PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK HAK SIPIL DAN POLITIK.

(1)

SKRIPSI

PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT

AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG

HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

I MADE JULI UNTUNG PRATAMA 1116051099

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

ii 


(2)

PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP

JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK

INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOVENAN

INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN

POLITIK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I MADE JULI UNTUNG PRATAMA 1116051099

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur panjatkan kepada tuhan yang maha esa. Atas anugerah nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK” dapat terselesaikan.

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak kendala yang harus dihadapi. Namun berkat rahmat tuhan dan bantuan dari berbagai pihak secara material maupun non material, menjadikan pemantik untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, izinkan penulis memberikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH., sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Universitas Udayana.

vi 


(6)

vii 

6. Bapak I Gede Putra Ariana, SH., MH., sebagai Sekertaris Bagian Hukum Internasional.

7. Bapak I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH., sebagai Pembimbing I yang telah membimbing, memberikan banyak ilmu dan memberikan literatur-literatur yang sangat berharga kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak I Made Budi Arsika, SH., LLM., sebagai Pembimbing II yang dengan sabar telah membimbing, memberikan masukan dan memberikan motivasi sehingga skripsi ini dapat selesai sesuai harapan. 9. Bapak I Nyoman Bagiastra, SH., MH sebagai Pembimbing Akademik

yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Keluarga penulis yaitu Bapak dan Ibu, I Made Ardika dan Ni Ketut Budiasih serta kakak dan adik I Putu Edy Untung Pramana dan I Komang Aris Budi Ardianta, terima kasih atas dukungan moril maupun materiil sehingga penulis dapat menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan menyelesaikan skripsi ini.

11.Kawan-kawan organisasi Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (FRONTIER) Bali sebagai organisasi awal menempuh perkuliahan yang telah membentuk idealisme, memberikan banyak pengalaman, jaringan, serta pelajaran yang luar biasa bagi penulis.


(7)

viii 

 

12.Kawan-kawan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali yang telah memberikan berbagai masukan, dan literatur sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

13.Kawan-kawan Denpasar Kolektif yang telah mengisi hari-hari penulis ketika penulis mengalami kesuntukan dalam membuat skripsi.

14.Kawan-kawan yang tergabung dalam organisasi yang pernah disinggahi untuk mengasah kemampuan penulis yakni Kertha Aksara dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

15.Kawan-kawan di Fakultas Hukum Universitas Udayana angakatan 2011 kelas XX.

16.Terakhir, untuk Nyoman Cynthia Anggraeni yang memberikan semangat, motivasi dan dukungan yang penulis terima dalam penyelesaian skripsi ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kategori sempurna. Untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Mudah-mudahan skripsi ini bisa bermanfaat bagi almamater penulis yaitu Universitas Udayana dan untuk akademisi di Indonesia.

Denpasar, Januari 2016


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL BELAKANG ... ii

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

HALAMAN KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN DAFTAR ISI ... ix

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xvi

ABSTRAK ... BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4Orisinalitas Penelitian ... 5

1.5Tujuan Penelitian ... 6

1.5.1 Tujuan Umum ... 6

1.5.2 Tujuan Khusus ... 7

1.6Manfaat Penelitian ... 7

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.6.2 Manfaat Praktis ... 8


(9)

 

1.8

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DAN PERKEMBANGAN JEMAAT AHMADIYAH DI INDONESIA.

2.1. Perkem

2.1.2.

2.1.3. Rat pil

2.2.Pe

2.2.1.

1.7Landasan Teori ... 9

Metode Penulisan ... 14

1.8.1 Jenis Penelitian ... 14

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 15

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ... 17

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 18

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 18

bangan Hak Asasi Manusia Bidang Sipil dan Politik di Indonesia 19 2.1.1. Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia ... 19

Ratifikasi Instrumen Internasional Mengenai Hak Asasi Manusia Bidang Hak Sipil dan Politik di Indonesia ... 22

ifikasi International Kovenan Internasional tentang Hak-hak Si dan Politik Oleh Indonesia ... 24

nyebaran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia ... 26

Sejarah Awal Masuknya Jemaat Ahmadiyah di Indonesia ... 26


(10)

xi  BAB

BERAGAMA H

INDONESIA

... 38 3.1.1. Konsep Perlindungan Hukum ... 39 3.1.2. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kebebasan Beragama dan

a

au

b an

Beragama atau Berkeyakinan Berdasarkan Rancangan

an

ng III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEBEBASAN

DAN BERKEYAKINAN UNTUK JEMAAT AHMADIYA

3.1. Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia ...

Berkeyakinan di Indonesia ... 40 3.1.2.1. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kebebasan Beragam

atau Berkeyakinan Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ... 42 3.1.2.2. Perlindungan Terhadap Hak Kebebasan Beragama at

Berkeyakinan Hukum Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ... 45 3.1.2.3. Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Hak Ke ebas

Undang-undang Kerukunan Umat Beragama ... 48 3.1.2.4. Komparasi Konsep perlindungan Hukum Berdasark

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tenta


(11)

xii 

 

Bertagama dalam ranah Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Indonesia ... 50 3.2. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia ... 55

3.2.1. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia Berdasarkan Hukum Hak Asasi Manusia Nasional ... 56 3.2.1.1. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah

Indonesia Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 56 3.2.1.2. Perlindungan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ... 58 3.2.1.3. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah

Indonesia Berdasarkan Sejumlah Rencana Aksi Nasonal Hak Asasi Manusia ... 60 3.2.2. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Berdasarkan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional ... 63 3.2.2.1. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah

Indonesia Berdasarkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ... 63 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Rancangan Undang-undang Kerukunan Umat


(12)

xiii 

3.2.2.3. ah

3.2.2.4.

BAB IV PENYELESAIAN KASUS KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI WILAYAH CIKEUSIK INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

4.1.

P 4.1.2. Pertim

4

3.2.2.2. Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik ... 64 Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiy Indonesia Berdasarkan Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan 1981 ... 69 Perlindungan Hukum Terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia Berdasarkan Deklarasi Vieena dan Program Aksi ... 72

Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik oleh Pengadilan Negeri Serang ... 75 4.1.1. Posisi Kasus dalam Putusan Nomor : 419/PID.B/2011/PN.SRG di

engadilan Negeri Serang ... 76

bangan Hakim berdasarkan Putusan Nomor : 19/PID.B/2011/PN.SRG di Pengadilan Negeri Serang ... 79


(13)

xiv 

 

4.1.2.2.

S 4.2. Perspekt

Penyeles eri

sia

4.2.2. Minim

A

4.2.3. Hakim ng

4.2.4. S Intern

d di

BAB V PENUTUP

4.1.2.1. Pertimbangan Atas Terpenuhinya Unsur-unsur Dalam Pasal 212 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ... 79 Pertimbangan Atas Terpenuhinya Unsur-unsur Dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ... 81 4.1.3. Hasil Putusan Nomor : 419/PID.B/2011/PN.SRG di Pengadilan Negeri

erang ... 84 if Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Mengenai

aian Kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia oleh Pengadilan Neg Serang ... 85 4.2.1. Penyelesaian Kasus Lebih Mengarah pada Aspek Pidana dibandingkan

Perlindungan Terhadap Hak Sipil Politik Jemaat Ahmadiyah Indone ... 86

nya Penggunaan Pendekatan HAM (A Human Rights Based pproach) dalam Penyelesaian Kasus Cikeusik ... 90

Hanya Menggunakan Sistem Pembuktian Undang-unda Secara Positif ... 93

KB 3 Menteri yang Substansinya Bertentangan dengan Kovenan asional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Merupakan Sumber ari Kasus Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cikeusik ... 96


(14)

xv  5.1. Kesimpu

5.2. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

lan ... 101 ... 102

 


(15)

(16)

ABSTRAK

Pada tanggal 9 Juni 2008 Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, Jaksa Agung Hendraman Supanji, dan Menteri Dalam Negeri H. Mardiyanto mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, 199 Tahun 2008 (SKB 3 Menteri) tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Pada tanggal 6 Februari 2011 terjadi aksi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Banten yang menyebabkan 3 (tiga) orang meninggal dan terdapat korban luka-luka. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis konsep dan perlindungan hukum dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia serta menganalisis penyelesaian kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)

Kata Kunci: ICCPR, JAI, Aksi Kekerasan


(17)

xviii 

 

ABSTRACT

On June 9, 2008 Religious Affairs Minister Muhammad M. Basyuni, Attorney General Hendraman Supanji, and Interior Minister H. Mardiyanto issued a Joint Decree of 3 Ministers No. 3 of 2008, KEP-033 / A / JA / 6/2008, 199 Year 2008 (SKB 3 minister) about the Warning and Command To adherents, members, and / or Member of the Indonesian Ahmadiyya Jama'at (JAI) and Public Citizen. On February 6, 2011 an act of violence against the Ahmadis in Kampung Peundeuy, Umbulan Village, District Cikeusik, Padegelang Regency, Banten, which led to three (3) people died and there were injuries. The purpose of this paper is to analyze the concept and the legal protection of religious freedom against Ahmadiyah in Indonesia as well as to analyze the settlement of cases of violence against religious freedom Ahmadiyah in Indonesia based on the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Citra Indonesia sebagai negara pluralis yang menghormati keberagaman agama, keyakinan, suku, dan ras sempat tercoreng pasca peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Banten yang terjadi pada tanggal 6 Februari 2011.1 Berdasarkan laporan dari Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), peristiwa penyerangan tersebut telah menyebabkan tiga orang meninggal, yakni Roni Passaroni, Tubagus Candra Mubarok Syafai, dan Warsono. 2 Selain itu, terdapat korban luka-luka yakni Muhammad Ahmad alias Bebi, Ahmad Masihudin, Ferdias, Apip Yuhana, dan Deden Sudjana.3 Peristiwa tersebut ternyata menjadi perhatian masyarakat internasional. Beberapa hari setelah kejadian tersebut, ada tiga surat keprihatinan yang dikirimkan oleh pemerintah Amerika Serikat, Kanada, dan perwakilan Uni Eropa.4

Paska terjadinya kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (selanjutnya desingkat dengan JAI) di Cikeusik, tensi penolakan terhadap keberadaan JAI semakin meninggi. Pada tanggal 13 Januari 2012 Front Umat Islam yang terdiri dari berbagai organisasi masa mengerahkan ratusan orang untuk menggelar aksi di komplek SMK Piri I Yogyakarta. Masa aksi tersebut menuntut

1

Laporan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Negara tak kunjung terusik h. 1

2

Ibid. h. 16. 3

Ibid 4


(19)

2

agar aktivitas pengajian gerakan Ahmadiyah Indonesia dibubarkan. Aksi tersebut baru berakhir ketika Walikota dan Kepolisian Yogyakarta meminta Jemaat Ahmadiyah tidak lagi melanjutkan pengajian karena situasi yang tidak kondusif.5

Eskalasi penyerangan JAI juga terjadi di Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Bogor, Jawa Barat tanggal 13 Juli 2012. Penyerangan tersebut dilakukan oleh ratusan warga dari Kampung Pasar Salasa dan Kebon Kopi yang mendatangi daerah tersebut dan melakukan pelemparan seusai shalat jumat yang mengakibatkan 5 (lima) rumah Jemaat ahmadiyah mengalami kerusakan.6 Bupati Bogor yang menjabat pada saat itu adalah Rachmat Yasim meminta jemaat Ahmadiyah untuk tidak melakukan aktivitas keagamaannya agar tidak mengundang emosi warga dan mematuhi Surat Keputusan Bersama 3 (tiga) Menteri ( selanjutnya disingkat dengan SKB 3 Menteri) dan Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12/2011 tentang pelarangan Ahmadiyah.7

SKB 3 Menteri sebagaimana dimaksud adalah Surat yang diterbitkan bersama oleh Menteri Agama Muhammad M.Basyumi, Menteri Dalam Negeri H.Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji berupa Surat Keputusan Bersama Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (selanjutnya disebut SKB 3 Menteri) yang mengatur pelarangan JAI untuk

5

Wahyudi Djafar dan Roichatul Aswidah, 2013, Intimidasi Dan Kebebasan : Ragam, Corak dan Masalah Kebebasan Berekspresi di Lima Propinsi Periode 2011-2012, ELSAM, Jakarta, h. 134.

6

http://nasional.tempo.co/read/news/2012/07/14/063416960/serangan-kampung-ahmadiyah-terkait-jurnalis-asing diunduh tanggal 4 Juli 2015.

7

Halili et. Al, 2013, Kepemimpinan Tanpa Prakarsa Kondisi Kebebasan


(20)

3

melakukan kegiatan di Indonesia. Terbitnya SKB 3 (tiga) menteri tersebut ternyata oleh sejumlah kalangan justru dipandang sebagai perenggutan hak-hak JAI dalam berkeyakinan, beragama dan beribadah.

Kasus-kasus di atas mengindikasikan bahwa negara telah melakukan pelanggaran HAM. Di satu sisi negara menerbitkan peraturan-peraturan yang mendiskriminasikan Jemaat Ahmadiyah sedangkan di sisi lain negara tidak melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan kelompok intoleran terhadap kaum jemaat Ahmadiyah.

Hal ini tentu menjadi ironi karena kebebasan untuk memeluk agama dan meyakini kepercayaannya di Indonesia sesunggunya telah dijamin oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), khususnya di dalam Pasal 28 huruf E yang pada intinya menyatakan setiap orang bebas untuk memeluk agamanya, bebas untuk meyakini kepercayaannya dan bebas untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat. Selain itu, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) juga menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama atau keyakinannya dan beribadat sesuai agama dan keyakinannya serta menjamin kemerdekaan setiap orang dalam beragama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.8

Dalam konteks Hukum Internasional, isu kebebasan beragama dan berkeyakinan juga diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, yang selanjutnya

8


(21)

4

disingkat ICCPR). Secara resmi Indonesia menjadi negara pihak ICCPR sejak tanggal 23 Februari 2006, dan mulai berlaku penuh di Indonesia pada tanggal 23 Mei 2006 atau tiga bulan setelah kovenan tersebut diadopsi di Indonesia.9 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR memuat pasal yang melindungi kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan. Pasal 18 (1) ICCPR menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Selanjutya, ayat (2) dari pasal tersebut menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menganut kepercayaan dan keyakinan tertentu.

Berbeda dengan keadaan Jemaat Ahmadiyah yang berada di Benoa Eropa. Salah satunya di Jerman, Ahmadiyah merupakan komunitas kecil sekitar 30.000 (tiga puluh ribu) pengikut di antara empat juta muslim.10 Jemaat Ahmadiyah di Jerman juga mengelola 35 masjid lain yang dilengkapi dengan menara dan kubah secara nasional.11 Jemaat Ahmadiyah juga melakukan upaya-upaya untuk menyampaikan toleransi dan perdamaian di seluruh dunia dalam acara symposium

perdamaian di Chinmay Mission, Lodhi Road, New Delhi.12 Hal tersebut telah membuktikan bahwa Jemaat Ahmadiyah yang berada di Eropa, hak nya lebih diakui daripada di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berkeinginan untuk menyusun sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “Penyelesaian Kasus

9

Chrisbiantoro, Tanpa Tahun Terbit, Kewajiban Negara dalam Penanganan Kasus-kasus Pelanggaran dan Pelanggaran HAM Yang Berat di Indonesia, KontraS, Jakarta, h.5.

10

http://www.islam-damai.com/2012/12/perkembangan-ahmadiyah-di-jerman.html diakses tanggal 27 Maret 2016.

11 Ibid 12

http://www.islam-damai.com/2013/04/upaya-ahmadiyah-menciptakan-perdamaian.html diakses tanggal 27 Maret 2016


(22)

5

Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik Indonesia Dalam Perspektif Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik”.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)?

2. Bagaimana penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari agar pembahasan dalam penelitian ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan maka perlu adanya pembatasan dalam penulisan penelitian ini. Penelitian ini membahas tentang pengaturan hak asasi manusia terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, kedudukan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Republik Indonesia dan peraturan-peraturan yang menghambat perlindungan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Skripsi dengan judul “Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik Indonesia Dalam Perspektif Kovenan


(23)

6

Internasional Hak Sipil Dan Hak Politik” mengangkat permasalahan tentang bagaimana penyelesaian kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Cikeusik di Indonesia sesuai dengan tinjauan yuridis terhadap ICCPR. Penelitian ini merupakan karya asli penulis yang tidak terdapat pada karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Adapun pembeda skripsi ini dengan penelitian-penelitian yang lainnya yakni:

No Judul Nama Penulis Tahun

1 Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Minoritas Muslim Atas Perlakuan Diskriminasi Di Uni Eropa

Miga Sari Ganda Kusuma

2013

2 Penyelesaiaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Wanita Di Wilayah Shan Myanmar Dari Prespektif Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)


(24)

7

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu tujuan penulisan usulan penelitian secara umum dan tujuan penulisan usulan penelitian secara khusus:

1.5.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan pemikiran secara ilmiah mengenai Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Cikeusik Indonesia Dalam Perspektif Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik khususnya pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis konsep dan perlindungan hukum dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.

2. Untuk menganalisis penyelesaian kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia berdasarkan ICCPR.


(25)

8

1.6. Manfaat Penelitian

Dalam setiap penulisan karya ilmiah berupa skripsi, tentu saja ada manfaat yang ingin dicapai. Manfaat penulisan meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis.13 Penjabarannya adalah sebagai berikut:

1.6.1. Manfaat Teoritis

1. Mengembangkan dan meningkatkan ilmu hukum secara umum dan hukum internasional di bidang hak asasi manusia secara khususnya. 2. Memberikan pemahaman terutama mengenai hukum dan

penegakan hak asasi manusia, serta mengetahui permasalahan hak asasi manusia di Indonesia.

3. Memahami lebih dalam tentang hukum yang diberlakukan Indonesia terkait insiden Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik, Indonesia serta bentuk-bentuk perlindungan hak asasi manusia yang diterapkan oleh Indonesia.

1.6.2. Manfaat Praktis

1. Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam menyusun kebijakan yang berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

2. Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang

13

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Buku Pedoman FH UNUD, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h.75.


(26)

9

berkaitan dengan hak asasi manusia khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

3. Sebagai sumbangan untuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam rangka menjaga kerukunan antar umat beragama.

1.7. LandasanTeori

Adapun landasan teori yang digunakan dalam uraian ini tidak terlepas dari pembahasan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Munir definisi mengenai hak asasi manusia adalah:14

“… secara filosofis hak asasi manusia diartikan hak dasar yang ada dan tidak terpisah dari undur manusia, serta tidak dapat dihilangkan atas dasar-dasar kekuasaan yang mengingkari keberadaan hak –hak tersebut. … secara normatif HAM mencoba diterjemahkan dalam proses kehidupan berbangsa dengan kesepakatan-kesepakatan yang disebut dengan Deklarasi Universal HAM dan berbagai konvensi….”

Hak asasi manusia bersifat universal dan non diskriminasi karena dimiliki oleh seluruh umat manusia tanpa memandang suku, ras, etnis dan agama. Hak asasi manusia juga memiliki ciri derogable rights dan nonderogable rights. Menurut Pasal 4 ayat (2) ICCPR derogable rights adalah hak yang bisa dibatasi atau dikurangi dalam situasi khusus (darurat/exceptional) seperti perang, wabah, dan bencana alam. Non-derogable rights adalah hak yang tidak bisa dibatasi dalam situasi apa pun seperti yang sudah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) ICCPR. Salah satu contoh Non-derogable rights adalah hak dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

14

Munir, “2006, Membangun Bangsa Dan Menolak Militerisme” Jejak Pemikiran Munir (1965-2004), cet.I, KASUM, Menteng, Jakarta Pusat. h. 117.


(27)

10

Landasan teroritis mengenai hak asasi manusia yang digunakan dalam skripsi adalah:

1. Teori Hukum Kodrati dan Hak Kodrati

Teori hukum kodrati adalah bagian dari hukum tuhan yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia.15 Thomas Aquino penganut teori hukum kodrati membagi hukum menjadi 4 golongan yakni16: Lex Aetera (rasio tuhan yang merupakan sumber dari segala hukum dan tidak dapat ditangkap oleh nalar manusia.bagian hukum tuhan yang sempurna yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia), Lex Divia (bagian dari rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia), Lex Naturalis (hukum alam yang merupakan penjelmaan lex aeterna dalam rasio manusia), Lex Positivis

(hukum positif yang berasal dari tuhan seperti terdapat dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia). Seiring dengan waktu, teori hukum kodrati berkembang dan menjadi teori hak kodrati pada abad 17. Teori hak kodrati mengakkui hak-hak individu yang subjektif. Pendukung teori hak kodrati adalah John Locke. Locke berargumentasi bahwa semua individu dikaruniai oleh alam, hak inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri

15

Rhona K.M. Smith et. Al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet. I, PUSHAM UII, Yogyakarta, h. 12.

16

Lili Rasjidi, 1990, Dasar-dasar Filsafat hukum, cet. V, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 29-30.


(28)

11

dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara.17 Kelemahan teori ini adalah tidak adanya kebenaran secara ilmiah yang dapat membuktikan kebenaran teori hukum kodrati dan hak kodrati. Seperti yang dikatakan Jeremy Bentham bagi saya, hak merupakan anak hukum. Dari hukum riil lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari hukum kodrati, lahir hak imajiner.18

Dalam konteks Jemaat Ahmadiyah Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah dimiliki oleh Jemaat Ahmadiyah karena itu merupakan hak yang harus dimiliki oleh Jemaat Ahmadiyah sebagai manusia. akan tetapi terrengutnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan Jemaat Ahmadiyah ketika SKB 3 Menteri diterbitkan. 2. Positivisme

Teori positivisme muncul sebagai antithesis dari teori hukum kodrati dan hak kodrati. Hukum positif adalah hukum yang bersumber dari undang-undang dan dibuat oleh penguasa.19 John Austin seorang penganut positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan oleh negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah yang berdaulat.20 Seiring dengan waktu, teori positivisme berubah menjadi teori utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Tesis utama utilitarianisme adalah eksistensi manusia

17

Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, Dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional, terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h.37.

18

Ibid, h. 39-40. 19

Agus Santoso, 2012, HUKUM, MORAL DAN KEADILAN: Sebuah Kajian Filsafat Hukum, kencana Predana Media Group, Jakarta, h.53.

20


(29)

12

dikuasai oleh kesenangan dan penderitaan; dan dengan meningkatkan yang pertama dan mengurangi yang kedua, nasib umat manusia akan membaik. Oleh karena itu, tujuan utilitas (utility), adalah meningkatkan seluruh stok bagi kesenangan manusia yang dihitung secara matematis. Oleh karena itu, tes utama bagi utilitas adalah dijalankannya aturan-aturan yang akan memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah manusia yang paling banyak memaksimalkan kebahagiaan.21 Kelemahan teori ini terlihat pada kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah sebagai kelompok yang minoritas dan dalam pandangan utilitarianisme wajar tidak mendapatkan hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan karena tujuan dari teori ini adalah hanya memberikan kesenangan terhadap kaum mayoritas yang diwujudkan melalui SKB 3 Menteri.

3. Teori Anti Utilitarian

Teori anti utilitarian adalah antithesis dari teori utilitarian yang hanya memberikan kesejahteraan terhadap kaum mayoritas tanpa mempertimbangkan suara minoritas pada suatu negara. Minoritas atau individu yang preferensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara akan kurang dihiraukan dan, sebagai akibatnya, mereka dapat sangat dirugikan atau kehilangan hak-hak nya.22 Seperti kasus kekerasan terhadap kaum minoritas Jemaat Ahmadiyah yang terjadi di Cikeusik. Jemaat Ahmadiyah harus mengalah terhadap keinginan

21

Scott Davidson, op.cit,h. 41 22


(30)

13

mayoritas sehingga disusunlah suatu perundang-undangan yang mendiskriminasikan Jemaat Ahmadiyah.

Menurut Gerald Dworkin seorang penganut teori Anti Utilitarian, hak asasi adalah “kartu truf” politis yang dimiliki oleh individu-individu, yang digunakan “jika, karena suatu sebab, tujuan kolektif tidak memadai untuk membenarkan penolakan terhadap apa yang ingin dimiliki atau dilakukan oleh mereka sebagai individu, atau tidak memadai untuk membenarkan terjadinya perlakuan yang merugikan atau melukai mereka.23

4. Teori Common Consent

Teori Common Consent merupakan teori dimana daya mengikat hukum internasional adalah tidak terletak pada kehendak sepihak negara-negara, melainkan atas kehendak negara-negara. Jika negara-negara tunduk pada hukum internasional, disebabkan karena terdapat kehendak bersama dan negara-negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Jika pada suatu waktu ada satu atau beberapa negara tidak lagi bersedia untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional, dan bermaksud untuk menarik diri, maka negara itu tidak dapat menarik diri secara sepihak, melainkan harus mendapat persetujuan bersama dari negara-negara lainnya. Persetujuan inipun juga merupakan manifestasi dan kehendak bersama negara-negara.24

5. Asas Pacta Sunt Servada

23

Scoot Davidson, op.cit, h.45 24

http://www.negarahukum.com/hukum/daya-mengikat-hukum-internasional-2.html, diunduh tanggal 13 Oktober 2015.


(31)

14

Menurut ensiklopedia Britannica asas Pacta Sunt Servanda adalah:25

…”Shelf cases (1969). A treaty is based on the consent of the parties to it, is binding, and must be executed in good faith. The concept known by the Latin formula pacta sunt servanda (“agreements must be kept”) is arguably the oldest principle of international law. Without such a rule, no international agreement would be binding or”...

Pengertian asas pacta sunt servanda pada intinya menjelaskan asas

pacta sunt servanda adalah sebuah perjanjian yang dibuat dan disetujui oleh para pihak, harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas pacta sunt servanda juga ditegaskan dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian.

Dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, Indonesia sudah melakukan itikad baik dengan meratifikasi ICCPR menjadi Undang-undang 12 tahun 2005 dimana ada pasal-pasal dalam kovenan tersebut yang bertujuan memajukan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun itikad baik tersebut tidak dibarengi dengan menertibkan hukum nasionalnya. Indonesia justru menerbitkan SKB 3 Menteri yang isinya bertentangan dengan ICCPR

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

25

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/930509/pacta-sunt-servanda diunduh tanggal 5 Mei 2015.


(32)

15

Skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif menurut Peter Mahmud Marzuki adalah:

“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai prespektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….”26

Penelitian hukum normatif digunakan untuk mengkaji perlindungan hukum terhadap Jemaat Ahmadiyah dan penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia dalam perspektif ICCPR.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Secara umum dipahami bahwa penelitian hukum normatif mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni:27

a. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

b. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

d. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)

e. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

g. pendekatan perbandingan (Comparative Approach)

26

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34.

27


(33)

16

Adapun penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, yakni pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach) pendekatan fakta (the fact approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical & conceptual approach), pendekatan sejarah

(historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparativeapproach).

Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.28 Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan analisa terhadap Putusan Pengadilan Serang nomor 419 / PID.B / 2011 / PN.SRG tentang putusan pidana yang mengadili Jemaat Ahmadiyah yang menjadi sasaran amuk massa intoleran di Cikeusik, Serang, Banten dengan 6 (enam) bulan penjara.

Selanjutnya, pendekatan perungan-undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti.29 Dalam penelitian ini penulis menelaah sejumlah peraturan dimulai dari lokal, nasional, hingga internasional terkait isu perlindungan HAM terhadap Jemaat Ahmadiyah dan Penyelesaian kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia.

Adapun pendekatan fakta dilakukan dengan cara mengkaji permasalahan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Cikeusik Indonesia. Pentingya pendekatan fakta digunakan dalam skripsi ini untuk menemukan fakta-fakta pelanggaran hukum dalam tragedi Cikeusik, Serang, Banten.

28

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit. h. 190 29


(34)

17

Pendekatan sejarah dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan materi yang diteliti.30 Pendekatan ini penting digunakan karena untuk mengetahui relevansi ICCPR dalam melindungi kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan khususnya bagi Jemaat Ahmadiyah.

Pendekatan analisis dan konsep hukum digunakan untuk menganalisa konsep hukum terkait hak kebebasan beragama dan berkeyakinan baik dari hukum nasional nya maupun hukum internasionalnya. Selain itu untuk mengetahui konsep perlindungan HAM yang digunakan oleh Indonesia.

Pendekatan perbandingan digunakan untuk membandingkan peraturan hukum nasional yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan hukum internasional yang juga mengatur hal tersebut. Pendekatan perbandingan digunakan untuk mengetahui apakah terjadi kekosongan norma atau konflik norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait perlindungan kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut.31

Bahan hukum primer adalah bahan hukum autoritatif, artinya mempunyai ototritas.32 Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dalam arti luas, perjanjian internasional,

30

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, op.cit, h.189 31

Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit. h.76. 32

Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Cetakan Ke-7, Prenadamedia Grup, Jakarta, h. 181.


(35)

18

konvensi ketatanegaraan, putusan pengadilan, keputusan tata usaha negara, hukum adat (tertulis dan tidak tertulis).33 Dalam penulisan ini bahan hukum primer yang digunakan yaitu Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Poltical Rights, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berguna untuk memberikan peneliti semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah.34 Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum (text book), jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tersier), dan internet dengan menyebut nama situsnya.35 Dalam penulisan ini menggunakan bahan hukum seperti putusan pengadilan, literatur-literatur, berita-berita yang relvan untuk menjawab permasalahan yang ada pada skripsi ini.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan

33

Fakultas Hukum Universitas Udayana, loc.cit. 34

Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.196. 35


(36)

19

dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet.36

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

setelah semua bahan hukum terkumpul dalam skripsi ini, selanjutnya bahan tersebut diseleksi dan dikelompokkan dengan bahan hukum lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Setelah itu dianalisa dengan teknik analisis deskripsi. Teknik analisis deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi. Tujuan digunakannya analisis deskripsi adalah untuk memberikan uraian yang utuh atas permasalahan yang ada pada skripsi ini sehingga mendapatkan kebenaran formil.

36


(37)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DAN PERKEMBANGAN

JEMAAT AHMADIYAH DI INDONESIA

Bab ini menjelaskan bagaimana perkembangan HAM bidang hak sipil dan politik yang ada di Indonesia seperti sejarah HAM di indonesia dan latar belakang diratifikasinya ICCPR oleh Indonesia. Setelah pembahasan tersebut, dilanjutkan dengan perkembangan Jemaat Ahmadiyah yang ada di Indonesia dan latar belakan terjadinya diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah.

2.1. Perkembangan Hak Asasi Manusia bidang Sipil dan Politik di Indonesia

2.1.1. Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia

Hak Asasi Manusia (HAM) bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia. Sejarah HAM dapat dilihat dari perkembangan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional.

Konstitusi Indonesia yang pertama yakni Undang-undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat dengan UUD 1945) belum mengenal Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat menjadi HAM). UUD 1945 hanya menyebutkan tentang hak warga negara sebagaimana terdapat di dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31. Penggunaan konsep hak warga negara tersebut secara implisit tidak mengakui paham natural right yang memandang bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki sebagai manusia karena ia lahir sebagai manusia.1 Hak warga negara yang dinyatakan dalam UUD 1945 hanya mencakup warga negara

1

Lihat Rhona K.M. Smith et AL, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, cet.I, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, h. 240.


(38)

20

Indonesia yang telah mendapat pengakuan melalui peraturan perundang-undangan yang ada.

Konsep natural rights mulai digunakan sejak tanggal 31 Januari 1950 ketika Undang-undang Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) menggantikan UUD 1945. Hal ini dapat dilihat pada bagian V UUD RIS, khususnya dari Pasal 7 hingga Pasal 33, yang mengatur tentang hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia yang juga mencakup pengakuan terhadap hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Dalam konteks HAM tentu dapat dinilai bahwa UUD RIS lebih progresif dibandingkan UUD 1945.

Pada tanggal 15 Agustus 1950 Indonesia mengganti UUD RIS dengan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS). Ada tiga perbedaan antara UUD RIS dengan UUDS. Pertama kebebasan bertukar agama atau berkeyakinan yang dijamin dalam Pasal 18 UUD RIS dihilangkan dalam Pasal yang sama pada UUDS 1950. Kedua, pada UUDS diatur mengenai hak berdemonstrasi dan mogok yang sebelumnya tidak diatur pada UUD RIS, ketiga dasar perekonomian sebagaimana dimuat di dalam Pasal 33 UUD 1945 diadopsi kedalam Pasal 38 UUDS.2

Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 yang mengembalikan berlakunya UUD 1945 kemudian menjadi lembar sejarah dalam perjalanan HAM Indonesia. Hal ini menjadi bukti kemunduran dalam HAM karena konsep natural rights kembali diubah ke hak warga negara.

2

L.G. Saraswati, et Al, 2006, HAK ASASI MANUSIA Teori Hukum Dan Kasus, Filsafat UI Press, Depok, h.58.


(39)

21

Pada masa rezim orde baru, isu HAM tidak pernah berkembang bahkan mengalami stagnasi. Bahkan sejumlah pelanggaran HAM hingga pelanggaran HAM berat juga terjadi di periode kepemimpinan ini.

Angin segar perubahan mulai terlihat pada masa transisi di bawah kepemimpinan BJ Habibie. Rencana pemajuan HAM yang disusun sudah masuk pada ranah status hukum HAM. Sehingga perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori HAM, tetapi sudah mengarah pada basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) atau dimasukkan dalam Undang-undang Dasar Nergara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Pada tanggal 5 Agustus 1998 terbitlah TAP MPR Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.4 Isi dari TAP MPR tersebut adalah menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh rakyat Indonesia, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai HAM.5 Salah satu bukti pemajuan HAM era kepemimpinan B.J. Habibie adalah diterbitkannya Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Amandemen ke II UUD 1945 dilakukan pada era pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid kemudian menjadi tonggak sejarah penting.

3

Rhona K.M. Smith, Op.cit, h. 242. 4

http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dokumen/tap-mpr-xvii-1998-hak-asasi-manusia_0.pdf

5

Lihat Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.


(40)

22

Penambahan bab X UUD 1945 tentang HAM menambah terjaminnya hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya untuk rakyat. Dengan dinyatakannya HAM dalam konstitusi menjadikan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

2.1.2. Ratifikasi Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional di Bidang Hak Sipil dan Politik di Indonesia

Sub bab 2.1.1 sebelumnya telah menguraikan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM telah tertuang di dalam konstitusi dan peratuan perundang-undangan nasional. Hal ini ternyata dianggap belum sepenuhnya memadai. Pemerintah Indonesia memandang bahwa pemajuan dan perlindungan HAM membutuhkan legitimasi dari sejumlah instrumen HAM internasional.

Pembahasan mengenai Hubungan Hukum Internasional (HI) dan Hukum Nasional (HN) mengetengahkan isu mengenai transformasi HI ke dalam HN. Salah satu cara yang sering dipraktikkan negara-negara adalah melalui ratifikasi sebagai suatu perbuatan negara yang dalam taraf internasional menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional yang sudah ditandatangani perutusannya.6 Adapun definisi hukum mengenai ratifikasi dapat dilihat dalam Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi

(ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan penyetujuan

(approval).

6

Sugeng Istianto, 2014, Hukum Internasional, cet. V, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h.94.


(41)

23

Itikad melakukan ratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional dapat dilihat di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KEPRES RANHAM I) pada tanggal 15 Agustus 1998. Dalam Pasal 2 ayat (2) KEPRES RANHAM I dinyatakan bahwa tugas panitia nasional hak asasi manusia di antaranya melakukan persiapan pengesahan (ratifikasi) perangkat internasional di bidang hak-hak asasi manusia dan melakukan pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang hak-hak asasi manusia yang telah disahkan (diratifikasi).

Dalam perkembangannya, Indonesia telah meratifikasi sejumlah kovenan internasional di bidang hak sipil dan politik. Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Ellimination of all Forms Against Women) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. Selanjutnya, Konvenan Internasional tentang Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Rasial (Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999. Terakhir, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights yang selanjutnya disebut UU Ratifikasi ICCPR) diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.


(42)

24

2.1.3. Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Oleh Indonesia

Sebagaimana telah disinggung dalam sub bab 2.1.2 sebelumnya, Indonesia telah meratifkasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights yang selanjutnya disingkat dengan ICCPR) melalui Undnag-Undang Nomor 12 tahun 2005. Kovenan ini biasanya disebut sebagai“International Bill of Human Rights” atau prasasti internasional tentang hak asasi manusia.

ICCPR secara prinsipil mengatur hak-hak sipil dan politik yang sangat mendasar, kebebasan yang sangat mendasar, tanggung jawab dan kewajiban negara pihak. Hak-hak tersebut dimuat dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, Pasal 6 memuat ketentuan hak untuk hidup. Adapun ketentuan yang memuat bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat dinyatakan dalam Pasal 7. Sedangkan, Pasal 8 memuat ketentuan melarang perbudakan, melarang perdagangan budak, dan melarang kerja paksa atau kerja wajib. Lebih lanjut, pengaturan bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang wenang dinyatakan dalam Pasal 10. Kemudian, dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktual nya.

Lebih lanjut Pasal 18 ICCPR menetapkan bahwa hak setiap orang atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan serta perlindungan atas hak tersebut. Isu kebebasan menyatakan pendapat dimuat dalam Pasal 19. Sedangkan,


(43)

25

ketentuan yang menyatakan bahwa pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan dinyatakan dalam Pasal 20. Pengakuan hak berkumpul yang damai terdapat dalam Pasal 21. Lebih lanjut, Pasal 22 mengatur tentang hak setiap orang untuk berserikat dan berkumpul. Pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melakukan pernikahan nya dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari pada pihak diatur dalam Pasal 23. Pasal 24 mengatur tentang hak atas kewarganegaraan. Konsep hak politik yakni setiap warga negara ikut serta dalam penyelenggaran urusan publik, memilih dan dipilih, serta mempunyai akses yang sama untuk mengisi jabatan publik dinyatakan dalam Pasal 25. Pasal 26 memuat ketentuan tentang persamaan kedudukan semua orang di mata hukum. Dalam Pasal 27 dinyatakan bahwa melindungi golongan minoritas yang mungkin ada di negara pihak.

Kebebasan mendasar yang diatur pada ICCPR antara lain bahwa setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu. Dalam Pasal 12 dinyatakan bahwa untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun secara sewenang-wenang dapat dirampas hak nya untuk memasuki wilayah sendiri. Selanjutnya Pasal 13 dinyatakan bahwa pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak kovenan hanya dapat melalui hukum dan kecuali ada alasan-alasan yang kuat


(44)

26

mengenai keamanan nasional. Konsep persamaan di depan hukum dan praduga tak bersalah dimuat Dalam Pasal 14. Lebih lanjut, Pasal 16 memuat ketentuan hak setiap orang untuk diakui di hadapan hukum dimanapun ia berada. Konsep hak atas privasi dimuat dalam Pasal 17 yang menyatakan tidak boleh dicampurinya secara sewenag-wenang atau secara tidak sah masalah-masalah privasi, keluarga, rumah, atau surat menyurat seseorang. Kewajiban negara untuk menghormati hak-hak yang ada dalam ICCPR diatur dalam Pasal 2.

Diratifikasinya ICCPR menjadi Undang-undang Nomor 12 tahun tahun 2005 tentunya memiliki makna yang mendalam dalam rangka pemajuan pnghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM khususnya di lingkup hak sipil dan politik. Diratifikasinya ICCPR tentu saja karena tidak melanggar pancasila sebagai Ideologi dan sumber utama dari seluruh hukum yang berlaku di Indonesia.7

Makna terpenting lainnya bagi Indonesia yang telah meratifikasi ICCPR adalah mewujudkan perintah Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang mengamatkan bahwa pemajuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Komitmen bangsa Indonesia sebagai masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM juga melatarbelakangi Indonesia meratifikasi ICCPR.

7

Lihat Konsideran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.


(45)

27

2.2. Penyebaran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia

2.2.1. Sejarah Awal Masuknya Jemaat Ahmadiyah di Indonesia

Nama Ahmadiyah bukanlah nama yang tidak memiliki makna. Nama Ahmadiyah berasal dari bahasa Arab yakni yang terpuji karena kejujuran dan keluhuran moral yang bersangkutan.8 Ahmadiyah adalah suatu sekte messiah

dalam Islam.9 Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan yang didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1989.10 Ahmadiyah tidaklah berbeda dengan organisasi gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang menggunakan kitab suci yang sama dengan agama Islam pada umumnya dan masih menggunakan Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah, Muhammadur-rasulullah" yang artinya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul allah.11 Secara umum dikenal bahwa Ahmadiyah terdiri dari dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Keberadaan Ahmadiyah sudah ada sebelum Negara Indonesia merdeka.12 Bahkan tidak sedikit kaum Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan.13

Sejumlah pengikut Jemaat Ahmadiyah juga turut membantu perjuangan untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Tercatat R. Muhyiddin merupakan pengikut Jemaah Ahmadiyah yang dibunuh oleh Belanda pada tahun 1946.14 Selain itu, dikenal pula Maulana Abdul Wahid dan Maulana Ahmad Nurudin

8

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 13. 9

M. A. Suryawan,2005, Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah, cet.I, Azzahra Publishing,Tangerang, h. 6.

10

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 12. 11

Ibid, h.12-13. 12

http://www.kompasiana.com/afriadiocu/jemaat-ahmadiyah-krucil-banjarnegara-jawa-tengah_54f929f5a333112b058b476e, diunduh tanggal 28 Agustus 2015. 13

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, 2011, Ahmadiyah Dan KeIndonesiaan Kita, Pustaka Masyarakat Setara, tanpa tempat terbit, h.12

14 Ibid.


(46)

28

sebagai penyiar radio yang menyampaikan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. 15

Masing-masing kelompok Ahmadiyah juga membentuk organisasi. Ahmadiyah Qadian dengan Jemaat ahmadiyah Indonesia (selanjutnya disingkat dengan JAI) yang mendapatkan badan hukum melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: JA 5/23/13 tgl. 13-3-1953. Ahmadiyah Lahore membentuk organisasi yang bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang mendapat badan hukum nomor IX tanggal 30 April 1930.16

Sejarah masuknya Ahmadiyah Qaidan ke Indonesia tidak lepas dari peran tiga pemuda yang berasal dari pulau sumatra yaitu Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan.17 Awalnya mereka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo sebagai pusat studi Islam, keinginan tersebut urung dilakukan karena guru mereka menyarankan agar pergi India dengan pertimbangan bahwa negara di Asia selatan tersebut mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam.18 hingga akhirnya pemuda itu pun tiba di kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam, atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore.19

Pada perkembangan selanjutnya, tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut jamiah Ahmadiyah.20 Merasa

15 Ibid. 16

https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah#Ahmadiyah_menurut_pengikutnya diakses

pada tanggal 13 Agustus 2015. 17

Ibid., h.16. 18

http://www.wikiwand.com/id/Ahmadiyyah diakses pada tanggal 29 Agustus 2015. 19

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 16. 20


(47)

29

puas dengan pengajaran di sana, ketiganya mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian.21

Atas permohonan mereka kepada Khalifatul Masih II, maka dikirimlah utusan pertama Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia pada tahun 1925 Yaitu Hz.Mlv.Rahmat Ali ra.22 Dari Aceh Maulana Rahmat Ali Haot menuju ke Jakarta untuk mengembangkan ajaran ahmadiyah. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat sehingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dan menjadikan R. Muhyiddin sebagai ketua pertamanya.23

Pada tanggal 13 Maret 1953 keberadaan Jemaat Ahmadiyah telah disahkan di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.A.5/23/13 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia nomor 26 tanggal 31 Maret 1953.24 Surat keputusan dari Menteri Kehakiman tersebut adalah bukti kuat bahwa Jemaat Ahmadiyah bukanlah Jemaat yang ilegal. Ahmadiyah di Indonesia juga bukan ajaran yang sesat karena Ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia berasaskan Pancasila sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Anggaran Dasar (selanjutnya disingkat dengan AD) Jemaat Ahmadiyah Indonesia.25 Bahkan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Jakarta Pusat Nomor 0628/Ket/1978 yang ditujukan kepada Noertolo, S.H yang menjabat sebagai

21 Ibid. 22

http://www.alislam.org/Indonesia/latar.html#Ahmadiyah diakses tanggal 29 agustus 2015

23

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h.17. 24

H. Munasir Sidik, 2008, Dasar-Dasar Hukum Dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah, cet. II, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jakarta, h.35.

25


(48)

30

Wakil Ketua Ahmadiyah Indonesia, menegaskan status Jemaat Ahmadiyah sebagai sebagai Badan Hukum berdasarkan Statsblaad 1870 No. 64.26

Pada tanggal 5 juni 2003 Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia telah mengakui keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan sifat kekhususan kesamaan agama Islam. Hal itu dapat dilihat pada Surat Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi dengan Nomor Inventarisasi: 75 / D.I / VI / 2003.27

Dari sifatnya, Jemaat ahmadiyah merupakan organisasi kerohanian dan bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik.28 Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 3 (2) AD Jemaat Ahmadiyah Indonesia bahwa tujuan Jemaat Ahmadiah Indonesia adalah mengembangkan ajaran agama Islam, ajaran Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasalam menurut Alquran, Sunnah dan Hadis, dan membina dan memelihara persatuan dan kesatuan Bangsa Serta meningkatkan kemampuan para anggotanya baik dalam bidang sosial, pendidikan, kebudayaan, akhlak, amal bakti maupun kerohanian.29

2.2.2 Munculnya Diskriminasi Terhadap Jemaat Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi sejak tahun 1980 melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat dengan MUI) yang ditandatangani Buya Hamka yang pada intinya menyatakan bahwa Ahmadiyah Qadian adalah aliran sesat. Menurut penjelasan fatwa tentang aliran Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI, Ahmadiyah

26

Ibid., h. 45. 27

Ibid., h. 49 28

Ibid., h.21. 29


(49)

31

dinyatakan sesat karena mengakui Hadrat Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul.30 Pada dekade1980-an pun tercatat munculnya penolakan yang diikuti dengan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.31

Fatwa haram bagi Jemaat Ahmadiyah kembali dikeluarkan pada tahun 2005 oleh Majelis Ulama Indonesia yang sekaligus menguatkan fatwa yang sebelumnya telah dikeluarkan pada tahun 1980. Fatwa yang baru ini juga menyatakan bahwa Ahmadiyah Lahore adalah ajaran sesat, sama seperti Ahmadiyah Qaidan.32 Kelompok-kelompok Islamis mengeluarkan fatwa ini untuk menyerang institusi-institusi Ahmadiyah di Jawa Barat, Lombok Timur, dan beberapa daerah lain di Indonesia yang berakibat puluhan mesjid Ahmadiyah ditutup dan rumah-rumah penganut Ahmadiyah dihancurkan.33

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Juni 2008 Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat (selanjutnya disingkat dengan SKB 3 Menteri). Surat tersebut diterbitkan atas dasar bahwa warga masyarakat wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat demi

30

http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/05/13b.-Penjelasan-Tentang-Fatwa-Aliran-Ahmadiyah.pdf diakses tanggal 28 maret 2016

31

http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/sejak-awal-ahmadiyah-sudah-ditolak.html, diakses tanggal 31 Agustus 2015.

32

http://www.nahimunkar.com/salinan-fatwa-mui-ttg-kesesatan-ahmadiyah/, diakses tanggal 2 September 2015

33

Robert W. Henfer dan Ihsan Ali-Fauzi, 2014, Mengelola Keberagaman Dan Kebebasan Beragama di Indonesia: Sejarah, Teori, dan Advokasi, CRCS UGM, Yogyakarta, h. 35-36.


(50)

32

terwujudnya persatuan nasional untuk maksud menjaga dan memupuk ketentraman dan ketertiban kehidupan dalam bermasyarakat. Pada intinya SKB tersebut memberi peringatan dan memerintahkan kepada JAI untuk tidak melakukan kegiatan keagamaan dan menghentikan menyebarkan faham Ahmadiyah.

Pasca munculnya SKB 3 Menteri, terjadi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah salah satu yang menjadi sorotan di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Provinsi Banten. Tragedi Cikeusik tersebut mengakibatkan 3 (tiga) korban tewas dan 5 (lima) korban luka-luka, 1 (satu) rumah milik Jemaat Ahmadiyah rusak, 2 (dua) kendaraan roda dua rusak serta 1 (satu) sepeda motor rusak.

Dalam peristiwa tersebut, 12 (dua belas) tersangka penyerangan ditetapkan, yaitu:34

1. Kyai Endang bin Sidik; 2. Muhammad bin Syarif;

3. K.H Muhammad Munir bin Basri; 4. Ujang bin sehari cs;

5. Kh. Ujang Muhammad Arif bin Abuya; 6. Saad Baharudin bin Sapri;

7. Adam Damini bin Ahmad;

8. Yusuf Abidin alias Asmat bin Kasma; 9. Idris alias Adris bin madhani;

34

Laporan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Negara tak kunjung terusik h. 10-11.


(51)

33

10.Yusri bin Bisri;

11.Muhhamad Rodin bin Eman; dan 12.Dari bin Mesra.

Penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah merupakan kejahatan yang serius. Akan tetapi, sejumlah 12 (dua belas) terdakwa hanya dijatuhi 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan penjara.35 Pasca tragedi Cikeusik, Menteri Agama Surya Dharma Ali memberikan solusi bahwa Ahmadiyah harus diberangus atau dengan deklarasi bahwa Ahmadiyah adalah agama baru. Tanpa membawa simbol dan prinsip Islam.36 Selain itu, pernyataan diskriminatif juga muncul dari seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Partai Golkar HM Busyro, yang mengatakan perlu dipertimbangkan opsi untuk menempatkan Ahmadiyah dalam suatu pulau terpencil, agar tidak menimbulkan keributan.37

Keluarnya SKB 3 Menteri membuat Organisasi masyarakat (Ormas) intoleran yang berada di daerah semakin massif melakukan tekanan-tekanan untuk melarang Ahmadiyah di Indonesia. Pada tanggal 13 Februari 2011 Ormas Islam melakukan demonstrasi untuk menuntut Gubernur Jawa Timur ( Jatim) Soekarwo untuk menerbitkan Peraturan Gubernur pembubaran Ahmadiyah.38 Puncaknya pada tanggal 22 Februari 2011 Gerakan Umat Islam bersatu Jawa Timur (GUIB

35

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 147. 36

KontraS, 2014, Pelanggaran HAM & Pelanggaran HAM Berat, cet.I, Solidaritas perempuan, Jakarta, h.13.

37

Chandra Dinata Irawan Wilwatika, 2011, “Gus Dur Dan Pembelaan Terhadap Ahmadiyah”, Jurnal Indoprogress, September 2011, h.77.

38

http://www.i-berita.com/hot/fpi-desak-bubarkan-ahmadiyah.html diakses tanggal 22 agustus 2011


(52)

34

Jatim)39 melakukan pertemuan di rumah dinas Gubernur Jatim dalam rangka mendesak gubernur untuk segera melarang Ahmadiyah di provinsi tersebut.40

Pasca pertemuan dengan GUIB, Gubernur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo menerbitkan Surat Keputusan (SK) NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur yang diterbitkan pada tanggal 28 Februari 2011. SK tersebut terbit 6 hari setelah pertemuan Gubernur Jatim dengan GUIB dan isi dari SK tersebut pada intinya melarang Jemaat Ahhmadiyah Indonesia untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik, memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum, memasang papan nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lain-lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya. Gubernur Jatim Soekarwo berdalih bahwa penerbitan SK tesebut adalah bukan untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah melainkan untuk meredam keresahan warga.41

Massifnya tekanan-tekanan melalui aksi massa yang dilakukan oleh kelompok intoleran di daereah untuk membubarkan Ahmdaiyah, membuat pemerintah daerah menerbitan kebijakan yang mengakomodir keinginan kelompok intoleran. Hal tersebut sesungguhnya membuktikan bahwa diskriminasi

39

GUIB Jatim adalah aliansi ormas-ormas islam yang mengklaim diri beranggotakan 32 ormas. Antara lain Center For Indonesia Community Studies (CICS), GNPI (Gerakan Nasional Partai Islam), MUI Jatim, FPI, FUI (Forum umat Islam), FPIS (Forum Pemuda Islam Surabaya), Al-Irsyad, NU, Muhhamadiyah, FPI, Persis, Hidayatullah, DDII, Laskar Arief Rahman Hakiem, dan PPI (Pelajar Islam Indonesia). Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h.37.

40

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, loc.cit. 41

http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2011/02/28/181704/1581534/466/sk-gubernur-jatim-larang-ahmadiyah-untuk-redam-keresahan-warga diakses tanggal 27 Maret 2016


(53)

35

terhadap Jemaat Ahmadiyah terjadi di setiap sendi-sendi pemerintahan di Indonesia. Tindakan pemerintah pusat pun diikuti oleh pemerintah daerah yang turut serta menerbitkan kebijakan yang mendiskriminasikan Jemaat Ahmadiyah

Selain tragedi Cikeusik dan penerbitan SK diskriminatif oleh Gubernur Jatim Soekarwo, sejumlah peraturan diskriminatif juga dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk melarang aktivitas Jemaah ahmadiyah. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut42

Tabel 1: Peraturan-Peraturan Daerah yang Diskriminatif terhadap Jemaah Ahmadiyah No Pejabat Yang

Membuat Peraturan

Bentuk Peraturan Waktu/Tanggal

1 Gubernur Jawa Barat

Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

4 Maret 2011

2 Bupati Lebak Peraturan Bupati Lebak No 11 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

8 Maret 2011

3 Walikota Depok Peraturan Walikota Depok No 9 Tsahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

9 Maret 2011

4 Bupati Serang Peraturan Bupati Serang No 8 Tahun 2011tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

10 Maret 2011

5 Walikota Pontianak

Peraturan Walikota Pontianak No 17 Tahun 2011 tentang Pelarangan Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

11 Maret 2011

6 Bupati Konawe Selatan

Peraturan Bupati Konawe Selatan No 1 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

17 Maret 2011

42


(54)

36

7 Gubernur Jawa Barat

Peraturan Gubernur No 17 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

25 Maret 2011

8 Walikota Bekasi Peraturan Walikota Bekasi No 40 Tahun 2011 tentang Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

13 Oktober 2011

9 Gubernur Sulawesi Selatan

Peraturan Gubernur Banten No 5 tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

4 Maret 2011

10 Gubernur Banten Peraturan Gubernur Banten No 5 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

3 Maret 2011

11 Gubernur Jawa Timur

Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

28 Februari 2011

12 Walikota Samarinda

Peraturan Walikota Samarinda No 200/160/BKPPM.1.11.2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

25 Februari 2011

13 Bupati Padegelang

Peraturan Bupati Padegelang No 5 tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

21 Februari 2011

14 Gubernur Sumatera Selatan

Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No 583/KPTS/BAN tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

1 September 2008

15 Kabupaten Kuningan

Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

Dikeluarkan pada tahun 2005

16 Kabupaten Sintang

Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

18 Februari 2005

17 Kabupaten Garut Peraturan Bersama No 450/Kep.255-PEM/2005 tentang Surat Keputusan Bersama (SKB)


(55)

37

tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

18 Walikota Cianjur Surat Keputusan Bersama No 21 tahun 2005 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

17 Oktober 2005

19 Walikota Cimahi Perintah Walikota Cimahi, Itoc Tochija tentang Pelarangan Ahmadiyah

6 Mei 2008

20 Provinsi Nusa Tenggara Barat

Surat Keputusan Menteri Agama tentang 13 aliran agama termasuk Ahmadiyah

Dikeluarkan pada oktober 2005 21 Kabupaten

Sukabumi

Peraturan Bersama No 143/2006 tentang penutupan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah


(1)

terwujudnya persatuan nasional untuk maksud menjaga dan memupuk ketentraman dan ketertiban kehidupan dalam bermasyarakat. Pada intinya SKB tersebut memberi peringatan dan memerintahkan kepada JAI untuk tidak melakukan kegiatan keagamaan dan menghentikan menyebarkan faham Ahmadiyah.

Pasca munculnya SKB 3 Menteri, terjadi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah salah satu yang menjadi sorotan di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Padegelang, Provinsi Banten. Tragedi Cikeusik tersebut mengakibatkan 3 (tiga) korban tewas dan 5 (lima) korban luka-luka, 1 (satu) rumah milik Jemaat Ahmadiyah rusak, 2 (dua) kendaraan roda dua rusak serta 1 (satu) sepeda motor rusak.

Dalam peristiwa tersebut, 12 (dua belas) tersangka penyerangan ditetapkan, yaitu:34

1. Kyai Endang bin Sidik; 2. Muhammad bin Syarif;

3. K.H Muhammad Munir bin Basri; 4. Ujang bin sehari cs;

5. Kh. Ujang Muhammad Arif bin Abuya; 6. Saad Baharudin bin Sapri;

7. Adam Damini bin Ahmad;

8. Yusuf Abidin alias Asmat bin Kasma; 9. Idris alias Adris bin madhani;

34

Laporan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Negara tak kunjung terusik h. 10-11.


(2)

10.Yusri bin Bisri;

11.Muhhamad Rodin bin Eman; dan 12.Dari bin Mesra.

Penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah merupakan kejahatan yang serius. Akan tetapi, sejumlah 12 (dua belas) terdakwa hanya dijatuhi 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan penjara.35 Pasca tragedi Cikeusik, Menteri Agama Surya Dharma Ali memberikan solusi bahwa Ahmadiyah harus diberangus atau dengan deklarasi bahwa Ahmadiyah adalah agama baru. Tanpa membawa simbol dan prinsip Islam.36 Selain itu, pernyataan diskriminatif juga muncul dari seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Partai Golkar HM Busyro, yang mengatakan perlu dipertimbangkan opsi untuk menempatkan Ahmadiyah dalam suatu pulau terpencil, agar tidak menimbulkan keributan.37

Keluarnya SKB 3 Menteri membuat Organisasi masyarakat (Ormas) intoleran yang berada di daerah semakin massif melakukan tekanan-tekanan untuk melarang Ahmadiyah di Indonesia. Pada tanggal 13 Februari 2011 Ormas Islam melakukan demonstrasi untuk menuntut Gubernur Jawa Timur ( Jatim) Soekarwo untuk menerbitkan Peraturan Gubernur pembubaran Ahmadiyah.38 Puncaknya pada tanggal 22 Februari 2011 Gerakan Umat Islam bersatu Jawa Timur (GUIB

35

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h. 147.

36

KontraS, 2014, Pelanggaran HAM & Pelanggaran HAM Berat, cet.I, Solidaritas perempuan, Jakarta, h.13.

37

Chandra Dinata Irawan Wilwatika, 2011, “Gus Dur Dan Pembelaan Terhadap Ahmadiyah”, Jurnal Indoprogress, September 2011, h.77.

38

http://www.i-berita.com/hot/fpi-desak-bubarkan-ahmadiyah.html diakses tanggal 22 agustus 2011


(3)

Jatim)39 melakukan pertemuan di rumah dinas Gubernur Jatim dalam rangka mendesak gubernur untuk segera melarang Ahmadiyah di provinsi tersebut.40

Pasca pertemuan dengan GUIB, Gubernur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo menerbitkan Surat Keputusan (SK) NOMOR 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Timur yang diterbitkan pada tanggal 28 Februari 2011. SK tersebut terbit 6 hari setelah pertemuan Gubernur Jatim dengan GUIB dan isi dari SK tersebut pada intinya melarang Jemaat Ahhmadiyah Indonesia untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik, memasang papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di tempat umum, memasang papan nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan lain-lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala bentuknya. Gubernur Jatim Soekarwo berdalih bahwa penerbitan SK tesebut adalah bukan untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah melainkan untuk meredam keresahan warga.41

Massifnya tekanan-tekanan melalui aksi massa yang dilakukan oleh kelompok intoleran di daereah untuk membubarkan Ahmdaiyah, membuat pemerintah daerah menerbitan kebijakan yang mengakomodir keinginan kelompok intoleran. Hal tersebut sesungguhnya membuktikan bahwa diskriminasi

39

GUIB Jatim adalah aliansi ormas-ormas islam yang mengklaim diri beranggotakan 32 ormas. Antara lain Center For Indonesia Community Studies (CICS), GNPI (Gerakan Nasional Partai Islam), MUI Jatim, FPI, FUI (Forum umat Islam), FPIS (Forum Pemuda Islam Surabaya), Al-Irsyad, NU, Muhhamadiyah, FPI, Persis, Hidayatullah, DDII, Laskar Arief Rahman Hakiem, dan PPI (Pelajar Islam Indonesia). Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, op.cit, h.37.

40

Tim SETARA Institute dan Hasibullah Sastrawi, loc.cit.

41

http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2011/02/28/181704/1581534/466/sk-gubernur-jatim-larang-ahmadiyah-untuk-redam-keresahan-warga diakses tanggal 27 Maret 2016


(4)

terhadap Jemaat Ahmadiyah terjadi di setiap sendi-sendi pemerintahan di Indonesia. Tindakan pemerintah pusat pun diikuti oleh pemerintah daerah yang turut serta menerbitkan kebijakan yang mendiskriminasikan Jemaat Ahmadiyah

Selain tragedi Cikeusik dan penerbitan SK diskriminatif oleh Gubernur Jatim Soekarwo, sejumlah peraturan diskriminatif juga dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk melarang aktivitas Jemaah ahmadiyah. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut42

Tabel 1: Peraturan-Peraturan Daerah yang Diskriminatif terhadap Jemaah Ahmadiyah No Pejabat Yang

Membuat Peraturan

Bentuk Peraturan Waktu/Tanggal

1 Gubernur Jawa Barat

Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

4 Maret 2011

2 Bupati Lebak Peraturan Bupati Lebak No 11 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

8 Maret 2011

3 Walikota Depok Peraturan Walikota Depok No 9 Tsahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

9 Maret 2011

4 Bupati Serang Peraturan Bupati Serang No 8 Tahun 2011tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

10 Maret 2011

5 Walikota Pontianak

Peraturan Walikota Pontianak No 17 Tahun 2011 tentang Pelarangan Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

11 Maret 2011

6 Bupati Konawe Selatan

Peraturan Bupati Konawe Selatan No 1 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

17 Maret 2011

42


(5)

7 Gubernur Jawa Barat

Peraturan Gubernur No 17 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

25 Maret 2011

8 Walikota Bekasi Peraturan Walikota Bekasi No 40 Tahun 2011 tentang Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

13 Oktober 2011

9 Gubernur Sulawesi Selatan

Peraturan Gubernur Banten No 5 tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

4 Maret 2011

10 Gubernur Banten Peraturan Gubernur Banten No 5 Tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

3 Maret 2011

11 Gubernur Jawa Timur

Peraturan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPTS/013/2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

28 Februari 2011

12 Walikota Samarinda

Peraturan Walikota Samarinda No 200/160/BKPPM.1.11.2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

25 Februari 2011

13 Bupati Padegelang

Peraturan Bupati Padegelang No 5 tahun 2011 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

21 Februari 2011

14 Gubernur Sumatera Selatan

Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No 583/KPTS/BAN tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

1 September 2008

15 Kabupaten Kuningan

Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

Dikeluarkan pada tahun 2005

16 Kabupaten Sintang

Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

18 Februari 2005

17 Kabupaten Garut Peraturan Bersama No 450/Kep.255-PEM/2005 tentang Surat Keputusan Bersama (SKB)


(6)

tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

18 Walikota Cianjur Surat Keputusan Bersama No 21 tahun 2005 tentang Pelarangan Segala Bentuk Aktivitas Jemaah Ahmadiyah

17 Oktober 2005

19 Walikota Cimahi Perintah Walikota Cimahi, Itoc Tochija tentang Pelarangan Ahmadiyah

6 Mei 2008

20 Provinsi Nusa Tenggara Barat

Surat Keputusan Menteri Agama tentang 13 aliran agama termasuk Ahmadiyah

Dikeluarkan pada oktober 2005 21 Kabupaten

Sukabumi

Peraturan Bersama No 143/2006 tentang penutupan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah