang mampu. 

25

Penamaan inilah salah satu yang menjadi bahan polemik yang dipertanyakan oleh beberapa pihak yang kontra terhadap Ahmadiyah. Lihat Bab selanjutnya, JAI di Lombok sebagai sasaran komunal di Indonesia. 


(52)

Mahmud Ahmad mengatakan ribuan dan jutaan individu tak dapat disebut satu jemaat, melainkan jemaat itu dikatakan kepada individu-individu yang berkumpul dan bersatu-padu untuk bertekad bekerja dan melaksanakan satu program bersama.

Hal ini juga tercermin dalam Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia saat menjawab pertanyaan Komisi VIII DPR RI.26 Menurut JAI, organisasi-organisasi Islam di India dan Pakistan menggunakan kata jemaat. Atas hal tersebut, maka Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga menggunakan kata tersebut yang diserap dari bahasa Urdu yang berarti organisasi atau perkumpulan. Kata jemaat juga telah terdaftar secara resmi sebagai nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam badan hukum. Untuk mengubahnya perlu proses panjang.

Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai organisasi kerohanian, bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Mereka mengaku bersifat keagamaan dan semata-mata hendak mewujudkan persatuan di kalangan umat Islam. “Ahmadiyah tidak menginginkan kerajaan atau adanya ambisi dalam pemerintahan. Singkatnya, Ahmadiyah tidak memiliki tujuan politik. Jemaat Ahmadiyah memiliki hasrat untuk memperbaiki kehidupan agama orang-orang Islam serta mengkonsolidasikan mereka sehingga dapat bersatu padu untuk dapat mengkonfrontir musuh-musuh Islam dengan senjata akhlak dan kerohanian”, tulis Mahmud Ahmad.27

      

26

Op.cit. hal 10. Saat itu, Hasyim Wahab (FPDIP) mengusulkan agar nama “Jemaat” sebaiknya diganti dengan “Jamaah” atau “Jam’iyah” sesuai asalnya dari Arab, karena Jemaat bahasa Indonesia lebih sering digunakan istilahnya oleh orang Kristen Indonesia. Dalam Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 

27

Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 57. 


(53)

Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa (Ulil Amri)di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.

Kelompok ini juga mengenal istilah Bai’at untuk masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Sebagian syarat-syaratnya antara lain: Tiap-tiap orang yang hendak bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah harus berjanji dengan ikhlas hatinya bahwa dia akan berjanji menjauhi syirik sampai meninggal dunia; akan menjauhi diri dari zina, berdusta, memandang wanita yang bukan muhrim, menjauhi segala macam kedurhakaan dan kemaksiatan, penganiayan dan pengkhianatan; tidak akan membiarkan dirinya dikalahkan oleh dorongan-dorongan hawa nafsunya, betapapun kuat dan hebatnya. Jemaat Ahmadiyah juga tidak akan menyakiti seorangpun daripada makhluk Allah pada umumnya, dan kaum muslimin pada khususnya, baik dengan tangannya maupun dengan lidahnya, ataupun dengan jalan lain. Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih Mau’ud a.s) semata-mata karena mencari mencari keridhaan Allah Taala.28

Sepeninggal ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis artikel yang dimuat di surat kabar. Tak cuma artikel di surat kabar, ketika lawan-lawannya semakin gencar menyerang Islam, ia mulai menulis buku tentang kebenaran agama Islam. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Menurut klaim

Ahmadiyah, bagian pertama buku itu saja, berupa seruan dan pengumuman, mampu mengguncangkan dan menggemparkan seluruh negeri.

      

28

Diambil dari sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Selain itu, ada amalan yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dan kadang tidak semua umat muslim lakukan yaitu perintah Sholat Jumat untuk laki laki dan perempuan kecuali perempuan yang berhalangan. Hal ini berdasarkan pada perintah Al-Quran yang menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, ….”, dari ayat ini bisa dikatakan bahwa perintah Sholat Jumat bukan hanya untuk laki-laki muslim saja, tapi juga untuk perempuan (berdasarkan wawancara dengan mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin di Asrama Transito pada 14 Desember 2011). 


(54)

Berkat buku itu, ia diakui sebagai seorang yang cakap. Lebih dari itu, Ghulam Ahmad dianggap sebagai seorang mujaddid, sang pembaharu.29

Pada tahun-tahun berikutnya dakwah yang dilakukan Ghulam Ahmad adalah untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam beragama. Ketika menyaksikan banyak kepercayaan ditumpahkan ke pundaknya oleh umat, yakinlah dia bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan sebagai orang yang dipilih oleh Allah, sebagai Al-Masih yang dijanjikan untuk menegakkan kembali keagungan Islam.

Mulailah bermunculan kontroversi yang tiada henti sampai kini. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari Dusun Qadian, India ini mengumandangkan pengakuan sebagai Imam Mahdi dan Masih Yang dijanjikan atas perintah Tuhan. Selain itu, dalam versi Ghulam Ahmad, Nabi Isa AS telah wafat sekaligus dia menunjukkan makamnya di Kashmir, dan oleh karena itu tidak akan turun lagi ke dunia. Pendakwaan mengenai dirinya mulai diumumkan melalui selebaran dan dinyatakan secara eksplisit melalui karya Ghulam Ahmad yaitu Fateh islam,

Tauzih Maram, dan Izalah Auham yang terbit pada 1890-1891.

Sejak itu sebagian orang yang semula membelanya mulai menolak. Namun, sebagian tetap mengikuti bahkan menjadi pengikut setia. Ajarannya waktu itu berpusat di Qadian dan di situ mulailah dibangun Sekolah Dasar. Ghulam Ahmad kemudian mencanangkan dakwah Islam ke Eropa melalui majalah The Review of Religions. Lewat media ini, pembaca bisa memahami

pembahasan ajaran agama dan melihat keunggulan Islam.

      

29

Bagian pertama buku ini dicetak pada 1880, kedua pada 1881, ketiga 1880, dan bagian keempat pada 1884. Tulisan-tulisannya berisi penjelasan tentang Islam untuk melawan serangan dari para misionaris Kristen dan Hindu Ariya. Namanya pun mulai dikenal di masyarakat umum. 


(55)

Pada 1908 Ghulam Ahmad meninggal dikarenakan sakit diare yang parah serta migrain. Sepanjang hidupnya, ia telah menuliskan dan mewariskan 84 judul buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab, Parsi, dan Urdu. Pada 1896, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad juga menulis karangan yang terkenal dan menjadi

masterpiece nya, yaitu buku berjudul Islami Ushul Ki Filasafi dan telah

diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk dalam bahasa Indonesia yang berjudul “Filsafat Ajaran Islam”. 30

Sebagai organisasi yang berkiprah dalam bidang kerohanian dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik, Jemaat Ahmadiyah telah berhasil menyebarluaskan dakwah Islam di daratan Eropa, Australia, dan Amerika dengan mendirikan masjid-masjid dan pusat-pusat dakwah di kota-kota penting ketiga benua tersebut.

Bahkan pusat Jemaat itu kini berada di London, Inggris. Perpindahan itu dikarenakan Jemaat Ahmadiyah di Qadian atau Pakistan dicerca dan dianggap kontroversial. Hal itu terjadi pada masa Khalifah keempat, Hazrat Mirza Tahir Ahmad, yang kemudian hijrah ke London. Pada waktu itu, di zaman pemerintahan Ali Bhuto, disusun rencana untuk membunuh khalifah Ahmadiyah tersebut. Tahir Ahmad bisa lolos karena petugas salah informasi dan menyangka khalifah Ahmadiyah saat itu masih Nasir Ahmad.31

      

30

Dalam buku Filsafat Ajaran Islam (2008) yang diterjemahkan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia nama lengkap Ghulam Ahmad ditulis dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, bukan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. 

31

Saat itu, kekhalifahan sudah berganti dari Nasir Ahmad ke Tahir Ahmad dan ini tidak diketahui oleh petugas pemerintahan. Bagi orang Ahmadiyah, selamatnya khalifah mereka merupakan pertolongan dari Allah, seperti halnya yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW saat menyelamatkan diri dari musuh. 


(56)

Jauh sebelum pusat Ahmadiyah aliran Qadian berpindah dari Pakistan ke Inggris pada 1913, Ahmadiyah sudah mengirim mubalig-nya, Khwaja Kamaluddin ke sana guna mendirikan “Working Moslem Mission”. Bahkan ketika Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, ia pernah menulis surat dakwah kepada Ratu Inggris agar mau memeluk Islam. Meskipun ratu tidak sempat masuk Islam, sejumlah keluarga menjadi pemeluk Islam, salah satunya Lord Headley yang naik haji bersama Khawaja Kamaluddin pada 1923. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa pada suatu saat matahari akan terbit dari Barat, tapi bukan berarti dhahirnya, melainkan sinar Islam yang muncul dari sana.

Sedangkan di daratan Benua Afrika, Jemaat Ahmadiyah mencatat selain berhasil mengembangkan dakwah Islamnya, mereka juga telah berhasil mengembangkan dunia pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan rumah-sakit hampir di semua negara di Afrika. Demikian juga di Asia, dakwah terus berkembang di daratan India dan Timur Tengah hingga ke Jepang, China, dan Korea, belahan negeri yang sebelumnya dakwah Islam mengalami hambatan dan kesulitan untuk berkembang. Dalam literatur Jemaat Ahmadiyah disebutkan bahwa pengikut Jemaat Ahmadiyah ini terus-menerus memperoleh kemajuan. Saat Mirza Ghulam Ahmad wafat, pemeluknya telah berjumlah lebih dari 300.000 orang.


(57)

Setelah pendiri Jemaat Ahmadiyah wafat, terpilihlah Hazrat Maulana Al-Haj Nuruddin sebagai Khalifatul Masih I pada tanggal 27 Mei 1908. Maulana AL-Haj Nuruddin lahir di Behra, Distrik Shahpur, Punjab, India. Dia menduduki urutan ketiga puluh tiga dalam silsilah keturunan Sayyidina Umar bin Khattab r.a. Dalam masa kepemimpinannya, jemaat diarahkan kepada pembangunan akhlak yang tinggi. Khalifah pertama ini wafat pada tanggal 13 Maret 1914.

Khalifah kedua yang terpilih adalah Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang lahir pada tanggal 12 Januari 1889. Selepas kematian khalifah pertama, Mahmud Ahmad terpilih untuk menggantikan pada 14 Maret 1914. Dalam tahun 1947 dia memindahkan pusat Jemaat Ahmadiyah dari Qadian (India) ke Rabwah (Pakistan). Menurut catatan jemaat Ahmadiyah, di bawah kepemimpinan Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah mendapat kemajuan yang pesat hingga mulai tersebar di seluruh dunia. Setelah membina jemaat selama 51 tahun, Mahmud Ahmad wafat pada 8 November 1965 dan meninggalkan 225 karya tulis.

Khalifatul Masih III adalah Hazrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad yang lahir di Qadian pada tanggal 15 November 1909. Khalifah ini menyelesaikan pendidikan di Baliol college, Oxford. Pada tanggal 9 November 1965, Nasir Ahmad terpilih menjadi Imam Jemaat sebagai Khalifatul Masih III. Pada tanggal 9 Oktober 1980, dia meletakkan batu pertama masjid di Pedro Abad, Cordova, Spanyol. Masa khilafatnya berlangsung lebih dari 17 tahun dengan membimbing jemaat menanggulangi berbagai cobaan dan ujian. Nasir Ahmad wafat pada 9 Juni 1982.

Imam Jemaat Khalifatul Masih IV adalah Hazrat Mirza Tahir Ahmad yang lahir pada 18 Desember 1928 di Qadian, India. Tahir Ahmad adalah putra Hazrat


(1)

dengan entitas umat Islam, yang sekaligus menjadi bagian dari entitas besar

bangsa Indonesia.

Sebagai sasaran kekerasan massa selama lebih dari satu dekade (tahun

1998-2010), JAI bukannya tanpa trauma karena telah kehilangan harta benda dan

ketenangan untuk beribadah terganggu. Akan tetapi, mereka tidak memandang

diri sepenuhnya sebagai korban. Dengan dukungan kerohanian dari organisasi dan

peran pemimpin serta mubalig mereka terlihat sangat tangguh. Di satu sisi, warga

JAI terkesan tak berdaya karena menjadi korban dan kelas tersubordinasi. Namun

di sisi lain, JAI muncul sebagai jemaat atau kelompok yang bisa berstrategi dan

“berdaya”.

Pola bertahan Jemaat Ahmadiyah telah mempengaruhi cara mereka

mengelola trauma pasca-kekerasan. Mereka memaknai kekerasan yang ada dalam

koridor keimanan bahwa semua yang terjadi itu adalah takdir dari Allah SWT,

sebagai ujian dan cobaan. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka hanya diam.

JAI tetap melakukan perlawanan dalam arti lain. Mereka sangat menghindari

perlawanan dengan kekerasan,dan membahasakan perlawanan mereka dengan

santun. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kelompok anti-kekerasan

tidak selamanya berarti lemah dan tak berdaya. Mereka berdaya dalam

ketidakberdayaan.

Jihad dengan pena adalah semboyan warga JAI dalam melakukan

perjuangan. Telah banyak upaya dialog, debat, dan tulisan dari Ahmadiyah untuk

menangkis pernyataan kelompok-kelompok yang bagi mereka merupakan fitnah.

Dalam melawan, mereka juga mengaku taat dengan keputusan Ulil Amri


(2)

keputusan pemerintah. Warga JAI selalu mengikuti keputusan pemerintah

termasuk untuk tetap tinggal di Asrama Transito. Dari JAI dapat dilihat bahwa

perlawanan itu tidak harus dilakukan secara frontal, melainkan bisa juga dengan

penanaman ideologi yang dapat menjadikan suatu kelompok bisa terus bertahan.

JAI menjadi subjek yang lack dan tetap membutuhkan pengakuan dari

Liyan. Namun, melihat kekuasaan keberagamaan yang terdiri dari superstruktur

yang disebut Islam di Indonesia, keinginan itu tidaklah mudah untuk dicapai.

Islam di Indonesia terdiri dari berbagai elemen dengan ideologinya

masing-masing. Untuk menghadapi entitas besar tersebut, JAI melakukan strategi dengan

counter hegemony. Mereka berjuang untuk diakui, atau lebih tepatnya untuk

diberi ketenangan dalam beribadah dan menjalankan ajarannya. Jemaat

Ahmadiyah Indonesia, khususnya di Lombok pasang badan untuk membela

(ideologi) ajarannya.

Tak bisa dimungkiri, proses tersebut tidaklah semudah membalik telapak

tangan. Tak tertutup kemungkinan bahwa sewaktu-waktu riak-riak kecil kekerasan

bisa meletup lagi apabila pihak-pihak dalam kelompok hegemonik tetap

melakukan pelabelan terhadap JAI. Selain itu, apabila JAI gagal pada tataran

untuk menegosiasikan dialog dan melakukan counter maka identitasnya pun akan

terancam. Keberadaan aktor-aktor yang kontra dan melarang Ahmadiyah tetap

akan melihat Jemaat Ahmadiyah sebagai ancaman. JAI dianggap sebagai

penganggu dan perebut jouissance dari umat Islam mainstream.

Jemaat Ahmadiyah merupakan kelompok yang muncul sebagai “wajah

lain” dari Islam yang ada di Indonesia. Bagi JAI, menjadi Ahmadi adalah fantasi


(3)

mengakibatkan tindak kekerasan muncul sebagai akibat dari ekses atas kelompok

umat Islam “mainstream” yang tidak bisa menerima kelompok subordinasi.

Harapan Jemaat Ahmadiyah sebenarnya merupakan harapan kelompok

tersubordinasi yang tidak ingin identitasnya dibentuk dan ditentukan oleh elemen

lain yang memiliki kuasa.

Kecenderungan yang muncul kemudian adalah bahwa identitas dan

kelangsungan hidup suatu kelompok ditentukan oleh kelompok lain. Pada

dasarnya orang beragama sebaiknya tidak perlu takut dipengaruhi oleh ajaran

yang dianggap “sesat” jika dia memiliki basis kegamaan yang kuat dalam dirinya

masing-masing.

Harapan yang kemudian muncul dari kajian ini adalah untuk mencapai

semangat sosialisme yang membuka ruang-ruang bagi munculnya gerakan sipil

baru. Perlu adanya keterbukaan pemikiran untuk memahaminya. Harus diakui

keterbukaan itu kadang terhalang oleh keinginan untuk selalu menguasai dan

muncul sebagai yang paling “benar”. Di sinilah terletak pentingnya dialog dalam

sebuah artikulasi wacana karena bukanlah suatu hal yang bijak untuk men-judge

satu kelompok berdasarkan keyakinan yang dianutnya. Tarik ulur dan perdebatan

semacam ini bisa jadi merupakan sebuah proses yang normal dalam kehidupan

sosial budaya : ada pertarungan, ada perebutan. Itulah ruang-ruang yang


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. 2008 (cet Indonesia). Mukhlis Ilyas

(penerj.). Filsafat Ajaran Islam. Bogor : Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Ahmadiyah Indonesia, Jemaat. 2007. Kami Orang Islam. Jakarta : Jemaat

Ahmadiyah Indonesia

Al Hadar, Abdullah Hasan. 1980. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung

Sejarah. Bandung : Al.Ma’aruf

Ali, Suryadharma. Ultimatum Suryadharma Ali. Tempo. Edisi 13-19 September

2010

Basit, Ali. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi

VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor :

Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Callinicos, Alex. 1976. Althusser’s Marxism. London: Pluto Press Limited

Dokumen-dokumen Dewan Pengurus Wilayah Jemaat Ahmadiyah Lombok Barat.

2002-2010

Galtung, Johan. 2003. Asnawi dan Safruddin (penerj.). Studi Perdamaian :

Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya :

Pustaka Eureka

Green, Gill. 2009. The End of Stigma?: Changes in the Social Experience of Long

Term Illness. London and New York : Routledge


(5)

Madaniy, KH.A. Malik. 2008. Memahami Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Tentang Ahmadiyah. Dalam Merekonstruksi Ukhuwah dan Memahami

Aliran Sesat. Yogyakarta : Majelis Ulama Indonesia

Mona. 2005. H. Suhadi : Berkarya dengan Musik. Dalam Ahmadiyah antara

Stigma dan Diskriminasi. Yogyakarta : Majalah SULUH

Mouffe, Chantal. 1979. Hegemony and Ideology in Gramsci. Dalam Chantal

Mouffe (ed). Gramsci and Marxist Theory. London-Boston : Routledge

Mustafa, Aris, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat

Data dan Analisa TEMPO

Nursyahid, Ali. 2008. Laporan Investigasi (Kekerasan terhadap Jamaah

Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…).

Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Kontras (Komisi untuk

Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)

Sidik, Munasir. 2008 (cet.II). Dasar-dasar Hukum dan Legalitas Jemaat

Ahmadiyah Indonesia. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Sihombing, Uli Parulian dkk. 2008. Menggugat Bakorpakem (Kajian Hukum

Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia). Jakarta :

The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)

Siswono, Eko. “Djoko Suyanto : Pemerintah Tidak Bisa Melarang Kepercayaan”.

Jakarta : Tempo, Dalam media Darsus Volume VI, Nomer 3 edisi Maret

2011

Stavrakakis, Yannis. 1999. Lacan and The Political. London : Routledge

Sunardi, St. Logika Demokrasi Plural-Radikal. Desember 2012. Yogyakarta :


(6)

Tim Klarifikasi Tadzkirah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 2003. Klarifikasi atas

Telaah Buku Tadzkirah. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS

Wawancara dengan Anang Sanusi, Koordinator Mubalig JAI di wilayah DIY dan

Jawa Tengah. 29 Maret 2011 di Markas JAI di Yogyakarta

Wawancara dengan Ir. Jauzi, Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat. 16

Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok

Wawancara dengan Ust Maruf, salah satu anggota MUI NTB. 02 Januari 2012 di

Sumbawa Barat

Wawancara dengan Muhsin, salah satu anggota MUI Yogyakarta,. 31 Maret 2011

di Kantor MUI DIY

Wawancara dengan Nasiruddin Ahmadi Penasehat Ahmadiyah di Lombok. 15

Desember 2010 di Asrama Transito

---. 23 Januari 2012 via telepon

Wawancara dengan Remaja Ahmadiyah. 15 Desember 2010 di Asrama Transito

Wawancara dengan Syahidin Koordinator Pengungsi. 14-16 Desember 2010 di

Asrama Transito

---. 22-23 Juli 2011 di Asrama Transito

Wawancara dengan KH. Syamsul Ismain Lc, ulama di Sumbawa Barat. 30

Desember 2011 di Sumbawa Barat

Wawancara dengan Yusuf, Pegiat Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa). 14


Dokumen yang terkait

Konstruksi Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Pemberitaan Dalam Frame Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV)

0 47 112

Strategi bertahan jemaat ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor

2 41 132

ANALISIS KASUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DITINJAU DARI HUKUM PIDANA

1 13 56

Strategi Komunikasi Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat Dalam Memelihara Kerukunan Beragama : (Studi Kasus Tentang Penanganan Penganut JAI [Jemaat Ahmadiyah Indonesia] di Jawa Barat).

0 1 19

STRATEGI KOMUNIKASI KEMENTERIAN AGAMAKANTORWILAYAH PROVINSI JAWA BARATDALAM MEMELIHARA KERUKUNAN BERAGAMA : (Studi Kasus Tentang Penanganan Penganut JAI [Jemaat Ahmadiyah Indonesia] di Jawa Barat).

0 0 18

PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK HAK SIPIL DAN POLITIK.

0 1 55

Satu dekade jadi rumpun terasing narasi identitas dalam kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok

0 2 163

this PDF file Harmoni dalam Jemaat Ahmadiyah (Resepsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia Manislor Kuningan Jawa Barat terhadap AyatAyat Jihad dan Perdamaian) | 'aini | FIKRAH 2 PB

0 0 18

Ahmadiyah dalam Perspektif Kekerasan Neg

0 0 23

View of Larangan Aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur dalam Perspektif External Protection dan Internal Restriction Will Kymlicka

0 0 21