Konstruksi Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Pemberitaan Dalam Frame Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV)

(1)

KONSTRUKSI PEMBERITAAN KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH PADA TAYANGAN PROVOCATIVE PROACTIVE (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Pemberitaan Dalam Frame

Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

DiajukanOleh :

Kris Ahasyweros L 060904034

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

NAMA : KRIS AHASYWEROS L

NIM : 060904034

DEPARTEMEN : ILMU KOMUNIKASI

JUDUL : KONSTRUKSI PEMBERITAAN KEKERASAN

TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH PADA TAYANGAN PROVOCATIVE PROACTIVE

(Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Pemberitaan Dalam Frame Kekerasan Terhadap Jemaat Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV)

Medan, 06 Juli 2011

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D Dra. Fatma Wardi Lubis, MA

NIP. NIP. 196208281987012001

Dekan,

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 1968052519992031002


(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Konstruksi Berita Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Berita Dalam Frame Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tayangan Provocative Proactive memaknai, memahami dan membingkai berita kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah dan melihat posisi tayangan Provocative Proactive dalam mengkonstruksi berita, yang dalam hal ini kasusnya terkait dengan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah.

Subjek penelitian ini hanya mengambil subjek penelitian yang relevan dengan penelitian, yaitu Provocative Proactive episode Kekerasan Dalam Republik Tercinta I (KDRT I) yang tayang pada tanggal 10 Februari 2011 dan episode Kekerasan Dalam Republik Tercinta II (KDRT II) yang tayang pada tanggal 17 Februari 2011. Pemberitaan tersebut dianalisis menggunakan metode analisis framing Robert Entman.Dalam pengamatan Entman, framing berada dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek tertentu. Entman kemudian mengonsepsikan dua dimensi besar tersebut ke dalam sebuah perangkat framing, yaitu: Definisi masalah (DefiningProblems), Memperkirakan sumber masalah (Diagnose Causes), Membuat keputusan moral (Make Moral Judgement/Evaluation), Menekankan penyelesaian (TreatmentRecommendation),

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa Provocative Proactive memaknai, memahami dan membingkai kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai masalah hukum yang terkait dengan isu agama dan sebuah pengalihan isu.Di sini juga dapat dilihat posisi Provocative Proactive mengkritisi kinerja Pemerintah khususnya Kepolisian Republik Indonesia dalam mengatasi masalah Ahmadiyah.


(4)

KATA PENGANTAR

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi merekayang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8 : 28)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat kasih karunia-Nya yang senantiasa memberikan kesehatan dan semangat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kepada kedua orang tua penulis, Drs. Ramli Lubis dan Mince Tampubolon yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak ku Kristyanti Lubis, adik ku Kris Fiska Julita Lubis dan my lovely Erawati Tampubolon yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

Skripsi ini berjudul Konstruksi Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah pada Tayangan Provocative Proactive, dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan dan perolehan gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, departemen Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, nasehat serta dukungan dari berbagai pihak.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(5)

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA, dan Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Ketua dan sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D, selaku dosen pembimbing penulis, yang sangat banyak membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mulai dari meluangkan waktu, memberikan sarandan kritik berharga dan berkenan berdiskusi dengan penulis

4. Bapak Drs. Humaizi, MA. selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama menjalani masa studi sebaga mahasiswa FISIP USU. 5. Seluruh Staf Dosen dan Adiministrasi Departemen Ilmu Komunikasi

FISIP USU, yang telah memberikan pendidikan pelajaran, bimbingan serta bantuan lainnya pada penulis dari semester awal hingga menamatkan perkuliahan.

6. Erawati Tampubolon, yang telah memberikan waktu,perhatian, pikiran serta dukungan yang sebesar-besarnya kepada penulis sampai skripsi ini dapat selesai.

7. Teman-teman penulis di “LANTAI 3 PHOTOGRAPHY” Edward Sibuea, Pangeran Hutapea, Ikram Angkat, dan Johannes Ginting.

8. Teman-teman penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , terkhusus kepada Ryan Juskal, Bayu Juliandra, Ade Ardianta, Pradani Savitri, Yahdi Gufron, dan seluruh keluarga besar New Magacine (adik-adik Komunikasi 2010).


(6)

9. Teman-teman penulis stambuk 2006 yang telah lebih dahulu lulus Andi Simatupang, Nelvita, Erinstella, Mey, Imaniuri, Efron, dan seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan.

10.Teman-teman penulis di Guru Sekolah Minggu dan Naposobulung HKBP Tanjung Sari.

11.Keluarga Besar Yayasan Pekabaran Injil “EE” Base Clinic Medan. 12.Keluarga besar “SendalJepit”

13.Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan.

Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terdapat kekurangan Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya bagi penulis. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pihak yang membacanya.

Medan, Juli 2011 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Abstraksi

Kata Pengantar ………...i

Daftar Isi ………..…….v

Daftar Tabel ……….vii

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah ………1

I.2. Perumusan Masalah .………..6

I.3. Pembatasan Masalah ………..……….7

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1. Tujuan Penelitian ……….………...7

I.4.2. Manfaat Penelitian ………...7

I.5. Kerangka Teori I.5.1. Komunikasi ………...8

I.5.2. Komunikasi Massa ………...9

I.5.3. Paradigma Konstruktivisme ………...10

I.5.4. Analisis Framing ..…………...………...11

I.6. Kerangka Konsep ………..………....12

I.7. Operasional Konsep……….………...13

I.8. Metodologi Penelitian ..……….………...15

I.9. Defenisi Operasional ………..………...19

I.10. Hipotesis ………...23

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Komunikasi ……….……….19

II.1.1. Proses Komunikasi ………...21

II.1.2. Ruang Lingkup Komunikasi ………...22

II.1.3. Tujuan Komunikasi ………...24

II.1.4. Fungsi Komunikasi ……….25

II.2. Komunikasi Massa ………...25

II.2.1. Ciri-ciri Komunikasi Massa ………....26

II.2.2. Fungsi Komunikasi Massa ………..28

II.3. Teori Dramatisme………,………....29

II.4. Paradigma Konstruktivisme.………....34

II.5. Analisis Framing ..………....41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Deskripsi Objek Penelitian...………….………...46

III.1.1. Sejarah dan Profil Singkat Metro TV………...46

III.1.2. Visi dan Misi Metro TV………...47

III.1.3. Profil Singkat Tayangan Provocative Proactive………..48

III.2. Subjek Penelitian .……….………...50


(8)

III.4. Teknik Analisis Data………51 BAB IV PEMBAHASAN

IV.1. Frame Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah………53 IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Frame Pemberitaan Pada Tayangan Provocative Proactive Episode Kekerasan Dalam Republik Tercinta I (KDRT I)…………..54 IV.2.2. Frame Pemberitaan Pada Tayangan Provocative Proactive

Episode Kekerasan Dalam Republik Tercinta II (KDRT II)…………61 BAB V PENUTUP

V.1. Kesimpulan ……….………...98 V.2. Saran ………..……….99 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 1 : Skrip Tayangan Provocative Proactive Episode Kekerasan di Republik Tercinta I

Tabel 2 :Skrip Tayangan Provocative Proactive Episode Kekerasan di Republik Tercinta II

Tabel 3 : Frame Isi Pemberitaan Gambar 1 : Tabel Pengalihan Isu Gambar 2 : Dramatisasi Film 300


(10)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Konstruksi Berita Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah (Studi Analisis Framing Tentang Konstruksi Berita Dalam Frame Pemberitaan Kekerasan Terhadap Jemaah Ahmadiyah Pada Tayangan Provocative Proactive di Metro TV). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tayangan Provocative Proactive memaknai, memahami dan membingkai berita kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah dan melihat posisi tayangan Provocative Proactive dalam mengkonstruksi berita, yang dalam hal ini kasusnya terkait dengan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah.

Subjek penelitian ini hanya mengambil subjek penelitian yang relevan dengan penelitian, yaitu Provocative Proactive episode Kekerasan Dalam Republik Tercinta I (KDRT I) yang tayang pada tanggal 10 Februari 2011 dan episode Kekerasan Dalam Republik Tercinta II (KDRT II) yang tayang pada tanggal 17 Februari 2011. Pemberitaan tersebut dianalisis menggunakan metode analisis framing Robert Entman.Dalam pengamatan Entman, framing berada dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek tertentu. Entman kemudian mengonsepsikan dua dimensi besar tersebut ke dalam sebuah perangkat framing, yaitu: Definisi masalah (DefiningProblems), Memperkirakan sumber masalah (Diagnose Causes), Membuat keputusan moral (Make Moral Judgement/Evaluation), Menekankan penyelesaian (TreatmentRecommendation),

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa Provocative Proactive memaknai, memahami dan membingkai kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai masalah hukum yang terkait dengan isu agama dan sebuah pengalihan isu.Di sini juga dapat dilihat posisi Provocative Proactive mengkritisi kinerja Pemerintah khususnya Kepolisian Republik Indonesia dalam mengatasi masalah Ahmadiyah.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Fenomena keberagamaan di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik dan unik.Dengan keberagaman suku dan budaya para pahlawan Indonesia telah mempersatukan Indonesia di bawah Bendera Merah Putih.Di negeri ini juga hidup dan berkembang berbagai agama.Salah satunya adalah agama Islam yang berkembang merata di seantero nusantara sebagai anutan mayoritas rakyat Indonesia.Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang memiliki arti berbeda-beda tapi tetap satu jua, Indonesia berdiri sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 65 tahun dan sebentar lagi akan menuju 66 tahun. Sebenarnya ini suatu kebanggaan bagi kita rakyat Indonesia yang selama ini bisa bersatu walaupun dengan keberagaman yang seperti ini.Tapi sekarang tampaknya kebhinekaan kita sudah mulai pudar dengan banyaknya terjadi kasus kekerasan yang disebabkan keragaman tersebut.

Keberagaman yang seharusnya dulu kita banggakan sekarang malah menjadi faktor pemecah persatuan Negara Republik Indonesia.Dan kasus ini sudah banyak terjadi di Indonesia, apalagi kasus kekerasan yang deisebabkan perbedaan agama.Keberagaman itu menjadi hal yang sangat sensitif bagi rakyat Indonesia.Dan sekarang yang baru-baru ini terjadi adalah kasus kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah.

Muculnya aliran-aliran yang mengakui atau membawa nama agama islam, sudah lama merebak dikalangan masyarakat. Dan aliran-aliran itu sangat


(12)

meresahkan masyarakat.seperti yang lagi hangat diperbincangkan saat ini yaitu, aliran ahmadiyah yang membawa nama agama islam. Tetapi aliran ini sudah melenceng dari ajaran islam, aliran ini tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir tetapi memunculkan nama Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi terakhir. Dengan begitu banyak pihak yang menginginkan Ahmadiyah segera dibubarkan. Dan untuk mengatasi ini pemerintah mengeluarkan SKB 3 Menteri, yang yang isinya termasuk melarang jemaah ahamadiyah Indonesia agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Selain itu dalam SKB 3 Menteri ini juga melarang semua warga negara melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut jemaat ahmadiyah. Tetapi sepertinya hal ini masih belum membuat puas berbagai ormas agama.Dan pada tanggal 6 Februari 2011 terjadi kerusuhan di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang.Dimana pada kerusuhan ini warga menyerbu rumah milik jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.

Menurut saksi salah seorang warga Cikeusik, aktivitas jamaah Ahmadiyah di kampung itu sudah berlangsung sekitar 3 bulan terakhir.Jumlah pengikutnya semakin hari semakin bertambah, terakhir jumlah pengikut Ahmadiyah ditaksir mencapai 60-an orang.Para jamaah Ahmadiyah tersebut sering terlihat berkumpul di kediaman Suparman, sebagai pimpinan untuk wilayah Cikeusik.Sementara itu, tokoh masyarakat Cikeusik, mengatakan keberadaan Suparman dan pengikutnya sudah sangat meresahkan warga.Bahkan beberapa kali tokoh masyarakat, ulama, dan jajaran pengurus MUI setempat telah memperingatkan Suparman.Namun setiap kesepakatan selalu dilanggar dan diingkari. Dan hal inilah yang menjadi


(13)

pemicu kemarahan warga, sehingga pada Minggu pagi sekitar seribuan warga dari berbagai daerah, di antaranya berasal dari Kecamatan Cibaliung, Cikeusik, Kabupaten Pandeglang dan Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak,

mendatangi rumah Parman.

Saat massa tiba, puluhan Jamaah Ahmadiyah yang berada di rumah Parman sudan siap dan mereka membawa berbagai jenis senjata tajam, seperti samurai, parang, dan tombak. Dan akhirnya pecahlah kerusuhan berdarah ini yang mengakibatkan sekitar 3 orang tewas dan 5 luka-luka. Dan kasus ini sampai sekarang masih dalam tahap proses penyelidikan. Peristiwa kekerasan yang terjadi pada jemaah Ahmadiyah ini mendapat perhatian dari berbagai media massa, terutama media televisi. Dan Metro TV sebagai stasiun TV swasta yang memfokuskan pada berita perkembangan politik dan ekonomi juga memberitakan peristiwa ini.Hampir seluruh tayangan yang mereka sajikan, merupakan koreksi terhadap lembaga pemerintahan.MetroTV lebih mengutamakan tayangan yang mendidik dibandingkan hiburan. Walaupun mereka tidak melupakan fungsi media massa dalam member hiburan. Karena itu Metro TV menggabungkan fungsi edukasi, politik dan hiburan dalam satu tayangan talk show, salah satu contohnya adalah Tayangan Provocative Proactive.Dan peristiwa kekerasan yang terjadi pada jemaah Ahmadiyah diangkat menjadi topik atau tema dalam tayangan ini.

Tayangan Provocative Proactive semula terkesan seperti acara televisipada umumnya, namun konsep yang dibuat oleh MetroTV membuat tayangan ini berbeda dan jauh lebih menarik. Dalam tayangan ini akan membahas berita dan kabar terpanas dalam 1 minggu dalam gaya yang agak berbeda.Tayangan ini sebenarnya mempunyai visi dan misi kepada penontonnya adalah “Yang Tidak


(14)

Tahu Menjadi Tahu, Yang Tidak Peduli Menjadi Peduli”. Tayangan Provocative Proactive dibawakan oleh 5 orang host yang memerankan perannya masing-masing. Host utama adalah Pandji Pragiwaksono yang memerankan seorang pegawai kantoran, kedua Ronal Suradpradja yang memerankan sebagai rakyat jelata, ketiga Raditya Dika yang memerankan seorang mahasiswa kristis, keempat J-Flow yang memerankan seorang pengusaha muda sukses dan terakhir Andhari yang memerankan penjaga warung kopi.

Ada konsep yang berbeda dari tayangan ini dimana ada 2 pembagian segmen dalam tayangan ini.Dimana segmen pertama adalah segmen berita, Pandji sebagai host utama membacakan berita yang sedang panas di dalam satu minggu.Dan pada segmen kedua sebuah talk show yang dinamakan “Warung Kopi”. Warung kopi termasuk dalam salah satu budaya Indonesia dimana kita bisa bersosialisasi dengan orang lain dan mengobrol bebas. Dan satu hal filosofi yang menarik dari warung kopi adalah semua orang sama dan semua orang bisa membahas apa saja. Dan seperti itu lah yang diangkat dalam tayangan Provoctive Proactive dalam segmen Warung Kopi.Dimana para perangkat acara bebas membahas dan mengkritisi berita atau peristiwa yang sedang panas dalam satu minggu.Tayanganini tidak memberi kesimpulan dan solusi. Tetapi semua hal itu, dikembalikan kepada penonton. Fungsi kami adalah memberi fakta dan sudut pandang (Pandji Pragiwaksono).Satu kelebihan yang dimiliki acara ini adalah keberanian para host mengkritisi dengan sangat tajam dan dibalut dengan komedi-komedi segar. Dan hal itu dibuktikan dengan prestasi yang ditoreh mereka ketika tayangan perdana sudah bisa menjadi trending topics di Twitter. Tayangan Provoctive Proactive telah tayang sejak Agustus 2010.Tayangan Provoctive


(15)

Proactive ditayangkanan secara langsung setiap hari Kamis pukul 22.05 WIB, dan siaran ulang setiap hari Sabtu pukul 16.00 WIB.Dalam setiap tayangannya, tema yang diangkat selalu berbeda sesuai dengan berita yang sedang panas pada satu minggu.

Program tersebut tidak hanya menghibur para penontonnya dengan guyonan dan lelucon yang disampaikan para pelaku dalam tayangan tersebut.Lelucon tersebut biasanya berbentuk kritikan yang disampaikan kepada pemerintah dan pihak terkait, namun dibungkus dalam konsep cerita yang menghibur.Tayangan ini juga tidak semata-mata hanya menampilkan lelucon dari para pemain yang terlibat, tetapi banyak pesan pendidikan terutama bidang politik yang disampaikan.Dalam tayangan tersebut juga hadir narasumber dari kalangan politisi atau bidang tertentu yang turut memberikan pendapat membahas permasalahan yang diangkat dalam cerita.

Dan ketika berita kekerasan terhadap jemaah ahmadiyah ini sedang panas-panasnya dibahas oleh media massa, tayangan ini pun seakan tidak mau ketinggalan mengangkat berita ini menjadi tema dalam tayangan mereka. Dengan memberi judul ”KDRT (Kekerasan Dalam Republik Tercinta) tayangan ini langsung mendapat sorotan dari khalayak. Bahkan Provocative Proactive kembali mengangkat tema yang sama pada episode mereka selanjutnya. Mereka memberi judul ”KDRT Jilid II”. Dengan kritikan-kritikan tajam dan pedasnya mereka kembali memberitakan kasus kekerasan yang terjadi pada jemaah ahmadiyah di Cikeusik. Dan tidak hanya menyoroti peristiwa di cikeusik, mereka juga memberitakan kasus yang terjadi temanggung dan di daerah lain yang terjadi karena keberagaman Indonesia. Karena kritikan dan penyampaian yang tajam,


(16)

pedas dan berani di dalam tayangan ini maka penulis memilih tayangan ini sebagai subjek penelitian.

Perangkat analisis yang digunakan peneliti adalah analisis framing.Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2004: 162). Dan analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis framing Robert Entman. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu (Eriyanto. 2002: 187).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti konstruksi pemberitaan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah pada tayangan Provocative Proactive di Metro TV.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana tayangan Provocative Proactive mengkonstruksi berita kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah?

I.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas dan memfokuskan arah penelitian yang akan dilakukan, maka peneliti menetapkan pembatasan masalah sebagai berikut:


(17)

2. Media yang diteliti adalah berbentuk siaran televisi. Dalam hal ini adalah tayangan talk show Provocative Proactive, karena dianggap tayangan ini termasuk tayangan yang sangat kritis dalam mengkritisi suatu berita 3. Jenis berita yang diteliti adalah berita seputar kekerasan terhadap jemaah

Ahmadiyah

4. Berita yang diteliti adalah yang tayang pada tanggal 10 Februari 2011 dan 17 Februari 2011

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui cara tayangan Provocative Proactive memaknai, memahami dan membingkai berita kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah

2. Untuk mengetahui posisi tayangan Provocative Proactive dalam mengkonstruksi berita yang dalam hal ini kasusnya terkait dengan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah

I.4.2. Manfaat Penelitian

1. Menguji pengalaman teoritis penulis selama mengikuti studi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU terutama dalam bidang Jurnalistik.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbang pikir penulis dalam melengkapi perbendaharaan penelitian mengenai analisis media. I.5.KERANGKA TEORI

Teori merupakan himpunan konstruk (konsep), defenisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di


(18)

antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).Teori berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan memberikan pandangan terhadap sebuah permasalahan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

I.5.1. Komunikasi

Secara epistemologis istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin yakni communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti “sama”. Sama dalam arti kata ini bisa dikatakan dengan pemaknaan yang sama. Jadi secara sederhana dalam proses komunikasi yang terjadi adalah bermuara pada usaha untuk mendapatkan kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan komunikasi tersebut. Komunikasi bukan hanya hal yang paling wajar dalam pola tindakan manusia, tetapi juga paling rumit (Purba dkk,2006:29). Ungkapan diatas tidak dapat dipungkiri, karena komunikasi merupakan hal yang dilakukan sejak manusia lahir ke bumi. Komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling memperngaruhi antara yang satu dengan yang lain sengaja atau tidak sengaja, dan tidak terbatas pada komunikasi verbal saja (Cangara,2003:20).

Dalam perkembangannya, banyak ahli komunikasi mendefenisikan komunikasi secara berbeda-beda. Sejak awal abad 20 tepatnya 1930-1960, defenisi-defenisi mengenai komunikasi telah banyak diungkap, ketika itu para ahli di Amerika Serikat mulai merasakan kebutuhan akan “Science Of Communication”, dan diantaranya adalah Carl I. Hovland. Menurutnya, Ilmu Komunikasi adalah suatu usaha yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk


(19)

pendapat dan sikap (a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed) (Purba dkk, 2006:29). JikaCarl I. Hovland mendefenisikan komunikasi sebagai usaha yang sistematis, maka Harold Laswell menerangkan cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Yang berarti “Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?”(Mulyana,2005:62).

I.5.2. Komunikasi Massa

Komunikasi dapat dipahami sebagai proses penyampaian pesan, ide, atau informasi kepada orang lain dengan menggunakan sarana tertentu guna mempengaruhi atau mengubah perilaku penerima pesan. Komunikasi Massa adalah komunikasi melalui media massa, atau komunikasi kepada banyak orang (massa) dengan menggunakan sarana media. Media massa sendiri ringkasan dari media atau sarana komunikasi massa.( http://id.shvoong.com/social-sciences/1877099-definisi-komunikasi-massa/)

Dari defenisi komunikasi massa di atas kita dapat mengetahui bahwa komunikassi massa harus menggunakan media massa. Jadi sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran, dan televisi yang dikenal sebagai media elektronik, surat kabar dan majalah yang disebut disebut dengan media cetak.


(20)

Komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, mingguan atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu.

I.5.3. Paradigma Konstruktivisme

Konsep mengenai konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman.Pemikiran Berger melihat realitas kehidupan sehari-hari memilki dimensi subjektif dan objektif.Manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya.

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori konseptual dan pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. Realitas itu bersifat subjektif, realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan.Tidak ada realitas yang bersifat objektif karena realitas itu tercipta lewat konstrusi dan pandangan tertentu.

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Seluruh media massa menggunakan bahasa, verbal maupun non-verbal. Keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bias menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas yang akan muncul di benak


(21)

khalayak. Oleh sebab itu penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas karena bahasa mengandung makna. Semua proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakai kata, gambar sampai proses penyuntingan) member andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.

I.5.4. Analisis Framing

Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita (Sobur, 2004: 162). Cara pandang dan perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang akan diambi, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.

Ada dua aspek penting dalam framing.Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini berdasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini ada dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilh dan apa yang dibuang. Kedua, menuliskan fakta.Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu, penempatang yang meyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, dan lain-lain. Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang diberitakan lewat media. Fakta tidak ditampilkan apa adanya, namun diberi bingkai sehingga menghasilkan konstruksi makna yang spesifik.


(22)

Dalam penelitian ini model framing yang digunakan adalah model analisis framing Robert Entman. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu (Eriyanto. 2002: 187). Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta.Dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan.Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta.Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis.Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

I.6.KERANGKA KONSEP

Kerangka Konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemugkinan hasil penelitian yang dicapai (Nawawi, 1993: 40). Konsep merupakan istilah dan defenisi yang akan digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena yang hendak diuji (Singarimbun, 1995 : 32). Jadi kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya.

Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini memakai analisis framing Robert Entman. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu (Eriyanto. 2002: 187). Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta.Dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan.Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta.Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih, bagaimana aspek tersebut


(23)

ditulis.Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Dari pemikiran di atas Entman merumuskan dalam bentuk model framing sebagai berikut:

a. Definisi Masalah (Defining Problems)

Bagaimana suatu peristiwa dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

b. Memperkirakan sumber masalah (Diagnose Cause)

Peristiwa itu disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa actor yang dianggap sebagai penyebab masalah? c. Membuat Keputusan Moral (Make Moral Judgement)

Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan? d. Menekankan Penyelesaian (Treatment Recommendation)

Penyelesaian apa yang ditawarkan media untuk mengatasi masalah itu? I.7.OPERASIONAL KONSEP

a. Definisi Masalah (Defining Problems)

Elemen yang pertama kali dapat kita lihat dalam analisis framing.Elemen ini merupakan master frame atau bingkai paling utama.Di tahapan inilah awal berita dikonstruksi sehingga dalam sebuah berita diteliti apakah yang menjadi pokok masalah terhadap isu, wacana, atau peristiwa yang diliput, diberitakan dan peristiwa dipahami oleh wartawan.


(24)

Bagaimana sebuah media membungkus siapakah actor atau pelaku yang menyebabkan sebuah masalah timbul. Di sini penyebab bisa berarti apa (what) dan bias juga aspek siapa (who).

c. Membuat Keputusan Moral (Make Moral Judgement)

Elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argument atau pendefenisian yang telah dibuat, ketika masalah dan penyebab masalah telah ditentukan, maka dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut.

d. Menekankan Penyelesaian (Treatment Recommendation)

Pesan moral baik secara eksplisit atau implicit bagaimana seharusnya sebuah masalah atau peristiwa itu diselesaikan, ditanggulangi, diantisipasi dan dihindari.

Definisi Masalah (Defining Problems)

a. Peristiwa dilihat sebagai apa b. Peristiwa sebagai masalah apa

Memperkirakan sumber masalah (Diagnose Cause)

a. Siapa penyebab masalah

b. Peristiwa itu disebabkan ole apa

Membuat Keputusan Moral (Make Moral Judgement)

a. Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah b. Nilai apa yang dipakai untuk

mendelegitimasi/legitimasi suatu tindakan


(25)

(Treatment Recommendation) untuk menyelesaikan masalah b. Jalan yang ditawarkan dan harus

ditempuh untuk mengatasinya

Sumber : Majalah Kajian Media Dictum Vol I, No. 2 September 2007 I.8.METODOLOGI PENELITIAN

Metode dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana peneliti dalam menggambarkan tentang tata cara pengumpulan data yang diperlukan, serta analisis data. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-sedalam-dalamnya.Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas.Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) bukan banyaknya (kuatitas) (Kriyantono, 2008 : 56-57).

1.8.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dipakai dalam penelitian ini menggunakan model analisis framing yang dibuat oleh Robert Entman.

1.8.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini berupa tayangan talk show Provocative Proactive episode Kekerasan di Republik Tercinta I dan Kekerasan di Republik Tercinta II.


(26)

1.8.3 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah : a. Studi dokumenter, yaitu data-data unit analisis yang dikumpulkan dengan

cara men-downloaddata dari situs Metro TV.

b. Studi kepustakaan, yaitu penelitian dilakukan dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literature dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dalam hal ini penelitian kepustakaan dilakukan dengan membaca buku-buku, literature serta tulisan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

1.8.4 Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat metode analisis isi memakai analisis framing.

Tabel 1. Isi Tayangan Provocative Proactive Episode Kekerasan di Republik Tercinta I

No Nama Komunikator Isi Dialog

Tabel 2. Isi Tayangan Provocative Proactive Episode Kekerasan di Republik Tercinta II

No Nama Komunikator Isi Dialog


(27)

Pendefenisian Masalah

Memeperkirakan Masalah

Memebuat Keputusan Moral

Menekankan Penyelesaian

Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan

1.1Latar Belakang Masalah 1.2Perumusan Masalah


(28)

1.3Pembatasan Masalah

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5Kerangka Teori

1.6Kerangka Konsep 1.7Operasional Variabel BAB II Uraian Teoritis

II.1 Komunikasi II.2 Komunikasi Massa II.3 Paradigma Konstruktivis II.4 Analisis Framing

BAB III Metodologi Penelitian III.1 Deskripsi dan Sumber Data III.2 Tahapan Penelitian

III.3 Metode Penelitian

III.4 Pengumpulan dan Pencatatan Data BAB IV Pembahasan

BAB V Penutup V.1 Kesimpulan V.2 Saran Dartar Pustaka Lampiran

BAB II URAIAN TEORITIS


(29)

II.1. KOMUNIKASI

Setiap orang yang hidup dalam masyarakat secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi.Terjadinya komunikasi adalah konsekuensi dari hubungan sosial (sosial relations). Istilah komunikasi atau communication berasal dari kata latin communication dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama dalam artian sama makna.

Menurut Carl I. Hovland komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals)(Effendy, 2005:10). Akan tetapi, perubahan sikap, pendapat atau perilaku orang lain dapat terjadi apabila komunikasi tersebut berlangsung secara komunikatif.

Jadi, jika dua orang terlibat dalam komunikasi, maka akan terjadi selama ada kesamaan makna, sehingga komunikasi yang dilakukan kedua orang tersebut bersifat komunikatif. Akan tetapi, pengertian komunikasi di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan mengetahui, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan.

Sedangkan Harold Lasweel memberikan pengertian komunikasi melalui paradigma yang dikemukakannya dalam karyanya The Structire abd Function of Communication in Society.Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Whos Says What In


(30)

Which Channel To Whom With What Effect ?” Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yakni :

· Komunikator (communicator, source, sender)

Komunikator adalah seseorang atau sekelompok orang yang memberikan informasi kepada lawan bicaranya.

· Pesan (Message)

Pesan merupakan seperangkat lambang yang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

· Media (channel, media)

Media adalah saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.

· Komunikan (communicant, receiver, recipient)

Komunikan adalah seseorang atau sekelompok orang yang menerima pesan atau informasi dari komunikator.

· Efek (effect, impact, influence)

Efek adalah tanggapan atau seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan.

Berdasarkan paradigma lasswell tersebut komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2005:10).

Berdasarkan defenisi diatas dapat diketahui bahwa komuikasi merupakan proses penyampaian pesan melalui penggunaaan simbol/ lambang yang dapat


(31)

menimbulkan efek berupa perubahan tingkah laku yang bisa dilakukan dengan menggunakan media tertentu.

II.1.1. Proses Komunikasi

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu : 1. Proses Komunikasi secara primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol)sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar dan lain sebagaianya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan (Effendy, 2005:16).

2. Proses Komunikasi secara sekunder

Proses Komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang secara media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relative jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan lain sebagainya merupakan media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi (Effendy, 2005:16).

II.1.2. Ruang Lingkup Komunikasi

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah, dan meneliti kegiatan-kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup dan banyak


(32)

dimensinya. Berikut ini jenis-jenis komunikasi menurut konteksnya (Efendi, 1993:52-54) :

1. Berdasarkan bidang komunikasi

Yang dimaksud dengan bidang disini adalah bidang kehidupan manusia, dimana di antara jenis kehidupan yang satu dengan jenis kehidupan lainnya terdapat perbedaan yang khas dan kekhasan ini menyangkut proses komunikasi. Berdasarkan bidangnya komunikasi meliputi :

a. Komunikasi sosial (sosial communication)

b. Komunikasi organisasional/manajemen (organization.management communication)

c. Komunikasi bisnis (business communication) d. Komunikasi politik (political communication)

e. Komunikasi internasional (international communication) f. Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) g. Komunikasi pembangunan (development communication) h. Komunikasi tradisional (traditional communication) 2. Berdasarkan sifat komunikasi

Ditinjau dari sifatnya komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut : a. Komunikasi verbal (verbal communication)

1) Komunikasi lisan (oral communication) 2) Komunikasi tulisan (written communicaaation) b. Komunikasi nirverbal (nonverbal communication)


(33)

2) Komunikasi gambar (pictorial communication) 3) Lain-lain

c. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) d. Komunikasi bermedia (mediated communication) 3. Berdasarkan tatanan komunikasi

Yang dimaksud dengan tatanan komunikasi adalah proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang, sekelompok orang, atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara tersebar. Berdasarkan situasi komunikan seperti itu, maka diklasifikasikan mejadi bentuk sebagai berikut:

a. Komunikasi pribadi (personal communication)

1) Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication) 2) Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) b. Komunikasi kelompok (group communication)

1) Komunikasi kelompok kecil (small group communication) a) Ceramah

b) Forum c) Symposium d) Diskusi panel e) Seminar f) Lain-lain

2) Komunikasi kelompok besar (large group communication) c. Komunikasi Massa (mass communication)


(34)

a)surat kabar b) majalah

2) Komunikasi media massa elektronik

a) radio b) televisi c) film d) lain-lain

d. Komunikasi medio a) surat

b) telepon c) pamflet d) poster e) spanduk f) lain-lain II.1.3. Tujuan komunikasi

Tujuan Komuniaksi (Effendy, 2003:55), yaitu : a. Mengubah sikap (to change attitude)

b. Mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion) c. Mengubah perilaku (to change the behavior)

d. Mengubah masyarakat (to change the society) II.1.4. Fungsi Komunikasi

Fungsi komuniaksi (Effendy, 2003:55), yaitu ; a. Menginformasikan (to inform) b. Mendidik (to educate)


(35)

c. Menghibur (to entertain) d. Mempengaruhi (to influence) II.2. KOMUNIKASI MASSA

Komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris “mass communication”,singkatan dari mass media communication. Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau “mass mediated”.Komunikasi Massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi (Wiryanto, 2000:1).

Defenisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner yaitu komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan mellaui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people)(Ardianto, 2004:3).

Defenisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Menurut Gerbner (1967) komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. Dari defenisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi (Ardianto,2004:4) .

Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan perorangan,


(36)

melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.

II.2.1. Ciri-ciri Komunikasi massa

Ciri-ciri komunikasi massa (Nurudin,2007:19), yaitu : 1. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa itu bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang. Artinya, gabungan antara berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud disini menyerupai sebuah sistem. Sebagaimana kita ketahui, sistem adalah sekelompok orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Komunikator dalam komunikasi massa itu lembaga disebabkan elemen utama komunikasi massa adalah media massa.

2. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen

Komunikan dalam komunikasi massa sifatnya heterogen/beragam. Artinya, penonton televisi itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial, ekonomi, punya jabatan yang beragam, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.

Herbert Blumer pernah memberikan ciri tentang karakteristik audience/ komunikan, yaitu :


(37)

1. Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen. Artinya, ia mempunyai heterogenitas komposisi atau susunan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kaelompok dalam masyarakat. 2. Bersisi individu-individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama

lain. Disamping itu, antara individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara langsung.

3. Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal.

3. Pesannya bersifat umum

Pesan-pesan dalam komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesan yang dikemukakannya pun tidak boleh bersifat khusus. Artinya, pesan itu memang tidak disengaja untuk golongan tertentu. Meskipun dalam televisi ada program acara yang dikhususkan pada kalangan tertentu tetapi televisi perlu menyediakan acara lain yang sifatnya lebih umum. Ini penting agar televisi tidak kehilangan ciri khasnya sebagai saluran komunikasi massa.

4. Komunikasinya berlangsung satu arah

Komunikasi dalam komunikasi massa berlangsung satu arah. Artinya, komunikasi berlangsung dari media massa ke khalayak, namun tidak terjadi sebaliknya. Respon yang diberikan oleh khalayak tidak terjadi langsung pada saat komunikasi tersebut berlangsung.Meskipun terkadang terjadi dua arah, namun tidak kepada semua khalayak.Misalnya, telepon interaktif yang dilakukan pembawa acara dan khalayak.


(38)

Salah satu ciri komunikasi selanjutnya adalah bahwa dalam komunikasi massa itu ada keserempakan. Serempak disini berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut secara bersamaan.

6. Komunikasi mengandalkan peralatan teknis

Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik.

7. Komunikasi massa dikontrol oleh Gatekeeper

Gatekeeper atau yang sering disebut pentapis informasi/ palang pintu/ penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami.

II.2.2. Fungsi Komunikasi Massa

Menurut Karnilah fungsi komunikasi massa secara khusus (Ardianto,2004:19-23) terdiri dari :

a. Fungsi informasi b. Fungsi pendidikan c. Fungsi mempengaruhi

d. Fungsi proses pengembangan mental e. Fungsi adaptasi lingkungan

f. Fungsi memanipulasi lingkungan


(39)

Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama.Dramatisme, sesuia dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain.Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia.Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri.

Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: (1) drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. (2) drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. (3) drama selalu ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris.Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literature atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan reaksi untuk menghadapi pengalaman ini.Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak.


(40)

1. Manusia adalah hewan yang menggunakan symbol. Beberapa hal yang dilakukan manusia dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh symbol-simbol.Dari semua symbol yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa.

2. Bahasa dan symbol membentuk sebuah system yang sangat penting bagi manusia. Sapir dan Whorf menyatakan bahwa sangat sulit untuk berfikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batas tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Ketika manusia menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tertentu.Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain.

3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan manusia. Hal ini ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan actor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.

Dramatisme sebagai Retorika Baru

Dramatisme merupakan retorika baru.Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya


(41)

disamping retorika yang lama menekankan pada persuasi dan desain yang terencana.

Identifikasi dan Substansi

Substansi (sifat umum dari sesuatu) dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan.Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi (ketika dua orang memiliki ketumpangtindihan pada substansi mereka).Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besaridentifikasi yang terjadi.Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan (ketika dua orang gagal untuk mempunyai ketumpangtindihan dalam substansi mereka).Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan”. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang), atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain.


(42)

Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it uterus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:

1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa).

2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi).

3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri) dan pengkambinghitaman (salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain).


(43)

4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara).

Pentad

Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik.Metode tersebut adalah pentad (metode untuk menerapkan dramatisme). Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu:

1. Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang).

2. Adegan (konteks yang melingkupi tindakan).

3. Agen (seseorang atau orang-orang yang melakukan tindakan).

4. Agensi (cara-cara yang digunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan).

5. Tujuan (hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan, yaitu mengapa tindakan dilakukan).

6. Sikap (cara dimana agen memposisikan dirinya dibandingkan dengan orang lain).

Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya secara menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik (proporsi dari satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya).


(44)

II.4.PARADIGMA KONSTRUKTIVISME

Konsep mengenai konstruktivisme pertama kali diperkenalkan oleh, Peter L. Berger. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi. Dalam pemahaman ini berarti realitas berwajah ganda atau plural.Realitas bukan merupakan realitas tunggal yang bersifat statis dan final, melainkan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Kenyataan itu bersifat plural karena adanya realtivitas sosial dari apa yang disebut pengetahuan dan kenyataan.

Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural, konstruksi juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2002 : 16). Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif.Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek.Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda, status pendidikan yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda yang bisa menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika berhadapan dengan suatu objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai dimensi objektif-sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan (Eriyanto, 2002 : 16). Hal itu misalnya dapat dilihat dari rumusan, intitusi, aturan-aturan yang ada, dan sebagainya. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi social yang diciptakan oleh individu. Namun


(45)

demikian, kebenaran suatu realitas social bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku social. (Bungin, 2007 : 81)

Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaiman mereka mengkonstruksi peristiwa tersebut, yang diwujudkan dalam teks berita.Berita dalam pandangan konstruksi social, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil.Realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita.Ia adalah produksi interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut (Eriyanto, 2002 : 17).

Demikian halnya ketika seorang wartawan melakukan wawancara, ketika dia mewancarai seorang narasumber, di sana terjadi interaksi atara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawacara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan yang ditulis sedemikian rupa ke dalam berita. Di sana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan penggambaran yang dibuat oleh wartawan yang membatasi pandangan narasumber. Belum termasuk bagaimana hubungan dan kedekatan antara


(46)

wartawan dengan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilakn wawancara yang kita baca di surat kabar atau kita lihat di televisi.

Karena sifat dan fkatanya bahwa pekerja media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media meyusun realitas dari berbagai peistiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacan yang bermakna.Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas sehingga membentuk suatu cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna (Hamad, 2004 :11).

Media Dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. (Eriyanto, 2002 : 19)

Fakta/Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi.Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif.Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan.Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu.Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda.Dalam konsepsi positivis diandaikan ada realitas yang bersifat “eksternal” yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya.Jadi ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diambil dan diliput wartawan.Pandangan semacam ini sangat bertolak belakang dengan pandangan


(47)

konstruksionis.Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal di ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita.Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, reaslitas sebaliknya diproduksi .

Karena realitas itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Pikiran dan konsepsi kitalah yang yang membentuk dan mengkreasikan fakta. Fakta yang sama bisa menghasilkan yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda.

Media Adalah Agen Konstruksi.Pandangan konstruksionis mempunyai posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media.Dalam pandangan positivis media dilihat sebagai saluran.Media adalah sarana bagaimana pesan disampaikan dari komunikator kepada komunikan.Media disini murni dilihat sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita.Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media bukan sebagai agen, melainkan hanya sebagai saluran.Media dilihat sebagai sarana yang netral.Media tidak berperan sebagai pembentuk realitas, yang ditampilkan dalam pemberitaan itu lah yang sebenarnya terjadi.Media hanya sebagai saluran untuk menggambarkan realitas atau peristiwa.

Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi social yang mendefenisikan realitas.Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat


(48)

sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan.Yang tersaji dalam media adalah produk dari pembentukan realitas oleh media.Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.

Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi.Ia dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis dan ditransformasikan lewat berita.Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibaratnya seperti sebuah drama.Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antar berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Seperti sebuah drama, dalam berita ada pihak yang didefinisikan sebagai pahlawan dan ada pihak yang didefinisikan sebagai musuh.Semua itu dibentuk layaknya sebuah drama yang dipertontonkan kepada publik. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan percerminan dari realitas, karenanya ia harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai wartawan atau media.Suatu realitas bisa diangkat menjadi berita tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi mengahasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran.Berita bukanlah reprensentasi dari realitas.Berita


(49)

yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah buku jurnalistik. Semua proses konstruksi (mulai dari pemilihan fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.

Berita Bersifat Subjektif/Konstruksi Atas Realitas.Pandangan konstrusionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik.Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang rigid, seperti halnya positivis.Hal ini karena berita merupakan hasil dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemeknaan seseorang terhadap suatu realitas bisa berbeda dengan orang lain, yang tentunya bisa menghasilkan realitas yang berbeda pula. Karenanya ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara realitas yang sebenarnya dengan berita itu bukan merupakan suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas.

Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Realitas. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan baguian intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam banyak kasus: topic apa yang diagkat dan siapa yang diwancarai, disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata bagian dari pilihan profesional individu. Dalam pandangan konstruksionis wartawan juga dipandang sebagai aktor/agen konstruksi.Watawan bukan hanya melaporkan fakta, tapi juga turut mendefenisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif


(50)

membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Waratawan bukanlah pemulung yang mengambil fakta begitu saja.Karena dalam kenyataannya, tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif, yang berada di luar diri wartawan.Realitas bukanlah sesuatu yang berada di luar yang objektif, yang benar, yang seakan-akan ada sebelum diliput wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas itu sebaliknya, bersifat subjektif, yang terbentuk dari hasil pemaknaan dan pemahaman subjektif dari wartawan. Saat seorang wartawan menulis berita, ia sebetulnya membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas. Berita adalah transaksi antara wartawan dengan sumber. Realitas yang terbentuk dalam pemberitaan bukanlah apa yang terjadi dalam dunia nyata. Melainkan relasi antara wartawan dengan sumber dan lingkungan sosial yang membentuknya.

Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemeberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada suatu kelompok atau nilai tertentu-umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu-adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya sebagai pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas, tetapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.


(51)

Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif.Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall (dalam Eriyanto, 2005:36), makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca.Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi).Makana lebih tepat diapahami bukan sebagai transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca.Ia lebih tepat diapahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi.

II.5. ANALISIS FRAMING

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur,2004: 162).

Framing adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca.Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik khalayak pembaca. Frame media pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan frame dalam pengertian sehari-hari yang sering kita lakukan. Frame media adalah bentuk yang muncul dari pikiran (kognisi), penafsiran dan penyajian dari seleksi dan penekanan dengan menggunakan simbol-simbol yang


(52)

dilakukan secara teratur dalam wacana yang terorganisir baik dalam bentuk verbal maupun visual.

Ada dua aspek penting dalam framing.Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan kepada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan, yaitu apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu penempatan yang menyolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi simplifikasi dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Prinsip analisis framing menyatakan bahwa terjadi proses seleksi dan penajaman terhadap dimensi-dimensi tertentu dari fakta yang terberitakan dalam media. Fakta tidak ditampilkan secara apa adanya, namun diberi bingkai (frame) sehingga menghasilkan konstruksi makna yang spesifik.

Jadi, analisis framing merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas yang dilakukan media. Pembingkaian tersebut merupakan proses


(53)

konstruksi yang artinya realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media.

Dalam penelitian ini model framing yang digunakan adalah model ”pisau analisis” framing Robert Entman. Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu yang lain.

Framing memberi tekanan pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan atau dianggap penting oleh pembuat teks.Kata penonjolan itu sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna atau lebih mudah diingat oleh khalayak.

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas. Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta, sedangkan penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan lain-lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi


(54)

berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.

Frame berita timbul dalam dua level, yaitu:

1. Konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita.

2. Perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita. Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselidiki dari kata, citra dan gambar tertentu yang memberikan makna tertentu dari teks berita.

Entman mengonsepsikan dua dimensi besar tersebut dalam sebuah perangkat framing, yaitu, (Eriyanto, 2002: 186-191):

a. Defining Problems atau definisi masalah adalah elemen pertama kali dapat kita lihat dalam analisis framing. Elemen ini merupakan master frame atau bingkai paling utama. Di tahapan inilah awal berita dikonstruksi sehingga dalam sebuah berita diteliti apakah yang menjadi pokok masalah terhadap sebuah isu, wacana atau peristiwa yang diliput, diberitakan dan peristiwa dipahami oleh wartawan.

b. Diagnose Causes atau memperkirakan sumber masalah adalah bagaimana sebuah media membungkus siapakah aktor atau pelaku yang menyebabkan sebuah masalah timbul. Di sini penyebab bisa berarti apa (what), tetapi


(55)

bisa juga aspek siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula.

c. Make Moral Judgement/Evaluation atau keputusan moral adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan atau memberikan argumen atas pendefinisian masalah yang telah dibuat, ketika masalah dan penyebab masalah telah ditentukan, maka dibutuhkan argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut.

d. Treatment Recommendation atau menekankan penyelesaian merupakan elemen framing yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Sebuah pesan moral baik secara eksplisit atau implisit bagaimana seharusnya sebuah masalah atau peristiwa itu diselesaikan, ditanggulangi, diantisipasi dan dihindari.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN


(56)

PT. Media Televisi Indonesia (Metro TV) adalah salah satu anak perusahaan Media Group yang dimiliki oleh Surya Paloh, pebisnis yang memiliki banyak pengalaman dalam industri media di Indonesia. Surya Paloh awalnya merintis usahanya di bidang pers dengan mendirikan surat kabar Harian Prioritas, yang kemudian dibredel pada masa pemerintahan Orde Baru pada tanggal 29 Juni 1987. Harian ini ditutup karena dinilai pemerintah terlalu vokal dan berani.

Tahun 1989, Surya Paloh mengambil alih surat kabar Harian Media Indonesia, yang kini tercatat sebagai harian dengan oplah terbesar nasional setelah Kompas. Kemudian dalam perkembangan teknologi, Surya Paloh memutuskan untuk membangun sebuah stasiun televisi berita, karena perkembangan dan transformasi media dari cetak ke elektronik.Hingga saat ini, Surya Paloh menjabat sebagai CEO Media Grup, bersama enam orang direksi dan dua komisaris.

Metro TV mendapatkan izin siaran dari Menteri Penerangan Republik Indonesia pada tanggal 25 Oktober 1999. Pada tanggal 25 November 2000, Metro TV mengudara untuk pertama kalinya, dalam siaran percobaan di tujuh kota besar di Indonesia. Pada siaran kali pertama tersebut, Metro TV hanya tayang selama 12 jam dalam sehari. Dalam perkembangannya, sejak 1 April 2001 Metro TV menjadi televisi berita 24 jam pertama di Indonesia.

III.1.2. VISI DAN MISI METRO TV

Visi Metro TV adalah menjadi stasiun televisi Indonesia yang berbeda dengan stasiun televisi lainnya, dan menjadi nomor satu dalam program beritanya, menyajikan program hiburan dan gaya hidup yang berkualitas. Selain itu juga memberikan konsep unik dalam beriklan untuk mencapai loyalitas dari pemirsa maupun pemasang iklan.


(57)

Sedangkan misinya adalah sebagai berikut:

1. Untuk membangkitkan dan mempromosikan kemajuan Bangsa dan Negara melalui suasana yang demokratis, agar unggul dalam kompetisi global, dengan menjunjung tinggi moral dan etika.

2. Untuk memberikan nilai tambah di industri pertelevisian dengan memberikan pandangan baru, mengembangkan penyajian informasi yang berbeda dan memberikan hiburan yang berkualitas.

3. Dapat mencapai kemajuan yang signifikan dengan membangun dan menambah aset perusahaan, untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan para karyawannya dan menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi pemegang saham.

4. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang signifikan dengan mengembangkan dan meningkatkan aset, untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan karyawan, dan untuk menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi pemegang saham.

III.1.3. PROFIL SINGKAT TAYANGAN PROVOCATIVE PROACTIVE Tayangan Provocative Proactive semula terkesan seperti acara televisipada umumnya, namun konsep yang dibuat oleh MetroTV membuat tayangan ini berbeda dan jauh lebih menarik. Dalam tayangan ini akan membahas berita dan kabar terpanas dalam 1 minggu dalam gaya yang agak berbeda.Tayangan ini sebenarnya mempunyai harapan kepada penontonnya adalah “Yang Tidak Tahu Menjadi Tahu, Yang Tidak Peduli Menjadi Peduli”. Tayangan Provocative Proactive dibawakan oleh 5 orang host yang memerankan perannya


(1)

(2)

BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

1. Provocative Proactive memaknai, memahami, dan membingkai berita kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah sebagai masalah hukum yang berkaitan dengan isu agama. Dan kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiya ini ada sebuah pengalihan isu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang sedang disorot media. Dan FPI sebagai pelaku kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah ini adalah sebuah ormas Islam yang tidak mempunyai agenda gerakan Islam, tapi mereka adalah sebuah ormas yang pergerakannya berdasarkan order. Jadi ada pihak yang sedang disorot media dan dia tidak suka dan tidak senang disorot media, lalu untuk mengalihkan isu dia menyewa FPI. Ketidaktegasan pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini mendukung masalah ini panjang dan berkelanjutan. Dan masyarakat Indonesia yang mudah teralih perhatiannya dan mudah tersulut isu yang belum pasti faktanya semakin memperkuat pengalihan isu ini berhasil.

2. Provocative Proactive memposisikan diri dalam mengkonstruksi berita kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah sebagai pihak yang mengkritisi kinerja pemerintah dalam mengatasi masalah Ahmadiya ini. Ideologi yang coba disampaikan atau ditanamkan adalah bahwa ketidaktegasan


(3)

menjadi pengalihan isu. Provocative Proactive memperkuat berita kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah sebagai pengalihan isu mereka menampilkan tabel pengalihan isu. Dalam tayangan mereka menampilkan bintang tamu atau nara sumber Ulil Abshar (KDRT I) seorang tokoh Islam Liberal Indonesia dan Budiman Sujadniko (KDRT II) anggota DPR Komisi I dari partai PDI Pejuangan.

V.II. Saran

1. Provocative Proactive sebagai tayangan talk show yang mempunyai segmen penontonnya pemuda haruslah lebih kreatif mengemas tayangan ini supaya pemuda lebih tertarik dan terprovokasi untuk memikirkan dan memperhatikan masalah Negara Indonesia

2. Provocative Proactive seharusnya lebih banyak memberi saran-saran yang membangun dalam mengahadapi masalah perbedaan yang seringnya pemuda sering terprovokasi dengan masalah ini

3. Provocative Proactive seharusnya lebih banyak menampilakan bukti-bukti fakta yang bisa memperkuat argumen dan pendapat yang ada dalam tayangan ini

4. Provocative Proactive juga harusnya bisa mengundang tamu dari pihak yang pro dan kontra, supaya lebih jelas dalam pemaparan berita yang sebenarnya terjadi.


(4)

DAFTAR PUSATAKA

Ardianto,Elvinaro,dkk. 2004.Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Cangara,Hafied. 2006.Pengantar Ilmu Komunikasi.Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Effendy,Onong Uchjana. 1993.Ilmu, Teori dan Filsafat komunikasi.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti..

Effendy,Onong Uchjana. 2005.Ilmu Komunikasi.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto, 2002.Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LKiS

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa : Sebuah Studi Critical Discourse Analisys Terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Press Mada Press.

Nurudin. 2003. Komunikasi Massa.Malang: Cespur.

Purba, Amir.dkk. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi.Medan:Pustaka Bangsa Press.

Rakhmat, Jalaludin.2004.Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta:LP3ES.


(5)

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media :Suatu Pengantar untuk Analsisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

West, Richard. 2010. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Sumber lain :

Majalah Dictum, Vol I. No.2 September 2007

http://mediaindonesia.com diakses tanggal 14 Maret 2011

http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/02/10/8209/449/Kekerasa n-di-Republik-Tercinta-diakses tanggal 14 Maret 2011

http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/02/17/8265/449/Kekerasa n-di-Republik-Tercinta-Jilid-II-diakses tanggal 14 Maret 2011

http://id.shvoong.com/sosial-sciences/1877099-definisi-komunikasi-massa/ diakses tanggal 15 Maret 2011


(6)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Jl. Dr. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Kris Ahasyweros L

NIM :060904034

PEMBIMBING : Syarifuddin Pohan, M.Si, Ph.D No Tanggal Pertemuan Pembahasan Paraf Pembimbing

1 10 Januari 2011 Pergantian Judul 2 07 Februari 2011 Acc Pergantian Judul dan

BAB I

3 24 Maret 2011 Acc Seminar (BAB I) 4 26 Maret 2011 Seminar Proposal 5 06 April 2011 BAB II

6 30 Mei 2011 BAB III


Dokumen yang terkait

Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah Pada Majalah Tempo dan Sabili)

3 52 102

Strategi bertahan jemaat ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor

2 41 132

Konstruksi Pemberitaan Tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah Gatra Edisi Bulan Juli s/d Agustus 2005)

7 59 101

Analisis semiotika acara provocative proactive di metro episode Indonesia S.O.S (save our selves) s

0 8 110

KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 2 14

PENDAHULUAN KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 0 6

KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 0 17

PEMBINGKAIAN MEDIA ATAS PEMBERITAAN PERISTIWA BENTROKAN ANTARA WARGA DENGAN JEMAAH AHMADIYAH DI CIKEUSIK (Studi Analisis Framing Pemberitaan Peristiwa Bentrokan antara Warga dengan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik pada Media Televisi TV One dan Metro TV).

0 0 205

HUBUNGAN TERPAAN TAYANGAN PROVOCATIVE PROACTIVE DI METRO TV DENGAN TINGKAT BERPIKIR KRITIS MAHASISWA DI SURABAYA (Studi Korelasional Terpaan Tayangan ).

0 0 101

BAB I PENDAHULUAN - HUBUNGAN TERPAAN TAYANGAN PROVOCATIVE PROACTIVE DI METRO TV DENGAN TINGKAT BERPIKIR KRITIS MAHASISWA DI SURABAYA (Studi Korelasional Terpaan Tayangan )

0 0 15