Suara-Suara di Balik Kekerasan
kekerasan. “Saat kami balik kesini, kejadian lagi bulan Februari tahun 2006. Ini bisa dikatakan kejadian terbesar yang terjadi di Ketapang. Secara ekonomi dan
mental kami drop saat itu. Daripada nyusahin orang tua, saya dan 3 teman balik lagi ke Jawa Barat melanjutkan SMA”, ungkapnya. Di Jawa Barat, tepatnya di
Tasikmalaya, mereka bersekolah di bawah Yayasan Jemaat Ahmadiyah. Yayasan Ahmadiyah merupakan sekolah umum karena ada juga yang non-Ahmadi
bersekolah disana. Hanya saja, berbeda dengan sekolah umum lainnya, sekolah ini memiliki tambahan mata pelajaran, yaitu bahasa Urdu.
Saat mengungsi ke Jawa Barat dan terpisah dari orang tua, Malik dan teman-temannya merasa sangat sedih. Apalagi di sana, Malik melihat banyak anak
yang tinggal dengan orang tuanya. Akan tetapi, dia menganggap hal tersebut sebagai pengorbanan. Ketika ditanyakan sisi historis dan pengalaman menjadi
Ahmadi, Malik menjawab awalnya ikut orang tua. Meskipun begitu, orang tuanya tidak pernah memaksakan aliran tersebut pada Malik. Dia mengakui setelah
beranjak remaja, Malik bisa benar-benar meyakini kebenaran dari ajarannya yaitu Ahmadiyah. Hal ini sesuai dengan penuturannya sebagai berikut :
“Saya mulai meyakini Ahmadiyah sejak SMP, banyak bukti-bukti yang mendukung. Salah satunya kalau aliran nya tidak benar, mungkin tidak akan bertahan lama. Ajaran
yang benar selalu mendapat tantangan dari orang lain. Saya benar-benar yakin dengan Ahmadiyah”.
Setelah menamatkan SMA, Malik dan seorang temannya bertekad pulang lagi ke Lombok untuk mencari pekerjaan. Hanya saja, mereka harus mendapat
kenyataan pahit lagi, dengan penyerangan 26 November 2010 silam. Mereka akhirnya ikut mengungsi di Asrama Transito. Kesulitan yang dihadapi lagi adalah
terhambatnya mendapat pekerjaan karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP Lombok, di daerahnya sendiri, dan tak kunjung dilayani.
Untungnya, dia dan temannya sudah membuat KTP daerah Tasikmalaya. Walaupun tinggal di Transito, dia dan temannya memiliki segudang harapan.
Katanya :
“Supaya kita hidup layak seperti warga lain. Yang kami khawatirkan adik-adik kami, takut terkena mentalnya, kalau kami kan sudah besar, bisa berpikir sendiri. Untuk
pemerintah, kami minta ditegakkan lah hukum itu. Jangan tidur lah hukum di Indonesia ini. Bagi masyarakat, kami tidak minta dikasihani, hadapi kami selayaknya masyarakat
lain yang bukan Ahmadiyah, karena masalah keyakinan itu personal.”
Kekhawatiran itu bukan tak beralasan. Menurutnya, pernah ada anak Ahmadiyah di Sekolah Dasar, yang dipukuli oleh teman-temannya, karena dia
seorang Ahmadi. Di tengah kegalauan menemukan identitasnya, anak-anak remaja ini tetap terlihat teguh dengan keyakinannya. Meskipun sudah beberapa
kali rumah mereka dirusak. Mereka diusir dan diungsikan ke tempat yang kurang layak. Saat ini, Malik sedang menempuh kuliah di Bogor.
Mardianah
76
, seorang remaja putri yang juga pernah mengungsi ke Tasikmalaya, Jawa Barat, mengakui keteguhan itu. “Ya, Zaman Rasulullah kan
banyak ditentang, dibilang kafir, tapi kan pada akhirnya berkembang juga. Kalau ini sih kita anggap sebagai ujian, ini bukan azab, tapi sedang diuji iman kita”,
begitu ungkapnya. Keteguhan atas keyakinan tersebut ibarat oase di tengah keadaan pengungsian Asrama Transito yang kumuh dan tak layak bagi mereka.
Mardianah juga menginsyafi jika masa muda biasanya harus dinikmati, tapi dia menyadari tidak selamanya akan hidup di dunia ini. Dia merasa harus memiliki
bekal untuk hidup di akhirat nanti, yang lebih abadi. Jika harus ditempuh dengan hidup di pengungsian, dia merasa itu fase yang harus dijalani.
76
Berdasarkan wawancara dengan Mardianah, salah satu pemudi Jamaah Ahmadiyah yang mengungsi, di Lombok pada tanggal 14 Maret 2012.
Warga Ahmadiyah juga mengaku minimnya bantuan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Kamaruddin dan Fauziyah
77
misalnya, mengatakan jika selama 8-9 bulan awal mereka tinggal di Transito, tersedia pelayanan
kesehatan dari puskesmas. Hanya saja, setelah itu tidak ada lagi bentuk pelayanan. Mereka juga tidak mendapatkan fasilitas listrik yang memadai layaknya sebuah
tempat tinggal. Kamaruddin dan Fauziyah, pasangan pengungsi yang bercerita bahwa
mereka sudah tidak berani pulang ke rumah di Ketapang. Fauziyah juga menceritakan kisahnya saat terusir dari perkampungannya di Lombok Timur pada
tahun 2002 silam. Menurutnya :
“Kejadian Lotim, saya hamil muda, lari lewat belakang kuburan, tidak pakai sandal. Udah lama baru ingat kalo saya hamil, untung saya tidak keguguran. Kita tidak sempat ambil
barang-barang, tidak ada yang diselamatkan. Pas 2002, setiap malam digilir kampung yang diserang. Sebelumnya warga diungsikan ke Mapolres, selama 5 malam kejadian
Lotim.
78
Selain karena tidak harta lagi yang tertinggal, mereka masih takut dengan ancaman serangan lagi dari massa. Akhirnya, mereka harus tinggal di
pengungsian dengan kondisi memprihatinkan, dengan bilik-bilik buatan yang dibatasi kain-kain, dan tidak adanya listrik. Kesulitan utama menurut ibu-ibu
pengungsi di Transito adalah masalah ruangan. Dalam hukum Islam, anak umur 8 tahun sudah harus terpisah tidur dari orang tua. Namun, karena keadaan akhirnya
mereka harus bercampur, dan berdesakan. Sedangkan untuk laki-laki dewasa tidur di Mushola.
Minimnya fasilitas tersebut juga dibarengi dengan penanganan yang lemah dari pemerintah. Menurut JAI, mulai tahun 2006, penyelesaian dari Departemen
77
Berdasarkan wawancara dengan bapak ibu pengungsi di Transito pada 15 Desember 2010.
78
Wawancara dengan salah satu pengungsi, Bu Fauziyah , 16 Desember 2010 di Asrama Transito.
Sosial untuk membantu pengungsi sudah tidak ada. “Kepercayaan kami sudah luntur kepada aparat. Beberapa kali saya sudah ingin bertatap muka dengan
gubernur yang dulu dan sekarang. Tidak pernah diberikan peluang. Yang disayangkan pula jika penyerangan itu selalu yang disalahkan kami. Makanya
terbalik hukum sekarang”, ujar Syahidin. Untuk membuat Kartu Tanda Penduduk KTP pun mereka tidak dilayani. Prosesnya dipersulit karena JAI dianggap bukan
warga Mataram. Akibatnya, para pengungsi tersebut tidak memiliki status kependudukan yang jelas.
Namun, warga JAI masih berharap agar pemerintah memberikan kebebasan seperti kepada warga negara lainnya. Selain itu agar tidak ada
diskriminasi kepada warga JAI terutama dalam memberikan status kependudukan. Warga Ahmadiyah juga bersedia ditindak secara hukum apabila terbukti bersalah
atau melanggar pasal yang terdapat di undang-undang. Syahidin misalnya, mengaku siap dan rela dipenjara bila terbukti bersalah. Toh, dia berjuang bersama
kelompoknya untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah. Sebenarnya mereka sangat berharap para pelaku atau massa ditindak oleh aparat. Akan tetapi,
hal tersebut seolah-olah menjadi utopia bagi warga JAI. Warga yang ada di pengungsian akan selalu mengikuti keputusan
pemerintah tentang penghidupan mereka. Namun, mereka hanya berharap agar pemerintah dan elemen yang ada dalam masyarakat tidak ikut campur urusan
keyakinan JAI. Harapan mereka yang lain adalah untuk tidak dikeluarkan dari Islam, apalagi dihimbau untuk membuat agama baru. Bagi mereka, tidak ada satu
manusiapun yang berhak membuat agamanya. Hal ini juga diungkapkan
Basyiruddin
79
, yang menuntut agar pemerintah tidak ikut campur keyakinan seseorang, apalagi menyuruhnya keluar dari Islam. “Kan selama ini yang
digembor gemborkan adalah bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam. Bahwa Ahmadiyah harus bikin agama baru. Tidak ada manusia yang berhak membuat
agama. Semua agama yang terdahulu dari Allah SWT, kan ga bisa manusia buat agama baru. Mungkin nanti dikutuk oleh Allah SWT. Marilah kita berjalan, sesuai
dengan koridornya”, jelasnya. Menurut mereka, begitu banyak fitnah yang dilontarkan membuat identitas
JAI secara tidak langsung dibentuk oleh masyarakat. Setelah mereka mengklarifikasi tentang kenabian dan kitab suci, isu tentang perbedaan syahadat
mulai gencar disebar oleh elemen yang kontra dengan Ahmadiyah. Atas hal tersebut, Jemaat Ahmadiyah menguraikan bahwa mereka pun akan marah jika ada
yang membuat syahadat berbeda dan mengaku sebagai umat Islam. Sayangnya, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengklarifikasi hal tersebut. Jika saja
masyarakat bertanya, warga Ahmadiyah sangat ingin menjelaskannya secara baik- baik.
JAI juga dituding ekskusif karena memiliki masjid sendiri dan tidak beribadah bersama umat Islam lainnya. Akan hal itu, Syahidin mengatakan
penamaan masjid “Ahmadiyah” atau “Non-Ahmadiyah” sebenarnya tidak ada. Hanya saja, Ahmadiyah memiliki tempat bernaung basecamp, sama halnya
seperti Muhammadiyah atau NU. Jadi, pada dasarnya, warga JAI bukan bermaksud eksklusif. Kecuali untuk masalah mencari jodoh, mereka memang
79
Berdasarkan wawancara dengan Mubalig JAI, Baasyir, di Asrama Transito, Mataram pada tanggal 15 Desember 2010.
mengupayakan jodohnya sesama Ahmadi agar memiliki visi atau misi yang sama secara agama dalam menjalankan biduk rumah tangga.
Sebenarnya mereka ingin beribadah bersama umat Islam lainnya, karena semua masjid adalah tempat ibadah. Hanya saja kekerasan yang dialami dalam 1
dekade belakangan telah membuat kelompok ini tersingkir. Warga Ahmadiyah merasa kurang nyaman sholat di “Masjid Non-Ahmadiyah”, karena apabila ada
ceramah atau khutbah selalu menyudutkan Ahmadiyah dengan pelabelan kafir atau “sesat”. Warga JAI tidak mau mendengar semua itu. Akhirnya mereka sholat
di tempat sendiri. Saat ini, rumah ibadah yang tersedia hanya mushola kecil di tempat pengungsian. Akan tetapi, mereka merasa cukup tenang dalam beribadah.
Hal ini ditambahkan oleh Basyiruddin, bahwa pada hakikatnya, orang yang menjalankan ibadah ingin mendapat ketenangan. “Sebenarnya kita rindu,
serindu-rindunya untuk berkumpul bersama umat muslim lainnya, tapi apa boleh dikata, pertama begini, rindu sholat bersama orang lain, tapi kenyataannya apakah
kita mau menjadi makmum dari imam yang menghujat dan memfitnah Ahmadiyah, kita tidak rela. Kan beribadah mencari ketenangan. Tapi kalau kita
diterima, kita siap kok jadi makmum”, paparnya pula. Atas segala realita ini Basyiruddin mengingatkan Sabda Rasulullah, yaitu
pada suatu saat sejahat-jahat makhluk di bawah kolong langit adalah ulama. Saat sekali dia bicara, maka akan didengarkan. Warga JAI menyayangkan banyaknya
Tuan Guru yang ada di daerah Lombok, tapi mereka hanya berkoar-koar didepan umat Islam bahwa Ahmadiyah sesat. Ketika melabeli Ahmadiyah “sesat”, mereka
bukannya berusaha untuk mengarahkan dan membimbing Jemaat Ahmadiyah ke jalan yang lurus, tapi malah menyerukan agar massa menyerang kelompok ini.
Hal ini misalnya terjadi ketika Tuan Guru Izzy berceramah dan kemudian terjadilah penyerangan tahun 2006 di Ketapang.
Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai pengungsi paling lama di seluruh Indonesia karena sudah terjadi selama 7 tahun. Lebih-lebih mereka
mengungsi di tanah kelahiran sendiri, karena semua JAI dari suku Sasak. Hanya mubalig dan penasehat JAI saja yang dari Jawa. Bahkan sempat ada wacana
pemindahan warga Ahmadiyah ke suatu pulau terpencil di Gili, atau mencari suaka ke Australia. Namun, saat ini wacana tentang evakuasi atau pemindahan
sudah tidak ada lagi. Ketika ditanyakan pada Pimpinan Wilayah JAI di Lombok, Jauzi, tentang
hak-hak warga Ahmadiyah secara organisasi, dia melihatnya dari dua hal. Pertama, organisasi hanya bisa ikut campur dalam hal dukungan kerohanian
melalui mubalig, dan sebagai fasilitator dalam upaya advokasi dan negosiasi dengan pemerintah atau pihak lain. Kedua, selain hal-hal pertama tadi, organisasi
tidak memiliki hak untuk intervensi baik berkaitan dengan masalah relokasi, transmigrasi, dan pemulihan aset. “Itu adalah hak warga, silahkan pemerintah
berdialog dengan mereka. mau dijual atau tidak hak mereka. itu kan kekayaan mereka, bukan organisasi”, jelasnya.
80
Terkait dengan kekerasan yang terjadi pada jemaatnya, Jauzi pun menyayangkan sikap pemerintah yang selaiknya harus melindungi warga
masyarakatnya. Menurutnya, orang-orang yang berwatak benar, berperilaku lurus, menjadi potensi suatu negara. Hal yang menggelitik ketika orang yang benar,
80
Wawancara dengan Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat, Ir.Jauzi.2010. 16 Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok Barat.
lurus, dan baik kemudian disingkirkan. Sementara itu, masyarakat yang anarkis, tukang fitnah, dan pembohong dipelihara tanpa adanya penindakan.
Jauzi juga melihat bahwa Jemaat Ahmadiyah memiliki konsep “bertahan” bila dilihat dari sisi untuk memperjuangkan kemanusiaan. Bagi mereka, semua itu
bagian dari perjuangan. Pada prinsipnya, orang Ahmadiyah secara pribadi tidak bisa dibantu orang lain. Apabila mereka terlihat kuat, itu semata-mata karena
kemauan diri sendiri dan keyakinan. “Kita sering mendengar fitnah, bahwa Ahmadiyah dibantu dana dari luar. Padahal kekuatan orang yang dibantu dana
tidak itu bisa dilihat. Kalau orang dibantu, itu tidak akan bisa bertahan. Dia ketergantungan”, tambah Jauzi. Dia pun mengakui walaupun nasib warga
Ahmadiyah seperti ini, masing-masing dari mereka selalu mengeluarkan “uang pengorbanan” tiap bulannya.
Pangkal dari semua ajaran Ahmadiyah adalah berdasarkan pada ajaran Al- Quran dan Hadis. Itulah inti kehidupan bagi JAI, yaitu beragama dengan
mencontoh teladan. Di situlah letak kenikmatannya. Bagi mereka, penderitaan adalah kenikmatan yang terselubung. Konsep bertahan Ahmadiyah juga tidak
lepas dari salah satu pembinaan akhlak, sehingga muncul tingkat kesabaran yang tidak ada batasnya. Bagi kalangan Ahmadiyah, kesabaran tidak punya batas. Hal
itu merupakan indikator bahwa tarbiyah, pendidikan ta’lim, atau dakwah berhasil. Kesabaran yang mereka peroleh tidak lepas dari pembinaan dan penghayatan
terhadap nilai-nilai Islam.
81
Fenomena pengungsian warga JAI ini telah menarik perhatian pihak-pihak luar seperti kalangan wartawan, mahasiswa, peneliti, dan LSM baik dari dalam
81
Ibid…Wawancara dengan Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat, Ir.Jauzi.2010. 16 Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok Barat.
maupun luar negeri. Sebagian dari mereka mendatangi Transito untuk berdialog. Ada pula yang memberikan sumbangan kebutuhan sehari-hari bagi warga JAI.
Yang cukup aktif untuk berkunjung dan membantu advokasi JAI adalah Lembaga Studi Kemanusiaan Lensa.